(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Ishaq al-Atsariyah)
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, jangan sekali-kali ia berdua-duaan dengan wanita (ajnabiyah/ yang bukan mahram) tanpa disertai oleh mahram si wanita karena yang ketiganya adalah setan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dalam edisi yang lalu kita telah membicarakan tentang hal-hal yang menjaga kemuliaan dan kehormatan wanita. Di antaranya adalah larangan khalwat, yaitu berdua-duaan antara lelaki dan perempuan yang bukan mahram. Rubrik “Niswah” kita masih melanjutkan pembicaraan tentang khalwat sebagaimana yang ditulis oleh asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah dalam risalahnya, Tanbihat ‘ala Ahkam Takhtashshu bil Mu’minat (hlm. 68—71). Berikut ini kutipannya.
Sebagian wanita dan para wali mereka bermudah-mudahan dengan beberapa bentuk khalwat, di antaranya:
1. Khalwat yang dilakukan seorang wanita dengan kerabat suaminya dari kalangan lelaki dan membuka wajahnya di hadapan si lelaki.
Khalwat seperti ini sangat berbahaya dibandingkan yang lainnya. Nabi n pernah memperingatkan,
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلَى النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Hati-hati kalian dari masuk ke tempat para wanita!” Ada seseorang dari kalangan Anshar berkata, “Wahai Rasulullah, apa pendapatmu dengan hamwu?” “Al-Hamwu adalah maut,” jawab Nabi. (HR. al-Bukhari)
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani t dalam Fathul Bari (9/331) berkata menukilkan ucapan al-Imam an-Nawawi t, “Ahli bahasa sepakat bahwa al-ahma’ (bentuk jamak dari al-hamwu) adalah kerabat-kerabat suami, seperti ayah, paman, saudara laki-laki, keponakan laki-laki, misan/sepupu laki-laki (anak paman), dan semisalnya.”
Al-Imam an-Nawawi t juga menyatakan, “Yang dimaksud oleh hadits adalah kerabat-kerabat suami selain ayah (dan ke atas, red.) dan anak lelaki suami (dan ke bawah, red.) karena mereka termasuk mahram bagi si istri sehingga mereka boleh berkhalwat dengan si istri. Mereka tidak disifati sebagai maut.”
Beliau mengatakan, “Kebiasaan yang berjalan justru menganggap mudah/enteng khalwat dengan kerabat suami yang bukan mahram sehingga saudara lelaki biasa khalwat dengan istri dari saudara lelakinya (ipar)1. Rasulullah n menyerupakannya dengan maut dan ia paling utama dilarang untuk khalwat dengan istri saudaranya (iparnya).”
Al-Imam asy-Syaukani t berkata, “Ucapan Nabi n, ‘Al-Hamwu adalah maut,’ maksudnya kekhawatiran terhadapnya lebih besar daripada yang selainnya, sebagaimana ketakutan terhadap kematian lebih besar daripada takut terhadap selain kematian.” (Nailul Authar, 6/122)
Oleh karena itu, Anda, wahai muslimah, janganlah bermudah-mudahan dalam hal ini walaupun orang lain menganggap enteng. Yang menjadi pegangan adalah hukum syar’i, bukan kebiasaan manusia.
2. Sebagian wanita dan para wali mereka tidak khawatir apabila salah seorang kerabat wanita mereka pergi berdua dengan sopir yang bukan mahramnya, padahal ini termasuk khalwat yang diharamkan.
Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh t yang pernah menjabat sebagai mufti Kerajaan Saudi Arabia berkata dalam fatwanya, “Sekarang, tidak lagi tersisa keraguan bahwa seorang wanita ajnabiyah yang berkendara mobil sendirian bersama lelaki pemilik mobil, tanpa ada mahram yang menemani si wanita, adalah kemungkaran yang nyata. Perbuatan ini mengandung beberapa kerusakan yang tidak boleh dianggap remeh. Lelaki yang ridha hal ini terjadi pada istrinya adalah lelaki yang lemah agamanya, kurang kejantanannya, dan sedikit rasa cemburunya terhadap mahramnya2. Padahal Rasulullah n telah bersabda,
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ
“Tidaklah sekali-kali seorang lelaki berkhalwat dengan seorang wanita, melainkan yang ketiganya adalah setan.”
Berkhalwat dalam mobil antara dua orang berlainan jenis ini lebih berbahaya daripada khalwat di sebuah rumah dan semisalnya. Sebab, sangat mungkin dan leluasa bagi si lelaki untuk pergi membawa si wanita ke mana saja di kota tersebut, atau bahkan keluar kota, baik si wanita rela maupun tidak. Hal ini tentu akan berdampak pada timbulnya kerusakan yang lebih besar daripada kerusakan semata berkhalwat.” (Majmu’ul Fatawa, 10/52)
Dipahami dari hadits yang disebutkan di awal pembahasan bahwa tidak teranggap khalwat apabila si wanita didampingi oleh mahramnya3, sehingga mereka menjadi bertiga; si lelaki, si wanita, dan seorang lelaki dari kalangan mahramnya. Mahram yang menemani si wanita ini haruslah lelaki yang sudah besar. Artinya, tidaklah mencukupi apabila yang menyertainya seorang anak kecil. Dengan demikian, sangkaan sebagian bahwa apabila ia telah ditemani anak lelaki kecil maka hilanglah khalwat (keberadaannya dengan seorang lelaki tidak teranggap sebagai khalwat) adalah sangkaan yang keliru.
Al-Imam an-Nawawi t mengatakan, “Apabila seorang lelaki berkhalwat dengan wanita yang bukan mahramnya tanpa ada orang ketiga bersama keduanya, haram hukumnya menurut kesepakatan ulama. Demikian pula apabila bersama keduanya ada orang ketiga, namun kehadirannya tidaklah membuat rasa malu4 karena usianya yang masih kecil (kanak-kanak), hal ini belum menggugurkan haramnya khalwat.” (al-Minhaj)
3. Menganggap enteng dan biasa ketika si wanita berduaan dengan seorang dokter lelaki dengan alasan si wanita butuh berobat.
Ini adalah kemungkaran yang besar dan bahaya yang sangat, tidak boleh diakui dan didiamkan.
Asy-Syaikh Muhammad ibn Ibrahim Alusy Syaikh t kembali berkata dalam Majmu’ul Fatawanya (10/13), “Bagaimana pun keadaannya, khalwat dengan wanita ajnabiyah diharamkan secara syar’i, sekalipun dengan dokter yang mengobatinya. Hal ini berdasarkan hadits,
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ
“Tidaklah sekali-kali seorang lelaki berkhalwat dengan seorang wanita, melainkan yang ketiganya adalah setan.”
Harus ada satu orang ikut hadir bersama keduanya di ruang periksa tersebut, baik suami si wanita maupun salah seorang lelaki dari kalangan mahramnya. Jika tidak ada kerabat lelakinya yang bisa menemani, bisa ditemani oleh seorang wanita dari kalangan kerabatnya. Apabila tidak ada juga dari mereka yang kita sebutkan, sedangkan sakitnya parah tidak mungkin ditunda pemeriksaannya, minimal ada perawat perempuan dan yang semisalnya guna menghilangkan khalwat yang dilarang.”
Tidak boleh pula seorang dokter berkhalwat dengan wanita yang bukan mahramnya, baik si wanita itu dokter seprofesinya maupun perawat.
Tidak boleh seorang guru lelaki berkhalwat dengan siswinya.
Tidak boleh seorang direktur berkhalwat dengan sekretarisnya.
Sungguh, khalwat yang seperti ini telah dianggap biasa dan enteng oleh manusia atas nama kemajuan, taklid buta (‘membebek’) kepada orang-orang kafir, dan ketidakpedulian terhadap hukum-hukum syariat. La haula wala quwwata illa billah.
Tidak boleh seorang lelaki berkhalwat dengan pembantu perempuan yang bekerja di rumahnya. Tidak boleh pula nyonya rumah berduaan dengan pembantu laki-lakinya. Memang, masalah pembantu ini menjadi persoalan gawat yang banyak menimpa manusia di zaman ini karena para wanita tersibukkan (dari mengurus rumahnya) dengan pendidikan, kursus-kursus, dan pekerjaan/karier di luar rumah. Kaum mukminin dan mukminah wajib sangat berhati-hati dan melakukan berbagai langkah penjagaan. Hendaknya ia tidak menganggap lumrah kebiasaan-kebiasaan yang buruk.
Berjabat Tangan
Sebagai penyempurna pembahasan, perlu pula kita peringatkan tentang mushafahah, jabat tangan, antara lelaki dan wanita nonmahram. Perbuatan yang dianggap lazim dan sering kita saksikan di sekitar kita ini adalah kemungkaran yang haram hukumnya.
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz ibnu Abdillah ibnu Baz t berkata, “Tidak boleh secara mutlak seorang lelaki berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram, baik wanita itu masih muda maupun sudah tua, baik si lelaki masih pemuda atau sudah kakek-kakek, karena akan menimbulkan godaan di antara keduanya. Rasulullah n bersabda dalam hadits yang sahih,
إِنِّي لَا أُصَافِحُ النِّسَاءَ
“Aku tidak pernah menjabat tangan wanita.”5
Aisyah x berkata,
مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُوْلِ اللهِ n يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ، مَا كَانَ يُبَايِعُهُنَّ إِلاَّ بِالْكَلاَمِ
“Tangan Rasulullah sama sekali tidak pernah menyentuh tangan seorang wanita pun, tidaklah beliau membai’at mereka (para wanita) selain dengan ucapan.” (HR. Muslim)6
Tidak dibedakan apakah jabat tangan tadi dilakukan si wanita dengan memakai penghalang/penutup tangannya atau tidak, berdasarkan keumuman dalil. Selain itu, untuk menutup jalan yang mengantarkan kepada fitnah.” (al-Fatawa, 1/185)
Asy-Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi t dalam tafsirnya Adhwaul Bayan (6/602—603) menyatakan, “Ketahuilah, lelaki ajnabi tidak boleh menjabat tangan wanita ajnabiyah dan tidak boleh pula menyentuh sedikit pun tubuh si wanita, dengan dalil berikut ini.
Telah pasti berita dari Nabi n bahwa beliau bersabda,
إِنِّي لَا أُصَافِحُ النِّسَاءَ
Sementara itu, Allah l berfirman,
“Sungguh telah ada bagi kalian teladan yang baik pada diri Rasulullah.” (al-Ahzab: 21)
Hal ini mengharuskan kita untuk tidak berjabat tangan dengan wanita demi meneladani Rasulullah n.
Beliau melanjutkan, “Keadaan Rasulullah n yang tidak berjabat tangan dengan wanita saat bai’at adalah dalil yang jelas bahwa lelaki tidak boleh berjabat tangan dengan wanita dan tidak boleh pula menyentuh sedikit pun tubuh wanita, karena sentuhan yang paling ringan adalah berjabat tangan (apabila berjabat tangan saja dilarang, apalagi yang lebih dari itu). Lebih-lebih Rasulullah n menolak berjabat tangan dengan wanita justru pada saat yang memang dibutuhkan yaitu saat berbai’at (sebagaimana beliau membai’at kaum lelaki dengan berjabat tangan), hal ini menunjukkan jabat tangan dengan wanita ajnabiyah tidak diperbolehkan. Tidak pantas seorang muslim pun menyelisihi Rasulullah n karena beliaulah penetap syariat bagi umatnya dengan ucapan, perbuatan, dan ikrarnya.
Wanita seluruhnya adalah aurat—sebagaimana telah kita sebutkan (yakni dalam kitab beliau)—sehingga ia wajib berhijab (menutup diri dari lelaki ajnabi).
Perintah menundukkan pandangan itu ada karena kekhawatiran jatuh ke dalam fitnah. Tidaklah diragukan bahwa sentuhan antaranggota tubuh lebih kuat membangkitkan hasrat/syahwat dan lebih dahsyat mengajak kepada fitnah daripada sekadar pandangan mata. Setiap orang yang bersifat inshaf (mau melihat dan menimbang dengan jujur/adil) akan tahu kebenaran hal tersebut.
Berjabat tangan adalah perantara untuk bernikmat-nikmat dengan wanita ajnabiyah7 karena sedikitnya ketakwaan kepada Allah l di zaman ini, hilangnya amanah, dan tidak adanya sifat wara (berhati-hati menjaga diri) dari tuduhan berbuat jelek.
Berulang-ulang dikabarkan kepada kami adanya sebagian suami dari kalangan orang awam mencium saudara perempuan istrinya dengan meletakkan bibir di atas bibir8. Ciuman yang disepakati keharamannya ini mereka namakan salam. Jadi, kalau mereka mengatakan, “Salamlah kepadanya,” yang mereka maksudkan adalah kecuplah dia.
Yang benar dan seharusnya dilakukan adalah menjauhkan diri dari semua fitnah, dari tuduhan berbuat jelek dan sebab-sebabnya. Sebab yang paling besar adalah sentuhan lelaki terhadap bagian tubuh wanita ajnabiyah. Ini adalah perantara kepada yang haram, sedangkan perantara seperti ini wajib dicegah.”
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Wa shallallahu ‘ala Nabiyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.
Catatan Kaki:
1 Tanpa ada pengingkaran dari yang melihat atau yang mengetahuinya karena dianggap sebagai saudara sendiri. Orang lain pun tidak menaruh curiga atau prasangka macam-macam. Hal ini justru lebih berbahaya karena saat berduaan, keduanya bisa saja jatuh dalam perbuatan tidak senonoh (ingat, setan hadir di antara keduanya) dalam keadaan merasa aman karena orang lain tidak akan curiga dan menuduh macam-macam. Perbuatan buruk tersebut bisa saja berulang terjadi karena khalwat yang kerap terjadi.
2 Lelaki seperti ini yang disebut dayyuts oleh Rasulullah n.
3 Ada pula hadits Rasulullah n yang berbunyi,
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ
“Janganlah sekali-kali seorang lelaki berkhalwat dengan seorang wanita melainkan bersama mahram si wanita.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
4 Keduanya tetap berani melakukan sesuatu yang tidak senonoh di hadapannya. Hadir atau tidaknya dia dianggap sama saja.
5 Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan al-Imam at-Tirmidzi dengan sanad yang sahih dari sahabiyah Umaimah bintu Raqiqah x, ia berkata,
بَايَعْتُ رَسُوْلَ اللهِ n فِي نِسْوَةٍ فَقَالَ لَنَا: فِيْمَا اسْتَطَعْتُنَّ وَأَطَقْتُنَّ. قُلْتُ: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَرْحَمُ بِنَا مِنَّا بِأَنْفُسِنَا. فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، بَايَعْنَا. –قَالَ سُفْيَانُ : تََعْنِي صَافِحْنَا- فَقاَلَ رَسُولُ الله n: إِنَّمَا قَوْلِي لِمِائَةِ امْرَأَة ٍكَقَوْلِي لامْرَأةٍ وَاحِدَةٍ
Aku pernah ikut berbai’at kepada Rasulullah n bersama para wanita. Beliau berkata kepada kami, “(Aku membai’at kalian) dalam apa yang kalian mampui dan sanggupi.” Aku berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih sayang kepada kami daripada sayangnya kami terhadap diri kami sendiri.” Lalu aku menyatakan, “Ya Rasulullah! Bai’atlah kami.” Kata Sufyan (perawi hadits ini), “Maksudnya, jabatlah tangan kami.”
Rasulullah n bersabda, “Hanyalah ucapanku kepada seratus wanita seperti ucapanku kepada seorang wanita.”
6 Dinyatakan oleh Aisyah x bahwa Rasulullah n mengambil bai’at dari wanita. Apabila si wanita memberikan bai’atnya (menyanggupi apa yang disebutkan dalam pembai’atan) beliau berkata, “Pergilah engkau karena sungguh aku telah membai’atmu.” (HR. Muslim)
7 Lelaki akan beroleh kesempatan ‘menikmati’ wanita ajnabiyah dengan menyentuh tangannya yang halus, lembut, dan—bisa jadi—wangi. Ia genggam dengan erat dan tidak jarang berbuat ‘nakal’ saat tangan si wanita dalam genggamannya, na’udzubillah. Padahal bisa jadi si wanita adalah istri orang. Di manakah rasa cemburu seorang suami saat melihat istrinya berjabat tangan dengan lelaki?
8 Karena meniru kebiasaan bobrok orang-orang kafir yang dianggap sebagai kemajuan.