Kejahilan, Lahan Subur Terorisme

Saat berlalu sosok wanita yang mengenakan pakaian hitam dengan wajah ditutup cadar, sekian pasang mata mengarah pandang padanya. Aneh, asing, tak seperti umumnya; begitu kesan mereka. Pemandangan semacam ini kerap ditemui di berbagai tempat. Fenomena ini memberi sedikit gambaran betapa masyarakat luas masih asing dengan ajaran Islam yang satu ini, lebih-lebih pada kalangan muslimah. Nilai ajaran berhijab, menutup segenap tubuh, termasuk menutup wajah dengan cadar belum tertanam secara baik. Pemahaman yang berkembang selama ini, berbusana muslimah sekadar menutup kulit tubuh. Tak dipahami bahwa berbusana muslimah yang selaras dengan tuntunan Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul- Nya harus tidak transparan, membentuk lekuk tubuh, dan memamerkan perhiasan (tabarruj).

Detail penjelasan semacam ini tak diperhatikan sehingga busana muslimah lebih menguat nilai modisnya daripada nilai syar’inya. Akibat nilai modis itulah busana muslimah menjadi busana gaul yang memberi stimulus pada orang lain untuk lebih tertarik. Lebih lebih pada kaum laki-laki, busana punmenjadi daya pikat. Jika demikian, tentu saja busana itu telah menjadi sarana bagi berkembangnya fitnah (godaan). Sikap asing, merasa aneh masyarakat dalam merespon cara berpakaian dengan hijab dan cadar bisa menjadi barometer sejauh mana masyarakat mengenali pakaian yang sesuai dengan syariat. Ini tentu saja tidak bisa dilepaskan dengan tingkat pemahaman masyarakat Islam terhadap agamanya. Semakin masyarakat memahami agamanya, semakin banyak ketentuan syariat yang dia pahami.

Termasuk dalam hal ini ketentuan berbusana pada muslimah. Keterbatasan pemahaman masyarakat tentang hal ini akan melahirkan sikap asing terhadap ajaran agamanya. Diperparah lagi dengan dibumbui isu-isu negatif terkait dengan hijab dan cadar. Misalnya, tumbuh stigma bahwa hijab dan cadar identik dengan kaum teroris. Apabila stigma ini terus berkembang, tingkat obkjektivitas masyarakat dalam memahami pakaian yang syar’i akan semakin rendah. Sikap merasa asing terhadap ketentuan agama tidak hanya dalam masalah hijab dan cadar. Keterbatasan masyarakat dalam memahami ajaran agama ditemui pula dalam hal lainnya.

Sebut saja masalah jenggot, berpakaian di atas mata kaki, larangan berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram, musik, dan lainnya. Bahkan, dalam masalah yang mendasar sekalipun, banyak masyarakat Islam tidak memahaminya. Di antaranya adalah masalah ibadah, thaharah (bersuci), shalat, puasa, zakat, dan haji. Terkait pula dengan akidah, membedakan antara syirik dan tauhid, sunnah dan bid’ah. Banyak kaum muslimin yang begitu awam, tidak mengenali Islam secara baik dan benar. Inilah kenyataan yang ada. Dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ

“Islam pada awal (kemunculannya) dianggap sebagai sesuatu yang asing, dan akan kembali menjadi sesuatu yang asing sebagaimana awal (kemunculannya). Berbahagialah bagi orang-orang asing.” (HR. Muslim no. 145)

Siapakah orang asing itu (alghuraba’)? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskannya,

نَاسٌ صَالِحُونَ فِي نَاسِ سَوْءٍ كَثِيرٍ مَنْ يَعْصِيهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيعُهُمْ

“Orang-orang baik yang berjumlah sedikit di tengah-tengah manusia yang buruk yang berjumlah banyak. Orang yang menentang (memaksiati) mereka lebih banyak dibandingkan dengan yang menaatinya.” (ash-Shahihah no. 1619. Lihat Lamu ad-Dur al-Mantsur, hlm. 210)

Saat ditanya siapakah al-ghuraba’ itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الَّذِينَ يُصْلِحُونَ إِذَا فَسَدَ النَّاسُ

“Orang-orang yang berbuat kebaikan di saat manusia telah rusak.” ( ash- Shahihah, no. 1273. Lihat Lamu ad- Dur al-Mantsur, hlm. 210)

Terkait dengan “orang yang asing” ini, Syaikhul Islam rahimahullah mengutip firman Allah Subhanahu wata’ala,

فَلَوْلَا كَانَ مِنَ الْقُرُونِ مِن قَبْلِكُمْ أُولُو بَقِيَّةٍ يَنْهَوْنَ عَنِ الْفَسَادِ فِي الْأَرْضِ إِلَّا قَلِيلًا مِّمَّنْ أَنجَيْنَا مِنْهُمْ ۗ وَاتَّبَعَ الَّذِينَ ظَلَمُوا مَا أُتْرِفُوا فِيهِ وَكَانُوا مُجْرِمِينَ

“Maka mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu orangorang yang mempunyai keutamaan yang melarang daripada (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali sebagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka, dan orang-orang yang zalim hanya mementingkan kenikmatan yang mewah yang ada pada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa.” (Hud: 116)

Mereka berjumlah sedikit sekali. Mereka disebut orang asing lantaran mayoritas manusia tidak memiliki sifatsifat mereka. (Madariju as-Salikin, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, hlm. 158)

Al – Qadhi bin ‘ Iyadh rahimahullah menyatakan bahwa apa yang tampak dari hadits tersebut adalah bersifat umum. Sesungguhnya Islam dimulai dari satu orang kemudian sekelompok kecil manusia. Lantas tersebar luas, setelah itu akan berkurang hingga tak tersisa kecuali sedikit sebagaimana di permulaan Islam datang. (al-Minhaj, 2/354)

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah al-Fauzan hafizhahullah menyebutkan bahwa kebodohan (umat Islam) terhadap akidah yang benar disebabkan berpaling dari belajarmengajar akidah yang benar. Sedikit sekali perhatian dan dukungan terhadap hal itu sehingga timbul satu generasi yang tak lagi mengenal akidah yang benar. Mereka tak mengetahui segenap apa yang menyelisihi dan berlawanan dengannya. Karena itu, kebenaran dinyatakan sebagai kebatilan dan yang batil diyakini sebagai kebenaran. Hal ini  sebagaimana dinyatakan oleh Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu,

إِنَّمَا تُنْقَضُ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً إِذَا نَشَأَ فِي الْإِسْلَامِ مَنْ لاَ يَعْرِفُ الْجَاهِلِيَّةَ

“Sesungguhnya tali Islam terurai seikat demi seikat, ketika tumbuh dalam Islam orang yang tidak mengetahui kejahiliahan.” (Aqidatu at-Tauhid, hlm. 14)

Disebutkan oleh Abu Idris al- Khaulani rahimahullah,

سَمِعْتُ أَنَّ لِلْإِسْلَامِ عُرًى يَتَعَلَّقُ النَّاسُ بِهَا، وَإِنَّمَا تَمْتَلِغُ عُرْوَةً عُرْوَةً، فَأَوَّلُ مَا يَمْتَلِغُ مِنْهَا الْحُكْمُ وآخِرُ مَا يَمْتَلِغُ مِنْهَا الصَّلاَةُ

“Saya mendengar sesungguhnya pada Islam terdapat ikatan yang manusia tergantung padanya. Sesungguhnya akan tercerabut seikat demi seikat (ikatan tersebut). Pertama yang dicabut dari ikatan tersebut adalah hukum. Adapun yang paling akhir adalah shalat.” (Lamu ad-Dur al-Mantsur min al-Qauli wa al-Ma’tsur fi al-I’tiqad wa as-Sunnah, Abu Furaihan Jamal bin al-Furaihan al-Haritsi, hlm. 212)

Selaras dengan hal itu, dinyatakan pula oleh Yunus bin Ubaid rahimahullah,

إِنَّ الَّذِي نَعْرِضُ عَلَيْهِ السُّنَّةَ فَيَقْبَلُهَا لَغَرِيبٌ، وَأَغْرَبُ مِنْهُ صَاحِبُهَا

“Sungguh, benar-benar asing, orang yang kami tampakkan as-Sunnah kepadanya lantas dia menerimanya. Lebih asing lagi adalah orang yang mengamalkannya.” (Lamu ad-Dur hlm. 212)

Demikian keadaan kaum muslimin. Betapa ajaran agama yang semestinya dipegang erat, tetapi sebagian dari mereka masih merasakan sebagai ajaran yang asing. Mereka tak mengenali nilai-nilai Islam secara baik dan benar. Mengapa demikian? Satu di antara sebabnya, sebagaimana dinyatakan oleh asy-Syaikh Fauzan bin Abdillah al- Fauzan hafizhahullah adalah tidak adanya perhatian dan kepedulian terhadap syariat Islam itu sendiri. Malas dan enggan untuk mempelajari Islam. Akhirnya, sikap jahil (tak mau memahami Islam) terus-menerus menyelubungi mereka. Mereka akhirnya hidup dalam kegelapan dan selalu bergelimang kegulitaan. Wal ‘iyadzu billah.

Selain itu, tumbuhnya sikap jumud dan hanya bisa mengikuti tradisi nenek moyang menjadikan mereka asing dengan nilai-nilai Islam. Mereka hanya berkutat pada kebiasaan-kebiasaan yang diperbuat oleh leluhurnya. Sikap seperti ini menjadikan seseorang tersandera oleh kebodohannya. Allah Subhanahu wata’alatelah menggambarkan keadaan sikap taklid tersebut dalam firman-Nya,

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ

Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah.” Mereka menjawab, “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun dan tidak mendapat petunjuk? (al-Baqarah: 170)

Sibuk dengan urusan dunia, sementara urusan agama dilalaikan. Sikap semacam ini akan menggiring seorang hamba Allah Subhanahu wata’ala ke tepian yang membahayakan. Dia akan jahil dengan urusan agamanya dan akan mengalami kebinasaan lantaran kerakusannya pada dunia. Hidupnya dikendalikan oleh hawa nafsu yang terus memburu dunia, bukan hawa nafsunya yang semestinya dia kekang dan kendalikan. Padahal kenikmatan hidup di dunia dibandingkan dengan kehidupan akhirat hanyalah sedikit sekali. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

أَرَضِيتُم بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنَ الْآخِرَةِ ۚ فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ

“Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit.” (at-Taubah: 38)

Berapa banyak manusia tersungkur dalam kehidupan dunia dan lalai dari urusan agamanya. Sungguh, kehidupan dunia telah menipu dirinya hingga ia lalai dan tidak peduli dengan agamanya. Akhirnya, kejahilan pun melingkupi dirinya. Potret buram semacam ini sangat mirip dengan yang disebutkan oleh Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma saat memberikan tafsir ayat,

وَعْدَ اللَّهِ ۖ لَا يُخْلِفُ اللَّهُ وَعْدَهُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ () يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِّنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ

“(Sebagai) janji yang sebenarbenarnya dari Allah. Allah tidak akan menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedangkan tentang (kehidupan) akhirat mereka lalai.” (ar- Rum: 6—7)

Menurut Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, “Orang-orang kafir hanya mengetahui kehidupan dunia. Adapun tentang perkara agama, mereka adalah orang-orang yang teramat bodoh.” (Tafsir Ibnu Katsir, 6/321)

Karena itu, tidak sepantasnya seorang muslim meniru gaya hidup orang-orang kafir. Piawai apabila bergelut dengan urusan dunia, tetapi tak tebersit dalam benaknya untuk meraup kebahagiaan di akhirat. Tujuan hidup seorang muslim adalah meniti kehidupan dunia ini guna meraih surga nan penuh kenikmatan. Untuk itu, patut baginya senantiasa memerhatikan bimbingan agama. Meniti jalan lurus yang digariskan oleh Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Inilah yang membedakan sikap hidup muslim dan kafir.

 

Bahaya Kejahilan

Jahil, tak memahami Islam dengan baik dan benar akan menggiring ke lembah bencana. Kejahilan akan menjadikan seseorang tertimpa petaka. Betapa tidak, kejahilan yang ada pada seorang akan menyeretnya berperilaku dan bersikap menyalahi Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia bisa menjadi penentang al-haq,

meremehkan kebenaran. Jika demikian adanya, inilah sumbu bagi tersulutnya kebinasaan. Allah Subhanahu wata’ala mengingatkan hal ini,

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (an-Nur: 63)

وَجُعِلَ الذُّلُّ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي

“Rendah dan hina diperuntukkan bagi orang yang menyelisihi perintahku.” (HR. al-Bukhari)

Sungguh, ada seorang lelaki yang makan dengan tangan kirinya di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruhnya, “Makanlah dengan tangan kananmu!” Laki-laki itu membantah, “Saya tidak mampu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu menyatakan kepadanya, “Memang, engkau pasti tak mampu.” Tiadalah yang mencegah laki-laki itu untuk menunaikan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kecuali kesombongan yang ada pada dirinya. Laki-laki itu lantas tak mampu mengangkat tangannya. (HR. Muslim no. 2021, hadits Iyas bin Salamah bin al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu dari ayahnya)

Sikap jahil yang melekat di masyarakat Islam bisa menjadi lahan subur bagi tumbuhnya terorisme. Kekurangpahaman sebagian kaum muslimin terhadap ajaran Islam yang sebenarnya bakal menjadi celah menyusupnya paham-paham sempalan. Di antara sebab terseretnya manusia dalam pusaran paham sempalan adalah kejahilan dalam memaknai ayat atau hadits. Penafsiran terhadap satu ayat atau hadits tidak didasarkan pada kaidah baku sebagaimana dituntunkan oleh para ulama salaf.

Di sisi lain, masyarakat muslim diliputi pula oleh kejahilan sehingga tidak mampu memilah mana ajaran yang benar dan mana ajaran yang batil. Sempurnalah sudah dua sisi kejahilan. Sebagai pendakwah, jahil dalam menafsirkan ayat atau hadits, sedangkan yang menerima dakwah juga jahil lantaran tak memiliki bekal untuk menyaring ajaran-ajaran yang tidak benar. Berapa banyak anak muda yang masih polos dijejali paham ekstrem. Dengan kehampaan ilmu syar’i yang ada pada mereka, dipiculah semangat berperang. Doktrin ekstrem dengan kemasan jihad disuntikkan kepada mereka.

Akhirnya, daya tempur melibas musuh meluap-luap. Siapa yang tak sepaham dengan mereka dinyatakan sebagai musuh atau kaki tangan kaum kafir. Sikap ekstrem ini berujung pada pengkafiran serta penghalalan darah dan harta kaum muslimin. Tak sekadar itu, lantaran tidak berbekal ilmu yang memadai, makna jihad menciut di hadapan mereka. Jihad dimaknai oleh mereka sebagai tindakan perang, mengangkat senjata. Tak terlintas pengertian jihad yang lebih luas sebagaimana dijelaskan oleh para ulama. Karena itu, yang menggayut dalam benak mereka adalah jargon “Dibunuh atau Membunuh”. Pengertian jihad menjadi sempit adanya. Dalam sebuah hadits dari Fadhalah bin Ubaid al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda saat Hajjatul Wada’ (haji perpisahan),

الْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللهِ

“Orang yang berjihad (mujahid) itu adalah orang yang bersungguh-sungguh (melawan) nafsunya dalam rangka menaati Allah Subhanahu wata’ala.” (HR. al-Bazzar,

dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i dalam ash-Shahihu al-Musnad, 2/124 no. 1065)

Jadi, setiap muslim yang dengan ikhlas dan ittiba’ (mengikuti Rasulullah) Shallallahu ‘alaihi wasallam terus-menerus berupaya dengan sungguh-sungguh untuk senantiasa taat kepada Allah Subhanahu wata’ala, dia adalah seorang mujahid. Dirinya terhitung dalam jihad. Jadi, dengan hadits di atas pemaknaan jihad tak semata dengan cara berperang mengangkat senjata.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin menyebutkan bahwa menuntut ilmu adalah salah satu jihad di jalan Allah Subhanahu wata’ala. Beliau mengungkapkan, sesungguhnya agama Allah Subhanahu wata’ala akan tegak melalui dua hal. Pertama, ilmu dan burhan (hujah); kedua, pedang dan tombak.

Keduanya merupakan suatu keharusan. Sebab, tidak mungkin agama ini bisa tegak kecuali dengan mewujudkan keduanya. Adapun bentuk jihad yang pertama (ilmu dan burhan) didahulukan daripada jihad dengan pedang dan tombak (senjata). Tidaklah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam merombak tatanan satu masyarakat hingga masyarakat tersebut diberdayakan dengan cara mendakwahinya. Ini menunjukkan bahwa dakwah (menyampaikan ilmu) lebih didahulukan dan diutamakan daripada berperang mengangkat senjata. (al-Ilmu, hlm. 11)

Al-Khatib, Abu Nu’aim, dan selain keduanya meriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu yang menyatakan,

تَعَلَّمُوا الْعِلْمَ فَإِنَّ تَعَلُّمَهُ خَشْيَةٌ وَطَلَبَهُ عِبَادَةٌ وَمُدَارَسَتَهُ تَسْبِيحٌ وَالْبَحْثَ عَنْهُ جِهَادٌ

“Pelajarilah ilmu. Sungguh mempelajarinya karena Allah adalah khasyah (rasa takut kepada), mencarinya adalah ibadah, mengulang-ulangnya adalah tasbih, dan membahasnya adalah jihad.”

Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu menyebutkan,

مَنْ رَأَى أَنَّ الْغُدُوَّ إِلَى الْعِلْمِ لَيْسَ بِجِهَادٍ فَقَدْ نَقَصَ فِي رَأْيِهِ وَعَقْلِهِ

“Barang siapa berpendapat bahwa berangkat menuntut ilmu itu bukan jihad, sungguh telah ada kekurangan pada pemikiran dan akalnya.” (al-Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, hlm. 139 dan 145)

Karena itu, membenahi pemahaman kaum muslimin dengan memberikan ilmu agama yang benar sesuai dengan tuntunan salaful ummah adalah tindakan teramat penting dewasa ini. Tanpa bekal ilmu syar’i, umat akan mudah diombang-ambingkan oleh keadaan. Mereka tidak memiliki cara pandang yang tepat dalam beramal. Bagai pucuk aru, ke mana angin berembus, ke situlah ia mengarah. Wallahu a’lam.

Ditulis oleh Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafrudin