Da’i Wanita Memberikan Taklim kepada para Wanita di Masjid

Tanya: Bolehkah seorang wanita (da’iyah) memberikan pengajaran dan nasihat agama atau yang berhubungan dengan ilmu agama khusus untuk para wanita di masjid-masjid, sebagaimana hal ini biasa dilakukan oleh para da’i (laki-laki)?
Jawab:
Permasalahan semacam ini terjawab dengan penjelasan yang diberikan oleh Al-Imam Al-Albani t terhadap peristiwa yang terjadi di Damaskus.
Beliau t berkata, “Adapun yang marak belakangan ini di sini, di Damaskus, yakni datangnya para wanita ke masjid-masjid pada waktu-waktu tertentu untuk mendengarkan pelajaran dari salah seorang mereka, yang mereka sebut da’iyah maka hal ini termasuk perkara muhdatsah (bid`ah) yang belum pernah ada di masa Nabi n, tidak pula di masa as-salafus shalih. Yang ada di masa-masa tersebut, para ulama yang shalih yang memberikan pengajaran (taklim) kepada mereka di tempat yang khusus sebagaimana tampak dalam hadits ini2. Atau para wanita itu ikut dalam pelajaran yang diberikan untuk para lelaki dalam keadaan terpisah dari para lelaki di dalam masjid, apabila hal itu memungkinkan. Karena biasanya para lelaki akan mendominasi majelis, sehingga para wanita tidak bisa mendengarkan ilmu dengan nyaman dan tidak dapat bertanya tentang ilmu.
Apabila pada hari ini didapatkan di kalangan wanita ada yang bisa memberikan suatu ilmu dan fiqih yang lurus, yang diambil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, tentunya tidak apa-apa si wanita ini mengadakan majelis khusus untuk para wanita di rumahnya sendiri atau di rumah salah seorang dari mereka. Bahkan taklim di rumah seperti ini lebih baik bagi mereka. Bagaimana tidak, sementara Nabi n bersabda tentang shalat berjamaah di masjid bagi para wanita:
وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
“Dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.”3
Bila dalam ibadah shalat perkaranya demikian (lebih baik di rumah daripada di masjid, pent.), lalu bagaimana pengajaran ilmu di rumah-rumah tidak dianggap lebih utama bagi mereka (daripada di masjid)? Terlebih lagi sebagian mereka biasa mengangkat suara (bersuara keras). Terkadang temannya juga ikut angkat suara. Terdengarnya suara mereka di masjid tentunya hal yang jelek dan tercela. Dengan sangat disesalkan, hal ini termasuk yang biasa kami dengar dan kami saksikan.
Kemudian kami melihat bid’ah ini juga sampai ke negeri-negeri lain seperti ‘Umman. Kami mohon kepada Allah l keselamatan dari setiap bid’ah muhdatsah (perkara agama yang diada-adakan). (Ash-Shahihah, 6/401)
Catatan Kaki:
2 Yang beliau maksudkan adalah hadits Abu Hurairah z berikut ini:
جَاءَ نِسْوَةٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ n فَقُلْنَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَا نَقْدِرُ عَلَيْكَ فِي مَجْلِسِكَ مِنَ الرِّجَالِ، فَوَاعِدْنَا مِنْكَ يَوْمًا نَأْتِيْكَ فِيْهِ. قَالَ: مَوْعِدُكُنَّ بَيْتَ فُلاَنٍ. وَأَتَاهُنَّ فِي ذَلِكَ الْيَوْمَ وَلِذَلِكَ الْمَوْعِدِ. قَالَ: فَكَانَ مِمَّا قَالَ لَهُنَّ، يَعْنِي: مَا مِنِ امْرَأَةٍ تُقَدِّمُ ثَلاَثًا مِنَ الْوَلَدِ تَحْتَسِبُهُنَّ إِلاَّ دَخَلَتِ الْجَنَّةَ. فَقَالَتِ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ: أَوِ اثْنَانِ؟ قَالَ: أَوِ اثْنَانِ
Datang para wanita kepada Rasulullah n. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, kami tidak mampu mendatangi majelismu karena dipenuhi dengan para lelaki. Maka berikanlah waktumu sehari saja untuk kami yang nantinya kami akan mendatangimu guna mendapatkan pengajaranmu.” Beliau menanggapi, “Janji pertemuan dengan kalian adalah di rumah si Fulan.” Beliau lalu mendatangi mereka pada hari tersebut dan untuk janji tersebut. Di antara yang beliau ucapkan kepada mereka adalah, “Tidak ada seorang wanita pun yang tiga putranya mendahuluinya (meninggal dunia) dalam keadaan ia mengharapkan pahala atas musibah tersebut melainkan ia akan masuk surga.” Salah seorang dari wanita yang hadir bertanya, “Bagaimana kalau yang meninggal dua anak?” Beliau menjawab, “Ya, dua juga.” (HR. Ahmad 2/246, kata Asy-Syaikh Al-Albani, “Ini sanadnya shahih di atas syarat Muslim”, lihat Ash-Shahihah, hadits no. 2680)
Al-Imam Al-Albani menyebutkan beberapa faedah dari hadits di atas. Di antaranya:
1. Hadits ini menunjukkan keutamaan wanita shahabiyah dan menunjukkan semangat mereka untuk mempelajari perkara-perkara agama mereka.
2. Hadits ini menunjukkan bolehnya wanita bertanya tentang perkara agama mereka dan mereka boleh berbicara dengan lelaki untuk bertanya tentang agama, serta dalam perkara yang memang mereka butuhkan.
3. Bolehnya mengadakan janji pertemuan (waktu khusus) untuk taklim. Al-Imam Al-Bukhari memberi judul untuk hadits ini dengan: “Apakah boleh menetapkan waktu tertentu untuk memberikan pengajaran ilmu kepada para wanita?”
3 Untuk mereka shalat di dalamnya, daripada mereka datang ke masjid untuk menghadiri shalat berjamaah. (–pent)