Hukum Menjamak Shalat dalam Safar

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنْ الْعَذَابِ يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَنَوْمَهُ فَإِذَا قَضَى نَهْمَتَهُ فَلْيُعَجِّلْ إِلَى أَهْلِهِ

“Safar itu adalah bagian dari azab. Ia menghalangi salah seorang di antara kalian dari makan, minum, dan tidurnya. Apabila salah seorang di antara kalian telah selesai dari hajatnya (safarnya), hendaklah ia segera kembali kepada keluarganya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَا جَعَلَ عَلَيۡكُمۡ فِي ٱلدِّينِ مِنۡ حَرَجٍۚ

“Dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama.” (al-Hajj: 78)

يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (al-Baqarah: 185)

يُرِيدُ ٱللَّهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمۡۚ وَخُلِقَ ٱلۡإِنسَٰنُ ضَعِيفًا

“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, karena manusia diciptakan (bersifat) lemah.” (an-Nisa: 28)

Baca juga: Safar dan Batasannya

Salah satu bentuk rahmat Allah subhanahu wa ta’ala yang diberikan kepada para hamba-Nya adalah Dia subhanahu wa ta’ala memberikan hukum-hukum yang khusus bagi musafir, sesuai dengan kondisinya. Di antara hukum yang terkait dengan musafir adalah menjamak dua shalat.

Menjamak Dua Shalat

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah hukum menjamak dua shalat.

  1. Jumhur ulama berpendapat bahwa diperbolehkan menjamak dua shalat dalam safar, baik jamak taqdim (mengerjakan dua shalat tersebut pada waktu shalat yang pertama) maupun jamak takhir (mengerjakan dua shalat tersebut pada waktu shalat yang kedua).

Mereka berhujah dengan:

a. Hadits Ibnu Umar radhiallahu anhuma

كَانَ النَّبِيُّ يَجْمَعُ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ إِذَا جَدَّ بِهِ السَّيْرُ

“Nabi shallallahu alaihi wa sallam menggabungkan antara shalat Magrib dan shalat Isya apabila beliau terus berjalan cepat (dalam safar).” (Muttafaqun alaih)

b. Hadits Anas bin Malik radhiallahu anhu

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا فَإِنْ زَاغَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ

Apabila Nabi shallallahu alaihi wa sallam berangkat sebelum matahari tergelincir, beliau akan mengakhirkan shalat Zuhur sampai tiba waktu Asar. Kemudian beliau akan berhenti dan menjamak keduanya. Apabila beliau berangkat setelah matahari tergelincir, beliau akan mengerjakan shalat Zuhur lalu menaiki kendaraannya (untuk berangkat).” (Muttafaqun alaih)

Baca juga: Shalat, Antara Diterima dan Tidak
  1. Al-Hasan al-Bashri, an-Nakha’i, Abu Hanifah, dan Ibnu Sirin berpendapat tidak diperbolehkannya menjamak shalat dalam safar, kecuali di Arafah antara Zuhur dan Asar, dan di Muzdalifah antara Magrib dan Isya.

Mereka berdalil dengan:

a. Hadits-hadits tentang tauqit (waktu-waktu shalat). Barang siapa menggabungkan dua shalat, berarti ia tidak mengerjakan shalat pada waktunya.

b. Hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu, beliau menuturkan,

مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى صَلَاةً بِغَيْرِ مِيقَاتِهَا إِلَّا صَلَاتَيْنِ جَمَعَ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَصَلَّى الْفَجْرَ قَبْلَ مِيقَاتِهَا

“Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan shalat di luar waktunya, kecuali pada dua shalat, yaitu ketika beliau menjamak antara Magrib dan Isya, dan ketika beliau mengerjakan shalat Subuh sebelum waktunya.”[1] (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Pendapat yang kuat, wallahu a’lam, adalah pendapat jumhur ulama.

Hadits-hadits tauqit ini bersifat umum, bagi orang yang safar ataupun yang mukim. Adapun hadits tentang jamak adalah khusus bagi musafir sehingga ia lebih dikedepankan (lebih dekat kepada kebenaran). Hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu di atas lebih menekankan penafian, sedangkan hadits-hadits yang disebutkan oleh jumhur berisi penetapan sehingga lebih didahulukan. Sebab, di dalamnya ada tambahan ilmu. Lihat kitab al-Majmu’ (4/176), al-Mughni (2/570), Fathul Bari (2/675), dan asy-Syarhul Mumti’ (4/548).

Diperbolehkannya Jamak Taqdim

Mayoritas ulama membolehkan jamak taqdim, berdasarkan:

  1. Hadits-hadits yang menyebutkan menjamak shalat di Arafah.

Di antaranya:

a. Dari Ibnu Syihab, beliau berkata,

“Salim telah mengabarkan kepadaku bahwasanya al-Hajjaj bin Yusuf bertanya kepada Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma, pada tahun ketika al-Hajjaj memerangi Ibnu Zubair,

كَيْفَ تَصْنَعُ فِي الْمَوْقِفِ يَوْمَ عَرَفَةَ؟ فَقَالَ سَالِمٌ: إِنْ كُنْتَ تُرِيدُ السُّنَّةَ فَهَجِّرْ بِالصَّلَاةِ يَوْمَ عَرَفَةَ. فَقَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ: صَدَقَ، إِنَّهُمْ كَانُوا يَجْمَعُونَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ فِي السُّنَّةِ. فَقُلْتُ لِسَالِمٍ: أَفَعَلَ ذَلِكَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَقَالَ سَالِمٌ: وَهَلْ تَتَّبِعُونَ فِي ذَلِكَ إِلَّا سُنَّتَهُ؟

‘Bagaimana caramu melakukan shalat di tempat wukuf pada hari Arafah?’

Salim menjawab, ‘Jika engkau ingin mengikuti as-Sunnah, segerakanlah shalat di awal waktu pada hari Arafah.’

Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma pun menyahut, ‘Benar. Mereka (para sahabat) menjamak shalat Zuhur dan Asar, karena sesuai dengan as-Sunnah.’

Kemudian aku (Ibnu Syihab) berkata kepada Salim, ‘Apakah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan demikian?’

Salim menjawab, ‘Bukankah yang kalian ikuti (dalam permasalahan itu) adalah Sunnah beliau shallallahu alaihi wa sallam?’” (Shahih al-Bukhari, 4/260)

Baca juga: Shalat di Pesawat dan Jarak Safar

b. Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu anhuma

Dalam riwayat ini disebutkan, “Tatkala matahari tergelincir, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menuju tengah lembah kemudian berkhotbah. Setelah itu …

فَأَذَّنَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ، ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ وَلَمْ يُصَلِّ بَيْنَهُمَا شَيْئًا

 … Bilal azan, lalu mengumandangkan iqamat dan shalat Zuhur, kemudian kembali mengumandangkan iqamat dan shalat Asar. Beliau tidak mengerjakan shalat (sunnah) di antara keduanya sedikit pun.” (Shahih Muslim, 8/170)

c. Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma

Dalam riwayat ini disebutkan,

فَحَتَّى إِذَا كَانَ عِنْدَ صَلَاةِ الظُّهْرِ رَاحَ رَسُولُ اللهِ مُهَجِّرًا فَجَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ ثُمَّ خَطَبَ النَّاس

“Tatkala memasuki waktu Zuhur, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pergi untuk mengerjakan shalat di awal waktu. Kemudian beliau menjamak shalat Zuhur dan Asar, lalu berkhotbah di hadapan manusia.” (Sunan Abi Dawud, 1/445)

  1. Hadits Ali radhiallahu anhu

أَنَّهُ كَانَ يَسِيْرُ حَتَّى إِذَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ وَأَظْلَمَ نَزَلَ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ ثُمَّ الْعِشَاءَ ثُمَّ يَقُولُ: هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ يَصْنَعُ

“Pernah dahulu beliau (Ali radhiallahu anhu) mengadakan perjalanan (safar). Ketika matahari telah terbenam dan hari menjadi gelap, beliau singgah lalu mengerjakan shalat Magrib dan Isya. Beliau berkata, ‘Demikianlah saya melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukannya.’” (HR. Abdullah bin Ahmad, dalam Zawa’id al-Musnad)

Syaikh Muqbil rahimahullah berkata, “Minimalnya derajat hadits ini adalah hasan lighairihi. Dengan demikian, hadits-hadits tentang jamak taqdim telah jelas (sahih) dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.” (al-Jam’u baina ash-Shalatain, hlm. 90)

Lihat pula kitab Nailul Authar (2/486) dan Fathul Bari (2/679).

Diperbolehkan Menjamak Shalat Walaupun Sedang Singgah

Ini adalah pendapat mayoritas ulama, berdasarkan hadits-hadits mengenai jamak yang mutlak, tidak terkait dengan safar atau singgahnya seseorang. Salah satunya adalah hadits Muadz bin Jabal radhiallahu anhu, yang diriwayatkan oleh Imam Malik rahimahullah, dalam al-Muwaththa,

أَنَّ النَّبِيَّ أَخَّرَ الصَّلاَةَ يَوْمًا فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا ثُمَّ دَخَلَ ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ

“Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengakhirkan shalat di suatu hari saat Perang Tabuk. Kemudian beliau keluar, mengerjakan shalat Zuhur dan Asar dengan cara jamak, lalu masuk (ke dalam tempat istirahatnya). Setelah itu beliau keluar lalu menjamak shalat Magrib dan Isya.”

Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata, “Hadits ini sanadnya tsabit (jelas).”

Asy-Syafi’i rahimahullah, dalam kitabnya, al-Umm, Ibnu Abdil Barr, dan al-Baji menyatakan bahwa masuk dan keluarnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam (ke dan dari kemahnya) dilakukan ketika beliau singgah, tidak berjalan terus-menerus dalam safar. Dalam hadits ini juga terdapat bantahan yang jelas bagi orang yang berpendapat bahwa shalat tidaklah boleh dijamak selama safarnya masih terus berlangsung.

Baca juga: Adab-Adab Safar

Adapun Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Ibnul Qayyim berpendapat tidak diperbolehkan menjamak dua shalat kecuali jika safarnya masih berlangsung. Mereka berdalil dengan hadits Ibnu Umar radhiallahu anhuma; dahulu apabila beliau (Ibnu Umar) terus berjalan dalam safar, beliau menjamak antara Magrib dan Isya. Ibnu Umar radhiallahu anhu berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ إِذَا جَدَّ بِهِ السَّيْرُ جَمَعَ بَيْنَهُمَا

Apabila Nabi shallallahu alaihi wa sallam terus berjalan cepat (dalam safar), beliau akan menjamak antara keduanya.”

Pendapat yang kuat—wallahu a’lam—adalah pendapat mayoritas ulama. Sebab, mereka memiliki tambahan dalil berupa hadits-hadits yang dapat diterima. Selain itu, safar itu sendiri adalah kondisi yang membuat seseorang merasa lelah, keberatan, dan kesusahan. Demikian pula, rukhsah untuk menjamak adalah kemudahan dalam safar.

Ini merupakan tarjih (pendapat yang dikuatkan/dipilih) guru kami, Syaikh Muqbil rahimahullah, sebagaimana dinyatakan dalam kitab al-Jam’u baina ash-Shalatain (hlm. 73) dan Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, dalam kitab asy-Syarhul Mumti’ (4/553). Lihat juga kitab Taisirul Allam (1/220).

Berapa Kali Azan dan Iqamat untuk Shalat yang Dijamak?

Dua shalat yang dijamak cukup ditegakkan dengan satu azan dan setiap shalat didahului dengan satu iqamat.

Dalam permasalahan ini, terjadi perbedaan pendapat di antara ulama.

a. Dua shalat yang dijamak cukup ditegakkan dengan satu azan dan setiap shalat didahului dengan satu iqamat. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.

Dalil yang mereka gunakan adalah hadits Jabir radhiallahu anhu dalam Shahih Muslim. Hadits tersebut menyebutkan tata cara Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika mengerjakan Haji Wada’ di Arafah.

ثُمَّ أَذَّنَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ وَلَمْ يُصَلِّ بَيْنَهُمَا شَيْئًا –وَفِيهِ: حَتَّى إِذَا أَتَى الْمُزْدَلِفَةَ فَصَلَّى بِهَا الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ بِأَذَانٍ وَاحِدٍ وَإِقَامَتَيْنِ وَلَمْ يُسَبِّحْ بَيْنَهُمَا شَيْئًا

kemudian azan, dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berdiri lalu mengerjakan shalat Zuhur. Setelah itu beliau berdiri lalu shalat Asar. Beliau tidak mengerjakan shalat sunnah di antara keduanya sedikit pun.”

Di dalam hadits itu disebutkan, “ … sampai Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tiba di Muzdalifah, beliau mengerjakan shalat Magrib dan Isya di sana dengan satu azan dan dua iqamat. Beliau tidak mengerjakan shalat sunnah di antara keduanya sedikit pun.”

Baca juga: Hukum Tidak Menunaikan Shalat karena Malas

b. Sufyan ats-Tsauri dan sejumlah ulama—rahimahumullah—yang lain, berpendapat bahwa cukup ditegakkan dengan satu iqamat untuk dua shalat.

Dalil mereka adalah riwayat dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma,

أَنَّهُ جَمَعَ بَيْنَهُمَا بِإِقَامَةٍ وَاحِدَةٍ لَهُمَا

Beliau menjamak keduanya dengan satu iqamat untuk dua shalat tersebut.”

c. Mazhab Malik

Beliau berpendapat dengan menggabungkan dua shalat dengan dua azan dan dua iqamat. Hal ini berdasarkan riwayat Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu, dalam Shahih al-Bukhari, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengerjakan dua shalat, masing-masing dengan satu azan dan satu iqamat.

أَنَّهُ صَلَّى الصَّلَاتَيْنِ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بِأَذَانٍ وَإِقَامَةٍ

Beliau shallallahu alaihi wa sallam shalat (menggabungkan) dua shalat. Setiap shalat dengan satu azan dan satu iqamat.”

Pendapat yang kuat—wallahu a’lam—adalah pendapat pertama, sebagaimana dirajihkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Tahdzibus Sunnah (3/282), dan diikuti oleh guru kami, Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah dalam al-Jam’u baina ash-Shalatain fis Safar (hlm. 98). Lihat juga kitab Taisirul Allam (1/433).

Shalat yang Dijamak

Shalat yang diperbolehkan untuk dijamak adalah Zuhur dengan Asar, serta Magrib dengan Isya. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhuma,

كَانَ رَسُولُ اللهِ يَجْمَعُ بَيْنَ صَلَاةِ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ إِذَا كَانَ عَلَى ظَهْرِ سَيْرٍ وَيَجْمَعُ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjamak antara shalat Zuhur dan Asar apabila beliau shallallahu alaihi wa sallam berjalan (dalam safar), juga menjamak antara Magrib dan Isya.” (HR. al-Bukhari)


Catatan Kaki

[1] Sebelum tiba waktu yang biasanya beliau shallallahu alaihi wa sallam melakukan shalat padanya, tetapi tetap dilakukan setelah masuk waktu shalat. Lihat Fathul Bari (-ed.).

Ditulis oleh Ustadz Abu Muhammad Abdul Jabbar