Pada hari ketujuh dari kelahiran bayi ia sudah harus diberi nama. Hal ini demi menjalankan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana tersebut dalam hadits Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhuma bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menamai anak pada hari ketujuh. (Dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 2832 cet. al-Ma’arif)
Namun, dibolehkan memberi nama anak sebelum hari ketujuh. Landasannya adalah hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tadi malam terlahir bagiku anak laki-laki lalu aku memberinya nama (seperti nama) bapakku, (Nabi) Ibrahim ‘alaihissalam.” (Shahih Muslim no. 2310)
An-Nawawi rahimahullah berkata, “Boleh menamai anak pada hari kelahirannya.” (Syarh Shahih Muslim 14/100)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“Sesungguhnya, hakikat penamaan adalah memperkenalkan sesuatu yang diberi nama. Sebab, jika sesuatu itu ada dan tidak diketahui namanya, tentu tidak ada sesuatu yang menyebabkannya dikenal.
Maka dari itu, boleh untuk memberi nama pada hari kelahirannya, dan boleh mengakhirkannya sampai tiga hari dan sampai hari diakikahi (hari ketujuh) dan boleh (juga) sebelum itu dan setelahnya, perkaranya di sini lapang.”
Di sini, Ibnul Qayyim rahimahullah membolehkan memberi nama anak setelah hari akikah (setelah hari ketujuh), namun demi mengamalkan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seharusnya dihari ketujuh sudah diberi nama, atau kalau seorang mau maka boleh memberi nama sebelum hari ketujuh. (Tuhfatul Maudud hlm. 71)
Siapa yang Berhak Memberi Nama?
Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan,
“Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini bahwa jika terjadi perselisihan antara ayah dan ibu dalam hal penamaan anak, ayahlah yang memiliki hak.” (Tuhfatul Maudud hlm. 85)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Pada dasarnya (masalah) penamaan dikembalikan kepada (hak) ayah, karena dia yang memiliki hak kewalian. Akan tetapi, seyogianya sang ayah bermusyawarah dengan ibu dan saudara-saudara si bayi dalam hal ini… Telah dimaklumi, apabila seseorang bersikap lapang terhadap keluarganya dan bermusyawarah dalam urusan seperti ini, tentu itu termasuk kebaikan.
Terkadang ibu berbeda pendapat dengan ayah dalam hal pemberian nama. Jika demikian, yang dijadikan pegangan adalah pendapat ayahnya. Namun, apabila mampu memadukan dua pendapat tersebut dengan memilih nama lain yang bisa disepakati kedua belah pihak, tentu ini lebih baik. Sebab, apabila terjadi kecocokan tentu lebih baik dan enak di hati.” (asy-Syarhul Mumti’, 7/322)
Memberi Nama yang Bagus
Hendaknya orang tua atau yang berkedudukan sebagai orang tua memberi nama anaknya dengan nama-nama yang bagus, yaitu bagus secara makna dan tidak bertentangan dengan aturan agama.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menerangkan, “Dalam kesempatan ini hendaknya seorang memilihkan untuk anaknya nama yang nantinya anak tidak akan menanggung celaan di saat dewasa dan tidak merasa tersakiti dengan nama itu, karena terkadang seorang ayah menyukai suatu nama tertentu akan tetapi di kemudian hari sang anak merasa tersakiti dengan nama tersebut sehingga menjadi sebab anak itu terganggu. Suatu hal yang maklum bahwa menyakiti seorang mukmin itu haram, maka seseorang (hendaknya) memilihkan nama yang terbagus dan paling dicintai Allah ‘azza wa jalla….” (asy-Syarhul Mumti’ 7/320—321)
Secara fitrah, orang senang dengan sebutan yang baik serta suka mendengarkan dan melihat sesuatu yang indah sehingga sangat tidak tepat bila ada yang mengatakan, “Apa arti sebuah nama.”
Bila kita melihat sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita akan dapati beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyukai nama yang baik dengan bukti ketika ada seorang sahabat memiliki nama yang tidak baik beliau menggantinya. Dahulu sahabat ‘Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu memiliki anak perempuan yang diberi nama ‘Ashiyah ( عَاصِيَةُ ) maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nama ia dengan Jamilah جَمِيْلة) ). ‘Ashiyah artinya wanita yang bermaksiat sedangkan Jamilah artinya wanita yang cantik.
Sa’id bin al-Musayyib rahimahullah meriwayatkan dari bapaknya, bapaknya dari kakeknya, bahwa ia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Nabi bertanya, “Siapa namamu?” Ia (kakeknya Sa’id) menjawab, “Hazn.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Engkau Sahl.” Hazn berkata, “Aku tidak akan mengubah nama yang diberikan oleh bapakku.” (Shahih al-Bukhari no. 6190)
Hazn artinya keras, kaku, dan kasar.
Adapun Sahl artinya mudah dan lunak.
Sa’id bin al-Musayyib bin Hazn rahimahullah berkata,
“Perangai kaku/keras setelah itu selalu ada di tengah-tengah (keluarga) kami.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengubah nama yang jelek dengan nama yang baik. Sebab, nama yang baik mengandung pengharapan kebaikan, sedangkan nama yang jelek menjadikan seseorang beranggapan ada kesialan pada dirinya.
Memang, nama punya pengaruh dan sarat akan makna. Coba Anda perhatikan hadits Sa’id bin al-Musayyib rahimahullah di atas, bagaimana pengaruh nama yang jelek dirasakan keluarganya. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah menyarankan kakeknya untuk mengubah namanya (Hazn) menjadi yang baik, yaitu Sahl. Ia menolaknya dengan alasan tidak mau mengubah nama yang telah diberikan kepadanya oleh orang tuanya. Karena bersikukuh dengan nama jelek yang diberikan oleh orang tuanya, pengaruh nama jelek itu dirasakan hingga oleh anak cucunya.
Dahulu ketika terjadi Perjanjian Hudaibiyah antara pihak muslimin dan kafir, delegasi kafir Quraisy datang untuk berunding dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun tidak ada yang berhasil. Sampai datang utusan dari mereka yang bernama Suhail bin ‘Amr. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Suhail datang, beliau menyatakan,
“Perkara kalian telah mudah.” (Shahih al-Bukhari no. 2732)
Suhail artinya mudah.
Nama yang Paling Bagus
Disunnahkan bagi keluarga yang dianugerahi anak untuk memilihkan nama dari nama-nama yang dicintai oleh Allah ‘azza wa jalla dan nama-nama yang baik yang mendekatinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya nama-nama kalian yang paling dicintai Allah ‘azza wa jalla adalah ‘Abdullah dan Abdurrahman.” (Shahih Muslim no. 2132 dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma)
Demikian pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Nama-nama yang paling dicintai oleh Allah k adalah ‘Abdullah dan ‘Abdurrahman. Nama yang paling jujur/cocok adalah Harits dan Hammam, dan yang paling jelek adalah Harb dan Murrah.” (HR. al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad dan dinyatakan sahiholeh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih al-Adab no. 625)
Hammam artinya adalah orang yang punya tekad/kehendak, sedangkan Harits artinya adalah orang yang berusaha.
Dikatakan nama yang paling jujur karena nama tersebut sesuai dengan maknanya. Sebab, tekad adalah permulaan suatu keinginan, dan dari keinginan ini akan muncul adanya usaha. Orang yang diberi nama dengan dua nama tersebut tidak terlepas dari hakikat maknanya. Berbeda halnya dengan orang yang diberi nama selain dua nama ini. (Faidhul Qadir 1/219)
Harb artinya adalah perang dan Murrah artinya pahit.
Adapun hadits yang berbunyi,
“Nama yang paling dicintai Allah ‘azza wa jalla adalah yang menunjukkan kepada (arti) penghambaan (kepada Allah ‘azza wa jalla) dan (arti) pujian.”
Asy-Syaikh al-Albani mengatakan, tidak ada asal-usulnya. Hal ini telah ditegaskan oleh as-Suyuthi dan selainnya. (as-Silsilah adh-Dhaifah no. 411)
Alangkah bagusnya jika bayi diberi nama dengan nama-nama para nabi.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ambillah nama (seperti) namaku.” (Shahih Muslim no. 2134)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberi nama sebagian anak sahabatnya dengan nama para nabi, seperti dalam Shahih al-Bukhari (no. 6198).
Nama-Nama yang Diharamkan
Ada penamaan anak yang diharamkan agama, di antaranya:
- Seluruh nama yang mengandung bentuk penghambaan kepada selain Allah ‘azza wa jalla, semisal Abdu Husain (hamba Husain) dan Abdur Rasul (hamba Rasul).
Nama yang mengandung bentuk penghambaan kepada selain Allah ‘azza wa jalla wajib diganti. Ibnu Hazm rahimahullah berkata,
“Mereka (ulama) sepakat tentang haramnya setiap nama yang menunjukkan penghambaan kepada selain Allah ‘azza wa jalla.” (Tuhfatul Maudud hlm. 72)
Apabila kita memiliki ayah atau kakek yang namanya mengandung bentuk penghambaan kepada selain Allah ‘azza wa jalla, sedangkan mereka telah meninggal, nama tersebut tidak harus diubah. Hal ini berlandaskan hadits,
“Saya putra Abdul Muththalib.” (Shahih al-Bukhari no. 2864)
Hal ini (tidak mengganti nama yang sudah meninggal) diperbolehkan karena bersifat pengabaran, bukan memulai membuat nama. (asy-Syarhul Mumti’ 7/320)
- Nama مَلِكُ الْمُلُكِ (rajanya seluruh raja), سُلْطَانُ السَّلَاطَيْن (penguasanya para penguasa), dan شَاهٍ شَاه (raja diraja) Landasannya adalah hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Orang yang paling dimurkai dan paling jelek di sisi Allah ‘azza wa jalla pada hari kiamat adalah seorang yang diberi nama مَلِكَ الْأَمْلَاكِ (raja seluruh makhluk), (padahal) tiada raja yang sesungguhnya selain Allah ‘azza wa jalla.” (Muttafaqun ‘alaih)
- Nama سَيِّدُ النَّاسِ ( sayyidun nas/ pemimpin manusia) dan سَيِّدُ الْكُلِّ (sayyidul kulli/pemimpin seluruhnya) karena nama ini hanya untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Nama yang khusus untuk Allah ‘azza wa jalla, seperti اَلْاَحَدُ (Yang Maha Esa) dan اَلرَّزَّاقُ (Sang Pemberi Rezeki). (lihat Tuhfatul Maudud karya Ibnul Qayyim rahimahullah)
Nama-Nama yang Dimakruhkan
Yang dimaksud di sini adalah namanama yang dilarang namun tidak sampai tingkatan haram, seperti Yasar (mudah), Rabah (orang yang untung), Najah (sukses), dan Aflah (beruntung). Hal ini berlandaskan hadits Samurah bin Jundub radhiallahu ‘anhu bahwa ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami menamai budak kami dengan empat nama: (yaitu) Aflah, Rabah, Yasar, dan Nafi’.” (Shahih Muslim no. 2136)
Nama-nama di atas pada dasarnya memiliki arti yang bagus, tetapi mengandung hal lain. Misalnya, ada yang mencari seseorang yang bernama Rabah (orang yang beruntung) lalu dikatakan bahwa Rabah tidak ada. Orang yang mendengarnya bisa jadi tidak suka dengan jawaban itu, yaitu Rabah tidak ada, yang apabila diartikan menunjukkan tidak ada orang yang beruntung di sana. Hal ini dikhawatirkan akan memunculkan anggapan sial.
Al- Imam an-Nawawi rahimahullah berpendapat bahwa larangan di sini adalah makruh, bukan haram. (Syarh Shahih Muslim 14/96)
Berikut ini beberapa penamaan yang dilarang:
- Memberi nama anak dengan nama para setan, seperti Khinzab.
- Nama para thaghut dan diktator zalim, semisal Fir’aun dan Qarun.
- Nama yang memiliki arti yang tidak disukai oleh jiwa dan sulit diterima oleh hati orang yang mendengarnya, seperti Harb (perang), Murrah (pahit), Kalb (anjing), dan Hayyah (ular).
- Nama-nama malaikat.
Hal ini diperselisihkan tentang kebolehannya. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah lebih condong bahwa hal itu makruh. (asy-Syarhul Mumti’ 7/322)
- Memberi nama anak dengan nama al-Qur’an dan surat al-Qur’an (selain nama-nama nabi dan rasul) seperti طَهَ (Thaha), يَس (Yasin), dan حَم (Hamim).
As-Suhaili menyebutkan bahwa al-Imam Malik rahimahullah memakruhkan memberi nama Yasin. Adapun apa yang disebutkan oleh orang-orang awam bahwa Thaha dan Yasin termasuk nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ini tidak benar. Sebab, hal ini tidak disebutkan oleh hadits yang sahih, hasan, atau mursal, dan tidak ada pula penukilan dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini hanyalah huruf-huruf hijaiyah yang berada di awal beberapa surat al-Qur’an. (Tuhfatul Maudud hlm. 75—80)
- Penamaan yang mengandung unsur tazkiyah.
Demikian pula , dilarang memberi nama anak dengan nama yang mengandung bentuk tazkiyah (menganggap dirinya baik), seperti Mubarak (orang yang diberkahi), Muflih (orang yang sukses), dan Barrah (wanita yang baik), karena bisa jadi kenyataannya tidak seperti itu. (Tuhfatul Maudud hlm. 74)
Telah disebutkan dalam ShahihMuslim pada kitab “al-Adab” bahwa
Zainab bintu Abi Salamah dahulu bernaman Barrah (wanita yang baik) lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya dengan mengatakan,
“Janganlah kamu menganggap baik dirimu, (karena) Allah ‘azza wa jalla lebih tahu tentang orang yang baik di antara kalian.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memerintahkan untuk menggantinya dengan nama Zainab.
Al-Imam ath-Thabari rahimahullah berkata,
“Tidak sepantasnya seorang memberi nama yang jelek maknanya, mengarah pada anggapan baik terhadap diri, atau nama yang artinya celaan. Meski nama hanyalah tanda bagi seseorang yang tidak dimaksudkan artinya, tetapi sisi tidak disukainya adalah jika ada orang yang mendengarnya akan menganggap bahwa nama itu adalah sifat bagi orang tersebut. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengganti nama dengan nama lain yang jika pemilik nama itu dipanggil, nama itu benar (sesuai dengan sifatnya).” (Fathul Bari 10/577, cet. as-Salafiyah)
Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah berkata setelah menukil ucapan ath-Thabari rahimahullah di atas, “Berdasarkan hal ini, tidak boleh bayi diberi nama عِزُّالدِّيْنِ (‘izzuddin/ pemulia agama), مُحْيِ الدِّيْن (muhyiddin/ orang yang menghidupkan agama), نَاصِرُالدِّيْن (nashiruddin/penolong agama), dan yang semisalnya.” (ash-Shahihah 1/427 cet. Maktabah al-Ma’arif)
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abdul Mu’thi Sutarman, Lc.