Tema poligami sangat hangat untuk dibicarakan, sehingga kelompok ini tidak melewatkan pembicaraan tentangnya. Di antara wujudnya adalah sebuah buku yang ditulis oleh Siti Musdah Mulia dengan judul Islam Menggugat Poligami. Mereka mengecam habis-habisan apa yang disebut poligami, tanpa rasa takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan tanpa rasa malu kepada-Nya. Seolah-olah mereka tidak tahu bahwa Allah subhanahu wa ta’ala membolehkan poligami. Seakan-akan mereka juga tidak mau tahu akan hikmah dan aturan Islam yang membolehkannya, tidak mengharuskannya. Bagi mereka, pokoknya tidak setuju, dan bagi mereka, poligami adalah diskriminasi bagi kaum hawa. Satu sikap yang angkuh dan tidak mau tahu.
Sebagai seorang muslim, kita harus melihat syariat Allah subhanahu wa ta’ala berlandaskan asas dugaan baik atau husnuzhan. Bahkan, kita harus yakin dan memastikan kebaikannya, karena Allah subhanahu wa ta’ala Mahahikmah dalam segala aturan-Nya.
Di antara ciri khas syariat ini adalah bahwa Islam datang dengan kebaikan yang murni atau dengan kebaikan yang dominan, termasuk dalam hukum berpoligami. Juga, Islam datang dengan syariat yang bersih dari segala yang mencelakakan, sehingga berpoligami sama sekali tidak mencelakakan kaum wanita, asalkan aturan Islam dipakai secara utuh dalam hal tersebut, bukan sekadar mengambil syariat poligaminya lalu segala aturan yang meliputinya dicampakkan, alias hanya mau enaknya.
Jangan pula beranggapan bahwa berpoligami hanya menguntungkan kaum lelaki. Sama sekali tidak. Sekali lagi, bila aturan Islam dalam hal poligami diterapkan, poligami justru merupakan beban bagi kaum lelaki. Bahkan bisa jadi, beban yang dia tanggung tidak seimbang dengan kenikmatan yang dia dapatkan. Dia mesti menanggung nafkah dua keluarga yang meliputi istri dan anak-anaknya. Ia mesti bersabar dan tekun mencari nafkah. Ia mesti berlapang dada dengan problem yang muncul dari kedua keluarganya. Belum lagi apabila kecemburuan mulai menyapa. Ia pun mesti memikirkan pendidikan keluarga besarnya. Ia harus adil dalam memberi nafkah, sandang, pangan, dan papan. Harus adil pula ia dalam menggilir para istrinya. Apabila hal itu tidak dia lakukan, ancaman telah menghadangnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ
“Barangsiapa yang memiliki dua istri lalu ia condong kepada salah satu dari keduanya, ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan salah satu sisi tubuhnya lumpuh.” (Sahih, HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani)
Dalam kitab Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abu Dawud dinyatakan, “Hadits ini menunjukkan kewajiban seorang suami untuk menyamaratakan antara istri-istrinya, dan haram baginya untuk condong kepada salah satu dari mereka. Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman:
فَلَا تَمِيلُواْ كُلَّ ٱلۡمَيۡلِ فَتَذَرُوهَا كَٱلۡمُعَلَّقَةِۚ
“Karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.” (an-Nisa: 129)
Yang dimaksud adalah ketidakadilan dalam hal nafkah dan giliran, bukan dalam hal rasa cinta, karena hal itu sesuatu yang di luar kemampuan seorang hamba.”
Itulah beban dan ancaman bagi sang suami.
Adapun si wanita sebenarnya cukup dimuliakan. Nafkah tinggal menerima. Sandang, pangan, dan papan tinggal ia nikmati. Semuanya adalah tanggungan suami dan ia bisa menuntut suami bila tidak adil. Ia sebenarnya berada pada posisi yang diuntungkan.
Lihatlah keindahan ajaran agama ini dan bagaimana dia hendak membagi kebaikan kepada pemeluknya. Lihat pula kebutuhan manusia akan ajaran ini. Jangan disamakan kondisi setiap manusia, sebagian kaum lelaki sangat membutuhkannya, sebagaimana sebagian perempuan juga sangat membutuhkannya. Jangan menilai masalah ini dengan perasaan iri, cemburu, tidak mau tahu, atau dengan memandangnya dengan sebelah mata. Lihatlah secara utuh dan lengkap, dari segala sudut pandangnya.
Seorang mufassir (pakar tafsir), asy-Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi rahimahullah, dalam kitab tafsirnya Adhwa’ul Bayan menjelaskan, “Di antara petunjuk Al-Qur’an kepada yang terbaik adalah pembolehannya atas poligami hingga empat istri, dan bahwa jika seorang lakilaki khawatir berbuat tidak adil di antara mereka maka hendaknya ia hanya membatasi pada satu istri (monogami) atau budak wanita. Ini sebagaimana firman-Nya:
وَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تُقۡسِطُواْ فِي ٱلۡيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُواْ فَوَٰحِدَةً أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۚ ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُواْ ٣
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita(lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (an-Nisa: 3)
Tidak diragukan, jalan yang paling lurus dan paling adil adalah bolehnya berpoligami. Hal itu berdasarkan alasan-alasan yang bisa dirasakan dan diketahui oleh setiap orang yang berakal. Di antaranya adalah:
- Seorang wanita mengalami haid, sakit, dan nifas, juga penghalang lainnya yang menghalanginya untuk melakukan kewajiban seorang istri yang paling khusus,
- Allah subhanahu wa ta’ala telah menjalankan kebiasaan bahwa laki-laki lebih sedikit jumlahnya dari wanita, dan laki-laki lebih banyak mendekati sebab-sebab kematian daripada wanita di segala sisi-sisi kehidupan. Oleh karena itu, apabila seorang lelaki dibatasi pada satu wanita, maka wanita dalam jumlah yang besar akan terhalangi dari pernikahan, sehingga memaksa mereka untuk melakukan perbuatan keji,
- Wanita semuanya (pada dasarnya) siap untuk menikah[1], sementara banyak laki-laki tidak mampu untuk melakukan kewajiban-kewajiban nikah karena miskin. Seandainya dibatasi pada satu istri, sekian banyak kaum wanita yang siap menikah akan tersia-siakan karena ketiadaan pasangan.
Jadi, Allah subhanahu wa ta’ala membolehkan berpoligami itu demi kebaikan wanita pada umumnya, dalam hal agar mereka tidak terhalangi dari pernikahan. Juga demi maslahat kaum laki-laki, agar manfaatnya tidak terhenti saat istrinya yang satu berhalangan. Di samping itu, demi maslahat umat dengan memperbanyak jumlah mereka….” (Adhwa’ul Bayan, tafsir surat al-Isra’ ayat 9 dengan diringkas)
Beliau juga menyebutkan bahwa problem yang muncul dalam rumah tangga berpoligami itu kecil bila dibandingkan dengan kemaslahatan besar yang menyangkut masyarakat luas.
Ditulis oleh Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc
[1] Karena tanpa modal pun wanita bisa menikah. Berbeda dengan laki-laki yang harus dengan modal untuk menikah.