Akikah secara bahasa berasal dari kata yang berarti memotong. Adapun secara istilah agama, akikah adalah binatang yang disembelih karena lahirnya anak, baik laki-laki maupun perempuan. (asy-Syarhul Mumti’ 7/317 cet. al-Maktabah at-Taufiqiyyah)
Akikah punya sebutan lain, yaitu nasikah atau dzabihah yang berarti sembelihan. Tiga sebutan ini ditetapkan oleh syariat sehingga tidak pantas hanya dimasyhurkan (memakai) salah satunya dan yang lain ditinggalkan. (Tuhfatul Maudud hlm. 37)
Hukum Mengakikahi Bayi
Berdasarkan dalil-dalil yang kuat, akikah disyariatkan. Hanya saja telah terjadi perbedaan pendapat di antara ulama tentang wajib dan tidaknya.
- Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa akikah hukumnya sunnah.
Di antara dalil mereka adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Barangsiapa suka / ingin menasikahi/mengakikahi anaknya, hendaklah menasikahinya. Untuk anak laki-laki dua kambing yang sepadan dan untuk anak perempuan satu kambing.” (Hasan, HR. Abu Dawud, an-Nasai, dan selain keduanya)
Segi pendalilan dari hadits ini, masalah mengakikahi bayi diserahkan kepada keinginan orang tuanya sehingga menunjukkan bahwa hal itu tidak wajib. Mereka juga berdalil dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengatakan kepada Fatimah radhiallahu ‘anha ketika melahirkan al-Hasan radhiallahu ‘anhu,
“Jangan kamu mengakikahinya, tetapi gundullah rambut kepalanya….” (Hasan, HR. Ibnu Abi Syaibah, Ahmad 6/390—392, al-Baihaqi dalam al- Kubra 9/299, dan ath-Thabarani dalam al-Kabir)
- Ulama yang lain mengatakan bahwa akikah itu wajib. Di antara mereka adalah Buraidah al-Aslami, al-Hasan al-Bashri, al-Laits bin Sa’d, Dawud azh- Zhahiri, dan Ibnu Hazm rahimahumullah. Landasan pendapat ini adalah perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengakikahi anak, dan perintah pada dasarnya menunjukkan wajib.
Di antara dalil pendapat ini adalah:
- Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah mereka untuk (mengakikahi) anak laki-laki dengan dua kambing yang sepadan dan untuk anak perempuan satu kambing. (Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 1513)
- Hadits Salman bin ‘Amr adh- Dhabbi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Bersama anak laki-laki ada akikahnya, maka alirkanlah darah (sembelihan binatang) baginya dan singkirkanlah darinya kotoran (yakni dengan menggundul rambut kepala bayi).” (Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 1515 dan Shahih Ibnu Majah no. 3164)
Para ulama yang mengatakan wajib telah menjawab argumentasi para ulama yang mengatakan sunnah. Di antara sanggahan mereka:
- Hadits yang menyebutkan,
“Barang siapa ingin/suka menasikahi/ mengakikahi anaknya….” bukanlah dalil yang memalingkan hukum wajibnya akikah menjadi sunnah. Sebab, lafadz ini serupa dengan firman Allah ‘azza wa jalla,
“(Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus.” (at-Takwir: 28)
Apakah mencari jalan yang lurus (istiqamah) hukumnya hanya sunnah? Tentu tidak demikian, hukumnya wajib sebagaimana diketahui dari dalil-dalil yang lain.
- Adapun hadits Fathimah radhiallahu ‘anha
yang menyebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang Fathimah radhiallahu ‘anha mengakikahi anaknya, sebabnya ialah karena anaknya telah diakikahi oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana telah disebutkan oleh hadits yang lain, sehingga tidak perlu diakikahi lagi.
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengakikahi (bayi) adalah wajib, seperti telah kami sebutkan. Tidak halal bagi seorang untuk menafsirkan suatu perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa hal itu boleh ditinggalkan, kecuali dengan adanya nash (dalil) yang lain tentang hal itu….” (al-Muhalla 7/526)
Argumentasi kedua pendapat di atas masih banyak dan tidak mungkin ditampilkan secara panjang lebar di ruang yang terbatas ini. Pembaca kami persilakan melihat kitab Tuhfatul Maudud karya Ibnul Qayyim dan Ahkamul Maulud fis-Sunnah al-Muthahharah karya Salim asy-Syibli dan Muhammad ar-Rabah.
Pendapat yang mengatakan akikah hukumnya wajib itu lebih kuat. Oleh karena itu, seorang muslim—meskipun mengikuti pendapat yang mengatakan sunnah—tidak pantas meninggalkan perintah akikah ini selagi ia mampu. Hal ini demi mewujudkan sikap ittiba’ (mengikut) kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan kunci kesuksesan hidup di dunia dan akhirat.
Namun, apabila seseorang tidak mampu mengakikahi anaknya karena keterbatasan dana misalnya, tidak mengapa dia tidak mengakikahi anaknya. Hal ini berlandaskan firman Allah ‘azza wa jalla,
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (al-Baqarah: 286)
Ketentuan Binatang yang Disembelih Untuk Nasikah
Akikah tidak sah kecuali dengan kambing, baik kambing domba atau kambing kacang. Hal ini berlandaskan beberapa riwayat, di antaranya hadits,
“Bagi anak laki-laki (akikah) dua kambing yang sepadan dan bagi anak perempuan satu kambing.” (HR. at- Tirmidzi, Ahmad, dan lainnya dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha)
Maksud “yang sepadan” adalah sepadan dari sisi umur dan bagusnya. (Faidhul Qadir dan Nailul Authar 5/158)
Terdapat atsar bahwa ketika lahir anak laki-laki Abdurrahman bin Abi Bakr ash-Shiddiq maka dikatakan kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, ummul mukminin, “Akikahilah ia dengan (menyembelih) unta!” Aisyah berkata, “Aku berlindung kepada Allah ‘azza wa jalla. Akan tetapi, (seperti) apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan (yaitu) dua kambing yang sepadan.” (HR. ath- Thahawi dan al-Baihaqi. Asy-Syaikhal-Albani berkata dalam al-Irwa’ bahwa sanadnya hasan 4/390)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
“Menurut saya, tidak sah akikah selain dengan kambing.” (Fathul Bari 9/593)
Adapun atsar yang datang dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwa ia mengakikahi anaknya dengan unta, atsar ini memang sahih, diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf dan ath-Thabarani dalam al-Kabir. Akan tetapi, sahabat Anas radhiallahu ‘anhu di sini tidak menyebutkan apakah itu adalah perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ucapannya atau bukan. Jika demikian, kita mengambil yang jelas dari ucapan dan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu akikah dengan menyembelih kambing.
Adapun hadits riwayat ath- Thabarani (yang artinya), “Barang siapa dianugerahi anak laki-laki hendaklah ia mengakikahinya dengan unta, sapi, dan kambing.” (al-Mu’jam ash-Shaghir: 45) dinyatakan maudhu’ (palsu) oleh ulama. Hadits di atas mengandung banyak cacat pada sanadnya, dan yang paling menonjol adalah adanya rawi bernama Mas’ud bin al-Yasa. Al-Hafizh al-Haitsami rahimahullah berkata, “Dia pendusta.” (lihat Irwa’ul Ghalil 4/393—394)
Menurut sebagian ulama, kambing untuk akikah memiliki kriteria seperti kambing yang sah untuk kurban, yaitu telah berumur setahun, tidak buta, tidak kurus kering, tidak pincang, tidak sakit, tidak boleh dijual sedikit pun dari daging dan kulitnya, serta boleh (namun makruh) dipatahkan tulangnya. Orang yang mengakikahi boleh makan darinya dan menyedekahkannya. (Tuhfatul Maudud hlm. 53)
Jumlah Kambing yang Disembelih
Seperti telah disebutkan bahwa untuk anak laki-laki dua kambing dan untuk anak perempuan satu kambing. Tidak ada masalah, apakah kambing yang disembelih itu jantan atau betina sebagaimana telah disebutkan yang demikian dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi 2/164—165 no. 1517)
Apabila seseorang hanya mampu mengakikahi anak laki-lakinya dengan seekor kambing, sebagian ulama mengatakan itu telah sah dan tujuan akikah telah tercapai. Akan tetapi, apabila suatu saat nanti Allah ‘azza wa jalla memberi kecukupan kepadanya, hendaknya ia menyembelih seekor kambing lagi sehingga menjadi dua kambing. Ini yang utama. (asy-Syarhul Mumti’, asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin 7/318)
Waktu Akikah
Waktu penyembelihannya adalah pada hari ketujuh dihitung dari hari kelahirannya. Ini berlandaskan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Setiap anak tergadaikan dengan akikahnya, disembelih baginya pada hari ketujuhnya.” ( HR. Abu Dawud no. 2838 dari Samurah bin Jundub radhiallahu ‘anhu. Lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 1522)
Berlandaskan hadits ini dan selainnya, waktu penyembelihannya adalah pada hari ketujuh dan tidak boleh dilakukan sebelum hari ketujuh. Apabila tidak mampu menyembelih pada hari ketujuh, dia menyembelih kapan saja ia mampu sebagai sesuatu yang wajib. (al-Muhalla 7/523)
Apabila dia baru mampu menyembelih setelah hari ketujuh, ia melakukannya kapan saja ia mampu tanpa menentukan hari tertentu. Adapun yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda (yang artinya), “Disembelih pada hari ketujuh, hari keempat belas, dan hari kedua puluh satu,” hadits ini lemah sehingga tidak bisa menjadi landasan hukum. Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam as-Sunan (9/303) dan ath-Thabarani dalam Mu’jam ash-Shaghir dari hadits Buraidah radhiallahu ‘anhu. Dalam sanadnya ada rawi bernama Ismail bin Muslim al-Makki, ia dhaif (lemah). (lihat Irwaul Ghalil 4/395)
Apabila Bayi Meninggal Sebelum Hari Ketujuh, Apakah Diakikahi?
Sebagian ulama berpendapat bahwa akikah tidaklah gugur. Alasannya, dalil-dalil syariat yang ada hanyalah menunjukkan waktu penyembelihannya (yaitu hari ketujuh). Jadi, akikah tidak gugur apabila bayi itu mati sebelum hari ketujuh. Sebab, dalil-dalil tersebut secara garis besarnya menunjukkan bahwa akikah disyariatkan dengan sebab kelahiran anak dan akikah disembelih pada hari ketujuh. (lihat Fatawa al- Lajnah ad-Daimah 11/445)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah merinci tentang bayi yang (disyariatkan untuk) diakikahi, apakah disyaratkan ia lahir dalam keadaan hidup? Apakah disyaratkan juga terhadap janin yang gugur sesudah ditiup padanya ruh?
Beliau menyebutkan empat tingkatan:
- Janin yang gugur sebelum ditiup ruh atasnya tidak diakikahi.
- Janin yang keluar sudah mati dalam keadaan telah ditiup ruh atasnya, maka ada dua pendapat ulama.
- Janin yang lahir dalam keadaan hidup dan meninggal sebelum hari ketujuh. Dalam hal ini juga ada dua pendapat ulama. Namun, pendapat yang menyatakan diakikahi lebih kuat daripada pendapat yang mengatakan diakikahi pada tingkatan kedua.
- Ia lahir hidup sampai hari ketujuh dan meninggal di hari kedelapan (sebelum diakikahi), tetap diakikahi. (asy-Syarhul Mumti’ 7/320)
Siapa yang Mengakikahi Anak?
Asalnya, yang dibebani melakukan akikah adalah ayah sang bayi. Akan tetapi, apabila ayahnya sudah meninggal, sang ibu menggantikan kedudukannya. (asy-Syarhul Mumti’ 7/318)
Boleh pula bayi tersebut diakikahi oleh selain ayah dan ibunya, sebagaimana halnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakikahi al-Hasan dan al-Husain radhiallahu ‘anhuma. (Sunan Abu Dawud no. 2841)
Boleh Mengakikahi Diri Sendiri
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakikahi dirinya sendiri setelah diutus menjadi nabi. Jalan periwayatan hadits ini dari Anas radhiallahu ‘anhu ada dua.
Jalur pertama: Dari Abdullah bin al-Muharrar, dari Qatadah, dari Anas radhiallahu ‘anhu.
Melalui jalan inilah Abdurrazzaq meriwayatkannya dalam al-Mushannaf (4/329/7960), al-Bazzar dalam Musnad-nya (2/74/1237), dan yang lainnya.
Al-Bazzar berkata, “Abdullah bin al- Muharrar menyendiri dalam meriwayatkan hadits ini dan dia dhaif jiddan (lemah sekali)….”
Jalan kedua: Dari al-Haitsam bin Jamil, ia berkata, “Abdullah bin al-Mutsanna bin Anas telah bercerita kepada kami dari Tsumamah bin Anas, dari Anas.”
Melalui jalan inilah ath-Thahawi rahimahullah meriwayatkan dalam Musykilul Atsar (1/471), ath-Thabarani dalam al- Mu’jam al-Ausath, dan lainnya. Sanad hadits ini dinyatakan hasan (bagus) oleh asy-Syaikh al-Albani dan dinyatakan kuat oleh al-Imam al-Isybili rahimahullah dalam al-Ahkam.
Sebagian salaf berpendapat bahwa hadits ini diamalkan. Di antara mereka adalah Ibnu Sirin rahimahullah. Ia berkata, “Jika aku tahu bahwa aku belum diakikahi, aku akan mengakikahi diriku sendiri.”
Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata,
“Jika engkau belum diakikahi, akikahilah dirimu, meskipun engkau sudah menjadi seorang lelaki (dewasa).”
Kedua atsar di atas dinyatakan kuat oleh asy-Syaikh al-Albani (lihat as- Silsilah ash-Shahihah 6/502—506).
Membagikan Daging Akikah
Daging akikah diberikan kepada para tetangga dan orang-orang miskin. Orang yang mengakikahi dan keluarganya diperbolehkan memakan sebagian daging tersebut. Daging akikah boleh dibagikan dalam keadaan masih mentah atau sudah matang. Bahkan, boleh juga dimasak dengan dicampur sesuatu selain daging akikah. Hanya saja, dibagikan dalam keadaan matang tentu lebih baik karena tidak merepotkan para tetangga dan orang-orang miskin untuk memasaknya. Dengan demikian, diharapkan mereka lebih senang karena tidak perlu repot memasaknya. (lihat Tuhfatul Maudud hlm. 50 dan 55 cet. al-Mu’ayyad)
Dibolehkan juga dia mengundang orang untuk memakan daging akikah. Hal ini berlandaskan atsar Mu’awiyah bin Qurrah, ia berkata, “Ketika lahir anakku, Iyas, aku mengundang beberapa orang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian aku memberi mereka makan….” (Shahih al-Adab al-Mufrad no. 950)
Disebutkan dalam fatwa al-Lajnah ad-Daimah (Komite Fatwa Ulama Arab Saudi), “Orang yang mengakikahi boleh membagikan dagingnya dalam keadaan masih mentah atau sudah dimasak. (Daging itu diberikan) kepada orangorang fakir, tetangga, kerabat, dan rekan-rekan. Dia dan keluarganya boleh memakan sebagiannya. Boleh pula dia mengundang manusia, yang fakir dan yang kaya, lalu memberi mereka makanan dari daging akikah, di rumahnya atau yang semisalnya.” (Fatawa al-Lajnah, 11/443—444)
Hikmah Akikah
Akikah adalah ibadah yang sarat makna dan hikmah, di antaranya:
- Menghidupkan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau lakukan dan beliau perintahkan umatnya untuk melakukannya.
- Bentuk berkurban bagi anak untuk mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla di saat awal ia terlahir di dunia.
- Akikah akan melepaskan anak dari statusnya yang tergadaikan sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Semua anak tergadaikan dengan akikahnya.” (Sahih, HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai, dan Ibnu Majah)
Ulama berbeda pendapat tentang maksud “tergadaikan” pada hadits di atas. Ada yang mengatakan bahwa anak tidak bisa memberi syafaat orang tuanya apabila tidak diakikahi. Ini adalah pendapat ‘Atha rahimahullah dan diikuti oleh al-Imam Ahmad rahimahullah. Akan tetapi, al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah tidak sependapat dengan penafsiran ini dengan beberapa alasan. Di antaranya, syafaat di hari kiamat tidak terjadi kecuali apabila yang memberi syafaat diberi izin oleh Allah ‘azza wa jalla dan yang diberi syafaat adalah orang yang diridhai oleh Allah ‘azza wa jalla karena tauhid dan ikhlasnya. Selain itu, lafadz hadits di atas tidak menunjukkan kepada penafsiran ‘Atha rahimahullah. Ibnul Qayyim rahimahullah lebih cenderung kepada pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud tergadaikan adalah terhalangi dari hal yang sedang ia usahakan untuk mendapatkannya.
Dengan diakikahi, Allah ‘azza wa jalla melepaskan anak itu dari kekangan setan yang selalu menempel pada bayi sejak lahir di dunia ini dan menusuk pinggang bayi. (Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud hlm. 46—49)
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abdul Mu’thi Sutarman, Lc.
Comments are closed.