Sejak zaman Ibnu Jarir sampai masa belakangan ini, hampir tidak pernah sepi buku-buku tafsir dari penukilan riwayat Israiliyat. Meskipun berbeda-beda dalam hal banyak dan sedikitnya, atau tujuan menukilkannya.
Ada yang mencantumkannya begitu saja tanpa memberikan komentar, seakan menyutujui kisah yang dipaparkan dalam riwayat tersebut. Ada pula yang memberikan komentar bahkan kritikan, dan ada yang mencantumkannya sebagai pembanding.
Apakah Israiliyat itu? Bagaimana para ahli tafsir menyikapinya?
Ada yang menyebutkan bahwa Israiliyat adalah kisah atau peristiwa yang diriwayatkan dari sumber Bani Israil, mencakup periwayatan dari Yahudi dan Nasrani.
Al-Qur’an memaparkan kisah-kisah umat terdahulu, baik mereka yang bertauhid dan menjalankan konsekuensinya berupa amalan atau ketaatan, maupun mereka yang musyrik dengan hukuman yang mereka terima. Dalam mengisahkan keadaan mereka, yang menonjol tentu saja nasihat dan peringatan yang berharga bagi orangorang yang datang sesudah umat-umat tersebut.
Tidak dimungkiri bahwa jiwa kita sering cenderung ingin mengetahui sesuatu lebih lengkap. Oleh sebab itu, ada sebagian kaum muslimin yang bertanya tentang rincian ihwal umat-umat terdahulu kepada saudaranya yang sebelumnya berasal dari kalangan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani), yang mungkin dipaparkan lebih lengkap dalam Taurat dan Injil.
Namun, belum tentu mufasir yang memasukkan berita Israiliyat ke dalam tulisan mereka menjadikannya sumber pemahaman, arahan, dan pedoman hukum. Alasan mereka umumnya adalah untuk menutupi celah sejarah yang diyakini kaum muslimin bahwa itu pernah ada, sedangkan al-Qur’an dan sunnah, tidak menguraikan secara rinci sejarah awal penciptaan alam semesta dan berita umat-umat terdahulu. Al-Qur’an dan as-Sunnah menguraikan kejadian tersebut dengan sesuatu yang bisa merealisasikan tujuan hidayah dan penetapan syariat.
Jadi, ketika pada sebagian kaum muslimin ada keinginan mendapat tambahan untuk lebih dalam mengenal rincian kisah ini, mereka bertanya kepada ahli kitab dan mendengarkan berita mereka, yang mungkin saja ada yang sahih, tetapi kebanyakannya belum jelas statusnya atau palsu.
Akan tetapi, sebagian berita tersebut pada keadaan tertentu, tidak ada kaitannya sama sekali dengan agama yang mulia ini, sehingga tidak merugikan kaum muslimin apakah mereka menerima kebenarannya ataukah sebaliknya (menolaknya red.), selama tidak bersentuhan dengan prinsip keyakinan dan hukum syariat.
Inilah yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang mengatakan, “Dahulu, ahli kitab itu membaca Taurat dengan bahasa Ibrani dan menafsirkannya dengan bahasa Arab kepada kaum muslimin. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تُصَدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابِ وَ تُكَذِّبُوهُمْ وَقُولُوا آمَنَّا بِا وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ
“Janganlah kamu menganggap benar ahli kitab. Jangan pula menganggap mereka dusta. Katakanlah, ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami dan apa yang diturunkan kepada kamu’.” [1]
Pengertian Israiliyat
Israiliyat adalah kisah atau peristiwa yang riwayatnya bersumber dari Bani Israil (anak cucu Nabi Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim al-Khalil ‘alaihissalam), meliputi semua yang dinukil dari Yahudi dan Nasrani.
Namun, perlu dipertegas lagi apakah yang dimaksud Israiliyat ini adalah riwayat yang bersumber dari mereka sendiri, ataukah berasal dari riwayat yang berbicara tentang mereka. Dengan kata lain, jika yang dimaksud adalah yang kedua, termasuk di dalamnya hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memaparkan kisah tentang Bani Israil.
Adapun penamaan riwayat yang dinukil dari ahli kitab sebagai Israiliyat adalah karena pada hukum asalnya bahwa orang-orang Nasrani adalah keturunan Israil (Nabi Ya’qub). Alasan kedua ialah memandang pada keadaan yang lebih dominan. Artinya, mayoritas berita yang ada pada umat terdahulu dinukil dari orang-orang Yahudi, keturunan Israil.
Ada juga yang berpendapat bahwa Israiliyat meliputi semua yang disisipkan dalam tafsir, khususnya hal-hal yang berlebihan, palsu, dusta, atau bersifat menakut-nakuti; meskipun tidak berasal dari Israiliyin atau tidak berkaitan dengan kisah Israili. Sebab, banyak di dalam tafsir hal yang bersifat khayal dan berlebihan, seperti perihal tokoh yang tidak ada dalam kitab-kitab ahli kitab, misalnya kisah Nabi Hud dan bangsa ‘Ad, Nabi Saleh dan Tsamud, Syu’aib, Luqman dsb.
Wallahu a’lam.
Pembagian Israiliyat
Berita Israiliyat terbagi menjadi beberapa bagian dalam beberapa kategori. Akan tetapi, adanya perubahan dan penyelewengan yang menimpa Taurat dan Injil, menyebabkan syariat ini melarang kitab-kitab tersebut dibaca. Oleh sebab itu, yang diperhatikan dalam kisah tersebut ialah sesuai atau tidaknya berita itu dengan syariat yang mulia ini.
Yang pertama adalah berita yang sesuai dengan syariat kita, yaitu berita yang kita ketahui kesahihannya melalui keterangan yang ada pada kita, maka berita Israiliyat itu sahih.
Yang kedua, yang kita ketahui kedustaannya, dengan apa yang ada pada kita, yang menyelisihinya.
Yang ketiga, berita yang tidak ada penegasan tentang kebenaran atau kedustaannya. Inilah yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana riwayat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu di atas, ketika ahli Kitab membaca Taurat dengan bahasa Ibrani, lalu menafsirkannya dengan bahasa Arab untuk orang-orang Islam,
لاَ تُصَدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابِ وَلاَ تُكَذِّبُوهُمْ. قُولُوا: آمَنَّا بِا وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ.
“Janganlah kamu membenarkan ahli kitab dan jangan pula mendustakan mereka, ucapkanlah, ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada kamu’.”[2]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً ، وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إسْرَائِيلَ وَلاَ حَرَجَ ، وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّداً فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّار
“Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat. Ceritakanlah tentang Bani Israil, dan tidak apa-apa. Siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka tempatilah tempat duduknya di neraka.”[3]
Jenis yang ketiga ini, seringnya berisi hal yang tidak ada faedahnya, seperti: nama pemuda yang tertidur di dalam gua, warna anjing yang menyertai mereka, burung yang dihidupkan oleh Allah ‘azza wa jalla untuk Nabi Ibrahim, serta penentuan bagian tubuh sapi yang mana yang dipukulkan kepada korban pembunuhan di tengah-tengah Bani Israil dahulu.
Karena itu, terhadap berita yang ketiga ini, kita tidak boleh mengakui kebenarannya, tidak pula boleh mendustakannya sama sekali. Sebab, bisa jadi, kita mengakui kebenarannya, ternyata hal itu adalah sebuah kebatilan, atau kita mendustakannya, ternyata itu adalah sebuah kebenaran.
Dengan demikian, yang ketiga inilah yang diizinkan meriwayatkannya, sebagaimana dalam hadits di atas. Akan tetapi, hadits di atas tidaklah menunjukkan bolehnya mengada-adakan dusta terhadap Bani Israil, tetapi sekadar sebuah keringanan (rukhshah) akan bolehnya menceritakan sesuatu tentang mereka, meskipun sanadnya tidak sahih, karena sulit melacaknya.[4]
Wallahu a’lam
Sikap Para Ulama
- Pandangan Para Sahabat radhiallahu ‘anhum
Ada yang aneh pada sebagian kaum muslimin, apabila mereka melihat pendapat sahabat tentang satu kasus yang tidak ditemukannya dalam al-Qur’an ataupun sunnah, mereka menganggap bahwa sahabat tersebut menukilnya dari Bani Israil. Padahal, belum tentu demikian.
Yang harus kita yakini, bahwa para sahabat tidak mungkin menukil dari ahli kitab sesuatu yang bertentangan dengan apa yang ada dalam syariat kita yang mulia ini. Inilah yang harus kita sepakati lebih dahulu. Ketakwaan, kejujuran, dan kecintaan mereka terhadap syariat ini adalah hal-hal yang sangat kuat menghalangi mereka untuk melakukannya.
Seandainya kita melihat ada juga yang menukil dari ahli kitab, itu berarti nukilan tersebut tidak bertentangan dengan syariat kita, atau bisa jadi termasuk dalam hal-hal yang disebutkan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
حَدِّثُوا عَنْ بَنِى إِسْرَائِيلَ وَلاَ حَرَج
“Ceritakanlah tentang Bani Israil, tidak ada salahnya.”
Artinya, tidak apa-apa kamu menyampaikan tentang Bani Israil. Oleh sebab itu, menolak keterangan dari sahabat dengan anggapan bahwa uraian tersebut dinukil dari ahli kitab, tidak sesuai dengan keilmuan dan keutamaan mereka, g.
Artinya, jika seorang sahabat menguraikannya sebagai tafsiran satu ayat, hal itu sangat besar kemungkinannya berasal dari ilmu yang mereka terima dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Atau, berasal dari keterangan yang dikuatkan oleh dalil lain. Tidak mungkin mereka menafsirkan satu ayat, dalam keadaan memahami bahwa hal itu termasuk berita yang tidak bisa dibenarkan begitu saja, tidak pula dapat didustakan sama sekali.
Kata Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, “Hai kaum muslimin, bagaimana kamu bertanya kepada ahli kitab, sementara Kitab kamu yang diturunkan kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah berita terbaru dari Allah ‘azza wa jalla, kamu membacanya dalam keadaan murni, tidak bercampur (dengan sesuatu apa pun). Allah ‘azza wa jalla telah menerangkan kepada kamu bahwa ahli kitab itu telah menukar apa yang Allah ‘azza wa jalla tetapkan dan mengubah kitab mereka dengan tangan-tangan mereka lalu mengatakan, ‘Ini adalah dari sisi Allah ‘azza wa jalla,’ untuk menukarnya dengan harga yang sedikit. Bukankah ilmu yang datang kepada kamu melarang kamu menanyai mereka? Padahal, demi Allah, kami tidak pernah sama sekali melihat salah seorang dari mereka, bertanya kepadamu tentang apa yang diturunkan kepadamu.”[5]
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu menyebutkan, “Dahulu, ahli kitab biasa membacakan Taurat dengan bahasa Ibrani dan menafsirkannya dengan bahasa Arab untuk kaum muslimin, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kamu membenarkan ahli kitab, jangan pula mendustakan mereka, dan katakanlah, ‘Kami beriman kepada Allah dan apa-apa yang diturunkan-Nya kepada kami’.”
Menurut asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Yahya al-Mu’allimi al-Yamani rahimahullah, yang dilarang dalam hadits ini adalah sikap membenarkan yang didasari oleh baik sangka (husnuzhan) terhadap kitab mereka, dan (larangan) untuk mendustakannya tanpa hujah, sehingga jika tegak hujah yang benar, wajib mengikutinya.[6]
Di antara hal yang dituduhkan kepada sebagian sahabat bahwa mereka menukil dari ahli kitab adalah perkataan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, “Al-Qur’anul Karim dipisahkan dari Lauh Mahfuzh dan diturunkan ke Baitul ‘Izzah di langit dunia. Kemudian turun kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam secara berangsur-angsur selama 23 tahun.”[7]
Sebagian ulama yang datang belakangan mengklaim bahwa ucapan ini berasal dari dongeng Israiliyat dan diadopsi oleh Ibnu ‘Abbas dari mereka. Bahkan, di dalam berita itu sendiri ada hal-hal yang menegaskan bahwa hal itu tidak benar, seperti: ketegasan Ibnu ‘Abbas dalam menguraikannya, tidak ada kaitannya dengan Taurat dan Injil, karena beliau berbicara tentang al-Qur’an, beliau menerangkan tentang turunnya al-Qur’an kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak ada yang menyelisihi Ibnu ‘Abbas dalam masalah ini di kalangan sahabat.
Inilah beberapa hal yang meskipun sanadnya mauquf sampai pada Ibnu ‘Abbas, tetapi dihukumi marfu’ (disandarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam –red.).
Bahkan, Ibnu ‘Abbas sendiri melarang mengambil ilmu dari ahli kitab, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya. Sebab itu, bagaimana mungkin kita mengatakan bahwa uraian beliau ini termasuk berita Israiliyat?
Demikian pula ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiallahu ‘anhuma. Meskipun beliau memperoleh dua buah kantong besar berisi berita tentang ahli kitab, bahkan sering menyampaikannya. Akan tetapi, sangat mustahil bahwa sahabat sekelas beliau dalam menafsirkan satu ayat dengan mengacu kepada sebagian dari berita tersebut.
Oleh sebab itu, seharusnya seorang muslim memahami kedudukan para sahabat dalam agama ini. Ingatlah bahwa mereka adalah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang yang paling mengerti tentang Islam, paling tinggi dan lurus pemahamannya, paling dalam dan besar cintanya terhadap Islam, paling takwa dan paling takut (khasyyah) kepada Allah ‘azza wa jalla daripada orang-orang yang datang sesudah mereka.
Wallahu a’lam.
- Pandangan Ahli Tafsir Selain Sahabat
Dari sisi sedikitnya penukilan riwayat Israiliyat, sebagian ulama meletakkan tafsir Fathul Qadir al-Imam asy-Syaukani pada tempat yang lebih menonjol. Bahkan, menurut mereka hampir tidak ada riwayat ini, kecuali sedikit dan itu pun untuk dibantah secara ilmiah.
Sebagai contoh, kisah Harut dan Marut dalam surat al-Baqarah. Menurut asy-Syaukani, rincian kisah ini kembali kepada riwayat Israiliyat, karena tidak ada hadits yang sahih dan sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak berbicara dengan hawa nafsunya. al-Qur’an memaparkannya secara global tanpa merinci kejadian dan sebabnya, maka kita beriman kepada apa yang dikehendaki Allah ‘azza wa jalla dan Dia Maha Mengetahui hakikatnya.
Beliau mengomentari pendapat Sa’id bin Jubair yang menerangkan alwah (lembaran yang diterima Nabi Musa ‘alaihissalam), “Menurut mereka berasal dari permata yaqut, sedangkan aku (Sa’id) berpendapat bahwa alwah ini dari zamrud dan tulisannya dari emas. Allah ‘azza wa jalla menuliskannya dengan Tangan-Nya dan penduduk langit mendengar goresan pena tersebut.”
Kata asy-Syaukani, “Saya berkata, ‘Semoga Allah merahmati Sa’id, dia tidak perlu mengatakan yang seperti ini dari dirinya. Sebab, hal semisal ini tidak mungkin diuraikan melalui akal semata. Besar dugaan bahwa banyak di antara salaf yang bertanya kepada orang Yahudi tentang hal seperti ini. Karena itulah pendapat mereka berbeda-beda dan goncang. Yang satu mengatakan dari kayu, sedangkan yang lain mengatakan berasal dari batu. Kita beriman akan adanya alwah ini sebagaimana disebutkan al-Qur’an tanpa menyusahkan diri membahas sesuatu yang tidak ada dalilnya. Wallahu a’lam’.”
Ringkasnya, pandangan asy-Syaukani terhadap Israiliyat adalah sebagai berikut.
- Beliau tidak menukil riwayat Israiliyat kecuali dalam jumlah yang sedikit.
- Beliau tidak membiarkan riwayat itu tanpa memberikan kritikan secara ilmiah.
- Beliau berpandangan riwayat ini sebagai sebab terjadinya kontradiksi dalam tafsir.
- Kisah yang aneh dari umat terdahulu dalam tafsir adalah berasal dari Bani Israil, bukan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Menurut beliau, keringanan (rukhshah) bolehnya meriwayatkan dari mereka adalah dalam kejadian-kejadian yang menimpa mereka, bukan yang terkait dengan tafsir. Pandangan ini disetujui oleh asy-Syaikh as-Sa’di dalam tafsirnya.
- Yang dinukil dari mereka sering bertentangan dan mengandung hal-hal yang umumnya tidak masuk akal.
- Tujuan sebagian orang yang memaparkan hal-hal yang bertentangan ini adalah untuk menumbuhkan keraguan dalam hati kaum muslimin dan mempermainkan mereka.
- Menguraikan rincian kisah-kisah itu termasuk tindakan menyusahkan atau memberat-beratkan diri.
Wallahu a’lam.
- Pandangan asy-Syaikh as-Sa’di terhadap kisah Israiliyat
Beliau termasuk yang sangat sedikit menukil kisah Israiliyat, bahkan hampir tidak ditemukan.
Asy-Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz in ‘Uqail dalam pengantarnya untuk Tafsir as-Sa’di (Taisir Karimir Rahman) menyebutkan bahwa beliau (as-Sa’di) memaparkannya (tafsirnya) dengan bahasa yang indah, dekat, dan tidak tersembunyi atau samar. Jadi, as-Sa’di memerhatikan penjelasan makna yang dituju oleh suatu ayat dengan kalimat yang ringkas dan bernas, tetapi mencakup semua yang dikandung oleh ayat tersebut, baik makna maupun hukum, melalui teks (manthuq) atau pengertian balik (mafhum), tanpa memperluas atau istithrad (membakukan), atau menyebutkan kisah-kisah dan dongeng Israiliyat, serta hikayat sebuah perkataan, sehingga keluar dari tujuan sebenarnya.
As-Sa’di rahimahullah berpandangan tidak boleh menjadikan kisah Israiliyat sebagai tafsir bagi Kalam Allah ‘azza wa jalla. Kata as-Sa’di dalam tafsirnya, “Ketahuilah bahwa kebanyakan ahli tafsir rahimahumullah acapkali memenuhi tafsir mereka dengan kisah-kisah Bani Israil dan menjadikan al-Qur’an itu turun dengan sebab mereka serta membuatnya sebagai tafsir Kitab Allah, berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
حَدِّثُوْا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيْلَ وَلاَ حَرَجَ
“Ceritakanlah tentang Bani Israil, tidak mengapa (tidak berdosa).”[8]
Aku berpendapat bahwa meskipun boleh menukil cerita mereka secara terpisah, dan tidak diposisikan sebagai sebab turunnya ayat-ayat Allah, karena tidak boleh menjadikannya sebagai tafsir bagi Kitab Allah sama sekali, apabila tidak sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal itu karena kedudukan kisah itu adalah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ تُصَدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابِ وَلاَ تُكَذِّبُوهُمْ
‘Janganlah kamu membenarkan ahli kitab dan jangan pula mendustakan mereka.’[9]
Sebagaimana sudah dimaklumi dalam ajaran Islam bahwa al-Qur’an wajib diimani, lafadz dan maknanya adalah pasti. Maka dari itu, kisah/berita yang diriwayatkan oleh orang yang tidak diketahui kebenarannya—yang diduga kuat semua atau sebagian besarnya adalah dusta—tidak boleh dijadikan sebagai tafsir bagi Kitab Allah yang pasti kebenarannya dan tidak boleh diragukan oleh siapa pun. Akan tetapi, karena kelalaian terhadap hal ini, terjadilah apa yang kita lihat sekarang ini.”[10]
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar
[1] HR. al-Bukhari (7362)
[2] HR. al-Bukhari (4485) dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu
[3] HR. al-Bukhari (3461)
[4] Tuhfatul Ahwadzi (8/370)
[5] Al-Anwar al-Kasyifah, hlm.131
[6] Al-Anwar al-Kasyifah, hlm.131
[7] ath-Thabarani (al-Kabir no. 12243), al-Hakim (2932), dan al-Bazzar (2/210)
[8] HR. Ahmad (2/474) dan Abu Dawud (3662), dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah
[9] HR. al-Imam al-Bukhari (2684)
[10] Tafsir surat al-Baqarah ayat 74