Paham liberalisme tumbuh di tengah manusia yang bermasyarakat, hingga masuk ke berbagai lini kehidupan. Liberalisme masuk ke ranah politik, ekonomi, bahkan akhirnya masuk pula ke ranah agama. Paham ini lantas memengaruhi sebuah masyarakat, baik yang beragama maupun tidak.
- Liberalisme dalam ranah politik
Liberalisme masuk ke ranah politik, sehingga kehidupan politik dan tata negara tidak boleh bertentangan dengan asas liberalisme itu sendiri, yaitu kebebasan.
Dalam kacamata liberalis, negara hanya sebuah alat untuk melindungi hak asasi manusia yang merupakan hukum abadi, yang seluruh peraturan atau hukum yang dibuat oleh pemerintah adalah untuk melindungi dan mempertahankannya.
Pemerintah harus mendapat persetujuan dari yang diperintah. Pemerintah tidak boleh bertindak menurut kehendaknya sendiri, tetapi harus bertindak menurut kehendak rakyat. Kebijakan rakyat adalah kebijakan publik. Lahirlah darinya demokrasi.
Dengan asas kebebasan, sistem ini mempersilakan siapapun untuk berpendapat, memilih, dan mengkritik; sehingga ahli maksiat sekalipun memiliki hak untuk memasuki arena perpolitikan.
Repotnya, ketika para ahli maksiat itu menjadi jumlah terbesar, kebijakan mereka akan menjadi kebijakan publik yang akan dimenangkan, sehingga suara orang saleh akan tenggelam dan tak terdengar sekalipun sesaleh para wali, karena kesalihan agama tak punya nilai lebih dalam kancah perpolitikan kaum liberal.
Ayat Allah,
أَفَنَجۡعَلُ ٱلۡمُسۡلِمِينَ كَٱلۡمُجۡرِمِينَ ٣٥
“Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)?” (al-Qalam: 35)
tak mendapat tempat.
Karena asas kebebasan yang dianut, tak jarang dalam kancah perpolitikan liberal terjadi berbagai persaingan yang tak sehat. Sebab, liberalisme jauh dari norma-norma agama, tidak terikat dengan bimbingan agama. Bahkan, liberalisme menganggap agama tempatnya hanya di masjid, bukan dalam ranah ketatanegaraan. Urusan antara negara dan agama dipisah, sekuler.
Panggung kritik terbuka lebar dalam arena pergulatan politik liberal. Persaingan politik yang bernapaskan ambisi kekuasaan pun menjamur. Mereka saling mengkritik, menjatuhkan, dan membuka aib di arena terbuka. Semua itu sah-sah saja, sekalipun dilakukan kepada pemimpin muslim yang sedang berkuasa.
Dalam konteks politik liberalis, tak berlaku hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang agung,
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلَا يُبْدِهِ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ يَأْخُذُ بِيَدِهِ فَيَخْلُوا بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيهِ
“Barang siapa hendak menasihati seorang penguasa, maka janganlah dia menampakkannya secara terang-terangan. Akan tetapi, hendaknya dia memegang tangannya dan menyendiri dengannya. Bila dia menerimanya, maka itu yang diharapkan. Kalaupun tidak, maka dia telah menunaikan kewajibannya.” (Sahih, HR. Ibnu Abi Ashim, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah)
Bisa kita bayangkan, bahkan kita rasakan, ketika politik ala liberal itu diberlakukan; yaitu kegaduhan politik yang mengganggu stabilitas keamanan. Sebab, penguasa lagi tidak mempunyai wibawa di mata rakyatnya, seorang rakyat bisa dengan semena-mena berbicara mengkritisi penguasanya bagaimanapun statusnya.
Entah sejauh mana jangkauan pandangnya, seluas apa wawasannya, ‘sebagus’ apa adabnya dalam menyampaikan kritik, sehingga orang semacamnya dibenarkan dan dibiarkan bebas menyampaikan pendapatnya.
Dalam bingkai politik liberal, ucapan sahabat mulia, Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, tidak berlaku.
نَهَانَا كُبَرَاؤُنَا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ :لاَ تَسُبُّوا أُمَرَاءَكُمْ وَلَا تَغُشُّوهُمْ وَلَا تَبْغَضُوهُمْ وَاتَّقُوا اللهَ وَاصْبِرُوا فَإِنَّ الْأَمْرَ قَرِيبٌ
Para pembesar kami dari para sahabat melarang kami, “Janganlah kalian mencela penguasa penguasa kalian, jangan curang terhadap mereka, jangan membenci mereka. Bertakwalah kalian kepada Allah, dan sabarlah, urusan ini telah dekat.” (Riwayat Ibnu Abi Ashim dalam kitab as-Sunnah: asy-Syaikh al-Albani berkata, “Sanadnya bagus.”)
- Liberalisme dalam ranah ekonomi
Perkembangan liberalisme sangat terkait dengan kaum borjuis. John Locke, salah satu tokoh liberal, menyebutkan bahwa kepemilikan pribadi termasuk yang terpenting dari hak asasi manusia. Asas kebebasan harus dimanfaatkan untuk menjaga bahkan mengembangkan kepemilikan pribadi tersebut.
Kebebasan tatanan ekonomi memainkan peranan dalam memajukan masyarakat yang bebas. Kebebasan dalam tatanan ekonomi itu sendiri merupakan komponen dari kebebasan dalam arti luas. Jadi, kebebasan di bidang ekonomi itu sendiri menjadi tujuan.
Di sisi lain, kebebasan di bidang ekonomi adalah cara yang sangat diperlukan untuk mencapai kebebasan politik. Selama kebebasan untuk mengadakan sistem transaksi dipertahankan secara efektif, maka ciri pokok dari usaha untuk mengatur aktivitas ekonomi melalui sistem pasar adalah bahwa ia mencegah campur tangan seseorang terhadap orang lain.
Jadi, terbukti bahwa kapitalisme adalah salah satu perwujudan dari kerangka pemikiran liberal. Sebab, kapitalisme adalah sebuah sistem perekonomian yang memberikan kebebasan secara penuh kepada setiap orang untuk melaksanakan perekonomian, seperti: memproduksi, menjual, dan menyalurkan barang.
Dalam perekonomian kapitalis, setiap warga dapat mengatur nasibnya sendiri sesuai dengan kemampuannya. Semua orang bebas bersaing dalam bisnis untuk memperoleh laba sebesar-besarnya.
Berbagai sistem ekonomi akan digali dan dicari tanpa mengacu kepada hukum agama dan norma masyarakat yang mulia. Istilah lintah darat tidak berlaku dalam sistem perekonomian liberal. Lintah itu telah berdasi, berada dalam ruangan AC duduk di kursi, sehingga tidak seram lagi. Tidak berlaku dalam sistem ekonomi liberal.
Firman Allah,
ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ ٱلرِّبَوٰاْ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِي يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيۡطَٰنُ مِنَ ٱلۡمَسِّۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ قَالُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡبَيۡعُ مِثۡلُ ٱلرِّبَوٰاْۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (al-Baqarah: 275)
Liberalisme di Kalangan Muslimin
Barat sangat berkepentingan untuk memberikan tafsir terhadap Islam dengan tafsiran ala liberal sejak dini. Sebab, hal tersebut mewujudkan berbagai kepentingan untuk menguasai negeri muslimin. Mereka sangat paham bahwa melenyapkan Islam dari negeri muslimin adalah sesuatu yang mustahil.
Mereka mengetahui bahwa penyelewengan dari ajaran Islam merupakan cara yang manjur untuk menghilangkan pengaruh Islam pada kaum muslimin. Demikian pula, penafsiran Islam dengan tafsir liberal akan menguatkan hubungan negeri kaum muslimin dengan tradisi Barat yang akan semakin memperkuat cengkraman Barat terhadap muslimin.
Segala kepentingan mereka akan bisa mereka lakukan, baik politik maupun ekonomi. Lebih dari itu, mereka bisa mengubah keyakinan (akidah) dengan menanamkan sekularisme dan pluralisme di tengah muslimin.
Ketika liberalisme masuk ke ranah agama Islam, pastilah akan merusak ajaran Islam baik dari sisi akidah, ibadah, maupun akhlak. Ini sudah terbukti.
Tafsir liberalis terhadap Islam sangat bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Parahnya, mereka tetap saja menyematkan nama Islam pada pemikirannya “Islam liberal”, padahal ajaran mereka itu anti-Islam.
Lihat saja dalam hal akidah. Mereka mengusung paham pluralisme yang meyakini semua agama sama dan benar sehingga menyerukan penyatuan agama. Paling tidak, mereka menanamkan keyakinan bahwa seseorang boleh memeluk agama selain Islam. Setiap orang berhak—menurut hak asasi manusia—untuk memilih agamanya, tidak meyakini bahwa Allah ‘azza wa jalla mewajibkan Islam atas mereka.
Tentu hal ini sangat bertolak belakang dengan ajaran Islam yang mewajibkan semua manusia untuk berislam. Firman Allah,
إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلۡإِسۡلَٰمُۗ
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali Imran: 19)
Dalam hal ibadah, kita dapati mereka dengan gegabah seenak selera mereka mengotak-atik ibadah dengan tafsir liberal, sampai-sampai waktu musim haji pun ingin mereka ubah.
Ibadah yang sifatnya sakral berani mereka politisir semau mereka. Bagaimana halnya dengan ibadah yang lain? Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌ.
“Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak atas dasar perintah kami, maka itu tertolak.” (Sahih, HR. Muslim)
Dalam hal akhlak, kaum liberal merupakan kaum yang ingin berakhlak semau mereka sendiri dengan sikap mendukung LGBT (lesbi, gay, biseksual, dan transgender), merendahkan orang yang taat beragama, bahkan tidak lagi beradab terhadap Allah ‘azza wa jalla. Bagaimana akhlak mereka terhadap Nabinya dan terhadap sesama manusia?
Dalam hal politik bernegara, pastilah mereka akan memisahkan antara agama dengan negara, sekularisme. Mereka tidak mau terikat dengan aturan yang mengikat mereka. Negara justru harus mendukung kebebasan dengan makna yang luas.
Dalam hal ekonomi, prinsip mereka adalah bagaimana bisa menjaga kepemilikan pribadi dan menguntungkan pribadi tanpa perhatian dengan ajaran agama, sehingga terciptalah paham kapitalisme dalam bidang ekonomi.
Ditulis oleh al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc