Kepada Siapa Shalat Berjamaah Diwajibkan

Diwajibkan shalat berjamaah hanya bagi kaum lelaki yang sudah baligh, terbebas dari halangan seperti sakit dan alasan lain yang dibenarkan oleh syariat seperti terdorong oleh hadats. Termasuk dalam hal ini adalah budak, menurut pendapat sebagian ulama. Hal ini berdasarkan keumuman dalil dan tidak ada pengecualian bagi para budak. Di samping itu, hak Allah k lebih dikedepankan ketimbang hak manusia.

Namun, sebagian ulama berpendapat, budak wajib shalat berjamaah dengan izin tuannya. Pendapat inilah yang dikuatkan oleh asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah. Adapun anak laki-laki yang belum baligh belum diwajibkan atasnya. Al- Imam an-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam syarah Shahih Muslim, pada bab “Bolehnya Berjamaah dalam Shalat Sunnah”, jika seorang anak yang sudah mumayyiz ikut berjamaah, shalatnya sah. Dibenarkan baginya untuk berdiri dalam barisan shaf menurut jumhur (mayoritas) ulama.

Demikian pula khuntsa (ambiguous genetalia atau pseudohermaphrodite), yaitu yang tidak diketahui apakah dia lelaki atau perempuan, tidak diwajibkan atasnya berjamaah. Termasuk yang tidak diwajibkan shalat berjamaah adalah kaum wanita. Sebab, mereka bukan orang-orang yang dianjurkan berkumpul dan menampakkan syiar Islam, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,

وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ

“Rumah-rumah mereka itu lebih baik bagi mereka.” (HR. Abu Dawud)

Namun, para ulama berselisih pendapat saat para wanita mendirikan shalat berjamaah tidak bersama kaum lelaki.

1. Sunnah.

Mereka berdalil bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Ummu Rauqah radhiyallahu ‘anha untuk mengimami keluarganya.

2. Makruh.

Mereka menganggap hadits Ummu Rauqah radhiyallahu ‘anha lemah. Wanita bukan kaum yang dituntut untuk berkumpul dan menampakkan syiar Islam sehingga tidak disukai bagi wanita untuk mendirikan shalat berjamaah di rumahnya. Selain itu, hal ini tidak dikenal di kalangan ummul mukminin (para istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam) ataupun dari selain mereka (para istri sahabat dan yang lain).

3. Mubah.

Mereka berpendapat, secara umum wanita termasuk yang diperbolehkan untuk berkumpul. Oleh karena itu, mereka boleh hadir di masjid dalam rangka melaksanakan shalat berjamaah, dengan tetap menjaga diri, aurat, dan suara.

Pendapat ini tidak mengapa untuk diambil, dan jika terkadang dilakukan tidak mengapa. An-Nawawi rahimahullah berkata, bab “Khurujin Nisa ilal Masjid Idza Lam Yatarattab Alaihi Fitnah wa Annaha La Takhruj Muthayyabah” (“Keluarnya Wanita ke Masjid Apabila Tidak Menimbulkan Fitnah dan Tidak Boleh Keluar Menggunakan Wewangian”).

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمْ الْمَسَاجِدَ إِذَا اسْتَأْذَنَّكُمْ إِلَيْهَا

Janganlah kalian menghalangi wanita pergi ke masjid, jika mereka telah meminta izin kepada kalian.’ (HR. Muslim)

Pada riwayat yang lain,

لَا تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ

Janganlah kalian menghalangi hamba-hamba (wanita) Allah Subhanahu wata’ala dari masjid Allah Subhanahu wata’ala.” (HR. Muslim)

Dari Zainab ats-Tsaqafiyyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْعِشَاءَ فَلَا تَطَيَّبْ تِلْكَ اللَّيْلَةَ

Apabila salah seorang dari kalian menghadiri shalat isya, janganlah menggunakan wewangian pada malam itu.” (HR. Muslim)

Para ulama berpendapat bolehnya wanita menghadiri shalat berjamaah di masjid dengan syarat tidak menggunakan wewangian, tidak bersolek, tidak bergelang kaki hingga terdengar gemerincing suaranya, tidak berpakaian mewah, tidak bercampur laki-laki dan perempuan, bukan wanita muda yang dikhawatirkan menimbulkan godaan bagi lawan jenis, serta tidak ada suatu sebab kerusakan dan kejelekan yang membahayakan di jalan. (asy-Syarh al-Mumti’, 2/369—371, Syarh an-Nawawi, 2/396—399)

Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafrudin