Jual Beli dengan Uang Muka

Pertanyaan:

Benarkah jual beli dengan sistem panjar (uang muka/downpayment-DP)? Jika pembeli menggagalkan, halalkah mengambil uang panjar tersebut? Bagaimana jual beli yang benar?

Abdurrazzaq—Temanggung

0815xxxxxxx

Jawab:

Jual beli ini dikenal dalam istilah fikih dengan istilah ‘urbun. Definisi terbaik untuk jual beli ini adalah yang disampaikan Ibnu Qudamah rahimahullah, yaitu seseorang membeli barang, lalu membayar satu dirham kepada penjual atau semisalnya. Dengan syarat, apabila pembeli jadi membelinya, uang itu dihitung termasuk harga; jika tidak jadi membelinya, itu menjadi milik penjual.

Baca juga: Adab Jual Beli

Tentang hukum jual beli ini, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Berikut ini penjelasannya.

  1. Jual beli ‘urbun sesuai dengan gambaran di atas, batal.

Ini adalah pendapat mayoritas para ulama, satu riwayat dari Imam Ahmad rahimahullah, dan yang dianggap kuat oleh Abul Khaththab rahimahullah dari kalangan ulama mazhab Hambali. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan bahwa itulah yang sesuai dengan qiyas. Pendapat ini juga dianggap kuat oleh asy-Syaukani rahimahullah.

Mereka berargumen dengan hadits berikut ini.

نَهَى عَنْ بَيْعِ الْعُرْبُونِ

“Rasulullah melarang jual beli ‘urbun.”

  1. Jual beli ‘urbun sesuai dengan gambaran di atas, diperbolehkan.

Ini adalah pendapat Umar ibnul Khaththab, Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma, Ibnu Sirin, Nafi’ bin Abdul Harits, Zaid bin Aslam rahimahumullah, satu riwayat yang lain dari Imam Ahmad rahimahullah, dan yang masyhur di kalangan ulama mazhab Hambali.

Alasannya adalah:

  • hadits yang disebutkan di atas adalah dha’if/lemah[1].
  • Penjual bisa jadi menanggung kerugian dengan sebab masa tunggu.

Misalnya, harga barangnya menjadi turun atau penjual kehilangan calon-calon pembeli. Semua risiko ini ditanggung penjual apabila pembeli mengurungkan niatnya untuk membeli. Demikian pula pembeli berikutnya bisa menawar lebih murah setelah ditinggalkan oleh pembeli pertama.

Meski demikian, dinasihatkan kepada para penjual, bilamana ia tidak menanggung kerugian apa-apa, hendaknya ia mengembalikan uang itu dalam rangka menjaga sikap wara’.

Baca juga: Jual Beli Sesuai Tuntunan Nabi (bagian 1)

Terkait dengan pendapat yang membolehkan jual beli ‘urbun, dikecualikan tiga keadaan berikut ini.

a. Jual beli sesuatu yang syariat mensyaratkan harus kontan pada masing-masing barang yang dipertukarkan, yaitu barang-barang yang mengandung riba.

Lihat penjelasan tentang riba di sini.

Misalnya adalah uang. Seseorang menukar uang real Saudi dengan real Yaman, maka tidak boleh menerapkan sistem ‘urbun.

b. Jual beli sesuatu yang disyaratkan untuk diserahkan secara kontan dan penuh pada salah satu barang yang dipertukarkan, yaitu pada jual beli sistem salam[2].

Jual beli sistem salam dipersyaratkan memberikan uang secara kontan dan penuh di muka. Maka dari itu, dalam jual beli sistem salam tidak boleh menggunakan sistem ‘urbun.

c. Pada kondisi penjual tidak memiliki barang yang dijual.

Dalam keadaan ini, tidak boleh menggunakan jual beli sistem ‘urbun.


Catatan Kaki

[1] Dianggap lemah oleh para ulama. Di antaranya oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Dha’iful Jami’ ash-Shaghir, Dha’if Abu Dawud, Dha’if Ibnu Majah, Misykatul Mashabih. Sebab kelemahannya ialah sanadnya tidak tersambung antara Imam Malik rahimahullah dan Amr bin Syuaib. Imam Malik rahimahullah meriwayatkan dengan cara balaghan.

[2] Sistem salam ialah seseorang membeli suatu barang yang belum ada di tangan penjual, tetapi ada dalam pikirannya. Pembeli dan penjual lantas menyepakati barang yang dibeli dan sifat-sifatnya. Pembeli lalu menyerahkan uangnya di muka secara penuh. Dalam hal ini disyaratkan barangnya harus jelas, sifatnya jelas, jumlahnya jelas, dan temponya jelas.

(Diringkas oleh Qomar Z.A., dari penjelasan Syaikh Abdurrahman al-Adani dalam kitabnya, Syarhul Buyu’, hlm. 36—37)