Para Petani dan Tuan-Tuan Kebun (1)

Para Petani dan Tuan-Tuan Kebun

Masih ingatkah Anda akan kisah tentang seorang petani dermawan? Seorang hamba yang saleh dan memahami arti syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Saat yang lain sedang kekeringan, sawah ladangnya diairi oleh air hujan yang khusus turun untuknya.

Amalan apa yang dilakukannya? Bayangkan, sepertiga hasil panen, dia gunakan untuk modal menanam kembali, sepertiga lagi untuk dia dan keluarga yang ditanggungnya, serta sepertiga sisanya adalah untuk sedekah. Andaikata hasil panennya tiga ton, berarti satu ton diserahkannya untuk sedekah, kalikan dengan kelipatannya. Tentu, jumlah yang cukup besar, saat tabiat manusia itu sangat kikir dan suka menahan harta. Namun, karena keikhlasannya, dia keluarkan sebesar itu demi mengharap ridha Allah subhanahu wa ta’ala.

Ketulusan yang murni, karena itulah Allah subhanahu wa ta’ala memberi balasan yang berlipat ganda. Namanya harum, menjadi sebutan di bumi dan di langit. Dia tidak perlu bersusah payah mencari air untuk menyirami tanamannya.

Baca kisahnya di sini:

Buah Kedermawanan

Nun, di belahan bumi yang lain, masih ada sebuah kisah nyata yang dialami oleh sebagian anak Adam dan diabadikan—secara global—di dalam kitab suci paling mulia. Ada kejadian yang sangat bertolak belakang dengan kisah petani yang tanahnya diberi hujan secara khusus dari langit. Kisah tentang beberapa tuan tanah dan kebun yang sangat kikir. Kisah ini sudah dikenal oleh masyarakat Arab (Quraisy) ketika itu.

Menurut berita yang dinukil dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, mereka adalah sebagian dari ahli kitab. Namun, itu bukan hal yang penting. Yang jelas, kisah ini sudah pernah didengar oleh orang-orang Quraisy. Inilah kisah selengkapnya. Wallahul muwaffiq.

Pemilik Kebun yang Saleh

Dharwan adalah sebuah desa di belahan Yaman, ada yang mengatakan dekat kota Shan’a. Hiduplah di desa itu seorang lelaki tua yang saleh bersama tiga orang putranya. Dia bekerja sebagai petani, mengelola kebun kurma dan anggur yang cukup berhasil. Setiap musim panen, anggur dan kurma yang diperolehnya berlimpah. Akan tetapi, hasil tersebut bukan semata-mata karena kepandaiannya mengelola kebun tersebut, melainkan murni karena karunia dan pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala.

Lelaki tua itu sangat memahami bahwa di dalam kebun itu ada hak-hak lain yang harus ditunaikannya. Hak Allah subhanahu wa ta’ala dan hak sesama manusia yang ada di sekelilingnya.

Baca juga:

Menjaga Hak Orang-Orang yang Lemah

Seperti biasa, pada pagi yang cerah itu, lelaki tua itu berangkat ke kebunnya. Angin bertiup lembut, membelai wajahnya yang keriput. Dengan perlahan dia berjalan memasuki kebunnya dan berkeliling. Dia mulai memeriksa isi kebunnya, dari satu sudut ke sudut lainnya. Dia membayangkan alangkah senangnya orang-orang yang fakir dan miskin menikmati rezeki Allah subhanahu wa ta’ala ini.

Itulah yang mungkin dipikirkannya. Hasil panen kebunnya memang selalu disiapkannya untuk berbagi dengan mereka yang membutuhkan. Setelah puas berkeliling, sambil bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dia bersiap untuk kembali ke rumahnya.

Tidak lama kemudian, musim panen pun tiba. Dengan penuh semangat, orang tua itu berangkat ke kebunnya. Setibanya di kebun yang rindang dan berbuah lebat itu, dia mulai memetik kurma dan anggur untuk kebutuhan keluarganya. Adapun sisanya, dia biarkan agar dapat diambil oleh mereka yang membutuhkan. Tentu saja, masih cukup banyak. Keadaan ini berlanjut sejak dia masih muda hingga dia memasuki usia renta.

Baca juga:

Berbuat Baik kepada Sesama

Melihat tindakan sang ayah yang selalu menyisakan hasil panennya untuk orang-orang yang fakir dan miskin dalam jumlah cukup besar, sebagian putranya menegur, “Ayah, kalau begini terus, kita bisa bangkrut. Kebutuhan kita semakin bertambah, tetapi ayah biarkan orang-orang yang fakir dan miskin menikmati hasil panen yang kita usahakan dengan susah payah.”

Ayah yang saleh itu menasihati dan mengingatkan mereka bahwa harta yang ada di tangan mereka saat ini bukan milik mereka, melainkan titipan Allah subhanahu wa ta’ala. Allah ingin melihat bagaimana mereka berbuat terhadap harta tersebut.

Dua di antara putranya ingin membantah dan menentang, tetapi tidak berani. Ayah yang baik itu mengingatkan pula bahwa usianya sudah lanjut, merekalah yang akan meneruskan pengelolaan tanaman anggur tersebut. Dia menceritakan pula bahwa itu semua telah dilakukannya sejak masih muda. Allah subhanahu wa ta’ala melipatgandakan hasilnya karena dia selalu berbagi dengan sesama. Dengan cara itulah panennya semakin bertambah.

Sebagian putranya masih tetap tidak menerima uraian sang ayah. Hari-hari berlalu, sang ayah semakin tua dan mulai berkurang kekuatannya. Di masa-masa ‘pensiun’ itu, dia selalu menasihati anak-anaknya agar jangan lupa berbagi dengan sesama. Sebab, apa yang ada di tangan mereka, tidak murni milik mereka atau hak mereka. Di situ masih ada hak yang lain yang wajib mereka tunaikan. Ada hak Allah subhanahu wa ta’ala, dengan menzakatkan atau menyedekahkannya, dan ada hak sesama manusia yang tidak mampu.

Allah subhanahu wa ta’ala tidak memerlukan harta yang dititipkan-Nya kepada mereka. Berapa pun yang mereka zakatkan atau sedekahkan, itu tidak memberi keuntungan atau manfaat apa pun kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Akan tetapi, keuntungan dan manfaat itu justru kembali kepada mereka yang dititipi harta tersebut.

Baca juga:

Jangan Meremehkan Satu Kebaikan Pun

Beberapa waktu kemudian, lelaki tua yang saleh itu meninggal dunia. Ketiga anak laki-lakinya sama-sama merasakan kesedihan ditinggal oleh ayah yang mereka hormati dan mereka cintai. Namun, itu tidak lama. Kini, mereka mulai berusaha menghidupi diri dan keluarga mereka.

Setiap anak telah mengambil bagian dari kebun anggur yang diwariskan oleh ayah mereka. Suatu kali, mereka berkumpul dan bermusyawarah bagaimana tindakan selanjutnya mengatur kebun tersebut. Setelah berbincang lama, mereka mulai membahas sikap ayah mereka yang menurut—sebagian—mereka salah.

“Mulai musim panen ini, kita harus menghalangi orang-orang yang miskin itu ikut mengambil bagian. Keberadaan dan keikutsertaan mereka hanya mengurangi perolehan kita. Padahal kebutuhan kita semakin meningkat,” itulah usulan salah satu di antara mereka dan disepakati oleh salah seorang di antara mereka.

Adapun yang ketiga, sejak tadi mendengarkan. Melihat kebulatan tekad mereka, dia mulai angkat bicara. “Lupakah kalian, apa yang dikatakan ayah kita sebelum beliau wafat? Kebun ini beliau kelola dengan cara seperti ini sejak beliau masih muda seperti kita. Allah subhanahu wa ta’ala lah yang menyuburkannya, sebagai karunia dan ujian, apakah disyukuri atau dikufuri nikmat tersebut. Janganlah kita melanggar nasihat ayah, meskipun beliau sudah meninggal dunia.”

“Sudah. Kau diam saja. Kalau kau mau rugi, rugilah sendiri. Kami tetap tidak akan mengizinkan orang-orang yang miskin itu ikut menikmati hasil keringat kami,” kata yang satunya.

Yang lain menyambung, “Kami akan berangkat ke kebun sejak dini hari, sebelum orang-orang yang miskin itu ikut bangun dan menyusul ke kebun kami.”

Itulah rencana mereka.

Baca juga:

Manusia Terbaik dan Terburuk

Musim panen mulai tiba. Dua orang anak lelaki tua yang saleh itu sudah bersiap sejak dini hari, sebelum fajar menyingsing mereka harus sudah tiba di kebun dan segera memetik hasil kebun mereka. Sambil bersiap, mereka saling mengingatkan agar jangan sampai ada orang-orang yang miskin yang masuk ke kebun mereka.

“Kita akan ke kebun dan memanen hasilnya,” kata mereka.

Saudara mereka mengingatkan, “Ucapkanlah insya Allah.”

Akan tetapi, mereka mengacuhkannya. Mereka berjalan dengan terburu-buru dan melihat-lihat, apakah ada yang mengetahui keadaan mereka? Tiba-tiba, mereka terperanjat luar biasa. “Jangan-jangan kita salah jalan. Ini bukan kebun kita. Bukankah kemarin masih kita lihat hijau dan rimbun, serta siap dipanen?” kata salah seorang dari mereka.

Saudara mereka yang bijak, yang selalu menasihati mereka berkata, “Itu memang kebun warisan ayah kita. Kalian dihalangi memperoleh hasilnya. Bukankah aku sudah mengingatkan agar kalian bertasbih kepada Allah subhanahu wa ta’ala?”

Mereka memeriksanya, dan sadarlah mereka bahwa itu memang kebun mereka. Ternyata Allah subhanahu wa ta’ala telah memberi balasan atas niat buruk mereka, yaitu ingin menghalangi orang-orang yang miskin memperoleh jatah mereka yang ada di dalam hasil kebun tersebut.

Mereka segera sadar dan menyesali sikap mereka, tetapi semua telah terjadi. Kebun mereka telah hancur luluh, tidak ada yang tersisa. Mereka gagal menikmati apa yang ingin mereka nikmati. Itu baru di dunia, bagaimana pula azab di akhirat yang lebih dahsyat?

“Mahasuci Allah, sungguh kami telah menzalimi diri kami sendiri. Alangkah celakanya kami. Sungguh, kami telah melampaui batas. Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala memberi kami ganti yang lebih baik. Sungguh, kami benar-benar berharap kepada Allah subhanahu wa ta’ala.”

Baca juga:

Kezaliman adalah Kegelapan pada Hari Kiamat

Demikianlah sepenggal kisah mereka. Penyesalan memang datang terlambat, tetapi masih terasa manfaatnya jika hal ini terjadi di dunia dan bisa diperbaiki, seperti yang mereka alami.

Sebagaimana telah dipaparkan di atas, kisah ini diabadikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam Kitab-Nya yang mulia, yang tidak dihinggapi kebatilan, baik dari depan maupun dari belakang. Kitab yang turun dari Yang Mahabijaksana lagi Maha Terpuji. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّا بَلَوۡنَٰهُمۡ كَمَا بَلَوۡنَآ أَصۡحَٰبَ ٱلۡجَنَّةِ إِذۡ أَقۡسَمُواْ لَيَصۡرِمُنَّهَا مُصۡبِحِينَ ١٧ وَلَا يَسۡتَثۡنُونَ ١٨ فَطَافَ عَلَيۡهَا طَآئِفٌ مِّن رَّبِّكَ وَهُمۡ نَآئِمُونَ ١٩ فَأَصۡبَحَتۡ كَٱلصَّرِيمِ ٢٠

Sesungguhnya Kami telah mencobai mereka (musyrikin Makkah) sebagaimana Kami telah mencobai pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)nya di pagi hari, dan mereka tidak menyisihkan (hak fakir miskin). Lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Rabbmu ketika mereka sedang tidur. Maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita.

فَتَنَادَوۡاْ مُصۡبِحِينَ ٢١ أَنِ ٱغۡدُواْ عَلَىٰ حَرۡثِكُمۡ إِن كُنتُمۡ صَٰرِمِينَ ٢٢ فَٱنطَلَقُواْ وَهُمۡ يَتَخَٰفَتُونَ ٢٣ أَن لَّا يَدۡخُلَنَّهَا ٱلۡيَوۡمَ عَلَيۡكُم مِّسۡكِينٌ ٢٤ وَغَدَوۡاْ عَلَىٰ حَرۡدٍ قَٰدِرِينَ

Lalu mereka panggil-memanggil di pagi hari, “Pergilah di waktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya.”

Baca juga:

Zakat Biji-Bijian dan Buah-Buahan

Pergilah mereka saling berbisik. “Pada hari ini janganlah ada seorang miskin pun masuk ke dalam kebunmu”. Dan berangkatlah mereka di pagi hari dengan niat menghalangi (orang-orang miskin) padahal mereka mampu (menolongnya).

فَلَمَّا رَأَوۡهَا قَالُوٓاْ إِنَّا لَضَآلُّونَ ٢٦ بَلۡ نَحۡنُ مَحۡرُومُونَ ٢٧ قَالَ أَوۡسَطُهُمۡ أَلَمۡ أَقُل لَّكُمۡ لَوۡلَا تُسَبِّحُونَ ٢٨ قَالُواْ سُبۡحَٰنَ رَبِّنَآ إِنَّا كُنَّا ظَٰلِمِينَ ٢٩

Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata, “Sesungguhnya kita benar-benar orang-orang yang sesat (jalan), bahkan kita dihalangi (dari memperoleh hasilnya).”

Berkatalah seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka, “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih (kepada Rabbmu)?”

Mereka mengucapkan, “Mahasuci Rabb kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim.”

فَأَقۡبَلَ بَعۡضُهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٍ يَتَلَٰوَمُونَ ٣٠ قَالُواْ يَٰوَيۡلَنَآ إِنَّا كُنَّا طَٰغِينَ ٣١ عَسَىٰ رَبُّنَآ أَن يُبۡدِلَنَا خَيۡرًا مِّنۡهَآ إِنَّآ إِلَىٰ رَبِّنَا رَٰغِبُونَ ٣٢ كَذَٰلِكَ ٱلۡعَذَابُۖ وَلَعَذَابُ ٱلۡأٓخِرَةِ أَكۡبَرُۚ لَوۡ كَانُواْ يَعۡلَمُونَ ٣٣

Lalu sebagian mereka menghadapi sebagian yang lain seraya cela-mencela. Mereka berkata, “Aduhai celakalah kita, sesungguhnya kita ini adalah orang-orang yang melampaui batas. Mudah-mudahan Rabb kita memberikan ganti kepada kita dengan (kebun) yang lebih baik daripada itu; sesungguhnya kita mengharapkan ampunan dari Rabb kita.”

Seperti itulah azab (dunia). Dan sesungguhnya azab akhirat lebih besar jika mereka mengetahui. (al-Qalam: 17—33)

Mahabenar Allah subhanahu wa ta’ala dengan segala firman-Nya. Tidak ada yang lebih benar perkataannya selain Allah subhanahu wa ta’ala.

Di dalam kisah ini terdapat pelajaran berharga sebagai bekal untuk menghadapi kedahsyatan suasana di seberang kematian. Keadaan yang saat itu tidak ada lagi gunanya harta dan anak, kecuali mereka yang datang membawa hati yang selamat.

Simak lanjutan kisahnya …

 

Ditulis oleh Ustadz Abu Muhammad Harits