Kisah Ashabus Sabti (bagian 2)

Kisah Ashabus Sabti sebelumnya….

Turunnya Azab

Sedikit demi sedikit mulai bertambah mereka yang ikut menangkap ikan tersebut. Sementara itu, orang-orang yang menasihati terus berulang-ulang mengingatkan mereka. Bahkan, orang-orang tersebut mengancam, “Kamu masih juga melakukannya, wahai musuh-musuh Allah. Demi Allah, kami tidak akan bertetangga lagi dengan kalian dalam satu desa.”

Akhirnya, mereka membagi desa itu dengan sebuah tembok.

Tatkala mereka tidak mau memperhatikan nasihat orang-orang yang melarang perbuatan buruk tersebut, justru terus-menerus tenggelam dalam penyelewengan dan pelanggaran,

أَنجَيۡنَا ٱلَّذِينَ يَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلسُّوٓءِ

“Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat,” yaitu orang-orang yang melakukan amar makruf nahi mungkar. Kami selamatkan mereka dari azab.

Demikianlah ketetapan (sunnah) Allah subhanahu wa ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya; apabila siksaan itu turun, selamatlah orang-orang yang melakukan amar makruf nahi mungkar. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (al-A’raf: 165),

وَأَخَذۡنَا ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ

“Dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim…,” yaitu orang-orang yang melakukan pelanggaran di hari Sabtu tersebut.

بِعَذَابِۢ بَ‍ِٔيسِۢ

“…siksaan yang keras.” Maksudnya, yang menyakitkan.

بِمَا كَانُواْ يَفۡسُقُونَ

“…disebabkan mereka selalu berbuat fasik.” (al-A’raf: 165)

Baca juga: Bencana Bukan Akibat Dosa?

Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan azab yang ditimpakan kepada mereka itu dengan firman-Nya,

فَلَمَّا عَتَوۡاْ عَن مَّا نُهُواْ عَنۡهُ قُلۡنَا لَهُمۡ كُونُواْ قِرَدَةً خَٰسِ‍ِٔينَ

“Tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang mereka dilarang mengerjakannya, Kami katakan kepadanya, ‘Jadilah kamu kera yang hina’.” (al-A’raf: 166)

Mereka pun menjadi kera-kera yang hina padahal sebelumnya mereka adalah kaum yang terhormat.

Keesokan harinya, orang-orang yang beriman tidak melihat seorang pun keluar dari balik tembok tersebut. Tidak terdengar aktivitas mereka seperti biasa. Akhirnya, mereka memasuki pintu pembatas kampung tersebut. Mereka melihat kenyataan yang menyedihkan. Seorang pria berikut istri dan anaknya telah berubah menjadi kera. Mulailah mereka masuk menemui kera-kera yang dahulunya adalah orang-orang yang mereka kenal.

“Wahai Fulan, bukankah sudah aku peringatkan kepadamu azab Allah? Bukankah… bukankah?” Namun, tak ada sahutan. Yang ada hanya tangis. Sebagian kera yang mendekat mencium pakaian orang yang datang dan dia mengenalnya. Kera itu pun menangis. Demikian dikisahkan oleh Ibnu Jarir rahimahullah dalam Tafsir-nya. Wallahu a’lam.

Beberapa Faedah Kisah Ini

  1. Kisah yang terkandung dalam ayat ini dan yang semakna, menegaskan kebenaran nubuwah Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.

Sebab, kisah-kisah seperti ini, yang bercerita tentang Bani Israil, tidak ada seorang pun yang mengetahuinya kecuali melalui berita dari Allah subhanahu wa ta’ala. Sementara itu, ahli kitab menutup-nutupinya.

  1. Apabila Allah subhanahu wa ta’ala memberikan nikmat kepada satu umat lalu mereka berpaling dan tidak mensyukurinya, niscaya mereka ditimpa petaka pertama kali kemudian menerima azab.
  2. Pentingnya amar makruf nahi mungkar.

Allah subhanahu wa ta’ala menyelamatkan orang-orang yang mencegah kemungkaran. Allah juga membinasakan orang-orang yang berbuat kemungkaran dan tidak mau berhenti darinya.

  1. Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita betapa pentingnya amar makruf nahi mungkar.

Tingkatan Amar Makruf Nahi Mungkar

Amar makruf nahi mungkar itu sendiri mempunyai tiga tingkatan. Hal ini diuraikan oleh asy-Syinqithi rahimahullah dalam kitabnya, Adhwa’ul Bayan (1/408), yaitu:

1. Iqamatul hujjah (menegakkan hujah) Allah terhadap makhluk-Nya.

Dengan demikian, mereka tidak punya alasan untuk berkilah. Ini sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,

رُّسُلًا مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى ٱللَّهِ حُجَّةُۢ بَعۡدَ ٱلرُّسُلِۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا

“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu.”

2. Lepasnya orang yang memerintahkan kebaikan dari tanggung jawab.

Hal ini disebutkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala tentang orang-orang saleh di kalangan masyarakat yang melanggar hari Sabtu tersebut,

مَعۡذِرَةً إِلَىٰ رَبِّكُمۡ

“Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Rabb kamu.” (al-A’raf: 164)

Demikian juga firman Allah subhanahu wa ta’ala,

فَتَوَلَّ عَنۡهُمۡ فَمَآ أَنتَ بِمَلُومٍ

“Maka berpalinglah kamu dari mereka, dan kamu sekali-kali tidak tercela.” (adz-Dzariyat: 54)

Ini menunjukkan bahwa sekiranya dia tidak keluar dari tanggung jawab tersebut, tentulah dia tercela.

3. Berharap agar yang diperintah mendapatkan manfaat.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

مَعۡذِرَةً إِلَىٰ رَبِّكُمۡ وَلَعَلَّهُمۡ يَتَّقُونَ

“Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Rabbmu, dan supaya mereka bertakwa.” (al-A’raf: 164)

Firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَذَكِّرۡ فَإِنَّ ٱلذِّكۡرَىٰ تَنفَعُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ

“Tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (adz-Dzariyat: 55)

Baca juga: Cara Benar dalam Nahi Mungkar

Kita tentu masih ingat dengan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang amar makruf nahi mungkar ini. Imam Ahmad, al-Bukhari, dan at-Tirmidzi rahimahumullah meriwayatkan dari an-Nu’man bin Basyir radhiallahu anhuma, dia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللهِ وَالْوَاقِعِ فِيهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلَاهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا، فَكَانَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ الْمَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ فَقَالُوا: لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا. فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا، وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيعًا

“Perumpamaan orang yang menjaga hudud (batas-batas hukum) Allah dan orang yang melanggarnya, seperti suatu kaum yang mengundi bagiannya di atas sebuah kapal. Sebagian mereka menempati bagian atas dan yang lain di bagian bawahnya.

Apabila orang-orang yang berada di bagian bawah ingin minum, mereka melewati orang-orang yang ada di sebelah atas. Mereka berkata, ‘Seandainya kita lubangi bagian kita (di bawah) ini, dan kita tidak mengganggu orang-orang di atas kita.’

Apabila mereka (yang di atas) membiarkan orang-orang di bawah itu (melubangi dasar kapal) dan apa yang mereka inginkan, niscaya mereka binasa (tenggelam) semua. Apabila mereka menahan tangan mereka (agar tidak melubangi kapal), niscaya mereka selamat; selamat pula semuanya.”

Baca juga: Amar Makruf Nahi Mungkar, Simbol Keimanan dan Kepedulian Umat

Al-Mubarakfuri rahimahullah mengatakan tentang syarah hadits ini,

“Seandainya orang-orang yang fasik dicegah dari kefasikan mereka, niscaya dia (yang fasik itu) selamat; mereka semua juga selamat dari azab Allah subhanahu wa ta’ala. Akan tetapi, jika mereka membiarkan dia berbuat fasik, niscaya mereka ditimpa azab dan binasa karena kesialan yang dilakukan orang fasik tersebut.

Inilah makna firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَٱتَّقُواْ فِتۡنَةً لَّا تُصِيبَنَّ ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنكُمۡ خَآصَّةًۖ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ

“Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu.” (al-Anfal: 25)

Maknanya, siksaan itu juga menimpa kalian secara merata disebabkan sikap mudahanah yang kalian lakukan.

Sikap mudahanah termasuk perkara yang diharamkan karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَدُّواْ لَوۡ تُدۡهِنُ فَيُدۡهِنُونَ

“Mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).” (al-Qalam: 9)

Mudahanah artinya menyetujui penyimpangan dan kesesatan yang dianut dan dilakukan oleh semua orang yang menyimpang, baik dari kalangan orang kafir, ahli bid’ah, maupun pelaku kemaksiatan. Jadi, Anda mengakui kesesatan itu dengan sikap menyetujui atau ikut dalam aktivitas mereka.

Baca juga: Penyebab Maraknya Kesesatan

Sikap seperti ini jelas tidak layak dimiliki oleh seorang muslim. Bahkan, ujian ini banyak dialami kaum muslim sehingga mereka merasakan kehinaan dalam hidup dan kehidupan mereka. Padahal semestinya dia bangga dan berani menampakkan keyakinan dan keimanan yang dimilikinya, menyelisihi perilaku kebanyakan masyarakatnya. Terlebih lagi bagi seorang dai yang mengajak manusia kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Syaikh Abdur Razzaq ‘Afifi rahimahullah ketika menerangkan prinsip al-wala wal bara menguraikan bahwasanya termasuk sikap loyal (muwalah) kepada orang-orang kafir ialah mudahanah, mudarah, dan mujamalah dengan mereka atas dasar agama. Inilah yang dialami oleh kebanyakan kaum muslimin dewasa ini. Bahkan, inilah faktor internal yang menjadi sebab kekalahan mereka. Mereka melihat musuh-musuh Allah subhanahu wa ta’ala unggul dalam hal kekuatan materi sehingga membuat mereka terkagum-kagum.

Menurut mereka—yang tertipu ini—musuh-musuh tersebut adalah simbol kekuatan dan teladan. Akhirnya, secara perlahan mereka mulai meninggalkan upaya mempelajari din mereka karena sikap mujamalah (basa-basi) terhadap orang-orang kafir itu, agar jangan dikatakan fanatik.

Baca juga: Globalisasi Menghancurkan Generasi

Alangkah benar sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ. قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: فَمَنْ؟

“Sungguh, kamu pasti akan mengikuti jalan (hidup) orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Bahkan, seandainya mereka masuk ke lubang dhab (sejenis biawak), pasti kamu juga mengikutinya.”

Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, (apakah mereka) Yahudi dan Nasrani?”

Kata beliau, “Siapa lagi?” (HR. al-Bukhari dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu anhu)

Mudahanah bermula dari persoalan kecil yang beranjak sedikit demi sedikit menuju hal-hal yang besar hingga—na’udzu billahi­–berujung pada kemurtadan. Ini adalah salah satu upaya setan menggelincirkan manusia.

Maka dari itu, hendaklah kaum muslimin berhati-hati terhadap diri dan keluarganya. Camkanlah, bahwa dia lebih tinggi dan mulia apabila dia menjalankan manhaj Allah subhanahu wa ta’ala dan mengikat dirinya dengan syariat Allah subhanahu wa ta’ala serta tuntutan akidah.

Kisah ini menjadi peringatan bagi kita, bagaimana Allah subhanahu wa ta’ala mengazab orang-orang yang melanggar larangan-Nya dengan melakukan muslihat (hilah). Demikian pula Dia menyiksa tuan-tuan kebun (ashabul jannah) yang melakukan muslihat agar tidak bersedekah. Demikian pula dalam kisah ini.

Baca juga: Para Petani dan Tuan-Tuan Kebun (bagian 1)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengingatkan kita,

لَا تَرْتَكِبُوا مَا ارْتَكَبَ الْيَهُودُ فَتَسْتَحِلُّوا مَحَارِمَ اللهِ بِأَدْنَى الْحِيَلِ

“Janganlah kamu melakukan apa yang telah dilakukan oleh orang-orang Yahudi, sehingga kamu menghalalkan apa-apa yang diharamkan Allah dengan serendah-rendah muslihat.” (HR. Ibnu Baththah dari Abu Hurairah radhiallahu anhu; sanadnya dinilai jayyid oleh al-Albani dalam Adab az-Zafaf)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga mengingatkan kita dalam hadits lainnya,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُم

“Siapa yang meniru-niru suatu kaum, dia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma; dinilai sahih oleh al-Albani dalam al-Irwa’ no. 1269)

Baca juga: Tasyabbuh, Bahaya Laten di Tengah Umat

Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالْأَصْنَامِ. فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهَا يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ؟ فَقَالَ: لَا، هُوَ حَرَامٌ. ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ: قَاتَلَ اللهُ الْيَهُودَ، إِنَّ اللهَ لَمَّا حَرَّمَ شُحُومَهَا جَمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ

“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi, dan berhala (arca, patung, dan sebagainya).”

Ditanyakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat Anda tentang gajih (lemak) bangkai? Karena dipakai untuk mengecat perahu, meminyaki kulit, dan dipakai untuk penerangan oleh manusia.”

Beliau bersabda, “Tidak. Hal itu (menjualnya) tetap haram.”

Ketika itu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Semoga Allah membinasakan orang-orang Yahudi. Sesungguhnya ketika Allah mengharamkan gajih atas mereka, mereka mencairkannya dan menjualnya kemudian memakan harganya (hasil penjualan itu).” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Jabir radhiallahu anhu)

Baca juga: Yahudi dan Nasrani adalah Orang-orang Kafir

Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala memberikan taufik kepada kita untuk meninggalkan sikap minder terhadap orang-orang kafir, lalu bersemangat menjalankan perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan menjauhi larangan-Nya dengan penuh keikhlasan.

Wallahu a’lam.

Ditulis oleh Ustadz Abu Muhammad Harits