Rumahku Ketenteraman Kami

Telah kita sebutkan dalam edisi sebelum ini bahwa salah satu tugas perempuan atau istri di dalam rumah tangganya adalah menjadi sakan bagi suaminya dan berupaya agar rumahnya menjadi sakan bagi anggotanya.

Makna sakan pun telah kita pahami, di antaranya dari keterangan al-Imam asy-Syaukani rahimahullah yang berkata tentang ayat

لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا[1]

yakni “Kalian merasa akrab dengannya dan hati kalian condong/cenderung kepadanya.” (Fathul Qadir, 4/263)

Jadi, dalam kata ini termuat makna kedekatan, cinta, kecondongan, dan ketenangan. Berarti rumah yang merupakan sakan bagi anggotanya adalah rumah yang memberikan ketenangan, ketenteraman bagi anggotanya, yang dipenuhi dengan cinta dan kecondongan hati.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan seorang perempuan untuk mewujudkan tujuan ini sebagaimana dijabarkan Fadhilatusy Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam ceramahnya, yang berjudul Daur al Mar’ah fi Tarbiyah al-Usrah (Peranan Wanita dalam Mendidik Keluarga). Maka cobalah engkau, wahai perempuan, wahai istri muslimah, memerhatikan penjelasan di bawah ini.

 

  1. Ketaatan dan kepatuhan penuh kepada suami, dalam urusan yang bukan maksiat kepada Allah ‘azza wa jalla.

Allah ‘azza wa jalla berfirman,

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ

“Kaum lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita….” (an-Nisa: 34)

Ketaatan istri kepada suaminya merupakan fondasi ketenteraman rumah tangga. Suami hanya bisa menjalankan fungsinya dengan baik sebagai qawwam, pemimpin keluarga, bila dia ditaati. Terbayang tidak, apabila pemimpin tidak ditaati? Tentu kekacauan yang akan timbul. Kalau ditanya, apa hukumnya seorang istri menaati suaminya? Hukumnya wajib secara syar’i. Karena itu, seorang istri yang taat kepada suaminya akan beroleh pahala.

Sadarkah seorang istri bahwa taat kepada suami lebih dikedepankan daripada ibadah nafilah[2]? Hadits berikut ini merupakan salah satu buktinya.

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَصُوْم الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

        “Seorang istri tidak boleh puasa dalam keadaan suaminya ada (di rumah) terkecuali dengan izinnya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

 

Dalam hadits ini ada isyarat tentang pentingnya menaati suami sampai-sampai ketaatan tersebut didahulukan daripada ibadah puasa sunnah.

 

  1. Menunaikan pekerjaan rumah tangga yang merupakan penegak kehidupan keluarga, seperti memasak, mencuci, menjaga kebersihan, dan lain sebagainya.

Seorang istri harus pandai dalam tugas-tugas ini. Dia tidak boleh bekerja dengan asal-asalan dan merasa terbebani. Hendaknya dia mengerjakannya dengan hati lapang, senang, dan ridha serta menyadari bahwa pekerjaan rumah tangga tersebut bernilai ibadah apabila dia meniatkannya.

Perempuan-perempuan mulia sebelum kita juga melakukan pekerjaan rumah tangga. Jadi, tugas ini tidak boleh dianggap remeh dan sepele. Siapa pun dirimu, keturunan orang yang paling ningrat sekalipun, sekaya apa pun, setinggi mana pun kedudukanmu, Anda tidak mungkin melampaui kemuliaan perempuan yang akan kita bawakan kisahnya berikut ini.

Dia tidak enggan menjalankan tugasnya dalam rumah suaminya, seberapa pun berat dan sulitnya. Karena itu, kita tidak patut enggan untuk mengambilnya sebagai uswah.

Perempuan mulia itu adalah putri terkasih dari Khairul Anam shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dialah Fathimah bintu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pemuka para wanita penduduk surga, semoga Allah ‘azza wa jalla meridhainya.

Dalam Musnad al-Imam Ahmad rahimahullah (1/153) disebutkan dengan sanad sampai kepada Ibnu A’bud, dia berkata,

“Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu pernah berkata kepadaku, “Maukah aku beritakan kepadamu tentang aku dan Fathimah radhiallahu ‘anha? Dia adalah putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang yang paling beliau muliakan dan kasihi di antara keluarga beliau, dan dia adalah istriku.

Dia menggiling gandum dengan alat penggilingan hingga alat tadi membekas pada tangannya. Dia mengangkut air dengan qirbah (wadah dari kulit) yang dikalungkan pada lehernya hingga qirbah tersebut membekas pada lehernya. Dia membersihkan rumah hingga berdebu pakaiannya. Dia menyalakan api di bawah periuk hingga kotor bajunya. Semua itu membuatnya tertimpa kepayahan.

(Suatu hari) didatangkan ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tawanan perang atau pembantu. Ali berkata, “Aku pun berkata kepada Fathimah, ‘Pergilah engkau menemui Rasulullah. Mintalah kepada beliau seorang pembantu yang akan meringankanmu dari kepayahan yang engkau dapati dalam pekerjaanmu.’

Fathimah pergi menemui sang ayah. Didapatinya di sisi beliau ada sekian pembantu. Namun, Fathimah segan sehingga dia pun pulang tanpa menyampaikan permintaannya. Lalu disebutkan kisahnya…

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Fathimah,

أَلآ أَدُلُّكِ عَلَى مَا هُوَ خَيْرٌ لَكِ مِنْ خَادِمٍ؟ إِذَا أَوَيْتِ إِلَى فِرَاشِكِ سَبِّحِيْ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ, وَاحْمَدِي ثَلاَثاً وَثَلاَثِينَ، وَكَبِّرِي أَرْبَعًا وَثَلاَثِينَ. فَأَخْرَجَتْ رَأْسَهَا فَقَالَتْ: رَضِيْتُ عَنِ اللهِ وَرَسُوْلِهِمَرَّتَيْنِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah aku tunjukkan kepadamu sesuatu yang lebih baik bagimu daripada seorang pembantu? Apabila engkau beranjak ke tempat tidurmu (pada malam hari), bertasbihlah 33 kali, bertahmidlah 33 kali, dan bertakbirlah 34 kali. “

Fathimah mengeluarkan kepalanya dari selimut yang menutupinya seraya berkata, “Aku ridha kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Dinyatakan hasan sanadnya oleh Ahmad Syakir. Hadits ini termasuk tambahan yang dimasukkan oleh Abdullah bin Ahmad bin Hambal rahimahullah dalam Musnad ayahnya)

Dalam kitab al-Ishabah fi Tamyiz Ash Shahabah, karya Ibnu Sa’d (8/159) disebutkan saat Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mengusulkan agar Fathimah radhiallahu ‘anha meminta pembantu kepada ayahnya, Fathimah menyanggupi. Namun, saat sudah berhadapan dengan sang ayah, Fathimah merasa segan dan malu menyampaikan maksudnya.

Ketika ditanya oleh ayahnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Ada keperluan apa engkau datang ke sini, wahai putriku?”

Fathimah menjawab, “Ananda datang untuk menyampaikan salam kepadamu, Ayah.”

Fathimah kembali pulang dan menyampaikan kepada Ali, suaminya, bahwa dia belum bicara tentang pembantu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena malu. Ali pun mengajak istrinya untuk bersama-sama menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Ali menyampaikan kepada Rasulullah tentang keadaan Fathimah terkait dengan pekerjaannya dalam rumah, sekiranya ada pembantu tentu akan meringankan tugas Fathimah.

Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memenuhi permintaan keduanya. Beliau bersabda, “Tidak, demi Allah! Aku tidak akan memberikan pembantu kepada kalian berdua, sementara ahlus suffah aku biarkan menekuk perut mereka karena lapar. Aku tidak punya harta untuk memberi infak kepada mereka. Akan tetapi, aku akan jual budak-budak ini dan uang penjualannya akan aku infakkan kepada mereka.”

Ali dan Fathimah pun kembali ke rumah mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi rumah keduanya saat keduanya telah berbaring dengan tutupan selimut pendek. Selimut itu, apabila ditutupkan ke bagian kepala, akan tampaklah kaki keduanya. Apabila ditutupkan ke kaki, tersingkap bagian kepala keduanya.

Keduanya hendak bangkit, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menahan agar mereka tetap di tempatnya. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari keduanya sebuah amalan yang lebih baik daripada pembantu.

Kisah di atas juga dibawakan oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah dalam Shahihnya (Kitab an-Nafaqat, bab Amal al-Mar’ah fi Baiti Zaujiha dan bab Khadim al-Mar’ah, hadits no. 5361 dan 5362) dan al-Imam Muslim rahimahullah dalam Shahihnya (Kitab adz-Dzikr wad Du’a, bab at-Tasbih Awwal an-Nahar wa inda an-Naum, hadits no. 6853, 6854, 6855, dan 6856), namun kisahnya tidak sepanjang yang disebutkan dalam Musnad al-Imam Ahmad.

Dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim ini, disebutkan bahwa Fathimah radhiallahu ‘anha tidak mendapati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hanya bertemu dengan Aisyah radhiallahu ‘anha. Kepada Aisyah, pesan untuk sang ayah disampaikan.

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, Aisyah radhiallahu ‘anha mengabarkan kedatangan Fathimah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mendatangi rumah putrinya. Beliau mendapati sang putri dan menantu terkasih telah berbaring di pembaringan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta keduanya tetap berbaring.

Beliau duduk di antara keduanya hingga kata Fathimah radhiallahu ‘anha, “Aku dapati dinginnya kedua telapak kaki beliau pada perutku (atau dadaku).”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan apa yang diharapkan oleh putrinya. Beliau justru menghimbau agar putrinya meneruskan apa yang biasa di lakukan dalam rumah suaminya. Beliau membimbing sang putri untuk melakukan ibadah zikir yang membantunya menjalankan pekerjaannya. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa ibadah yang beliau ajarkan itu lebih baik daripada pembantu.

Kata al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, “Yang tampak, maksud dari ‘lebih baik daripada pembantu’ adalah manfaat zikir (tasbih dsb.) khusus di negeri akhirat,sedangkan manfaat pembantu hanya didapatkan di kehidupan dunia. Dan dipastikan bahwa akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” (Fathul Bari, 9/627)

Sekarang kita kembali mengulang pertanyaan, adakah istri yang lebih mulia daripada Fathimah radhiallahu ‘anha?

Teladan berikutnya adalah Asma bintu Umais radhiallahu ‘anha. Tahukah Anda siapa dia?

Ya, sahabiyah yang mulia, pelaku dua kali hijrah; ke Habasyah dan ke Madinah. Beliau bersuamikan para lelaki yang mulia, tokoh para sahabat. Setelah menjanda dari Ja’far bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu yang gugur dalam Perang Mu’tah, Asma dinikahi oleh Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu. Ketika Abu Bakr radhiallahu ‘anhu wafat, Asma diperistri oleh Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anha.

Sungguh, kemuliaan bagi Asma pernah bersanding dengan lelaki-lelaki ahlul jannah[3].

Apa yang dilakukan Asma di dalam rumahnya? Berikut ini beritanya.

Asma bintu Umais radhiallahu ‘anha berkisah,

لَمَّا أُصِيْبَ جَعْفَرٌ وَأَصْحَابُهُ دَخَلَ عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ وَدَبَغْتُ أَرْبَعِ إِهاَبًا، وَعَجِنْتُ عَجِيْنِي، وَغَسَلْتُ بُنَيَّ وَدَهَنْتُهُمْ وَنَظَّفْتُهُمْ .قَالَتْ :فَقَالَ لِي رَسُوْلُ اللهِ :اِتِيْنِي بِبَنِي جَعْفَرٍ .قَالَتْ :فَأَتَيْتُهُ بِهِمْ فَشَمَّمَهُمْ وَذَرَفَتْ عَيْنَاهُ. فَقَالَتْ :يَا رَسُوْلَ اللهِ، بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي، مَا يُبْكِيْكَ؟ أَبَلَغَكَ عَنْ جَعْفَرٍ وَأَصْحَابِهِ شَيْءٌ؟ قَالَ :نَعَمْ، أُصِيْبُوْا هَذَا الْيَوْمَ

        Ketika Ja’far dan teman-temannya gugur, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke rumah kami. Waktu itu aku telah menyamak 40 kulit, mengadon adonan rotiku, memandikan anak-anakku, meminyaki rambut mereka dan membersihkan mereka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Datangkan putra-putra Ja’far ke hadapanku.”

Aku pun menghadirkan mereka ke hadapan beliau. Beliau mencium mereka dan mengalirlah air mata dari kedua mata beliau.

Asma berkata, “Wahai Rasulullah, ayah dan ibuku menjadi tebusan bagimu, apa yang membuat Anda menangis? Apakah sampai sesuatu berita kepadamu tentang Jafar dan teman-temannya?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, mereka semua gugur pada hari ini….” (Sirah Ibni Hisyam, 4/22)

Dalam ath-Thabaqah al-Kubra karya Ibnu Sa’d disebutkan,

Aku berpagi hari dengan kegiatanku pada hari gugurnya Ja’far dan temantemannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menemuiku. Saat itu aku telah menyamak 40 samakan dari kulit dan mengadon adonan rotiku. Aku ambil anak-anakku lalu membasuh wajah mereka dan meminyaki rambut mereka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke rumahku, lalu berkata, “Wahai Asma, di mana putra-putra Ja’far?”

Aku pun mendatangkan anak-anakku ke hadapan beliau. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memeluk dan mencium mereka. Mengalirlah air mata beliau. Beliau menangis.

Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, mungkin ada sesuatu berita yang telah sampai kepada Anda tentang Ja’far?”

“Ya, dia terbunuh pada hari ini,” jawab beliau.

“Berdirilah aku seraya menjerit (menangis),” kata Asma, “Lalu berkumpullah para wanita di sekitarku (untuk menghiburku).”

Mendengar tangisku pecah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan, “Wahai Asma, jangan kamu mengucapkan ucapan yang mengandung dosa (karena meratapi musibah ini) dan jangan kamu memukul-mukul dadamu.” (10/267)

 

  1. Bersegera memenuhi “ajakan” suami dalam hal yang Allah ‘azza wa jalla halalkan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

       إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ، فَبَات غَضْبَانَ عَلَيْهَا، لَعَنَتْهَا الْمَلآئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

“Apabila seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya, lalu si istri menolak hingga suaminya bermalam dalam keadaan marah kepadanya, istri tersebut dilaknat oleh malaikat sampai pagi.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dengan demikian, seorang istri tidak boleh “jual mahal” kepada suaminya, seakan-akan menghalangi suami dari dirinya, menjauh dari suaminya.

Semestinya istri selalu mendekat kepada suaminya tanpa harus diminta. Dia senantiasa bersolek dan berhias untuk suaminya.

 

  1. Menjaga rahasia suami dan kehormatannya.

Jangan sampai seorang istri membawa dirinya kepada keburukan dan keluar rumah dengan bertabarruj.

Janganlah seorang istri bermudah-mudah menampakkan dirinya kepada lelaki ajnabi, dengan berdiri di depan pintu rumah, melongok di jendela, atau keluar dari rumahnya. Apabila terpaksa keluar rumah, hendaknya seorang istri menjaga rasa malunya.

Jangan sekali-kali seorang istri memasukkan ke dalam rumah suaminya orang yang tidak disukai oleh suami. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan bahwa hal tersebut termasuk hak seorang suami terhadap istrinya.

Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَأَمَّا حَقُّكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ فَلاَ يُوطِينَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُوْنَ

“Adapun hak kalian terhadap istri-istri kalian adalah mereka tidak boleh membiarkan orang yang kalian benci menginjak permadani kalian.” (HR. Muslim)

Dalam riwayat at-Tirmidzi ada tambahan,

وَلاَ يَأْذَنْ فِي بُيُوْتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُوْنَ

        “Dan tidak boleh mengizinkan orang yang kalian benci masuk ke rumah kalian.” (Dinyatakan hasan dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)

 

  1. Menjaga harta

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda terkait tanggung jawab istri di rumah suaminya,

وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْؤُوْلَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا

“Perempuan adalah pemimpin dalam rumah suaminya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits yang lain,

خَيْرُ النِّسَاءِ رَكِبْنَ الْإِبِلَ صَالِحُ نِسَاءِ قُرَيْشٍ، أَحْنَاهُ عَلَى وَلَدٍ فِي صِغَرِهِ وَأَرْعَاهُ عَلَى زَوْجٍ فِي ذَاتِ يَدِهِ

“Sebaik-baik perempuan yang menunggang unta adalah perempuan Quraisy yang saleh[4], paling penyayang terhadap anak ketika masih kecilnya, dan paling memerhatikan (menjaga) suami dalam harta yang dimiliki suami.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Maksud paling memerhatikan harta suami adalah paling menjaga dan memelihara harta suami dengan berbuat amanah dan tidak mubazir membelanjakannya. (Fathul Bari, 9/157)

Seorang istri dibebani tugas mengatur ‘dalam rumah’ suaminya, dan apa yang ada di dalam rumah umumnya adalah harta suami yang harus dijaga. Urusan penjagaan harta ini terkait beberapa hal, di antaranya:

  1. Menjaga dan merawat baik-baik apa yang ada di dalam rumah suami.
  2. Tidak mubazir dan boros.

radhiallahu ‘anhuma. Tidak membebani dan menuntut suami dengan nafkah yang melampaui kemampuannya.

 

  1. Bergaul dengan baik

Seorang istri harus dapat bermuamalah dengan baik terhadap suami yang sekaligus adalah pemimpinnya. Di antara bentuk muamalah yang baik dengan suami adalah sabar dan memaafkan kesalahan suami, meminta keridhaannya ketika dia marah, menampakkan rasa cinta dan pemuliaan kepada suami, mengucapkan kalimat-kalimat yang baik saat berbicara dengan suami, dan menampakkan wajah berseri-seri.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيْكَ لَكَ صَدَقَةٌ

“Senyummu terhadap saudaramu adalah sedekah bagimu.” (HR. at-Tirmidzi, dinyatakan sahih dalam ash- Shahihah no. 572)

Apabila senyuman kepada saudara dianggap sebagai kebaikan, bagaimana halnya dengan senyuman yang selalu disuguhkan istri di hadapan suaminya?

 

  1. Pandai mengatur waktu

Seorang istri harus pandai dan bersemangat mengatur dan memanfaatkan waktunya sehingga pekerjaan bisa tertunaikan.

 

  1. Menata rumah

Jadikanlah rumahmu laksana sebuah taman yang selalu terjaga kebersihan dan keteraturannya. Rumah itu menunjukkan “siapa” perempuan yang menghuninya. Dengan selalu bersih dan teratur rapi, niscaya rumah tampak menarik walaupun hanya sebuah gubuk yang diisi dengan perabotan ala kadarnya.

Sebaliknya, jika rumah kotor, tidak terawat dan semrawut, walau bangunannya megah, perabotannya mewah, niscaya ‘mata tak sedap memandang, hati pun enggan untuk tinggal’.

Saat suami dan anak-anak pulang dari pekerjaan dan sekolah mereka dalam keadaan lelah lagi penat, lantas mendapati rumah mereka bersih, tertata rapi, niscaya kelelahan terasa berkurang.

Sebaliknya, jika mereka kembali dalam keadaan rumah kotor, berantakan dan sebagainya, niscaya kepayahan mereka akan bertambah.

Dengan demikian, kebersihan dan kerapian tempat tinggal termasuk sebab yang paling penting untuk menjadikannya sebagai sakan.

 

  1. Jujur terhadap suami terkhusus saat suami tidak ada di rumah.

Seorang istri tidak boleh berdustadan menyembunyikan sesuatu yang seharusnya tidak boleh disembunyikan dari suaminya. Apabila satu kali istri selamat dari kedustaannya, saat itu suaminya tidak tahu bahwa dia dibohongi. Namun, pada waktu yang lain, belum tentu istri selamat. Bisa jadi, kedustaannya yang dahulu terbongkar hingga sirnalah kepercayaan suami kepadanya.

Bisa terbayang rasanya bila suami sudah tidak percaya pada kita? Tentu rumah tidak bisa lagi menjadi sakan yang menyenangkan, apalagi menjadi tempat tarbiyah yang baik.

 

  1. Apa yang Anda lakukan saat terjadi perselisihan dengan suami?

Kita menyadari bahwa kita adalah manusia yang pasti ada kelemahan. Suatu waktu pasti ada perselisihan dengan orang lain yang tinggal di sekitar kita atau yang kita berinteraksi dengannya. Tentu saja dengan suami yang selalu dekat dengan kita, tinggal serumah, sekamar dan setiap hari berinteraksi, lebih mungkin ada masalah yang timbul!

Yang penting dari semua itu bukanlah membahas ada atau tidak ada masalah, muncul atau tidaknya problem, perselisihan dan pertikaian. Yang penting adalah menyelesaikan persoalan yang muncul di antara suami istri.

Berikut ini beberapa arahan yang harusnya diperhatikan seorang istri saat terjadi perselisihan dengan suami.

  1. Jauhilah adu mulut saat dalam keadaan emosi. Biarkanlah kemarahan reda dan urat syaraf mengendor dari yang semula tegang. Lakukanlah upaya untuk menghilangkan kemarahan sebagaimana bimbingan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  2. Pakailah metode ‘membahas’, mencari tahu akar masalah dan sebabnya, bukan bertengkar.

radhiallahu ‘anhuma. Seorang istri tidak boleh berani membentak suaminya, bersuara keras dan kasar terhadap suami. Ingat selalu hal ini, walau sedang emosi.

  1. Hindari memotong pembicaraan dan enggan mendengar apa yang disampaikan.
  2. Setiap pihak tetap menunjukkan kecintaan kepada pasangannya sambil berusaha menyelesaikan masalah.
  3. Semestinya bersiap untuk mengalah. Jika tidak ada yang mau mengalah, niscaya perselisihan tidak akan selesai. Ia justru bertambah berat,bahkan terkadang berakhir dengan keluarnya ucapan, “Sudah, kita cerai saja!”

 

Demikianlah beberapa kiat yang sepantasnya dilakukan istri dalam rumahnya hingga bisa mewujudkan sakan yang hakiki, dengan pertolongan Allah ‘azza wa jalla.

Sebuah rumah yang dihuni oleh suami yang bisa merasakan ketenangan, ketenteraman, dan kebahagiaan, hingga suami bisa berbuat dan menghasilkan yang terbaik untuk umat.

Sebuah rumah yang di dalamnya anak-anak dididik dengan tarbiyah yang baik, hingga menjadi baiklah umat ini karena baiknya generasi yang terlahir dan keluar di tengah mereka.

Suami dan istri adalah dua asas keluarga. Apabila hubungan antara keduanya buruk, niscaya tidak ada ketenteraman dalam rumah yang dihuni keduanya.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

(insya Allah bersambung)

 Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah

[1] Surat ar-Rum: 21

[2] Ibadah tambahan di luar yang diwajibkan.

[3] Sebab, ketiga sahabat ini—Abu Bakr ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, dan saudaranya Ja’far, semoga Allah ‘azza wa jalla meridhai mereka semua—telah diberi janji dengan surga oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[4] Yang dimaksud saleh, kata al-Hafizh Ibnu Hajar, adalah baik agamanya dan bagus pergaulannya dengan suami. (Fathul Bari, 9/157)