Jual Beli Sesuai Tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (1)

Salah satu bentuk interaksi antar manusia yang paling sering dijumpai adalah jual beli. Oleh karena itulah, Islam mengatur ini semua agar terwujud tatanan kehidupan yang sarat dengan keadilan.

Termasuk rahmat Allah subhanahu wa ta’ala kepada segenap umat manusia adalah dihalalkannya jual beli di kalangan mereka dalam rangka melestarikan komunitas Bani Adam hingga hari penghabisan. Serta melanggengkan hubungan antar mereka sebagai makhluk yang membutuhkan orang lain. Lalu bagaimanakah jual beli yang sesuai petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu?

Secara global, kajian berikut akan mengupas pokok-pokok kaidah dalam masalah ini disertai beberapa rincian seperlunya. Wallahul muwaffiq lishshawab.

Definisi bai’ (Jual Beli)

Secara bahasa adalah pertukaran harta dengan harta.

Secara syariat, makna  bai) telah disebutkan beberapa definisinya oleh para fuqaha (ahli fiqh). Definisi terbaik adalah: Pertukaran/pemilikan harta dengan harta berdasarkan saling ridha melalui cara yang syar’i. (Syarah Buyu’,hal.1)

Hukum Jual Beli

Hukum asal jual beli adalah halal dan boleh, hingga ada dalil yang menjelaskan keharamannya. Dalil kebolehannya adalah al-Qur`an, hadits, dan ijma’ ulama.
Dalil dari al-Qur`an di antaranya firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (al-Baqarah: 275)

Adapun hadits, di antaranya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

        “Sesungguhnya jual beli itu dengan sama-sama ridha.” (HR. Ibnu Majah no. 2185, dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu, dari jalan Abdul ‘Aziz bin Muhammad, dari Dawud bin Shalih Al-Madani, dari ayahnya, dari Abu Sa’id. Sanadnya shahih, lihat Al-Irwa` 1283)

Para ulama di sepanjang masa dan di belahan dunia manapun telah sepakat tentang bolehnya jual beli. Bahkan ini merupakan kesepakatan segenap umat, sebagaimana dinukil oleh Al-Imam An-Nawawi.

Syarat-syarat Jual Beli

Jual beli dianggap sah secara syar’i bila memenuhi beberapa persyaratan berikut:

  1. Keridhaan kedua belah pihak (penjual dan pembeli).
  2. Yang melakukan akad jual beli adalah orang yang memang diperkenankan menangani urusan ini.
  3. Barang yang diperjualbelikan harus halal dan ada unsur kemanfaatan yang mubah.
  4. Barang yang diperjualbelikan dapat diserahterimakan.
  5. Akad jual beli dilakukan oleh pemilik barang atau yang menggantikan kedudukannya (yang diberi kuasa).
  6. Barang yang diperjualbelikan ma’lum (diketahui) dzatnya, baik dengan cara dilihat atau dengan sifat dan kriteria (spesifikasinya).

Masing-masing syarat di atas mengandung sekian banyak permasalahan yang terkaitan dengan jual beli. Jika dirinci, akan diketahui mana mekanisme yang diperbolehkan dan mana yang terlarang secara syar’i. Bila telah tuntas uraiannya, yang tersisa hanya beberapa bab saja dalam masalah jual beli, seperti bab Khiyarat dan Riba.

Karena keterbatasan lembar majalah ini, maka akan kami uraikan seperlunya dan kami sebutkan masalah-masalah yang masyhur saja, bi idznillahi ta’ala (dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala).

SYARAT PERTAMA

Keridhaan Kedua Belah Pihak

Dalil persyaratan ini disebutkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kailan saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan saling ridha di antara kalian.” (an-Nisa`: 29)

Juga dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

        “Sesungguhnya jual beli itu dengan keridhaan.”

Akal yang sehatpun menerima persyaratan ini. Karena jika tidak ada persyaratan ini, maka masing-masing orang akan saling mendzalimi dan bertindak melampaui batas terhadap orang lain.

Masalah 1: Jual beli orang yang dipaksa

Jumhur ulama berpendapat bahwa jual beli orang yang dipaksa hukumnya tidak sah. Mereka berhujjah dengan ayat dan hadits di atas, juga dengan hadits berikut:

Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala memaafkan dari umatku tindakan kesalahan, kealpaan, dan keterpaksaan.” (HR. Ibnu Majah 2045 dan Al-Baihaqi dalam Al-Kubra 7/356-357 dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dengan sanad hasan karena banyak penguatnya. Lihat Nashbur Rayah, 4/64-66, dan Al-Maqashidul Hasanah hal. 369-371, no. 528)

Termasuk faedah dalam bab ini adalah jual beli seseorang karena malu, sebab tidak terwujud persyaratan keridhaan padanya.

Masalah 2: Jual beli orang yang bergurau

Misalnya, ada orang bergurau dengan orang lain, dia berkata: “Saya jual mobilku kepadamu dengan harga Rp. 500 ribu.” Jual beli seperti ini tidak sah, karena tidak ada niatan jual beli dan juga tidak ada keridhaan dari sang penjual.
Kita bisa mengetahui sang penjual sedang bergurau dengan qarinah (tanda/bukti-bukti). Bila tidak ada tanda-tanda gurauan, maka jual belinya sah. Sang penjual harus bisa mendatangkan bukti-bukti yang kuat bahwa dia tengah bergurau.

Masalah 3: Jual beli dengan orang yang tengah membutuhkan (uang)

Ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang masalah ini:

  1.  Jumhur ulama berpendapat, jual beli seperti ini sah namun makruh. Sebab, umumnya orang yang sedang butuh akan menjual barangnya dengan harga murah.
  2.  Al-Imam Ahmad, dikuatkan oleh Al-Imam Asy-Syaukani, berpendapat, haram hukumnya jual beli dengan orang yang sedang butuh. Beliau berhujjah dengan hadits:

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli orang yang sedang butuh.”

  1.  Syaikhul Islam (Ibnu Taimiyyah) berpendapat, jual belinya sah tanpa ada hukum makruh. Sebab, jika dilarang membeli barang orang yang tengah membutuhkan tadi, justru akan menambah mudharat (kesusahan) bagi yang bersangkutan.
    Yang rajih (pendapat yang kuat), insya Allah, adalah pendapat Ibnu Taimiyyah. Karena, hadits yang dijadikan hujjah untuk melarang sanadnya dha’if. Hadits itu diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur, Abu Dawud dan Al-Baihaqi, dari jalan seorang syaikh dari Bani Tamim, dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu.

Sanad ini didha’ifkan karena tidak diketahui siapa syaikh di atas. Meski ada penguat lain dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yamanz, yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur, namun dalam sanadnya ada perawi yang bernama Kautsar bin Hakim, di mana dia matruk (ditinggalkan hadits–nya). Sanadnya juga terputus antara Makhul dan Hudzaifah. Wallahu a’lam.

Ijab Qabul dalam Jual Beli

Termasuk dalam persyaratan pertama ini adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan ijab qabul. Ijab adalah ucapan penjual: “Saya jual”, sedangkan qabul adalah ucapan pembeli: “Saya terima.”

Masalah 4: Apakah disyaratkan lafadz-lafadz tertentu dalam jual beli?

Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama:

  1. Pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i dan satu pendapat dalam madzhab Ahmad: Tidak sah jual beli kecuali dengan lafadz ijab dan qabul. Mereka beralasan bahwa ridha adalah perkara batin, dan kita tidak mungkin tahu adanya keridhaan dengan semata-mata perbuatan tanpa lafadz. Diamnya sang penjual terkadang karena kelalaiannya, dianggap akadnya main-main, atau diam untuk melihat sejauh mana sang pembeli mematok harganya.

Yang mendekati pendapat ini adalah pendapat Ibnu Hazm: Tidak sah kecuali dengan lafadz “Saya jual” atau “Saya beli”.

  1. Pendapat Abu Hanifah, satu pendapat dalam madzhab Ahmad, dan satu sisi pendapat Syafi’iyah: Jual belinya tetap sah dengan tindakan tanpa lafadz tertentu dalam perkara-perkara yang sering terjadi padanya jual beli, dengan ketentuan barangnya remeh, tidak besar, atau mahal.

Menurut mereka, jual beli barang yang besar atau mahal tidak sah kecuali dengan lafadz ijab dan qabul.

  1. Pendapat Malik, Ahmad, sejumlah ahli tahqiq dari kalangan Syafi’iyah, seperti Ar-Ruyani. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Ash-Shan’ani, dan Asy-Syaukani: Jual beli sah dengan apa saja yang dianggap oleh masyarakat sebagai jual beli, baik dengan lafadz atau dengan perbuatan.

Pendapat inilah yang rajih, sebab masalah ini tidak ditentukan batasannya secara syar’i atau bahasa Arab. Sehingga dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat setempat. Kaidah umum menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak ditentukan batasannya secara syar’i atau bahasa, maka dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat.

Masalah 5: Bila masalah di atas telah dipahami, jual beli mu’athah yang disebutkan dalam kitab-kitab fiqh adalah sah.

Gambaran mu’athah adalah: Pembeli memberikan uang kepada penjual dan mengambil barang tanpa lafadz ijab qabul.

Mu’athah ini bisa dari sang penjual. Misalnya, pembeli berkata: “Apakah kamu menjual barang ini kepadaku dengan harga sekian?” Lalu penjual memberikan barang-nya tanpa mengucapkan lafadz: “Saya terima.”

Mu’athah juga bisa dari sang pembeli. Misalnya, sang penjual berkata: “Maukah kamu membeli barang ini dengan harga sekian?” Lalu sang pembeli mengeluarkan uang dan mengambil barang tadi tanpa lafadz ijab qabul.

Masalah 6: Bila sang pembeli berkata kepada penjual dalam bentuk pertanyaan: “Apakah engkau menjual barangmu ini?” Lalu penjual mengatakan: “Saya terima.”

Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama bahwa akad ini tidak sah, karena tidak diketahui keridhaan sang pembeli. Demikian yang dinukilkan Ibnu Qudamah dan yang lainnya.

 

Masalah 7: Jual beli dalam bentuk janji

Misalnya, sang penjual berkata: “Maukah engkau membeli barang ini dengan harga sekian?” Pembeli berkata: “Nanti akan saya beli.”

Janji seperti ini tidak dianggap sebagai akad jual beli, bagaimanapun bentuknya. Penjual tidak diharuskan menyimpan barang tadi (artinya dia boleh menjualnya kepada orang lain). Pembeli pun tidak diharuskan membeli barang tadi, walaupun telah menyerahkan DP (downpayment,persekot/uang muka). Wallahu a’lam.

 

Jual Beli Menggunakan Alat-alat Modern Masa Kini

Termasuk dalam bab ini adalah jual beli dengan piranti masa kini.

Masalah 8: Jual beli lewat telepon

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah pernah menyebutkan satu masalah: Jika ada dua orang yang saling berbicara dari tempat jauh, satu sama lain tidak saling melihat, yang terdengar hanyalah suaranya saja dan pembicaraannya adalah masalah akad jual beli, maka akadnya adalah sah.

Demikian pula lewat telepon. Dengan syarat, aman dari penipuan suara. Jika terjadi penipuan, maka dikembalikan kepada kaidah-kaidah umum jual beli.

Masalah 9: Jual beli lewat telegram, faksimili, atau Short Message Service (SMS)

masalah ini masuk dalam permasalahan jual beli lewat tulisan yang diperbincangkan para fuqaha.

  1.  Kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat tidak boleh. Karena adanya kemungkinan penipuan, kecuali bagi yang tidak mampu seperti orang bisu.
  2.  Kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan pendapat sejumlah ahli tahqiq dari kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah, bahwa jual belinya tetap sah, bila kedua belah pihak saling mempercayai dan aman dari penipuan. Umumnya, alat-alat ini sendiri terpercaya di kalangan masyarakat.

Pendapat inilah yang rajih (kuat). Karena yang dimaksud dalam jual beli adalah keridhaan. Dan keridhaan bisa dengan lafadz atau perbuatan, seperti tulisan. Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kita untuk menulis hutang piutang dan mendahulukan tulisan daripada gadai, dalam firman-Nya:

وَإِن كُنتُمۡ عَلَىٰ سَفَرٖ وَلَمۡ تَجِدُواْ كَاتِبٗا فَرِهَٰنٞ مَّقۡبُوضَةٞۖ

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kalian tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (al-Baqarah: 283)

Perhatian: Ini semua dengan satu syarat penting, yakni barang-barang yang dibeli tidak termasuk barang-barang yang disyaratkan harus diserah terimakan di tempat. Pembahasan masalah ini, insya’ Allah, dalam bab Riba.

Faedah: Saya (penulis) pernah bertanya kepada Syaikhuna (guru saya) Abu Abdillah Abdurrahman Mar’i Al-’Adani hafizhahullahu wa syafaahu sewaktu di Yaman, di Masjid Mazra’ah perumahan keluarga di Dammaj, tentang masalah jual beli lewat internet (secara online). Beliau menjawab (secara makna): “Tidak apa-apa, selama barang yang dibeli tersebut tidak termasuk barang yang harus diserah terimakan di tempat.” Wallahu a’lam.

SYARAT KEDUA

Orang yang melakukan akad adalah orang yang diperbolehkan menangani urusan tersebut

Dalam hal ini adalah seorang yang berakal dan baligh. Dengan syarat ini, ada beberapa orang yang diperbincangkan para ulama tentang akad jual beli mereka. Di antaranya adalah:

  1. Orang Gila

Para ulama telah sepakat bahwa akad jual beli orang gila tidaklah sah. Demikian pula orang yang sedang pingsan, dengan dasar hadits:

“Pena (takdir) diangkat dari 3 orang….”

Namun bila penyakit gilanya tidak menentu (kadang kambuh, kadang normal), maka di saat gila, tidak sah akad jual belinya. Dan di saat dia sadar, maka akadnya sah.

  1. Orang yang sedang Mabuk

Ada dua keadaan:

  1.  Mabuk secara menyeluruh (hilang ingatan)

Ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama:

–    Jumhur ulama berpendapat, tidak sah jual belinya, karena hilang ingatan dan akalnya.

–    Kalangan Hanafiyah, Syafi’iyah dan satu riwayat dari Ahmad berpendapat sah, sebagai hukuman atasnya. Mereka juga beralasan: Siapa yang tahu dia itu mabuk? Jangan-jangan dia hanya berpura-pura saja.

Yang rajih adalah pendapat jumhur, karena keadaan dia seperti orang gila, maka masuk pada hadits di atas.

2.  Mabuk tidak menyeluruh (tidak hilang ingatannya)

Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama, bahwa jual belinya sah.

  1. Anak Kecil

        Ada 2 keadaan:

  1.  Belum mumayyiz (memahami dan membedakan)

                Tidak ada perbedaan pendapat tentang ketidaksahan akad jual belinya.

2.  Telah mumayyiz

Ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama:

  1. Asy-Syafi’i dan Abu Tsaur berpendapat: Tidak sah jual belinya walaupun seizin walinya.
  2. Jumhur ulama berpendapat: Bila dengan izin dari sang wali, maka sah.

Mereka mensyaratkan, anak kecil itu tidak tertipu dengan tingkat penipuan yang parah. Bila hal ini terjadi, maka sang wali punya hak untuk meminta kembali barang yang dijual dari sang pembeli. Pada kasus seperti ini tidak sah akad jual belinya.

Faedah: Al-Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih membolehkan anak kecil berjual beli barang-barang yang remeh walaupun tanpa seizin wali. Adapun barang-barang yang mahal/besar, maka harus dengan izin wali. Wallahu a’lam bishshawab.

(bersambung bagian 2. “Syarat ke 3”)

Comments are closed.