Wahyu Turun Menjawab Masalah Seorang Wanita

Betapa dimuliakannya wanita dalam Islam. Bagaimana pun upaya musuh-musuh agama ini untuk mengaburkan kemuliaan tersebut, mereka tidak akan berhasil. Hanya orang-orang bodoh dan suka mengikuti hawa nafsu yang bisa mereka tipu, hingga ikut menuduh seperti tuduhan mereka.

Ayat Allah ‘azza wa jalla berikut ini pasti membuat orang-orang kafir putus asa dari makar mereka.

يُرِيدُونَ لِيُطۡفِ‍ُٔواْ نُورَ ٱللَّهِ بِأَفۡوَٰهِهِمۡ وَٱللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِۦ وَلَوۡ كَرِهَ ٱلۡكَٰفِرُونَ ٨

        “Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka sementara Allah menyempurnakan cahaya-Nya walaupun orang-orang kafir itu benci.” (ash-Shaf: 8)

Ada lima pendapat mufassirin, kata al-Imam al-Qurthubi rahimahullah, tentang maksud ‘cahaya (nur) Allah’:

1 . Al-Qur’an, mereka ingin membatilkannya dan mendustakannya dengan perkataan. Demikian pendapat Ibnu Abbas dan Ibnu Zaid radhiallahu ‘anhuma.

  1. Islam, mereka ingin menolaknya dengan ucapan-ucapan. Demikian kata as-Suddi rahimahullah.
  2. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam , mereka ingin membinasakan beliau dengan goncangan-goncangan. Demikian pendapat adh-Dhahhak rahimahullah.
  3. Hujah-hujah dan bukti-bukti dari Allah ‘azza wa jalla, mereka ingin membatilkannya dengan pengingkaran dan pendustaan mereka. Demikian kata Ibnu Bahr rahimahullah.
  4. Permisalan yang dibuat, yaitu siapa yang ingin memadamkan cahaya matahari dengan mulutnya, niscaya dia dapati itu mustahil, tidak akan sanggup dia lakukan, demikian pula bagi siapa yang ingin membatilkan al-haq. Ini dihikayatkan dari Ibnu Isa rahimahullah.

 

Menurut Atha rahimahullah , menuki ‘azza wa jalla keterangan dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, sebab turunnya (sabab an-nuzul) ayat ini adalah wahyu dari langit pernah terlambat turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai 40 hari.

Seorang Yahudi, Ka’b ibnul Asyraf, berkata, “Wahai sekalian orang Yahudi, bergembiralah kalian! Sungguh, Allah telah memadamkan cahaya Muhammad dalam apa yang Dia turunkan kepada Muhammad. Allah tidak akan menyempurnakan urusan Muhammad.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersedih. Allah ‘azza wa jalla lalu menurunkan ayat ini. Setelah itu, turunlah wahyu secara berkesinambungan (tidak terputus).

Allah ‘azza wa jalla menyempurnakan cahaya-Nya dengan memenangkannya di berbagai penjuru ufuk. (al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, 18/56)

Banyak bukti yang menunjukkan pemuliaan dan perhatian Islam terhadap wanita. Salah satunya adalah pernah turun wahyu dari langit untuk menjawab keluhan seorang wanita dan memberikan solusi atas masalahnya.

Anda pernah membaca surah al-Mujadilah, kan? Itulah wahyu yang kita maksudkan di sini.

Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha, menyampaikan,

تَبَارَكَ الَّذِي أَوْعَى سَمْعهُ كُلّ شَيْءٍ إِنِّي لَأَسْمَعُ كَلاَمَ خَوْلَةَ بِنْتِ ثَعْلَبةَ وَيَخْفَى عَلَيَّ بَعْضُهُ وَهِيَ تَشْتَكِي زَوْجَهَا إِلَى رَسُوْلِ اللهِ وَهِيَ تَقُوْلُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَكَلَ مَالِيْ، وَأَفْنَى شَبَابِي، وَنَثَرْتُ لَهُ بَطْنِي، حَتَّى إِذَا كَبُرَتْ سِنّيِ وَانْقَطَعَ وَلَدِي ظَاهَرَ مِنّيِ. اللَّهُمَّ إِنِّي أَشْكُوْ إِلَيْكَ.

قَالَتْ: فَمَا بَرِحَتْ حَتَّى جَاءَ جِبْرِيْلُ بِهَذِهِ ا يْآلَةِ:

قَدۡ سَمِعَ ٱللَّهُ قَوۡلَ ٱلَّتِي تُجَٰدِلُكَ فِي زَوۡجِهَا وَتَشۡتَكِيٓ إِلَى ٱللَّهِ وَٱللَّهُ يَسۡمَعُ تَحَاوُرَكُمَآۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعُۢ بَصِيرٌ ١

Mahasuci Dzat yang pendengaran-Nya meliputi segala sesuatu. Sungguh, aku mendengar ucapan Khaulah bintu Tsa’labah dan sebagiannya tidak terdengar olehku.

Dia mengeluhkan suaminya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan berkata, “Wahai Rasulullah, dia telah memakan hartaku, menghabiskan masa mudaku, dan aku telah melahirkan banyak anak untuknya. Ketika usiaku telah tua dan tidak bisa melahirkan lagi, dia menzhiharku. Ya Allah, aku adukan hal ini kepada-Mu.”

Kata Aisyah, “Tidaklah berapa lama hingga datang Jibril dengan ayat ini (yang artinya), ‘Sungguh, Allah telah mendengar ucapan seorang wanita yang mendebatmu dalam urusan suaminya dan mengadu kepada Allah. Allah mendengar percakapan antara kalian berdua (Rasul dan wanita tersebut). Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat’.” (HR. Ibnu Abi Hatim, dibawakan oleh al-Imam ath-Thabari rahimahullah dalam tafsirnya, 23/226)

Dalam riwayat al-Imam Ahmad rahimahullah (6/46), disebutkan bahwa Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,

“Mahasuci Allah yang pendengaran-Nya luas meliputi semua suara. Sungguh, pernah datang seorang wanita kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia berbicara kepada Nabi sedangkan aku berada di satu sisi rumah. Aku tidak mendengar apa yang diucapkan wanita tersebut.

 

Allah ‘azza wa jalla pun menurunkan ayat,

قَدۡ سَمِعَ ٱللَّهُ قَوۡلَ ٱلَّتِي تُجَٰدِلُكَ فِي زَوۡجِهَا وَتَشۡتَكِيٓ إِلَى ٱللَّهِ وَٱللَّهُ يَسۡمَعُ تَحَاوُرَكُمَآۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعُۢ بَصِيرٌ ١

        “Sungguh, Allah telah mendengar ucapan seorang wanita yang mendebatmu dalam urusan suaminya dan mengadu kepada Allah. Allah mendengar percakapan antara kalian berdua (Rasul dan wanita tersebut). Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (al-Mujadilah: 1)

Diriwayatkan pula oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah dalam Shahih-nya, pada “Kitab at-Tauhid”, secara mu’allaq (tanpa membawakan sanad), an-Nasa’i, Ibnu Majah, dll. (ash-Shahihul Musnad min Asbab an-Nuzul, asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah, hlm. 235)

Wahyu di atas turun dari atas langit sebagai jawaban atas keluhan Khaulah bintu Tsa’labah radhiallahu ‘anha, seorang wanita salihah, yang mengadukan perkaranya kepada Allah ‘azza wa jalla dan mendebat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkait urusannya dengan suaminya, Aus bin ash-Shamit radhiallahu ‘anhu.

Disebutkan bahwa Aus menzhihar[1] istrinya, kemudian pergi begitu saja. Khaulah, sang istri, datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta fatwa tentang masalahnya dan mengadukan urusannya kepada Allah ‘azza wa jalla.

Riwayat al-Imam Ahmad rahimahullah (6/410) berikut ini lebih menjelaskan kisahnya.

Khuwailah[2] bintu Tsa’labah berkata,

“Demi Allah, tentang aku dan Aus bin ash-Shamit lah, Allah ‘azza wa jalla menurunkan awal ayat surat al-Mujadilah.” Khuwailah lalu berkisah….

Aku adalah istri Aus. Dia sudah tua renta, telah buruk perilakunya. Suatu hari dia menemuiku, aku menjawab (membantah) ucapannya dalam suatu urusan. Dia marah hingga berkata, ‘Kamu bagiku seperti punggung ibuku[3].’

Lalu dia keluar rumah. Dia duduk di tempat perkumpulan kaumnya beberapa waktu.

Aus masuk lagi ke rumah menemuiku, ternyata dia “menginginkan” diriku.

Aku katakan, “Jangan, demi Dzat yang jiwa Khuwailah berada di tangan-Nya. Janganlah kamu menggauliku karena kamu telah mengatakan apa yang kamu katakan, sampai Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya memutuskan urusan kita ini dengan hukum-Nya.”

Aus pun melompat untuk menguasaiku, namun aku menolaknya dan bisa mengalahkannya dengan kemampuan seorang wanita saat menghadapi lelaki tua yang lemah. Aku pun mendorongnya dariku.

Aku lalu keluar rumah menuju seorang tetanggaku. Aku pinjam darinya sebuah pakaian, lalu pergi menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku duduk di hadapan beliau. Aku ceritakan kepada beliau apa yang aku dapati dari Aus. Mulailah aku mengadu kepada beliau atas buruknya perilaku Aus yang aku dapati.

Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Khuwailah, anak pamanmu itu (suamimu) adalah lelaki yang sudah tua. Bertakwalah engkau kepada Allah ‘azza wa jalla terkait dengan urusannya.”

“Demi Allah!” lanjut Khuwailah, “Aku terus-menerus mengadukan urusanku hingga turun ayat tentangku.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengalami apa yang biasa dialami manakala wahyu sedang turun. Setelah selesai, hilanglah apa yang tampak berat bagi beliau. Beliau lalu berkata kepadaku, “Wahai Khuwailah, Allah ‘azza wa jalla telah menurunkan ayat tentang urusanmu dan suamimu.”

Kemudian beliau membacakan kepadaku ayat,

قَدۡ سَمِعَ ٱللَّهُ قَوۡلَ ٱلَّتِي تُجَٰدِلُكَ فِي زَوۡجِهَا وَتَشۡتَكِيٓ إِلَى ٱللَّهِ وَٱللَّهُ يَسۡمَعُ تَحَاوُرَكُمَآۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعُۢ بَصِيرٌ ١

sampai firman-Nya,

وَلِلۡكَٰفِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ ٤

 

“Suruhlah Aus untuk memerdekakan seorang budak,” kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadaku.

“Wahai Rasulullah, dia tidak punya apa-apa yang bisa digunakan untuk memerdekakan budak,” jawab Khuwailah.

“Kalau begitu, suruh dia puasa dua bulan berturut-turut,” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan solusi berikutnya.

“Demi Allah, dia lelaki tua yang sudah tidak mampu puasa,” jawab Khuwailah.

“Jika demikian, hendaknya dia memberi makan 60 orang miskin dengan satu wasaq[4] kurma,” titah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Demi Allah, wahai Rasulullah, dia tidak punya makanan tersebut,” jawab Khuwailah mengisyaratkan kemiskinan suaminya.

“Kami akan bantu dia dengan satu ‘araq[5] kurma,” kata Rasulullah.

“Wahai Rasulullah, saya juga akan membantunya dengan satu ‘araq.”

Rasulullah menanggapi, “Kamu benar dan telah berbuat baik. Pergilah lalu bersedekahlah dengan kurma tersebut untuk melepaskan suamimu dari masalahnya. Kemudian berbuat baiklah terhadap anak pamanmu itu.”

Kata Khuwailah, “Aku pun melakukan pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud no. 2214 dengan sanad yang dinilai hasan oleh al-Imam al-Albani rahimahullah dalam Shahih Abi Dawud)

 

Hukum Zhihar

Terkait kasus Khaulah inilah ditetapkan hukum zhihar dan solusi untuk lepas darinya.

Hukum seorang suami menzhihar istrinya adalah haram berdasar al-Qur ’an, as-Sunnah, dan ijma’ (kesepakatan kaum muslimin).

Dari al-Qur’an, dalil pengharamannya adalah ayat,

          وَإِنَّهُمۡ لَيَقُولُونَ مُنكَرٗا مِّنَ ٱلۡقَوۡلِ وَزُورٗاۚ

“Sungguh mereka mengucapkan ucapan yang mungkar dan dusta.” (al-Mujadilah: 2)

Berucap mungkar dan dusta termasuk dosa besar. Sebab, makna ucapan suami yang menzhihar istrinya, “Engkau seperti punggung ibuku” adalah istrinya haram dia gauli sebagaimana ibunya haram baginya. Padahal Allah ‘azza wa jalla berfirman,

مَّا هُنَّ أُمَّهَٰتِهِمۡۖ إِنۡ أُمَّهَٰتُهُمۡ إِلَّا ٱلَّٰٓـِٔي وَلَدۡنَهُمۡۚ

“Istri-istri (para suami yang melakukan zhihar) bukanlah ibu-ibu mereka. Karena ibu-ibu mereka tidak lain kecuali perempuan-perempuan yang telah melahirkan mereka.” (al-Mujadilah: 2)

Dari as-Sunnah, dalilnya hadits Khaulah di atas.

Adapun ijma’ pengharaman zhihar dinyatakan oleh Ibnul Mundzir rahimahullah. (Taudhihul Ahkam, 5/534)

Bagaimana apabila ada suami yang mengucapkan kalimat zhihar dengan bercanda, apakah berlaku ketentuan zhihar terhadapnya?

Jawabannya bisa didapatkan dari penjelasan al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah terhadap akhir ayat ke-2 surah al- Mujadilah. Allah ‘azza wa jalla menutup ayat ke-2 dengan firman-Nya,

وَإِنَّ ٱللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٞ ٢

“Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”

Kata beliau rahimahullah, “Sungguh, Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun terhadap apa yang kalian lakukan dalam keadaan jahiliah. Demikian pula Allah ‘azza wa jalla memaafkan dan mengampuni ucapan yang keluar dari lisan tanpa sengaja, si pengucap tidak memaksudkan hal tersebut sama sekali. Namun, apabila si pengucap memang memaksudkan demikian, istrinya haram ‘digauli’[6]. (al-Mishbah al-Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, hlm. 1373)

 

Pelajaran dari Ayat Zhihar

  1. Kelembutan Allah ‘azza wa jalla kepada para hamba-Nya dan perhatian-Nya

terhadap mereka

Perhatikanlah, Allah ‘azza wa jalla menyebutkan keluhan si wanita yang sedang dibelit problem, kemudian Allah ‘azza wa jalla menghilangkan kesulitannya. Bahkan, Allah ‘azza wa jalla menurunkan hukum yang bersifat umum bagi siapa saja yang mengalami masalah sepertinya.

  1. Zhihar diharamkan karena Allah ‘azza wa jalla menyebutnya sebagai ucapan mungkar.
  2. Kafarah zhihar ditunaikan manakala si suami ingin ‘aud (kembali). Tentang makna ‘aud, ada yang mengatakan bahwa maksudnya adalah suami berkeinginan untuk menggauli istrinya yang semula dizhihar. Ada pula yang berpendapat maknanya jima’ itu sendiri.
  3. Hikmah diwajibkannya kafarah sebelum jima’ adalah lebih mendorong si suami untuk menunaikan kafarahnya. Sebab, saat dia “berkeinginan” dan tidak mungkin terwujud keinginannya kecuali setelah menunaikan kafarah, mau tidak mau dia akan bersegera mengeluarkannya. (Taisir al-Karim ar-Rahman, hlm. 845)
  4. Kafarah zhihar itu berurutan, jika tidak mampu yang pertama baru beralih ke yang berikutnya sebagaimana tersebut di dalam ayat.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah

[1] Akan datang penjelasan tentang zhihar ini.

[2] Disebutkan nama Khaulah dengan tashghir dalam riwayat ini, Khuwailah.

[3] Aus menyamakan istrinya dengan ibunya, ‘sebagaimana ibu haram digauli, maka demikian pula kamu, haram bagiku’. Inilah yang dimaksud dengan zhihar. Dengan kalimat tersebut seorang suami ingin mengharamkan menggauli istrinya.

Ucapan zhihar tidak sebatas menyebut punggung, tetapi juga anggota tubuh yang lain. Tidak pula sebatas menyamakan dengan ibu, tetapi juga penyamaan dengan seluruh perempuan mahram yang haram digauli oleh si suami. Misalnya, si suami berkata, “Engkau seperti punggung adik perempuanku.”

Di masa jahiliah, zhihar ini dianggap talak. Jadi, apabila seorang suami menzhihar istrinya, berarti dia telah menalaknya. Namun, Allah ‘azza wa jalla memberikan keringanan bagi umat ini dengan menetapkan bahwa zhihar bukanlah talak, melainkan ucapan yang mungkar lagi dusta. Karena itu, suami yang menzhihar istrinya harus membayar kafarah manakala hendak kembali menggauli istrinya. Demikian yang dikatakan oleh lebih dari seorang dari kalangan salaf. (Tafsir Ibni Katsir, 8/39)

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Apabila seorang suami di masa jahiliah bila berkata kepada istrinya, ‘Kamu seperti punggung ibuku’, maka si istri menjadi haram baginya. Orang pertama yang melakukan zhihar setelah datangnya Islam adalah Aus bin ash-Shamit radhiallahu ‘anhu. Istrinya adalah putri pamannya (saudari sepupunya) bernama Khaulah bintu Tsa’labah radhiallahu ‘anha.” (Tafsir ath-Thabari)

[4] Satu wasaq = 60 sha’, setara kurang lebih 122,4 kg.

[5] Satu ‘araq = 15 sha’, setara kurang lebih 30,6 kg.

Hadits ini menunjukkan bahwa Khaulah membayarkan kafarah suaminya tanpa meminta pendapat atau disuruh suaminya. Demikian kata Abu Dawud rahimahullah dalam Sunannya.

[6] Suami haram menggauli istri yang dizhihar sampai ditunaikan kafarah zhihar. Ini adalah kesepakatan ulama. (Taudhihul Ahkam, 5/536)