Memerangi Bid’ah

Seorang yang menjunjung tinggi ittiba’ tentu berkonsekuensi memerangi bid’ah, karena bid’ah dengan ittiba’ adalah ibarat dua kutub yang saling menjauh. Sebagaimana halnya ittiba’ terhadap sunnah sangat dicintai oleh Allah Subhanahu wata’ala, maka bid’ah sangat dibenci oleh Allah l. Itulah yang menjadi prinsip beliau, sampai-sampai beliau menulis sebuah buku khusus untuk memperingatkan umat dari bid’ah, dengan judul al-Ibda’ fi Bayani Kamalisy Syar’ wa Khatharil Ibtida’. Di antara yang beliau tulis, “Apabila hal itu sudah jelas bagimu, wahai seorang muslim, ketahuilah bahwa setiap yang membuat syariat yang baru dalam agama Allah Subhanahu wata’ala walaupun dengan tujuan yang baik, bid’ahnya ini sesat. Di samping itu, juga teranggap sebagai celaan terhadap agama Allah Subhanahu wata’ala dan termasuk mendustakan firman Allah Subhanahu wata’ala,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (al-Maidah: 3)

Sebab, pembuat bid’ah tersebut membuat syariat dalam agama Allah Subhanahu wata’ala padahal itu bukan dari agama Allah. Dengan perbuatannya, seolah-olah dia mengatakan, ‘Sesungguhnya agama ini belum sempurna, karena masih tersisa syariat ini’, yakni yang dia buat (katanya) untuk mendekatkan kepada Allah Subhanahu wata’ala.” Beliau tegaskan juga, “Apakah setelah adanya kata kullu (yang berarti semua) dibenarkan bagi kita membagi bid’ah menjadi 3 bagian atau 5 bagian? Selamanya tidak! Ini tidak benar.” Apa yang dianggap oleh ulama bahwa ada bid’ah hasanah, maka tidak lepas dari dua keadaan:

1. Sebenarnya itu bukan bid’ah, tetapi disangka bid’ah.

2. Benar-benar bid’ah dan hal itu jelek, tetapi tidak diketahui letak kejelekannya.

Jadi, setiap yang dianggap bid’ah hasanah, seperti inilah jawabannya. Atas dasar ini, tiada celah bagi mereka untuk menjadikan bid’ah mereka sebagai bid’ah hasanah, sementara di tangan kita ada pedang terhunus dari Rasulullah,

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

“Semua bid’ah adalah sesat.”

Maka dari itu, agar ibadah tidak menjadi bid’ah, dia harus sesuai dengan ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam enam hal: sebabnya, jenisnya, ukurannya, kaifiyahnya (tata caranya), waktunya, dan tempatnya. Demikian penjelasan beliau dalam kitab tersebut.

Ditulis oleh Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc.