Jual Beli Sesuai Tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (2)

SYARAT KETIGA

Barang yang diperjualbelikan harus halal dan ada unsur kemanfaatan yang mubah

Pada pembahasan syarat ini akan diuraikan benda/barang yang haram diperjualbelikan untuk dihindari. Sedangkan perkara yang mubah, tidak mungkin dapat diuraikan karena banyaknya. Sebab hukum asal sesuatu adalah halal untuk diperjualbelikan, kecuali bila ada dalil yang mengharamkannya.

Jual Beli Khamr

Khamr adalah segala sesuatu yang memabukkan, baik terbuat dari anggur, tomat atau bahan-bahan lainnya, apapun namanya, baik dulu maupun sekarang. Jual beli khamr adalah haram menurut kesepakatan para ulama, berdasarkan hadits:

Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala mengharamkan jual beli khamr dan bangkai.” (Muttafaqun ‘alaih dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu)

Pendapat yang membolehkannya adalah batil dan nyleneh. Demikian pula pendapat Abu Hanifah yang membolehkan seorang muslim mewakilkan jual beli khamrnya kepada kafir dzimmi. Semuanya batil dan bertentangan dengan hadits di atas.

Kejanggalan: Dalam Shahih Al-Bukhari diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: “Si fulan telah menjual khamr.” Maka ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu berkata: “Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memerangi si Fulan.”

Disebutkan dalam Shahih Muslim dan lainnya bahwa si fulan tersebut adalah shahabat Samurah bin Jundub radhiallahu ‘anhu. Bagaimana dengan perbuatan beliau ini?

Jawabannya: Para ulama menyebutkan beberapa udzur untuk shahabat tadi, di antaranya:

  1.  Beliau mengambil khamr tadi dari upeti Ahli Kitab, lalu beliau jual lagi kepada mereka.
  2.  Beliau tahu keharaman khamr, namun tidak tahu keharaman jual beli khamr.
    3.    Beliau menjual sari anggur kepada seseorang yang kemudian mengolahnya menjadi khamr.
  3.  Beliau telah mengolahnya menjadi cuka, lalu menjual cuka tersebut.

Jual Beli Bangkai

Bangkai adalah semua hewan yang mati dengan sendirinya tanpa disembelih dengan cara yang syar’i.

Para ulama telah sepakat bahwa bangkai tidak boleh diperjualbelikan, dengan dasar hadits yang telah lewat pada masalah khamr.

Termasuk dalam kategori bangkai adalah bagian-bagian tubuh hewan yang merupakan inti kehidupan seperti: daging, otak, lemak (gajih) serta tulang.

Masalah 10: Hukum menjual bulu hewan yang telah menjadi bangkai

Para ulama telah sepakat bahwa boleh menggunakan dan memperjualbelikan bulu hewan yang masih hidup.

Adapun hewan yang telah menjadi bangkai, maka mereka berbeda pendapat:

  1. Jumhur ulama berpendapat: Boleh diperjualbelikan.
  2. Asy-Syafi’i dan ‘Atha` berpendapat: Tidak boleh diperjualbelikan.
    Yang rajih adalah pendapat jumhur, dengan dasar firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَمِنۡ أَصۡوَافِهَا وَأَوۡبَارِهَا وَأَشۡعَارِهَآ أَثَٰثٗا وَمَتَٰعًا إِلَىٰ حِينٖ

“(Dia jadikan pula) dari bulu domba, bulu onta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu).” (an-Nahl: 80)

Ayat ini umum dan mencakup hewan yang masih hidup ataupun yang telah mati.
Juga dengan dasar hadits:

“Sesungguhnya yang diharamkan adalah memakannya.”

Sehingga boleh dipergunakan kecuali daging, tulang, gajih (lemak), dan yang semisalnya.

Masalah 11: Bolehkah menjual kulit bangkai sebelum disamak?

Perlu diketahui bahwa kulit bangkai adalah najis. Adapun kulit hewan yang disembelih dengan cara yang syar’i, maka suci dan boleh dipergunakan tanpa disamak. Adapun tentang kulit bangkai yang belum disamak, para ulama berbeda pendapat:

  1. Jumhur ulama berpendapat bahwa itu termasuk dalam kategori bangkai. Mereka berhujjah dengan hadits:

“Sesungguhnya Allah mengharamkan jual beli beli khamr dan bangkai.”

  1.  Abu Hanifah, Az-Zuhri, Al-Laits dan yang dipilih oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya, berpendapat boleh diperjualbelikan dengan dasar hadits:

“Kenapa tidak kalian manfaatkan?” (HR. Abu Dawud, no. 4120-4121. Lihat Ash-Shahihah no. 2163 dari Maimunah)

Yang rajih adalah pendapat jumhur. Wallahu a’lam. Adapun hadits Maimunah di atas, pengertiannya dibawa kepada masalah kulit bangkai yang telah disamak.

Masalah 12: Kulit bangkai yang telah disamak

Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama:

  1. Jumhur ulama berpendapat boleh diperjualbelikan.
  2. Ahmad dan Malik berpendapat tidak boleh diperjualbelikan.
    Yang rajih adalah pendapat jumhur dengan dasar hadits:

“Bila kulit telah disamak, maka telah suci.” (HR. Muslim dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma)

 

Jual Beli Babi

Para ulama telah bersepakat bahwa babi haram diperjualbelikan, dengan dasar hadits:

“Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala mengharamkan jual beli beli khamr, bangkai, dan babi.” (Muttafaqun ‘alaih, dari Jabir radhiallahu ‘anhu)

Keharaman ini juga berlaku untuk kulit dan bulu babi, menurut pendapat yang rajih. Dan ini adalah pendapat jumhur ulama.

Masalah 13: Apakah diperbolehkan beternak babi atau memeliharanya?

Hal ini tidak diperbolehkan menurut kesepakatan para ulama.

Jual Beli Patung

Yang dimaksud dengan patung di sini adalah segala sesuatu yang disembah selain Allah subhanahu wa ta’ala yang memiliki bentuk, baik terbuat dari besi, kayu ataupun batu, dan yang lainnya.

Jual beli patung tidak diperbolehkan secara mutlak dengan dasar hadits:

“Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala mengharamkan jual beli beli khamr, bangkai, babi, dan patung.” (Muttafaqun ‘alaih, dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu)

Masalah 14: Jual beli patung untuk dimanfaatkan serpihan-serpihannya

Bila telah dihancurkan maka diperbolehkan menjual atau membeli serpihan-serpihannya, sebab dia tidak lagi dalam bentuk patung. Adapun bila masih dalam wujud patung maka ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha:

  1. Jumhur ulama berpendapat tidak diperbolehkan.
  2. Sebagian ulama dari kalangan Syafi’iyah membolehkannya.
    Yang rajih adalah pendapat jumhur, karena masuk pada keumuman larangan hadits di atas. Wallahu a’lam.

Masalah 15: Hukum jual beli mainan anak-anak (boneka)

Dalam hal ini ada rinciannya yaitu:

Apabila mainan tersebut mirip dengan insan yang hakiki, bisa bersuara dan bisa menangis, atau hal-hal lain yang menyerupai ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala, maka tidak boleh diperjualbelikan. Bila tidak terdapat hal-hal di atas, maka jumhur ulama memperbolehkannya, dengan dasar hadits A’isyah radhiallahu ‘anha (Muttafaqun ‘alaih), bahwasanya dia radhiallahu ‘anha  biasa bermain dengan boneka-boneka wanita, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa memanggil teman-teman wanita ‘Aisyah untuk bermain dengannya.

Dalam riwayat Abu Dawud dan An-Nasa`i disebutkan bahwa Aisyah radhiallahu ‘anha membuat mainan kuda yang memiliki dua sayap dari sobekan kain. Wallahu a’lam.

Jual Beli Anjing

Para ulama berbeda pendapat tentang jual beli anjing:

  1. Jumhur berpendapat bahwa anjing tidak boleh diperjualbelikan secara mutlak, baik anjing kecil (anak anjing) atau anjing besar, anjing untuk berburu ataupun tidak.
    Mereka berhujjah dengan hadits:

“Nabi melarang dari harga anjing.” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Mas’ud Al-Anshari radhiallahu ‘anhu, HR. muslim dari jabir radhiallahu ‘anhu, HR. Al-Bukhari dari Abu Juhaifah radhiallahu ‘anhu)

  1. Abu Hanifah berpendapat diper-bolehkan jual beli anjing secara mutlak. Pendapat ini tidak berdasarkan dalil, bahkan bertolak belakang dengan hadits di atas.
  2. Jabir, ‘Atha`, dan Ibrahim An-Nakha’i berpendapat tidak diperbolehkan jual beli anjing, kecuali anjing untuk berburu. Mereka berhujjah dengan lafadz tambahan pada hadits di atas dalam riwayat An-Nasa`i (7/309, no. 4669):

“Kecuali anjing berburu.”

Yang rajih –wallahu a’lam– adalah pandapat jumhur, berdasarkan nash hadits di atas. Adapun lafadz tambahan pada hadits di atas yang menyebutkan pengecualian, derajatnya dha’if. Bahkan An-Nasa`i sendiri menyatakan mungkar. Di antara ulama ahli hadits yang mendha’ifkan adalah An-Nasa`i, At-Tirmidzi, Ad-Dara-quthni. Bahkan An-Nawawi dalam syarah muslim dan Al-Majmu’ menyatakan: “Tambahan ini dha’if, dan ini adalah kesepakatan ahli hadits. Wallahu a’lam.”

Termasuk yang tidak diperbolehkan adalah menyewakan anjing. Karena sewa- menyewa termasuk bab jual beli, sementara anjing merupakan hewan yang haram diperjualbelikan, sama halnya dengan babi.

Masalah 16: Hukum jual beli hewan yang telah dimumi atau diawetkan

Tidak boleh memperjualbelikan hewan yang telah dimumi, baik dalam bentuk burung ataupun yang lainnya, baik dari hewan yang halal dipelihara ataupun yang haram dipelihara. Alasannya adalah:

  1. Termasuk celah/pintu menuju kesyirikan.
  2. Penyebab tersebar luasnya gambar makhluk hidup.
  3. Menyia-nyiakan harta.
  4. Termasuk tindakan pemborosan (tabdzir/israf).

Demikian kesimpulan secara ringkas fatwa dari Al-Lajnah Ad-Da`imah (Komisi Fatwa Dewan Ulama Besar Kerajaan Saudi Arabia) yang diketuai Asy-Syaikh Ibnu Baz, Wakil: Asy-Syaikh Abdur Razzaq Afifi, Anggota: Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan (11/715, no. fatwa 5350). Ini juga merupakan fatwa ‘Permata Yaman’ Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah.

Jual Beli Kucing

Ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama:

  1. Jumhur berpendapat, boleh memperjualbelikan kucing
  2. Tidak diperbolehkan jual beli kucing. Ini adalah pendapat Abu Hurairah, Mujahid, Thawus, Jabir bin Zaid, Azh-Zhahiriyah, satu riwayat dari Ahmad. Dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnul Qayyim, Ibnu Rajab, dan dirajihkan oleh Ash-Shan’ani serta Asy-Syaukani.

Permasalahan ini sesungguhnya kembali kepada derajat hadits Jabir radhiallahu ‘anhu, riwayat Muslim (no. 1569):

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari harga anjing dan kucing.”

Para ulama berbeda pendapat tentang derajatnya.

Al-Imam Ahmad, Ibnu Abdil Barr, Al-Khaththabi, Ibnul Mundzir dan selain mereka berpendapat hadits ini dha’if. At-Tirmidzi menyatakan sanadnya goncang (mudhtharib). Adapula yang menyatakan mauquf, yakni ucapan Jabir radhiallahu ‘anhu dan bukan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebagian ulama yang lain meyakini keshahihannya.

Jual Beli Darah

Para ulama berbeda pendapat, apakah yang dimaksud dengan larangan jual beli beli darah? Apakah upah dari bekam (pengobatan untuk mengeluarkan darah kotor) ataukah jual beli darah itu sendiri?

Yang rajih dari penjelasan para ulama adalah larangan jual beli darah itu sendiri, dengan dalil firman Allah subhanahu wa ta’ala:

حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةُ وَٱلدَّمُ

“Diharamkan atas kalian (memakan) bangkai dan darah…” (al-Ma`idah: 3)

Adapun hadits yang melarang jual beli darah, diriwayatkan dari shahabat Abu Juhaifah radhiallahu ‘anhu, riwayat Al-Bukhari (no. 2238). Disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Mengharamkan harga darah.”

Jual beli darah hukumnya haram dengan kesepakatan para ulama, demikian dinukil Al-Hafizh.

Faedah: Dikecualikan dari hukum darah adalah hati dan jantung, dengan dasar hadits Ibnu ‘Umar, riwayat Ahmad (2/97), Ibnu Majah (1037), Al-Baihaqi dalam Al-Kubra (1/254), yang dirajihkan oleh Abu Zur’ah dan Abu Hatim bahwa ucapan ini mauquf (ucapan Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma) namun dihukumi marfu’ (sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Lihat Al-Maqashidul Hasanah (36) hal. 67.

Masalah 17: Memindahkan darah dari satu jasad ke jasad lain (donor darah)

Hal ini termasuk dalam keharaman di atas. Tidak diperbolehkan makan darah, baik langsung dengan mulut, lewat infus, atau dengan cara lainnya. Kecuali dalam keadaan darurat maka diperbolehkan, dengan syarat sang pendonor tidak menjual darahnya kepada pihak yang membutuhkan. Juga tidak mensyaratkan bayaran baik secara dzahir maupun batin.

Syarat secara dzahir sangat jelas. Adapun secara batin ialah kebiasaan masyarakat setempat. Misalnya setiap ada orang yang donor darah pasti diberi sejumlah uang, jika tidak dia pasti marah.

Ini adalah fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah no. 8096, yang diketuai Asy-Syaikh Ibnu Baz, Wakil: Asy-Syaikh Abdur Razzaq Afifi, Anggota: Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan.

Dalilnya adalah hadits di atas. Juga hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma:

“Sesungguhnya jika Allah subhanahu wa ta’ala mengharamkan atas suatu kaum memakan sesuatu, Allah subhanahu wa ta’ala juga mengharamkan atas mereka harganya.” (HR. Ahmad, 3/370 dan Abu Dawud no. 3488. Dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad 1/471)

Masalah 18: Jual beli misk

Misk adalah darah yang berkumpul pada pusar kijang setelah dia berlari kencang, lalu diikat beberapa saat hingga terlepas dari badan kijang tersebut. Dari inilah kemudian dibuat minyak wangi misk. Sehingga asal misk adalah darah.
Apakah misk itu suci atau boleh diperjualbelikan?

Ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama:

  1. Al-Hasan Al-Bashri dan ‘Atha` memakruhkan jual beli misk.
  2. Jumhur ulama berpendapat boleh diperjualbelikan dan suci.

Al-Hafizh dalam Al-Fath pada penjelasan hadits no. 2101 menjelaskan:

“Hadits ini menunjukkan bolehnya jual beli misk dan hukumnya suci, sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji dan menyukainya. Di sini terdapat bantahan terhadap ulama yang memakruhkannya, sebagaimana dinukil dari Al-Hasan Al-Bashri, ‘Atha` dan yang lainnya. Kemudian perbedaan pendapat ini berakhir, dan tetaplah ijma’ (kesepakatan ulama) atas sucinya misk dan kebolehan memperjualbelikannya.”

Jual Beli Perkara yang Diharamkan

Yang dimaksud dengan perkara yang diharamkan di sini meliputi 2 hal:

  1. Barang yang diharamkan untuk dimakan ataupun dimanfaatkan, seperti babi dan patung.
  2. Barang yang diharamkan untuk dimakan, namun bisa diambil manfaatnya.

Masalah 19: Bagaimana dengan perkara yang boleh dijual namun tidak boleh dimakan, seperti keledai peliharaan, bighal, dan budak?

Jawab: Bila dijual dengan tujuan untuk dimakan, maka hukumnya haram, masuk pada hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma di atas. Bila dijual untuk diambil manfaatnya, maka diperbolehkan. Wallahu a’lam.

Dalam bab ini terdapat masalah yang cukup banyak, di antaranya jual beli pupuk yang terbuat dari kotoran.

Pupuk sendiri ada 2 jenis:

  1. Terbuat dari kotoran hewan, seperti kambing, sapi dan lain-lain.
    Bagi ulama yang berpendapat bahwa kotoran hewan tidak najis, maka memperbolehkan jual beli kotoran unta, sapi, kambing, dan lain sebagainya untuk pupuk tanah.
  2. Terbuat dari kotoran manusia, yang merupakan najis.
    Pendapat yang rajih, insya Allah, adalah diperbolehkan jual beli kotoran manusia untuk pupuk. Ini adalah satu pendapat madzhab Maliki, Abu Hanifah, Ibnu Hazm, dan pendapat ini yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, yang berhujjah dengan keumuman ayat:

وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ

“Dan Allah menghalalkan jual beli.” (al-Baqarah: 275)

Masalah 20: Jual beli alat-alat musik

Jumhur ulama menyatakan keharamannya karena dalil-dalil yang tegas menunjukkan keharaman alat-alat musik. Asy-Syaikh Al-Albani mempunyai risalah khusus tentang masalah ini, lengkap dengan dalil dan bantahannya terhadap syubhat yang membolehkannya.

Di antara ulama yang tergelincir dan membolehkan jual beli alat-alat musik adalah Ibnu Hazm dan Abu Turab Azh-Zhahiri. Asy-Syaikh Hamud At-Tuwaijiri telah membantahnya dalam risalah khusus dengan bantahan tuntas dan memuaskan. Wabillahit Taufiq.

Faedah: Bila alat-alat musik telah dihancurkan atau dipecahkan, maka jumhur ulama berpendapat tidak boleh diperjualbelikan untuk diambil manfaatnya. Wallahu a’lam.

Masalah 21: Jual beli minyak atau pelumas yang najis

Misalnya gajih pada bangkai bila dileburkan, masih melekat sifat najisnya. Tentang hukumnya, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama:

  1. Abu Hanifah dan Laits membolehkannya.
  2. Jumhur ulama mengharamkannya. Dan inilah pendapat yang rajih dengan dasar hadits Jabir radhiallahu ‘anhu:

“Tidak boleh (jual beli gajih bangkai), dia haram.” (Muttafaqun ‘alaih)

Juga hadits yang telah lewat:

“Sesungguhnya Allah mengharamkan jual beli khamr dan bangkai.”

Faedah: Adapun minyak yang kejatuhan benda najis, maka yang rajih, insya Allah, adalah boleh diperjualbelikan dan disucikan dengan cara:

–    Ditambahkan minyak yang cukup banyak

–    Dimasak hingga mendidih

–    Dijemur dan diangin-anginkan hingga hilang najisnya.

Masalah 22: Jual beli binatang buas

Binatang buas dalam masalah ini ada 2 macam:

  1. Yang bisa dipakai untuk berburu

Jumhur ulama membolehkan jual belinya dalam rangka diambil manfaatnya untuk berburu, dan boleh pula dipelihara sebab tidak ada ancaman bagi orang-orang yang memeliharanya.

  1. Tidak bisa dipakai berburu

Jumhur ulama berpendapat tidak boleh diperjualbelikan, dengan dua alasan:

–    Larangan dari semua binatang buas yang bertaring

–    Menyia-nyiakan harta

Lihat Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah no. 18564, Ketua: Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz Alu Syaikh, Anggota: Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid, Asy-Syaikh Shalih Fauzan, dan Asy-Syaikh Abdullah Al-Ghudayyan.

Masalah 23: Jual beli monyet

Monyet termasuk hewan yang haram dimakan. Dalil terkuat adalah bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengubah bentuk orang-orang Yahudi menjadi monyet.

Adapun masalah jual beli monyet, maka Al-Lajnah Ad-Da`imah (no. 18564) berfatwa: “Tidak diperbolehkan jual beli kucing, monyet, anjing dan binatang buas yang bertaring/yang berkuku tajam yang sejenisnya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang dan menegurnya. Juga hal ini termasuk menyia-nyiakan harta, sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang perbuatan tersebut.” Ketua: Asy-Syaikh Ibnu Baz, Wakil: Asy-Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh, Anggota: Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid, Asy-Syaikh Shalih Fauzan, dan Asy-Syaikh Abdullah Al-Ghudayyan. Wallahu a‘lam.[1]

Masalah 24: Jual beli burung

Burung diklasifikasikan oleh para ulama menjadi dua, yaitu:

  1.  Yang bisa diambil manfaat dari warna atau suaranya yang indah.

Jumhur ulama berpendapat boleh memperjualbelikannya, karena melihat atau mendengarkan suara burung adalah perkara yang mubah. Tidak ada dalil yang melarangnya. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada saudara Anas yang masih kecil:

“Wahai Abu ‘Umair, apa yang dilakukan oleh si Nughair (burung kecil miliknya)…”

Pendapat ini yang dikuatkan oleh Al-Lajnah Ad-Da`imah (fatwa no. 18248) Ketua: Asy-Syaikh Ibnu Baz, Wakil: Asy-Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh, Anggota: Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid, Asy-Syaikh Shalih Fauzan, dan Asy-Syaikh Abdullah Al-Ghudayyan.

  1.  Yang tidak ada manfaatnya.

Jumhur ulama tidak memperbolehkan. Namun bila ada unsur kemanfaatan yang lain, seperti untuk bulu panah dan yang semisalnya maka diperbolehkan. Wallahu a’lam.

 

Masalah 25: Jual beli hasyarat (serangga, hewan kecil)

Tentang hal ini juga ada rinciannya:

  1. Tidak ada unsur kemanfaatannya, seperti: Kumbang kelapa, kalajengking, ular berbisa, tikus, dan yang semisalnya.

Hewan seperti di atas tidak boleh diperjualbelikan karena tidak ada unsur manfaat. Juga termasuk menyia-nyiakan harta. Bahkan sebagiannya termasuk hewan yang diperintahkan untuk dibunuh, karena membahayakan.

  1. Ada unsur kemanfaatannya seperti: cacing untuk memancing ikan, lintah untuk menyerap darah kotor akibat gigitan anjing, atau yang semisalnya.

Yang rajih di antara pendapat ulama adalah boleh diperjualbelikan untuk kemanfaatan tersebut. Ini adalah pendapat mazhab hanbali dan pendapat yang shahih pada madzhab Syafi’i.

Masalah 26: Jual beli ulat sutra dan benihnya

Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama:

  1. Jumhur berpendapat boleh, karena dia adalah hewan yang suci.
  2. Abu hanifah berpendapat tidak boleh. Dalam riwayat lain disebutkan, boleh bila disertai sutranya. Bila tidak, maka tidak boleh diperjualbelikan karena termasuk serangga yang tidak ada kemanfatannya.

Yang rajih adalah pendapat jumhur ulama dan tidak ada yang melarangnya kecuali abu hanifah saja.

Masalah 27: Jual beli lebah

Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama:

  1. Jumhur ulama berpendapat boleh, karena suci dan bermanfaat.
  2. Abu Hanifah berpendapat tidak boleh, kecuali dengan madunya.
    Yang rajih adalah pendapat jumhur ulama.

Masalah 28: Jual beli lebah dalam sarangnya

Bila diketahui jumlahnya berdasarkan pengalaman seorang ahli atau dilihat dari keluar masuknya, maka diperbolehkan. Bila tidak diketahui, maka sebagian ulama melarangnya karena termasuk jual beli sesuatu yang majhul (tidak diketahui).

Masalah 29: Jual beli ular

Tidak diperbolehkan, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk membunuhnya.

Bila telah dibunuh, apakah boleh diperjualbelikan? Jawabannya: Tetap tidak boleh, karena termasuk kategori bangkai, sementara bangkai tidak boleh diperjualbelikan.

Masalah 30: Jual beli perkara mubah yang ada unsur keharamannya, seperti sepeda yang ada musiknya, mobil yang ada gambar makhluk bernyawa, dan yang semisalnya.

Dalam masalah ini ada rinciannya:

  1. Bila yang dituju dalam jual beli adalah perkara yang haram tersebut, seperti musik atau gambar bernyawanya, maka hukumnya haram.
  2. Bila yang dituju adalah barang-barang yang mubah, maka diperbolehkan. Dengan syarat, menghilangkan perkara yang haram tadi, dengan mencongkel alat musiknya atau merusak gambarnya.

Masalah 31: Jual beli majalah atau koran yang ada gambar makhluk bernyawa

Masalah ini ada 2 macam:

  1.  Majalah atau surat kabar yang penuh dengan gambar wanita telanjang atau semi telanjang.

Jual beli majalah seperti ini hukumnya haram, sebab gambar itulah yang dijadikan sajian utamanya. Juga merupakan jalan menuju kepada tindakan keji dan kejahatan, sekaligus termasuk perbuatan tolong-menolong di atas dosa dan permusuhan. Demikian fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah (no 8321 dan 14816).

  1. Majalah atau surat kabar harian atau yang berisikan berita politik dan yang semisalnya.

Asy-Syaikh Ibnu Baz dan Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin menjelaskan bahwa hal ini tidak mengapa. Karena gambar (makhluk bernyawa) tersebut bukanlah sajian utamanya, bukan pula maksud dia membelinya.

Rincian di atas dikomentari oleh Syaikhuna Abdurrahman Al-‘Adani dengan ucapannya: “Rincian yang bagus.” Wallahul muwaffiq.

Jual Beli Air

Diriwayatkan oleh Ahmad (3/417 dan 4/138), Abu Dawud (no. 3478), An-Nasa`i (no. 4662), dan At-Tirmidzi (no. 1271) dengan sanad yang dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dalam Shahihul Musnad (1/100) dari Iyas bin Abdullah:

“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli sisa air.”

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya (1565) dari Jabir radhiallahu ‘anhu dengan lafadz yang semakna. Diriwayatkan juga dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu (Muttafaqun ‘alaih) dengan lafadz:

“Tidak boleh dihalangi dari kelebihan air sehingga menghalangi kelebihan rerumputan.”

Maksudnya, janganlah melarang orang memberi minum ternaknya, karena akan berakibat mereka terhalang menggembalakan ternaknya di sana. (Karena mereka tidak tidak bisa menggembalakan ternak kecuali bila mendapatkan air untuk ternaknya itu, ed). Wallahu a’lam.

Masalah jual beli air ada perincian di kalangan ulama sebagai berikut:

  1. Air yang telah ditampung oleh seseorang dalam jerigen, gentong, tandon, atau tempat-tempat yang lain

Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama:

  1. Sebagian Syafi’iyah berpendapat, air yang tertampung dalam sebuah tempat, maka si empunya lebih berhak atas air tersebut daripada orang lain. Hanya saja air itu tidak boleh dimiliki dan dijual.
  2. Ibnu Hazm melarang jual beli air secara mutlak, berpegang dengan dzahir hadits di atas.
  3. Jumhur ulama menyatakan kebolehannya, dengan dasar hadits Az-Zubair bin Al-’Awwam radhiallahu ‘anhu, riwayat Al-Bukhari:

“Sungguh salah seorang di antara kalian mengambil talinya, lalu memikul seikat kayu kering di atas punggungnya kemudian menjualnya hingga Allah menahan wajahnya dengan itu, lebih baik daripada mengemis (meminta-minta) kepada orang yang entah diberi ataukah tidak.”

Hadits ini menunjukkan bolehnya berjual beli idzkhir (nama sejenis tanaman), padahal idzkhir termasuk kategori al-kala`. Demikian pula air jika sama-sama sudah ditampung di tempatnya. Keduanya masuk dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Manusia[2] berserikat (kongsi) dalam 3 perkara: air, rumput/tetumbuhan, dan api.”

Yang rajih adalah pendapat jumhur ulama. Atas dasar ini, bila ada seseorang yang datang ke padang pasir luas dan tak bertuan, lalu dia menemukan mata air, sumur atau yang semisalnya kemudian dipagari sebagai tanda kepemilikannya, lalu dia pasang pompa air, pipa dan peralatan lainnya, maka dia boleh menjualnya.

  1. Danau dan sungai besar

Air seperti ini tidak boleh dimiliki dan diperjualbelikan, karena semua orang berhak atas air itu. Sampai-sampai kalangan Syafi’iyah menyatakan: “Jual beli air yang demikian hanya menghambur-hamburkan harta.”

 

Masalah 32: Sungai kecil dan mata air yang mengalir di perbukitan/ pegunungan

Air seperti ini tidak boleh diperjual belikan, karena semua orang berhak atasnya. Yang paling berhak adalah yang paling dekat dengan air tersebut. Dia boleh menyirami tanaman dan mengairi sawahnya hingga mencapai kedua mata kakinya, lalu dialirkan ke tetangganya. Dengan dasar hadits Az-Zubair radhiallahu ‘anhu, riwayat Al-Bukhari dan lainnya:

“Airi (sawahmu) wahai Zubair, hingga air kembali ke al-jadr[3] lalu alirkan ke tetanggamu.”

Kembalinya air sampai ke al-jadr diukur oleh para ulama adalah setinggi kedua mata kaki.

  1. Sumur dan mata air yang mengalir dari tanah berpemilik

Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama:

  1. Satu riwayat dari Ahmad, satu sisi pendapat dari Syafi’iyah, dan ini adalah pendapat sejumlah ulama dan dinisbatkan kepada jumhur ulama: Boleh dimiliki dan diperjualbelikan, sedangkan orang lain tidak mempunyai hak, selain pemiliknya.
  2. Riwayat lain dari Ahmad, dzahir madzhab Hambali, dan satu sisi pendapat Syafi’iyah. Dan ini adalah pendapat yang dipegang oleh kalangan ulama ahli tahqiq: Tidak boleh dimiliki dan diperjualbelikan. Namun si empunya lebih berhak atas air tersebut. Dia ambil secukupnya untuk keluarga, tanaman dan hewan ternaknya, lalu diberikan kepada orang lain.

Pendapat inilah yang rajih, karena keumuman hadits di atas yang melarang jual beli sisa air. Namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

– Bila dia yang menggali sumur itu hingga memancarkan air dan mengeluarkan biaya untuk itu, dia boleh melarang orang lain untuk mengambil air dari sumurnya sampai kembali biaya yang dikeluarkannya. Ini adalah fatwa Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i.

– Bila sumur tadi tidak mencukupi kebutuhan dia sehari-hari, dia diperbolehkan melarang orang yang datang untuk mengambil airnya. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya melarang jual beli sisa air, sementara dalam kondisi ini tidak ada air yang tersisa.

–  Bila sumur tadi berada di dalam rumah, sedangkan keluar masuknya orang lain akan membuat keluarganya terlihat atau merasa keberatan, dia boleh melarang orang untuk masuk kecuali pada waktu-waktu tertentu.

Wallahu a’lam bish-shawab.

(Bersambung syarat ke 4….)

[1]  Dalam masalah ini ada pendapat lain yang membolehkan jual beli monyet jika bisa dimanfaatkan, seperti untuk jaga toko. (Syarhul Buyu’, hal .18, -ed)

[2]  Hadits ini dengan lafadz tersebut yaitu an-naas (manusia) dihukumi syadz (ganjil/keliru) oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah. Riwayat yang benar adalah dengan lafadz al-muslimun (kaum muslimin). Lihat Al-Irwa` (6/6-8). –ed

[3]  Makna al-jadr adalah pangkal pohon korma atau penahan air, -ed.