Hukum Jual Beli Mata Uang Dan Nasihat Para Ulama

Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah pernah ditanya tentang hukum seseorang yang membeli euro (mata uang Uni Eropa) untuk dijual lagi setelah harga jualnya naik.

Beliau rahimahullah menjawab, “Saya berpandangan bahwa tidak sepantasnya seseorang berniaga dan bertransaksi (jual beli) uang kecuali sebatas keperluan darurat saja, karena transaksi yang demikian spekulatif dan berisiko tinggi.” (Diterjemahkan secara bebas dari transkrip rekaman yang berjudul “ar-Rihlah”, no. 33)

Di antara nasihat beliau rahimahullah ketika menjawab pertanyaan semisal, “Saya tidak menyarankan seorang muslim berprofesi sebagai pelayan jasa jual beli uang dengan dua alasan.

Orang yang berkeinginan membuka jasa ini wajib mengetahui hal-hal yang diperbolehkan dan yang dilarang dalam hal tukar-menukar uang.

Saat ini, orang yang menggeluti profesi ini jauh dari ilmu fikih, khususnya yang berkaitan dengan profesi mereka. Sangat sulit untuk menerapkan hukum syariat pada jasa tukar-menukar mata uang ini.

Kenyataan yang kita saksikan sekarang ini, naik turunnya kurs mata uang secepat naik turunnya speedometer kendaraan. Dalam kondisi seperti ini, muncul persaingan yang tidak sehat antara pelaku bisnis ini, bahkan timbul tindakan spekulasi dan berisiko tinggi. Tidak sedikit orang yang kaya mendadak dalam selang waktu pagi-sore; sebaliknya, tidak sedikit orang yang mengalami bangkrut total dalam kurun waktu yang sama.” (Diterjemahkan secara bebas dan diringkas dari transkrip rekaman yang berjudul “al-Huda wa an-Nur”, 716)

Terlepas dari rajih atau tidaknya pendapat asy-Syaikh al-Albani rahimahullah di atas tentang tidak bolehnya jual beli mata uang, tetapi nasihat beliau sangat berharga. Paling tidak, membuat kita berhati-hati dan tidak bermudah-mudahan dalam jual beli mata uang.

Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah menasihati masyarakat agar tidak menukar uang mereka kecuali dalam keadaan kondisi darurat, seperti ketika pergi ke negara lain dan membutuhkan mata uang negara tujuan. (Diterjemahkan secara bebas dan diringkas dari transkrip rekaman yang berjudul “al-Huda wa an-Nur”, 716)

Namun, ada pendapat lain dalam masalah ini. Jumhur ulama masa kini, seperti asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, asy-Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh, asy-Syaikh Shalih bin Fauzan, dan lainnya, memperbolehkan seseorang mengembangkan modal dengan usaha jual beli mata uang, dengan syarat adanya taqabudh yadan bi yadin (transaksi tunai dari tangan ke tangan dalam satu majelis).[1]

Jika syarat ini dipenuhi, tidak mengapa seseorang memperjualbelikan mata uang untuk mendapatkan keuntungan atau sengaja membeli mata uang tertentu untuk dijual kembali ketika nilainya naik.

Alasan jumhur sehingga memperbolehkan jual beli mata uang adalah:

  1. Hukum asal jual beli adalah halal.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ

“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (al-Baqarah: 275)

  1. Perbedaan kurs mata uang antara satu negara dan negara lain dianggap oleh para ulama sebagai perbedaan jenis, layaknya perbedaan jenis emas dan perak.

Ketika terjadi tukar-menukar mata uang yang berbeda jenis, terjadi perbedaan nilai mata uang (kurs). Akan tetapi, transaksi tersebut wajib taqabudh yadan bi yadin, karena jenis mata uang yang ditukar adalah sesama benda riba yang transaksi tukar-menukarnya harus secara taqabudh; sebagaimana disebutkan dalam hadits,

فَإِذَا اخْتَلَفَ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

“Jika jenisnya berbeda, berjual-belilah antara jenis tersebut sesuai kehendak kalian selama dilakukan tunai dari tangan ke tangan.” (HR. Muslim, dari Ubadah bin ash-Shamit radhiallahu ‘anhu)

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ditanya, “Bolehkah seorang muslim membeli mata uang dollar atau mata uang lain dengan harga rendah, kemudian saat kursnya naik, dia jual kembali?”

Beliau menjawab, “Tidak mengapa seseorang membeli uang dollar atau mata uang lain untuk disimpan lalu dia jual ketika kursnya naik di kemudian hari. Akan tetapi, hendaknya dia membelinya dengan transaksi tunai, yadan bi yadin, dari tangan ke tangan, dan tidak secara kredit atau utang.

Misalnya, mata uang USD (United States Dollar) dibeli dengan mata uang SAR (Saudi Arabian Riyal), dinar Saudi, atau dinar Irak secara tunai. Transaksi mata uang harus dilakukan secara tunai dari tangan ke tangan (dalam satu majelis, pen.). Sama halnya seperti menukarkan emas dengan perak, harus tunai dari tangan ke tangan. Allahul musta’an.” (Majmu’ Fatwa Ibnu Baz, 19/60)

Dari uraian singkat ini, penulis cenderung memilih pendapat yang kedua dengan tetap mempertimbangkan pendapat pertama dan tidak mengenyampingkannya.

Kita katakan bahwa diperbolehkan jual beli mata uang dengan beberapa ketentuan.

  1. Jika mata uang yang akan ditukar sama jenisnya (misal, mata uang yang ditukar adalah sesama rupiah; satu lembar Rp100.000,00 akan ditukar dengan uang sepuluh lembar Rp10.000,00), tidak boleh diambil keuntungan dari transaksi tersebut; harus sama nilainya, dan dilakukan secara tunai, tidak boleh diakhirkan penyerahannya, dan tidak boleh diangsur.

Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَ تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَل تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَ تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَل تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ

“Jangan kalian jual beli emas dengan emas kecuali harus sama. Jangan kalian jual beli perak dengan perak kecuali harus sama. Jangan menukar (emas/perak) yang tidak dibawa dengan yang ada.” (HR. al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu)

  1. Jika jenis mata uangnya berbeda (misal, dollar dengan rupiah), transaksi yang dilakukan harus secara taqabudh yadan bi yadin (serah terima tunai di majelis), baik nilainya sama maupun berbeda, boleh melebihkan nominal mata uang satu dari yang lain.
  2. Menghindari praktik yang bersifat spekulatif, berisiko tinggi, dan persaingan yang tidak sehat.
  3. Tidak memudaratkan kaum muslimin dengan cara menimbun atau memonopoli mata uang tertentu saat kaum muslimin membutuhkan, sebagaimana yang diingatkan oleh asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa Ibnu Baz (19/172).

Meskipun demikian, kami sarankan kepada kaum muslimin untuk tidak terjun ke dalam dunia bisnis ini sebagai bentuk pengamalan hadits yang kami sebutkan di awal,

دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا ل يَرِيبُكَ

“Tinggalkanlah yang meragukanmu dan pilihlah yang tidak meragukanmu.”

فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ

“Barang siapa menjauhi perkara-perkara yang syubhat (samar), berarti dia telah menjaga agama dan kehormatannya. Barang siapa terjerumus dalam perkara syubhat, dia akan terjerumus dalam perkara yang haram.”

Wallahu a’lam.

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Ishaq Abdullah Nahar

[1] Fatwa para ulama yang menyatakan bolehnya berniaga (jual beli) mata uang jika terpenuhi syarat-syaratnya dapat dirujuk di kumpulan fatwa Ibnu Baz (19/60), al-Muntaqa min Fatawa asy-Syaikh Shalih Fauzan, Fatawa al-Lajnah ad-Daimah no. 3037, rekaman asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Silsilah Nur ‘ala ad-Darb, dan lainnya.