Beliau berkeyakinan bahwa amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah tonggak agama. Beliau mengatakan, “(Dan saling menasihati dengan kebenaran serta saling menasihati dengan kesabaran) keduanya mengandung amar ma’ruf dan nahi mungkar, yang merupakan tonggak bagi umat ini serta kebaikan dan kemenangannya. Dengan keduanya akan diperoleh kemuliaan dan keutamaan. Firman Allah Subhanahu wata’ala,
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.” (Ali Imran: 110)
Beliau juga berkeyakinan bahwa kewajiban amar ma’ruf dan nahi mungkar baru bisa ditegakkan apabila terpenuhi syarat-syaratnya. Beliau menyebutkan lima syarat, di antaranya amar ma’ruf dan nahi mungkar tidak mengakibatkan kerusakan yang lebih besar daripada mendiamkannya…. Demi mewujudkan amar ma’ruf dan nahi mungkar, beliau menulis beberapa kitab yang langsung terkait dengan kemungkaran-kemungkaran yang terjadi di masyarakat.
Di antaranya adalah kitab al-Manahi al-Lafzhiyyah, yang membahas tentang kemungkaran-kemungkaran dalam ucapan, dan kitab Akhtha’ Yartakibuha Ba’dhul Hujjaj tentang kemungkaran-kemungkaran yang terjadi selama ibadah haji. Bahkan, saat terjadi peledakanpeledakan di Saudi Arabia yang dilakukan oleh para pengikut Usamah bin Ladin, beliau bersama para ulama yang lain serempak bangkit mengingkari aksi-aksi tersebut. Terbitlah pernyataan-pernyataan Hai’ah Kibar Ulama yang dengan keras mengingkari aksi tersebut. Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah adalah salah satu dari para ulama yang menerbitkan pernyataan tersebut, terkait dengan peledakan di kota Khubar, Sabtu, 9/2/1417 H, dan kota Ulayya, Senin, 20/6/1416 H.
Bahkan, dalam khutbah jumat, beliau membahas masalah ini secara khusus. Beliau juga pernah mengatakan dalam salah satu pelajaran, “Pertanyaannya sekarang, apakah agama Islam sampai kepada orang kafir secara benar, dalam keadaan tidak tercoreng? Jawabnya, tidak sama sekali. Ketika muncul orangorang yang bertindak tanpa hikmah, bertambah tercorenglah Islam dalam pandangan orang-orang Barat dan selain mereka. Yang saya maksud adalah mereka yang meledakkan bom di kerumunan manusia dengan beranggapan bahwa ini adalah jihad fi sabilillah. Padahal pada hakikatnya mereka mencoreng Islam atau membuat mereka (orang-orang nonmuslim) semakin lari dari Islam.” (Fatawa al-Aimmah fin Nawazil al- Mudlahimmah hlm. 55)
Memperingatkan dari Bahaya Takfir
Ideologi takfir (ideologi Khawarij; mudah mengafirkan umat) amat berbahaya bagi muslimin dan umat secara umum. Oleh karena itu, ideologi ini menjadi salah satu sasaran Ibnu Utsaimin dalam ingkarul munkar. Beliau mengatakan, “Yang wajib adalah berhati-hati dari pemberian vonis kafir kepada sebuah kelompok atau individu tertentu, hingga benarbenar terwujud syarat-syaratnya (untuk disebut kafir) pada dirinya dan tidak ada penghalangnya.” “Ketahuilah, wajib atas setiap orang untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wata’ala dalam seluruh vonisnya, tidak terburu-buru memastikannya, lebih-lebih dalam hal menvonis kafir. Sebagian orang-orang yang punya ghirah dan perasaan (agamis) melontarkan vonis kafir tanpa pikir panjang dan perenungan. Padahal, jika seseorang menghukumi orang lain (dengannya) sementara dia tidak pantas mendapatkan hukum tersebut, vonis itu justru akan kembali kepadanya. Selain itu, mengafirkan seseorang itu juga terkait dengan banyak hukum, sehingga orang yang dikafirkan berarti halal darahnya, halal hartanya, dan seluruh hukum kekafiran.” Beliau mengatakan pula, “Pengkafiran harus terpenuhi padanya empat syarat:
1. Kepastian atas suatu perkataan, perbuatan (sebagai kekafiran), atau meninggalkan (sesuatu yang dengan meninggalkannya) merupakan kekafiran menurut dalil al-Qur’an dan as-Sunnah.
2. Hal tersebut benar-benar ada pada orang yang mukallaf.
3. Hujah telah sampai kepadanya.
4. Tidak ada penghalang pada dirinya untuk dihukumi kafir.”
Demikian penjelasan beliau dengan penuh kehati-hatian. Di antara penghalang-penghalang yang beliau maksud adalah lawan dari tiga syarat pertama.
Membenci Hizbiyah
Beliau memperingatkan dengan keras bid’ah yang satu ini, yaitu hizbiyah atau ikatan loyal dan antipati karena kelompok. Beliau berkata, “Wajib atas setiap penuntut ilmu untuk membebaskan diri dari kekelompokan dan hizbiyah, yang membuat ikatan al-wala’ dan albara’ berdasarkan kelompok atau partai tertentu. Tidak diragukan lagi, hal ini menyelishi manhaj salafus shalih, yang mereka tidak berkelompok-kelompok. Mereka satu hizb, tergabung di bawah firman Allah Subhanahu wata’ala,
هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِن قَبْلُ وَفِي هَٰذَا
“Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (al-Qur’an) ini.” (al-Hajj: 78)
Karena itu, tidak ada hizbiyah, tidak ada ta’addud (kelompok yang berbilang), tidak ada saling berloyal atau saling membenci kecuali dengan ukuran apa yang datang dalam al-Qur’an dan as- Sunnah. Di antara manusia ada yang berhizbiyah dengan kelompok tertentu. Dia mengokohkan manhajnya dan mencari-cari dalilnya, padahal dalil itu justru menghujatnya, tidak mendukungnya. Lalu dia berlindung dan menganggap sesat selainnya walaupun mereka lebih dekat kepada kebenaran darinya. Dia berprinsip, “Barang siapa tidak bersama kami, berarti musuh kami.” Ini adalah dasar yang jelek. Sebab, ada posisi tengah antara bersama kami dan musuh kami. Seandainya pun seseorang memusuhimu dengan benar, dia memang menjadi lawanmu. Namun, dia adalah lawan yang sesungguhnya bersamamu. Sebab, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِماً أَوْ مَظْلُوماً
“Tolonglah saudaramu yang menzalimi dan yang dizalimi.”
Menolong yang menzalimi adalah dengan mencegahnya dari perbuatan zalim. Dengan demikian, tidak ada hizbiyah dalam Islam. Oleh karena itu, ketika muncul hizb-hizb di tengah muslimin maka jalan-jalan (baca: aliran) menjadi banyak. Umat terpecah sehingga sebagian menyesatkan sebagian yang lain dan memakan daging saudaranya yang telah menjadi bangkai. Kegagalan pun menimpa mereka, sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala,
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ ۖ وَاصْبِرُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul- Nya dan janganlah kamu berbantahbantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (al- Anfal: 46) (Kitabul Ilm hlm. 81)
Taat Kepada Pemerintah Muslim
Menjadi salah satu prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah taat kepada pemerintah muslim. Oleh karena itu, beliau pun sangat gemar mengajak muslimin untuk menaati pemerintahnya selama dalam hal yang bukan maksiat serta memperingatkan dari sikap memberontak. Saat beliau menerangkan hadits,
الدِّينُ النَّصِيحَةُ
“Agama adalah nasihat.”
Beliau mengatakan, “Nasihat (keinginan baik) terhadap para umara dengan beberapa hal, di antaranya:
1. Meyakini kepemimpinan mereka. Barang siapa tidak meyakini bahwa mereka adalah umara, berarti tidak bersikap nasihat terhadap mereka.
2. Menebar kebaikan mereka di antara masyarakat karena akan mengarahkan kecintaan manusia kepada mereka. Apabila manusia sudah mencintai para pemimpin, mereka akan mudah tunduk kepada perintah-perintahnya. Berbeda halnya dengan yang dilakukan oleh sebagian manusia yang menebar aib-aib dan menyembunyikan kebaikan. Ini adalah ketidakadilan dan perbuatan yang zalim. Sebagai contoh, dia menyebutkan satu kejelekan untuk mencela penguasa, namun melupakan banyak kebaikan yang mereka lakukan. Inilah sikap yang tidak adil.
3. Melaksanakan apa yang mereka perintahkan dan menjauhi apa yang mereka larang, kecuali bila hal itu dalam lingkup maksiat kepada Allah Subhanahu wata’ala. Melaksanakan ketaatan kepada mereka adalah ibadah, bukan sekadar sikap berpolitik. Dalilnya firman Allah Subhanahu wata’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian.” (an- Nisa: 59)
Dalam ketaatan, tidak disyaratkan mereka harus bebas dari maksiat. Jadi, taati perintah mereka walaupun mereka bermaksiat kepada Allah Subhanahu wata’ala. Sebab, kalian diperintahkan untuk menaati mereka walaupun mereka pribadi bermaksiat kepada Allah Subhanahu wata’ala.
4. Menutup aib mereka sebisa mungkin. Bukan sikap nasihat jika engkau menyebarkan aib mereka. Sebab, hal itu akan memenuhi kalbu dengan rasa marah, dengki, dan sesak dada terhadap para penguasa. Jika kalbu penuh dengan itu, akan terjadi pembangkangan, bahkan mungkin pemberontakan terhadap penguasa sehingga terjadi kejelekan dan kerusakan yang tidak diketahui selain oleh Allah. Ucapan kita ‘menutup aib’ tidak berarti kita diam terhadap aib. Kita melakukan nasihat kepada penguasa secara langsung apabila hal itu memungkinkan. Kalau tidak mungkin, melalui perantara ulama atau orang yang punya keutamaan yang bisa menyampaikan. Oleh karena itu, di antara sikap hikmah adalah kamu melakukan nasihat kepada para penguasa, tanpa engkau sebutkan hal itu kepada orang-orang. Sebab, hal itu mengandung mudarat.
5. Tidak melakukan pemberontakan. (dinukil dengan diringkas) Beliau juga mengatakan, “Nikmat keamanan dan ketenteraman tidak bisa ditandingi oleh nikmat apa pun setelah kenikmatan agama. Maka dari itu, kita wajib menjauhi segala sesuatu yang akan membuat gejolak di masyarakat. Kita tidak menganggap para penguasa itu bebas dari kesalahan. Para waliyyul amr dari kalangan ulama dan umara punya banyak kesalahan. Tetapi, sebuah riwayat menyebutkan, ‘Sebagaimana kondisi kalian maka akan seperti itulah pimpinan kalian.’ Lihatlah keadaan manusia. Di antara hikmah Allah Subhanahu wata’ala bahwa penguasa dan rakyat itu sama,
وَكَذَٰلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang lalim itu sebagai penguasa terhadap sebagian orang lalim yang lain karena apa yang mereka usahakan.” (al-An’am: 129)
Yang wajib kita lakukan adalah mendoakan para penguasa secara diamdiam ataupun terang-terangan. Kita doakan mereka agar mendapat taufik, kebaikan, dan dapat memperbaiki,….
Disebutkan bahwa al-Imam Ahmad rahimahullah dahulu mengatakan, “Kalau aku tahu bahwa aku punya doa yang pasti terkabul, pasti akan aku gunakan untuk mendoakan penguasa.” Sebab, apabila penguasa itu baik, akan baik pula bagi umat. Dan ini benar. (al-Imam az-Zahid hlm. 118—119 dengan diringkas) Atas dasar itu, beliau sangat mengingkari praktik-praktik penentangan terhadap penguasa, seperti berbagai aksi peledakan yang terjadi di Saudi Arabia, baik di Ulayya, Khubar, maupun kejadian sejenis di masa itu. Demikian pula pengingkaran beliau terhadap apa yang terjadi di Aljazair kala itu, saat sekelompok muslimin melakukan aksi pemberontakan melawan penguasa.
Di antara yang beliau sampaikan kepada rakyat Aljazair melalui telepon adalah, “Memberontak terhadap penguasa— sekalipun kekafirannya nyata seperti matahari—itu butuh syarat-syarat. Di antara syaratnya adalah tidak berakibat mudarat yang lebih besar…. Kemudian apa timbangannya (penguasa tersebut) dikatakan kafir? Bukan timbangan perasaan…. Hukum kekafiran tidak lain kecuali dari Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Itu pun ada syaratsyaratnya…. Kekafiran menurut banyak saudarasaudara kita, lebih-lebih anak-anak muda, hanya dinilai dari perasaan; tidak berdasarkan pengetahuan terhadap syarat-syarat pengkafiran. Jadi, hukum pengkafiran tidak muncul dari pengetahuan terhadap syarat-syarat pengkafiran. Oleh karena itu, kami anjurkan kepada saudara-saudara kami di Aljazair agar meletakkan senjata, merangkul kedamaian, dan memperbaiki semampu mungkin tanpa menumpahkan darah. Inilah yang wajib kami lakukan sebagai nasehat kepada mereka.” Beliau juga sempat menuliskan beberapa surat kepada pimpinan gerakan pemberontakan agar menghentikan gerakan mereka. (Fatawa Ulama al- Akabir)
Perhatian Beliau Terhadap Nasib Muslimin di Belahan Dunia
Suatu saat, dengan perasaan gundah, dan kecemburuan terhadap Islam dan muslimin terutama di Palestina, beliau naik mimbar dan berkhutbah, “Wahai manusia, telah berlangsung penjajahan Yahudi terhadap Masjidil Aqsha selama lebih dari delapan tahun. Selama itu pula mereka membuat kerusakan di dalamnya dan menyiksa penduduknya. Di hari-hari ini, mahkamah Yahudi mengeluarkan keputusan tentang bolehnya Yahudi melakukan peribadatan di dalam Masjidil Aqsha. Keputusan thaghut ini artinya menampilkan syiar-syiar kekafiran di dalam masjid yang termasuk salah satu masjid yang terbesar kehormatannya dalam Islam.” Di akhir khutbah, beliau mengatakan, “Ya, Yahudi Israel tidak akan turun kecuali dengan kekuatan, dan tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan dari Allah Subhanahu wata’ala, dan tidak ada pertolongan dari Allah Subhanahu wata’ala kecuali bila kita menolong agamanya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن تَنصُرُوا اللَّهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Muhammad: 7)
Sungguh, pertolongan Allah Subhanahu wata’ala kepada kita bukan dengan pidato-pidato yang menyilaukan dan meluap-luap, yang mengubah persoalan Palestina menjadi semata persoalan politik, kekalahan materi, dan konflik regional. Masalah Palestina, demi Allah, adalah masalah agama Islam bagi muslimin seluruhnya.” (al-Imam az-Zahid hlm.103)
Saat terjadi pembantaian terhadap muslimin di Bosnia oleh Kristen Serbia, beliau sangat sedih. Kesedihan beliau terungkap dalam kata-katanya, “Tetapi disayangkan, sebagaimana kalian lihat sekarang, kaum muslimin tak acuh. Mereka tidak punya kekuatan dan tekad yang dengannya mereka dapat membela diri mereka. Tidak ada yang lebih bisa menunjukkan kepada kita tentang hal itu daripada apa yang kita berada padanya sekarang.
Di negeri-negeri Islam sekarang, ada yang kehormatan mereka dihinakan, masjid mereka dihancurkan, harta mereka dirampas, dan anak-anak mereka ditawan oleh orang-orang Nasrani, sedangkan kita umat (Islam) tidak mengatakan sesuatu yang harus kita katakan. Apa yang diperbuat terhadap muslimin sekarang di Bosnia adalah sesuatu yang merobek-robek hati pada kenyataannya…. Orang-orang Nasrani bukan musuh Bosnia saja, dan musuh itu bukan hanya Nasrani Bosnia. Nasrani adalah musuh muslimin di seluruh negeri Allah Subhanahu wata’ala, sama saja mereka dari Nasrani Serbia Bosnia atau yang lain. Tetapi, sayang, banyak kaum muslimin tidak tahu hal itu.” Beliau sering menganjurkan muslimin untuk banyak berdoa siang dan malam, serta dalam qunut nazilah untuk kebaikan muslimin di sana, selama belum terbuka pintu untuk melakukan jihad fi sabilillah di sana. (al-Imam az-Zahid hlm. 99)
Ditulis oleh Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc.