Permasalahan Rumah Tangga Sebuah Kemestian

Beragam persoalan, dari yang ringan hingga yang sifatnya berat, akan selalu mendera setiap rumah tangga. Keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, manusia termulia di muka bumi, juga tak luput dari terpaan “badai” yang menggoncang rumah tangganya. Di sini, jelas dibutuhkan ilmu dalam memecahkan setiap persoalan agar tidak berkembang menjadi prahara yang mengancam keutuhan rumah tangga.

Sedikit sekali rumah tangga yang selamat dari lilitan perselisihan di antara anggotanya, khususnya di antara suami istri. Karena yang namanya berumah tangga, membangun hidup berkeluarga, dalam perjalanannya pasti akan menjumpai berbagai permasalahan, kecil ataupun besar, sedikit ataupun banyak.

Permasalahan yang muncul ini dapat memicu perselisihan dalam rumah tangga yang bisa jadi berujung dengan pertengkaran, kemarahan dan keributan yang tiada bertepi, atau berakhir dengan damai, saling mengerti dan saling memaafkan.

Sampai pun rumah tangga orang-orang yang memiliki keutamaan dalam agama ini, juga tidak lepas dari masalah, perselisihan, pertengkaran, dan kemarahan. Namun berbeda dengan orang-orang yang tidak mengerti agama, orang yang memiliki keutamaan dalam agama tidak membiarkan setan menyetir hingga menjerumuskannya kepada apa yang disenangi oleh setan. Bahkan mereka berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari makar setan, berusaha memperbaiki perkara mereka, menyatukan kembali kebersamaan mereka dan menyelesaikan perselisihan di antara mereka.

karang-di-tengah-badai

Rumah tangga yang mulia lagi penuh barakah, yang dibangun oleh seorang hamba termulia, kekasih Allah subhanahu wa ta’ala, Muhammad bin Abdillah shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga tak lepas dari kerikil-kerikil yang menyandung perjalanannya, sampai beliau pernah bersumpah untuk tidak mendatangi istri-istri beliau selama sebulan karena marah kepada mereka. Berikut petikan kisahnya.

Abdullah bin ‘Abbas rahimahullah bertutur, “Aku sangat ingin bertanya kepada ‘Umar ibnul Khaththab tentang siapa yang dimaksud dua wanita dari kalangan istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Allah subhanahu wa ta’ala nyatakan dalam firman-Nya,

إِن تَتُوبَآ إِلَى ٱللَّهِ فَقَدۡ صَغَتۡ قُلُوبُكُمَاۖ وَإِن تَظَٰهَرَا عَلَيۡهِ فَإِنَّ ٱللَّهَ هُوَ مَوۡلَىٰهُ وَجِبۡرِيلُ وَصَٰلِحُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَۖ وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ بَعۡدَ ذَٰلِكَ ظَهِيرٌ ٤

“Jika kalian berdua bertaubat kepada Allah, maka sungguh hati kalian berdua telah condong untuk menerima kebenaran. Dan jika kalian berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan begitu pula Jibril dan orang-orang mukmin yang baik. Dan selain dari itu, malaikat-malaikat adalah penolongnya pula.” (at-Tahrim: 4)

Namun aku tidak sanggup melontarkan pertanyaan karena segan terhadapnya hingga akhirnya ‘Umar berhaji dan aku pun berhaji bersamanya.

Dalam perjalanan, ‘Umar berbelok menuju suatu tempat untuk buang hajat. Aku pun mengikutinya dengan membawakan bejana kecil dari kulit yang berisi air. Seusai buang hajat, aku menuangkan air di atas dua telapak tangannya, lalu ia pun berwudhu.

Kemudian aku berjalan bersamanya dan kesempatan itu kugunakan untuk bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, siapakah dua wanita dari istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Allah subhanahu wa ta’ala nyatakan dalam firman-Nya,

إِن تَتُوبَآ إِلَى ٱللَّهِ فَقَدۡ صَغَتۡ قُلُوبُكُمَاۖ       

“Jika kalian berdua bertaubat kepada Allah, maka sungguh hati kalian berdua telah condong untuk menerima kebenaran.(at-Tahrim: 4)

“Alangkah anehnya engkau ini, wahai Ibnu ‘Abbas![1] Keduanya adalah ‘Aisyah dan Hafshah,” jawab ‘Umar.

Ibnu ‘Abbas berkata, “Demi Allah, sejak setahun lalu aku ingin bertanya kepadamu tentang hal ini namun aku tidak sanggup menanyakannya karena segan terhadapmu.”

“Jangan berbuat demikian. Apa yang engkau yakini aku memiliki ilmu tentangnya maka tanyakanlah. Bila memang aku mengetahuinya, aku akan beritakan kepadamu,” kata ‘Umar.

‘Umar pun menceritakan kejadian yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut. “Aku dan tetanggaku dari kalangan Anshar berada di tempat Bani Umayyah bin Zaid, mereka termasuk penduduk daerah yang dekat dengan kota Madinah. Kami bergantian menghadiri majelis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehari giliranku, hari berikut gilirannya. Bila tiba giliranku, aku pun mendatangi tetanggaku tersebut untuk menceritakan berita yang kudapat pada hari itu berupa wahyu atau yang lainnya. Bila tiba gilirannya, ia pun melakukan hal yang sama.

Kami orang-orang Quraisy menguasai istri-istri kami dan dahulu kami tidak pernah menyertakan mereka dalam urusan kami. Ketika kami datang (ke Madinah) dan tinggal di kalangan orang-orang Anshar, kami dapatkan mereka itu dikalahkan istri-istri mereka. Mulailah istri-istri kami mengambil adab wanita-wanita Anshar.

Suatu hari aku menghardik istriku dan bersuara keras padanya, ia pun menjawab dan mendebatku. Ia juga ikut-ikutan dalam urusanku dengan mengatakan, “Seandainya engkau melakukan ini dan itu.”

Maka aku mengingkari perbuatannya yang demikian.

“Mengapa engkau mengingkari apa yang kulakukan, sementara demi Allah, istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri mendebat beliau? Sampai-sampai salah seorang dari mereka memboikot beliau dari siang sampai malam,” kata istriku.

Berita itu mengejutkan aku, “Sungguh merugi orang yang melakukan hal itu dari kalangan mereka,” kataku kepada istriku. Lalu kukenakan pakaian lengkapku dan turun menemui Hafshah, putriku.

“Wahai Hafshah, apakah benar salah seorang kalian ada yang marah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari siang sampai malam?” tanyaku.

“Iya,” jawab Hafshah.

“Sungguh merugi yang melakukan hal itu,” tanggapku, “Apakah kalian merasa aman dari kemurkaan Allah karena kemarahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga engkau pun binasa? Jangan engkau banyak menuntut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, jangan engkau mendebat beliau dalam sesuatu pun dan jangan memboikotnya. Minta saja kepadaku apa yang ingin kamu minta dan jangan menipumu dengan keberadaan madumu yang lebih cantik darimu dan lebih dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Yang dimaksud adalah ‘Aisyah.

‘Umar melanjutkan ceritanya, “Telah menjadi perbincangan di antara kami bahwa Ghassan memakaikan ladam pada kuda-kudanya sebagai persiapan untuk memerangi kami. Suatu ketika turunlah temanku al-Anshari itu pada hari gilirannya menuju ke majelis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di waktu Isya ia kembali kepada kami lalu mengetuk pintuku dengan keras seraya berkata, “Apakah ‘Umar ada di dalam?”

Aku terhentak dan bergegas keluar menemuinya.

“Hari ini sungguh telah terjadi perkara yang besar,” katanya.

“Apa itu? Apakah Ghassan telah datang?” tanyaku.

“Bukan, bahkan lebih besar dan lebih menghebohkan daripada itu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menceraikan istri-istrinya,” katanya.

“Betapa meruginya diri Hafshah, sungguh sebelumnya aku telah menduga hal ini akan terjadi,” kataku.

Aku pun mengenakan pakaian lengkapku. Pagi harinya aku menunaikan shalat subuh bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke masyrubah[2] beliau dan menyendiri di dalamnya. Aku masuk ke rumah Hafshah, ternyata ia sedang menangis, “Apa yang membuatmu menangis?” tanyaku. “Bukankah aku telah memperingatkanmu akan hal ini, apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menceraikan kalian?”

“Aku tidak tahu, di sana, di masyrubah beliau memisahkan diri dari kami,” jawab Hafshah.

pagar-kawat

Aku keluar dari rumah Hafshah dan mendatangi mimbar masjid, ternyata di sana ada sekumpulan orang, sebagian mereka sedang menangis. Sejenak aku duduk bersama mereka, kemudian perasaan hatiku menguasaiku hingga aku bangkit dari tempat tersebut menuju masyrubah yang di dalamnya ada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Aku berkata kepada Rabah budak hitam milik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Minta izinkan ‘Umar untuk masuk menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Masuklah Rabah lalu berbicara kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian ia kembali menemuiku seraya berkata, “Aku telah berbicara kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyebutkan permintaanmu namun beliau hanya diam.”

Aku pun berlalu dari tempat tersebut hingga akhirnya aku duduk bersama sekumpulan orang yang ada di sisi mimbar, namun kemudian perasaan hatiku menguasaiku hingga aku kembali menuju ke masyrubah tersebut dan kukatakan kepada Rabah, “Mintakan izin bagi ‘Umar untuk masuk.”

Rabah pun masuk lalu kembali menemuiku seraya berkata, “Aku telah menyampaikan permintaanmu namun beliau tetap diam.”

Aku kembali lagi duduk bersama sekumpulan orang di sisi mimbar, namun sekali lagi perasaan hatiku mengalahkanku, hingga aku mendatangi Rabah dan berkata, “Mintakan izin bagi ‘Umar untuk masuk.”

Rabah pun masuk ke dalam masyrubah, kemudian keluar lagi seraya berkata, “Aku telah sebutkan permintaanmu namun beliau diam saja.”

Maka ketika aku berbalik untuk berlalu dari tempat itu, budak tersebut memanggilku, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengizinkanmu,” katanya.

Aku masuk menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata aku dapati beliau tengah berbaring di atas tikar tipis tanpa dialasi kasur sehingga tampak bekas-bekas kerikil di rusuk beliau, dalam keadaan beliau bertelekan di atas bantal dari kulit yang telah disamak, yang diisi dengan sabut.

Aku ucapkan salam kepada beliau, kemudian aku berkata dalam keadaan tetap berdiri; “Wahai Rasulullah, apakah engkau telah menceraikan istri-istrimu?”

 Beliau mengangkat pandangannya ke arahku, “Tidak,” jawab beliau

“Allahu Akbar,” seruku.

Kemudian aku berkata untuk menyenangkan hati beliau dalam keadaan aku tetap berdiri, “Wahai Rasulullah, kita dahulunya orang-orang Quraisy mengalahkan dan menguasai istri-istri kita. Ketika kita datang ke Madinah ternyata orang-orangnya dikalahkan oleh istri-istri mereka.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum mendengar penuturanku.

“Wahai Rasulullah, seandainya engkau melihatku masuk menemui Hafshah, kukatakan kepadanya: “Jangan menipumu dengan keberadaan madumu yang lebih cantik darimu dan lebih dicintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam –yakni ‘Aisyah,” lanjutku. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum lagi. Maka ketika melihat beliau telah tersenyum, aku pun duduk. Aku memandang isi masyrubah beliau, maka demi Allah tidak ada sesuatu pun di tempat itu kecuali tiga kulit yang belum disamak.

“Wahai Rasulullah, mohon berdoalah engkau kepada Allah agar memberikan keluasan dan kelapangan bagi umatmu, karena Persia dan Romawi telah dilapangkan dunia mereka dan mereka diberi kenikmatan dunia padahal mereka tidak beribadah kepada Allah,” kataku.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk setelah sebelumnya beliau bertelekan di atas bantal seraya berkata, “Apakah engkau ragu, wahai Ibnul Khaththab, bahwa kelapangan di akhirat lebih baik daripada kelapangan di dunia? Mereka itu adalah orang-orang yang disegerakan kebaikan/kesenangan mereka dalam kehidupan dunia ini.”

“Wahai Rasulullah, mintakanlah ampun untukku,” kataku.

bulan-di-ujung-jalan

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memisahkan diri dari istri-istri beliau selama 29 malam dikarenakan rahasia beliau yang disebarkan oleh Hafshah kepada ‘Aisyah[3], beliau menyatakan, “Aku tidak akan masuk menemui mereka selama sebulan.” Beliau sangat marah terhadap mereka karena merekalah yang menyebabkan Allah ‘azza wa jalla mencela beliau.[4]

‘Umar berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang menyusahkanmu dari perkara wanita? Bila engkau menceraikan mereka, maka sungguh Allah bersamamu, para malaikatnya, Jibril dan Mikail. Aku, Abu Bakr dan kaum mukminin bersamamu.”

Ketika telah lewat waktu 29 malam, beliau pertama kali masuk menemui ‘Aisyah. “Wahai Rasulullah, bukankah engkau telah bersumpah untuk tidak masuk menemui kami selama sebulan, sementara waktu yang kuhitung baru berjalan 29 malam,” tanya ‘Aisyah mengingatkan beliau.

“Bulan ini lamanya 29 malam,” jawab beliau.

Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat takhyir[5], ‘Aisyah-lah yang paling pertama dari istri beliau yang beliau tawarkan pilihan maka ‘Aisyah memilih tetap bersama beliau. Setelahnya beliau pun memberikan pilihan kepada istri-istri beliau yang lain maka mereka semuanya mengucapkan seperti yang diucapkan ‘Aisyah (semuanya memilih tetap bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).” (HR. al-Bukhari no. 4913, 5191 dan Muslim no. 1479)

Pertikaian pun pernah terjadi dalam rumah tangga putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Fathimah radhiallahu ‘anha, seorang yang dikabarkan sebagai tokoh wanita ahlul jannah. Rumah tangga Fathimah dengan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, seorang yang cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dan Allah subhanahu wa ta’ala serta Rasul-Nya pun mencintainya.[6] Ali pernah marah terhadap istrinya dan setelahnya ia keluar dari rumah menuju masjid dan tidur di sana.

Sahl bin Sa’d as-Sa’idi radhiallahu ‘anhu berkata, “Nama yang paling disukai oleh Ali radhiallahu ‘anhu adalah Abu Turab. Dia senang sekali bila dipanggil dengan nama yang diberikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu. Suatu hari Ali marah kepada Fathimah, maka ia pun keluar dari rumah menuju masjid dan berbaring di sana. Bertepatan dengan kejadian tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke rumah putrinya, Fathimah, namun beliau tidak mendapatkan Ali di rumah.

“Di mana anak pamanmu itu?” tanya beliau.

“Telah terjadi sesuatu antara aku dengan dia, dia pun marah padaku lalu keluar dari rumah. Dia tidak tidur siang di sisiku,” jawab Fathimah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada seseorang, “Lihatlah (cari) di mana Ali.”

Orang yang disuruh itu pun datang dan memberi kabar, “Wahai Rasulullah! Dia di masjid, sedang tidur.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi Ali yang ketika itu sedang berbaring. Beliau dapatkan rida’-nya telah jatuh dari punggungnya sehingga pasir mengenai punggungnya. Mulailah beliau mengusap pasir tersebut dari punggung Ali seraya berkata, “Duduklah, wahai Abu Turab. Duduklah wahai Abu Turab!” (HR. al- Bukhari no. 3703 dan Muslim no. 2409)

pohon-kabut

Demikian perselisihan yang pernah terjadi dalam rumah tangga orang-orang yang mulia, sengaja kami paparkan dengan tujuan agar mereka yang akan membangun mahligai rumah tangga atau telah menjalaninya, menyadari bahwa tidak ada rumah tangga yang lepas dari problema sehingga mereka bersiapsiap dan tidak kaget ketika problem itu datang menghadang. Agar mereka tidak terlalu muluk-muluk dalam angan-angan mereka tentang kehidupan berumah tangga[7], selalu indah bak bunga-bunga di taman yang bermekaran dengan beragam warna, menampakkan keindahan yang mempesona dan menebarkan aroma yang harum semerbak!!

Rumah tangga tanpa masalah, tanpa problema, tanpa ganjalan, tanpa pertikaian, selalu sejalan, seia sekata, sepakat tanpa pernah ada perbedaan!!! Padahal bayangan ini sesuatu yang teramat langka untuk didapatkan pada sebuah rumah tangga di dunia…

Sesuatu yang bisa dikatakan mustahil untuk sebuah akad yang dijalin dengan seorang anak Adam yang senantiasa punya salah, sebagaimana kata Rasul yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam,

كُلَّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ

“Setiap anak Adam itu banyak bersalah. Dan sebaik-baik orang yang banyak bersalah adalah orang-orang yang mau bertaubat.” (HR. at-Tirmidzi no. 2616. Asy-Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihul Jami’ no. 4514 mengatakan, “[Hadits ini] hasan.”)

Masalah mesti akan dijumpai antara suami istri. Ketika masalah itu bergulir, semestinya keduanya berusaha mencari jalan penyelesaian, memperbaiki keadaan, dan menutup pintu rapat-rapat (dari campur tangan orang yang tidak berkepentingan).

Bila seorang suami marah atau seorang istri sedang emosi, hendaklah keduanya berlindung kepada Allah k dari gangguan setan yang terkutuk, lalu bangkit berwudhu dan shalat dua rakaat. Bila salah satu dari keduanya (yang sedang marah, terbawa emosi) dalam keadaan berdiri maka hendaklah ia duduk, bila sedang duduk maka hendaklah ia berbaring. Atau salah seorang dari keduanya menghadap pasangannya, memeluknya dan meminta maaf bila memang bersalah melanggar hak pasangannya. Yang dimintai maaf hendaklah lapang dada memberi maaf karena mengharapkan wajah Allah subhanahu wa ta’ala. (Fiqhut Ta’amul Bainaz Zaujain, hlm. 37)

Tidak sepantasnya ketika ada masalah dengan suami, seorang istri ngambek minta pulang ke rumah orang tuanya. Atau yang lebih parah lagi si istri minggat dari rumahnya, tanpa izin suami tentunya. Padahal di antara hak suami yang harus ditunaikan istri, si istri tidak boleh keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izinnya.[8]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Tidak halal bagi seorang istri keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suami dan tidak halal bagi seorang pun mengambil istri seseorang dan menahannya dari suaminya, sama saja baik karena si istri tersebut seorang perawat, atau seorang bidan atau profesi lainnya. Bila istri tersebut keluar dari rumah suami tanpa izinnya, maka ia telah berbuat nusyuz[9], bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya dan ia pantas mendapatkan hukuman.” (Majmu’ al-Fatawa, 32/281)

Dengan demikian, bila ada permasalahan rumah tangga , seharusnya suami dan istri berusaha menyelesaikannya berdua bila memang masalahnya bisa diselesaikan berdua. Ibaratnya “tutup pintu rapat-rapat” dari masuknya pihak ketiga dan jangan sampai orang lain tahu masalah tersebut. Jangan tergesa-gesa melibatkan pihak luar, orang tua misalnya, karena dapat memperkeruh suasana, bukan memperbaiki keadaan.

Melibatkan orang tua, apatah lagi orang tua yang masih awam, tidak memiliki pandangan dalam agama, belum tentu menyelesaikan masalah, malah bisa menambah panas dan keruhnya permasalahan. Terkecuali orang tua itu seorang yang arif, paham agama dan pandangannya lurus, barulah memungkinkan masalah yang ada diangkat padanya bila memang sepasang suami istri tidak bisa lagi menyelesaikannya berdua.

Sebagai akhir, hendaklah sepasang suami istri selalu bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam seluruh keadaan mereka, di mana pun mereka berada[10] dan hendaklah keduanya melazimi (selalu) ketaatan kepada-Nya.

Ketahuilah, dengan takwa segala masalah akan mendapatkan pemecahannya, karena Allah subhanahu wa ta’ala yang Mahabenar janji-Nya telah berfirman dalam Tanzil-Nya:

وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مَخۡرَجٗا ٢

“Siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan jalan keluar baginya.” (ath-Thalaq: 2)

Dan firman-Nya,

وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مِنۡ أَمۡرِهِۦ يُسۡرٗا ٤

“Siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (ath-Thalaq: 4)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

 

Ditulis oleh Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyyah


[1] Umar heran dengan Ibnu ‘Abbas, mengapa hal yang ditanyakannya itu belum diketahuinya, padahal ia begitu terkenal dengan pengetahuannya dalam tafsir dan terdepan dalam ilmu dibanding yang lainnya. Atau ‘Umar heran dengan semangat Ibnu ‘Abbas untuk mengetahui cabang-cabang ilmu tafsir sampaipun pengetahuan tentang mubham. (Fathul Bari, 9/338)

Pengertian mubham sendiri adalah orang yang tidak disebutkan namanya.

[2] Kamar yang tinggi.

[3] Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَإِذۡ أَسَرَّ ٱلنَّبِيُّ إِلَىٰ بَعۡضِ أَزۡوَٰجِهِۦ حَدِيثٗا فَلَمَّا نَبَّأَتۡ بِهِۦ وَأَظۡهَرَهُ ٱللَّهُ عَلَيۡهِ عَرَّفَ بَعۡضَهُۥ وَأَعۡرَضَ عَنۢ بَعۡضٖۖ فَلَمَّا نَبَّأَهَا بِهِۦ قَالَتۡ مَنۡ أَنۢبَأَكَ هَٰذَاۖ قَالَ نَبَّأَنِيَ ٱلۡعَلِيمُ ٱلۡخَبِيرُ ٣

“Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari istrinya suatu peristiwa. Maka ketika istrinya itu mengabarkan rahasia tersebut (kepada istri yang lain).” (at- Tahrim: 3)

Mayoritas ahli tafsir berkata bahwa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dimaksud dalam ayat adalah Hafshah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan satu rahasia kepadanya dan memintanya agar tidak memberitahukan kepada seorang pun. Ternyata Hafshah menceritakan rahasia tersebut kepada Aisyah radhiallahu ‘anha. (Taisir Al-Karimir Rahman, hlm. 873)

[4] Allah subhanahu wa ta’ala mencela Khalil-Nya yang mulia Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau mengharamkan dirinya untuk menyentuh budak wanitanya bernama Mariyah atau ketika beliau mengharamkan dirinya minum madu, karena memerhatikan perasaan sebagian istrinya, sebagaimana kisahnya ma’ruf (dalam kitab-kitab tafsir dan selainnya -pen.). Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat -Nya:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَآ أَحَلَّ ٱللَّهُ لَكَۖ تَبۡتَغِي مَرۡضَاتَ أَزۡوَٰجِكَۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ١ قَدۡ فَرَضَ ٱللَّهُ لَكُمۡ تَحِلَّةَ أَيۡمَٰنِكُمۡۚ وَٱللَّهُ مَوۡلَىٰكُمۡۖ

“Wahai Nabi, mengapa engkau mengharamkan apa yang Allah halalkan bagiku karena engkau ingin mencari keridhaan istri-istrimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sungguh Allah telah mewajibkan kalian untuk membebaskan diri dari sumpah kalian.” (at-Tahrim: 1-2)

[5] Yaitu ayat Allah subhanahu wa ta’ala,

عَسَىٰ رَبُّهُۥٓ إِن طَلَّقَكُنَّ أَن يُبۡدِلَهُۥٓ أَزۡوَٰجًا خَيۡرٗا مِّنكُنَّ

“Jika Nabi menceraikan kalian, mudah-mudahan Rabbnya akan menggantikan untuknya istri-istri yang lebih baik daripada kalian.” (at-Tahrim: 5)

Yakni janganlah kalian mengangkat diri kalian di hadapan beliau, karena jika beliau menceraikan kalian tidaklah berat/sempit perkaranya bagi beliau dan tidaklah beliau dipaksa untuk terus bersama kalian. Bahkan beliau akan dapatkan pengganti kalian dan Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan kepada beliau istri-istri yang lebih baik daripada kalian, baik dalam hal agama maupun dalam keelokan paras. (Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 873)

[6] Sebagaimana diberitakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam peristiwa Perang Khaibar,

…لَأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ غَدًا رَجُ يُحِبُّهُ اللهُ وَرَسُولُهُأَوْ قَالَ: يُحِبُّ اللهَ وَرَسُولَهُيَفْتَحُ اللهُ عَلَيْهِ

“Aku sungguh akan memberikan bendera ini besok kepada seseorang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya -atau beliau mengatakan, dia mencintai Allah dan Rasul-Nya. Allah akan membukakan kemenangan melalui kedua tangannya….” (HR. al-Bukhari no. 3702 dan Muslim no. 2407).

Dalam riwayat Muslim (no. 2404) disebutkan:.“..seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan Allah dan Rasul-Nya pun mencintainya….”

Ternyata keesokan harinya Ali-lah yang diserahi bendera tersebut.

[7] Yang akhirnya berujung dengan kekecewaan.

[8] Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah membuat satu bab dalam kitab Shahih-nya dengan judul Isti’dzanul Mar’atu Zaujaha fil Khuruj ilal Masjid wa Ghairi (Permintaan izin istri kepada suaminya untuk keluar menuju masjid atau yang selainnya)

Kemudian beliau rahimahullah membawakan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا اسْتَأْذَنَتِ الْمَرْأَةُ أَحَدَكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلاَ يَمْنَعْهَا

“Apabila istri minta izin kepada salah seorang dari kalian untuk keluar menuju masjid, maka janganlah ia mencegahnya.” (Hadits no. 5238)

[9] Lihat pembahasan nusyuz dalam Syariah Vol. I/No. 04/Juli 2003/Jumadil Ula 1424 H, hlm. 58-60.

[10] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan:

اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ

“Bertakwalah engkau kepada Allah di mana pun engkau berada.” (HR. at-Tirmidzi, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, 2/1618, dan al-Misykat no. 5083)