Hukum Shalat di Masjid Nabawi, di mana terdapat Kuburan Nabi di dalamnya

Setelah membaca pembahasan “Problema Anda” tentang larangan shalat di area pekuburan (termasuk masjid yang dibangun di atas kuburan) dan shalat menghadap kuburan, banyak pembaca setia majalah Asy Syariah yang menanyakan hukum shalat di masjid Nabawi di Madinah mengingat kuburan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di dalam masjid.

Dijawab oleh Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari

Alhamdulillah wabihi nasta’in. Permasalahan ini telah dikaji oleh beberapa ulama besar, di antaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, asy-Syaikh al-Albani, dan asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah.

Kata asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, “Jika ada yang mengatakan, kita sedang diliputi problem terkait dengan kuburan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ada sekarang, karena berada di tengah masjid Nabawi; bagaimana jawabannya?

Kami katakan, jawabannya ditinjau dari beberapa sisi berikut:

  1. Masjid tersebut tidak dibangun di atas kuburan, tetapi dibangun pada masa hidup beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
  2. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dikuburkan di dalam masjid sehingga dikatakan bahwa ini adalah penguburan orang-orang saleh di dalam masjid. Beliau dikuburkan di dalam rumahnya.[1]
  3. Perbuatan memasukkan rumahrumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk rumah ‘Aisyah radhiallahu ‘anha ke dalam masjid (ketika perluasan masjid) bukan dengan kesepakatan para sahabat radhiallahu ‘anhum.

Hal ini terjadi setelah meninggalnya kebanyakan sahabat dan tidak tersisa dari mereka kecuali sedikit, yaitu sekitar tahun 94 H.

Dengan demikian berarti hal itu bukan termasuk perkara-perkara yang dibolehkan oleh para sahabat atau yang disepakati oleh mereka. Bahkan, sebagian mereka (yang mendapati kejadian itu) mengingkarinya, juga diingkari oleh Sa’id bin al-Musayyib[2] dari kalangan tabi’in.

  1. Kuburan tersebut tidak dikategorikan berada dalam masjid meskipun setelah perluasan dan dimasukkan di dalamnya, karena kuburan tersebut berada di dalam kamar tersendiri terpisah dari masjid. Jadi, masjid Nabawi tidak dibangun di atasnya.

masjid-nabawi

Oleh karena itu, dibuatkan tiga dinding yang mengelilingi kuburan tersebut dan dindingnya dijadikan menyimpang dari arah kiblat, yaitu dengan bentuk segitiga. Sudutnya ditempatkan pada sudut utara masjid, sehingga seseorang yang shalat tidak akan menghadap ke kuburan tersebut karena posisi dindingnya yang menyimpang (dari arah kiblat). (al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabittauhid, 1/398—399)

Dengan demikian, jelas bagi kita bahwa masjid Nabawi tidak termasuk dalam kategori masjid yang dibangun di atas kuburan yang dilarang shalat di dalamnya. Begitu pula orang yang shalat di dalamnya tidak akan jatuh dalam kategori shalat menghadap ke kuburan yang dilarang, karena bentuk dinding yang mengelilinginya sebagaimana dijelaskan di atas.

Seandainya masih tersisa kejanggalan mengingat bahwa bagaimanapun juga kuburan tersebut telah menjadi bagian dari masjid, maka jawabannya ialah sebagaimana kata asy-Syaikh al-Albani rahimahullah pada pasal terakhir dari kitabnya yang berjudul Tahdzirus Sajid min Ittikhadzil Quburi Masajid (hlm. 133—137), “Ketahuilah bahwa hukum yang telah lewat[3] mencakup seluruh masjid baik yang besar maupun yang kecil, yang lama maupun baru, berdasarkan keumuman dalil-dalil yang ada.

Jadi, tidak diperkecualikan dari larangan shalat di masjid yang ada kuburannya kecuali masjid Nabawi yang agung, karena keutamaannya yang khusus yang tidak didapatkan pada masjid-masjid lain yang dibangun di   atas kuburan.

Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

(صَلَا ةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَ ةَالٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ (فَإِنَّهُ أَفْضَلُ

“Shalat di masjidku ini lebih utama dari seribu shalat di masjid-masjid yang lain kecuali Masjidil Haram, (karena shalat di Masjidil Haram lebih utama).”[4]

Begitu pula sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَا بَيْنَ بَيْتِي وَمِنْبَرِي رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ

“Antara rumahku dan mimbarku merupakan taman dari taman-taman jannah (surga).”[5]

Serta keutamaan-keutamaan lainnya. Jika demikian, kalau dikatakan bahwa shalat di masjid Nabawi dibenci (terlarang) maka berarti menyamakan masjid Nabawi dengan masjid-masjid lainnya serta meniadakan/menghapuskan keutamaan-keutamaan yang dimilikinya, dan tentu saja sangat nyata bahwa hal ini tidak boleh.

Makna (hukum) ini kami petik dari perkataan Ibnu Taimiyah yang telah lewat pada hlm. 125—126 ketika menjelaskan sebab dibolehkannya melaksanakan shalat yang memiliki sebab pada waktu-waktu terlarang.

 Jadi, sebagaimana dibolehkan shalat (yang memiliki sebab) pada waktu-waktu yang terlarang dengan alasan bahwa pelarangan dari shalat tersebut berarti menyia-nyiakannya manakala tidak mungkin untuk meraih keutamaannya dikarenakan waktunya akan berlalu[6], maka demikian pula shalat di masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kemudian saya mendapati Ibnu Taimiyah menegaskan hukum ini pada kitabnya yang berjudul al-Jawab al-Bahir fi Zuril Maqabir (22/1—2), “Shalat di masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan terlarang secara mutlak[7].

Berbeda halnya dengan masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena shalat di dalamnya bernilai seribu shalat (di masjid-masjid lain) dan masjid ini dibangun di atas ketakwaan, di mana kehormatannya (kemuliaannya) terpelihara pada masa hidup beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan masa al-Khulafa’ur Rasyidin, sebelum dimasukkannya kamar (rumah) tempat penguburan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bagian dari masjid. Sesunggguhnya (perluasan masjid dengan) memasukkan kamar tersebut sebagai bagian dari masjid hanyalah terjadi setelah berlalunya masa para sahabat.”


[1]  Yaitu di rumah Aisyah radhiallahu ‘anha

[2] Yang dijuluki oleh sebagian ulama sebagai sayyidut tabi’in (pemimpin tabi’in) rahimahullah

[3] Yaitu larangan shalat di masjid yang dibangun di atas kuburan.

[4] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim serta yang lainnya dari hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu. Juga diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad dari hadits Ibnu ‘Umar rahimahullah, dan tambahan yang ada (yaitu yang berada antara 2 tanda kurung) adalah riwayat Ahmad. Kemudian hadits ini diriwayatkan Ahmad dari banyak jalan periwayatan serta memiliki banyak penguat yang semakna dengannya dari beberapa sahabat yang lain. (Hasyiyah [catatan kaki] Tahdzirus Sajid)

[5] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, serta yang lainnya dari hadits Abdullah bin Zaid al-Mazini, dan hadits ini mutawatir sebagaimana kata as-Suyuthi…. (Hasyiyah Tahdzirus Sajid). Pada hasyiyah kitab tersebut tidak lupa asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah mengingatkan bahwa lafadz ( قبري ) sebagai pengganti lafadz ( بيتي ) dengan makna, “Antara kuburanku dan mimbarku…,” adalah kekeliruan sebagian perawi hadits, sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Hazm, al-Qurthubi, Ibnu Taimiyah, al-‘Asqalani (yaitu al-Hafizh Ibnu Hajar -pen.), dan yang lainnya.

[6] Misalnya seseorang berwudhu pada waktu matahari sudah menguning menjelang terbenam, kalau dia dilarang shalat sunnah wudhu sampai matahari terbenam berarti dia akan kehilangan keutamaan karena waktunya akan berlalu.

[7] Yaitu tanpa batasan masjid-masjid tertentu, jadi larangannya mencakup seluruh masjid.

Comments are closed.