Safar duniawi Menuju Safar Ukhrawi

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin)

“Maha Suci Allah yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami.” (Az-Zukhruf: 13-14)

Penjelasan Mufradat Ayat
Maha Suci Allah. Kata ini merupakan kata dasar (mashdar/maf’ul muthlaq) dalam kedudukan manshub (dengan alamat harakat fathah) disebabkan oleh sebuah fi’il (kata kerja) yang tersembunyi, yaitu:
أُسَبِّحُ اللهَ سُبْحَانًا أَيْ تَسْبِيحًا
(Saya benar-benar menyucikan Allah). Secara bahasa at-tasbih bermakna menjauhkan dari segala keburukan. Adapun secara syar’i bermakna menyucikan dari segala apa yang tidak layak bagi kebesaran Allah l dan kesempurnaan-Nya. (lihat Adhwa’ul Bayan tafsir Surat Al-Isra’ ayat 1)
“Yang telah menundukkan semua ini bagi kami.”
Bermakna ذَلَّلَ yaitu menundukkan. Adapun ﭺ merupakan isim isyarat/kata tunjuk yang kembali kepada lafadz مَا pada ayat sebelumnya (Az-Zukhruf: 12) yaitu     ﭨ  ﭩ   artinya apa-apa yang kamu tunggangi (kapal/perahu dan binatang ternak).
Bermakna مُطِيقِينَ, yaitu mampu menguasai, sebagaimana ditafsirkan oleh Ibnu Abbas  c yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim. Pendapat serupa juga diucapkan oleh Qatadah, Mujahid, dan As-Suddi. Mujahid -dalam riwayat lain yang dikeluarkan oleh Al-Firyabi, ‘Abd bin Humaid, dan Ibnu Jarir- juga berkata: “Makna ﭾ   adalah unta, kuda, bighal (peranakan kuda dan keledai), dan keledai.”
Kata ﭾ   diambil dari أَقْرَنَ لِلْأَمْرِ إِذَا أَطَاقَهُ وَقَوِيَ عَلَيْهِ artinya menguasai perkara apabila ia mampu dan kuat. Maknanya adalah kalau bukan karena Allah l yang menundukkan perahu dan binatang ternak sebagai tunggangan bagi kita, kita tidak mampu melakukannya. Akan tetapi karena kelembutan dan kemuliaan-Nya, Allah l tundukkan dan mudahkan sebab-sebabnya.
Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami. Maknanya:
أَيْ لَصَائِرُونَ إِلَيْهِ بَعْدَ مَمَاتِنَا وَإِلَيْهِ سَيْرُنَا الْأَكْبَرُ
yaitu kita kembali kepada-Nya setelah kematian kita dan hanya kepada-Nya perjalanan kita yang terbesar (perjalanan menuju akhirat, pen.). Hal ini sebagai bentuk peringatan terhadap perjalanan dunia atas perjalanan akhirat. Sebagaimana yang Allah l peringatkan tentang bekal yang sifatnya duniawi atas bekal yang sifatnya ukhrawi, dalam surat Al-Baqarah ayat 197:
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.”
Demikian pula terhadap pakaian yang sifatnya duniawi atas pakaian yang sifatnya ukhrawi, seperti pada surat Al-A’raf ayat 26:
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik.”
Bermakna رَاجِعُونَ artinya kembali, sebagaimana disebutkan oleh jumhur (kebanyakan) ahli tafsir seperti Ibnu Katsir, Al-Alusi, Al-Baidhawi, Ath-Thabari, Ibnul Jauzi, Abu Hayyan, Asy-Syaukani, dan Asy-Syinqithi dalam kitab tafsir mereka.
Asy-Syinqithi t dalam tafsir surat Al-Mulk ayat 15 berkata: “Ayat Allah l:
‘Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.’ Allah l sebutkan ayat ini setelah adanya perintah (kepada manusia) untuk melakukan perjalanan di segala penjuru bumi, mencari rezeki, melihat dan mencermati akibat dari suatu sebab serta ditundukkannya bumi. Ayat ini seperti ayat:
“Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami.” (Az-Zukhruf: 14)
setelah ayat:
“(Yaitu) Yang Menciptakan seluruh yang berpasang-pasangan serta menundukkan kapal dan binatang ternak sebagai kendaraan.” (Az-Zukhruf: 12)
Pada ayat ini terdapat kandungan makna yang menetapkan adanya kekuasaan Allah l atas hari kebangkitan (menghidupkan orang mati), sehingga seseorang dapat melakukan perjalanan di segala penjuru bumi, menggunakan dan memanfaatkan kebaikan darinya. Semua itu bukan semata-mata untuk mencari rezeki, namun dalam rangka menjalani sebab dan melihat kepada akibat, serta mengambil pelajaran terhadap seluruh ciptaan(Nya). Yang terpenting (dari semua itu) adalah mencari bekal untuk kehidupan akhirat.”
Abu Hayyan t berkata dalam kitabnya Al-Bahrul Muhith ketika menafsirkan surat Az-Zukhruf ayat 14: “Makna ayat ‘Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami,’ adalah ikrar (pengakuan) untuk kembali kepada Allah l dan adanya hari kebangkitan. Karena tatkala seorang penumpang menaiki kapal (dalam pelayarannya) berisiko binasa karena tenggelam. Menunggangi hewan juga berisiko tergelincir, membahayakan dan tidak menjamin keselamatannya. Oleh karenanya, ayat ini mengingatkan kepada seseorang untuk senantiasa merasa (ingat/sadar) bahwa kembalinya hanya kepada Allah l, siap untuk berjumpa dengan-Nya, dalam keadaan ia tidak melupakan perkara itu baik dalam hati maupun lisan (dengan cara berdoa).”
Penjelasan Ayat dan Faedahnya
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t berkata: “Ayat ini menjelaskan bahwa Rabb yang disifati dengan sifat-sifat ini (sebagaimana yang telah disebutkan dalam ayat sebelumnya seperti Pencipta langit dan bumi, Dzat Yang menurunkan air hujan dari langit menurut kadar yang diperlukan, Dzat Yang menciptakan segala yang berpasangan, Yang menjadikan kapal dan binatang ternak yang dapat ditunggangi, dst, lihat Az-Zukhruf: 9-11, pen.), semua itu termasuk bagian dari limpahan nikmat Allah l kepada hamba-Nya. Sehingga, hanya Dia-lah yang paling berhak untuk diibadahi, dan hanya kepada-Nya lah dilakukan doa dan sujud.” (Taisir Al-Karimir Rahman)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata dalam Majmu Al-Fatawa (4/462): “Termasuk perkara Sunnah Rasulullah n (yang beliau ajarkan) adalah memakan makanan yang dijumpai (yang ada) di negeri tempat ia tinggal, memakai pakaian serta mengendarai kendaraan yang dijumpai (yang ada) yang Allah l bolehkan. Barangsiapa menggunakan apa yang ia jumpai di negerinya (tempat ia tinggal), maka ia telah mengikuti sunnah. Sebagaimana beliau n menunaikan ibadah haji dari kota Madinah. Barangsiapa menunaikan haji dari kota asalnya, ia telah mengikuti sunnah, walaupun kota-kota lain itu tidak sama dengan kota Madinah Rasulullah n.
Demikian pula ayat (pada surat Az-Zukhruf ayat 12-13), (mengajarkan) etika apabila seseorang menaiki kendaraan di atas lautan (kapal), daratan (binatang ternak/kendaraan), dan udara (pesawat terbang, pen.). Meskipun Rasulullah n, demikian pula Abu Bakr dan Umar c, belum pernah berlayar di atas lautan (menaiki kapal laut). Akan tetapi beliau n pernah mengabarkan kepada Ummu Haram bintu Milhan x1 tentang sekelompok orang dari umatnya yang berperang di jalan Allah l, mereka menaiki kapal laut layaknya raja-raja di atas singgasana. Lalu Ummu Haram berkata: “Berdoalah kepada Allah l agar menjadikanku termasuk mereka.” Beliau bersabda: “Engkau termasuk mereka.”
Ayat ini termasuk bagian dari rangkaian doa ketika seseorang menaiki kendaraan baik di darat, di udara maupun di lautan dalam rangka safar (bepergian). Ada beberapa hadits yang dibawakan oleh para ulama dalam bab adab ketika seseorang menaiki kendaraan untuk safar. Di antaranya hadits Ibnu ‘Umar c, apabila Rasulullah n telah berada di atas unta/kendaraannya bermaksud untuk safar, beliau bertakbir tiga kali kemudian membaca:
ﭶ   ﭷ  ﭸ   ﭹ  ﭺ  ﭻ  ﭼ  ﭽ    ﭾ  ﭿ  ﮀ  ﮁ       ﮂ   ﮃ  ﮄ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِي سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى، اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ، اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ وَالْخَلِيفَةُ فِي الْأَهْلِ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِي الْمَالِ وَالْأَهْلِ. وَإِذَا رَجَعَ قَالَهُنَّ وَزَادَ فِيهِنَّ: آيِبُونَ تَائِبُونَ عَابِدُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ
“Maha Suci Allah yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya, dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami. Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu dalam safar kami ini kebaikan, ketakwaan, dan amal perbuatan yang Engkau ridhai. Ya Allah, mudahkanlah dalam safar kami ini dan dekatkanlah jauhnya jarak bepergian. Ya Allah, Engkaulah Dzat yang menyertai dalam safar dan pengganti keluarga yang kami tinggalkan. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kepayahan/kesukaran dalam safar, jeleknya pandangan dan jeleknya kembali, baik pada harta maupun keluarga.”
Apabila beliau kembali (hendak pulang), beliau juga membaca doa dengan diberi tambahan: “Kami orang-orang yang akan kembali, orang yang taat, bertaubat, beribadah dan hanya untuk Rabb kami, kami memuji.” (HR. Muslim, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi)
Hadits lain adalah hadits yang diriwayatkan Al-Imam Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari jalan Ali bin Rabi’ah, ia berkata: Aku menyaksikan Ali z, didatangkan kepada beliau tunggangan agar (beliau) menungganginya. Ketika akan menaiki tunggangan itu, beliau membaca: بِسْمِ اللهِ. Ketika sudah berada di atas punggungnya (duduk di atas kendaraan) beliau membaca: الْحَمْدُ لِلهِ. Lalu beliau membaca:
Lalu membaca الْحَمْدُ لِلهِ tiga kali, اللهُ أَكْبَرُ tiga kali, lalu membaca:
سُبْحَانَكَ إِنِّي قَدْ ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ
“Maha Suci Engkau ya Allah, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku sendiri. Ampunilah aku, karena tidak ada yang akan mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.”
Lalu beliau tertawa. Aku (Ali bin Rabi’ah) bertanya: “Mengapa engkau tertawa, wahai Amirul Mu’minin?” Beliau berkata: “Aku melihat Rasulullah n berbuat sebagaimana aku berbuat, kemudian beliau n tertawa. Akupun bertanya: ‘Mengapa engkau tertawa, wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda: ‘Sesungguhnya Rabbmu sungguh merasa takjub dengan hamba-Nya apabila dia berdoa:
رَبِّ اغْفِرْ لِي ذُنُوبِي إِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ غَيْرُكَ
‘Wahai Rabbku, ampunilah aku atas dosa-dosaku, sesungguhnya tidak ada yang akan mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau’.”
Adapun doa menaiki kendaraan yang tersebut pada surat Hud ayat 41:
“Nuh berkata: ‘Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya. Sesungguhnya Rabbku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.”
Juga dalam surat Al-Mu’minun ayat 29:
“Dan berdoalah: ‘Wahai Rabbku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkahi dan Engkau adalah sebaik-baik yang memberi tempat’.”
Al-Imam As-Suyuthi t dalam tafsirnya Ad-Durrul Mantsur ketika menafsirkan ayat ini menyebutkan riwayat dari Mujahid t, yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, ‘Abd bin Humaid, Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim: “Ayat:
Dan berdoalah: ‘Wahai Rabbku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkahi dan Engkau adalah sebaik-baik yang memberi tempat.’
adalah doa yang Allah l perintahkan kepada Nabi Nuh q ketika turun dari perahunya.”
Kemudian beliau menyebutkan juga riwayat ‘Abd bin Humaid, Ibnul Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim dari Qatadah, beliau berkata: “Allah l mengajari kalian cara kalian berdoa ketika menaiki kendaraan dan ketika turun dari kendaraan. Ketika menaiki kendaraan, doa yang dibaca adalah ayat:
dan ayat:
Adapun ketika turun:
Asy-Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi t dalam tafsirnya Adhwa’ul Bayan, pada tafsir surat Hud ayat 41 berkata: “Allah l menyebutkan dalam ayat yang mulia ini bahwa Nabi-Nya Nuh -semoga shalawat dan salam atas beliau serta atas Nabi kita Muhammad n- memerintahkan para sahabatnya, yaitu orang-orang yang telah dikatakan kepada mereka: ‘Bawalah mereka dalam bahtera’ supaya mereka naik ke dalamnya sambil berdoa. Pada surat Al-Falah (Al-Mu’minun, pen.) menerangkan bahwa Allah l memerintahkan apabila Nabi Nuh q dan orang-orang yang bersamanya telah berada di atas perahu agar memuji Allah l, yang telah menyelamatkan mereka dari orang-orang kafir yang zalim.
Mereka juga diperintahkan untuk memohon kepada-Nya agar menempatkan mereka pada tempat yang diberkahi. Hal itu sebagaimana yang tersebut pada ayat:
“Apabila kamu dan orang-orang yang bersamamu telah berada di atas bahtera  (kapal) itu maka ucapkanlah: ‘Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan kami dari orang-orang yang zalim’, dan berdoalah: ‘Wahai Rabbku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkahi dan Engkau adalah sebaik-baik yang memberi tempat.” (Al-Mu’minun: 28-29)
Adapun dalam surat Az-Zukhruf ayat 12-14, Allah l menerangkan apa yang seharusnya diucapkan ketika menaiki perahu dan kendaraan lainnya, dengan membaca:
Al-Imam An-Nawawi t berkata dalam Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibnul Hajjaj: “Bab: Disunnahkan berdoa apabila menaiki tunggangan (kendaraan) dalam rangka safar untuk ibadah haji atau yang lainnya, dan penjelasan yang paling utama dari doa tersebut.”
Kemudian beliau menyebutkan hadits Ibnu ‘Umar c di atas, yang menyebutkan doa bagi seorang yang menaiki kendaraan.
Asy-Syaikh As-Sa’di t berkata dalam kitabnya Bahjah Qulubil Abrar pada hadits yang ke-85: “Hadits ini (hadits Abdullah bin Umar c riwayat Muslim, pen.) mengandung faedah-faedah yang agung berkaitan dengan safar. Doa yang tersebut dalam hadits ini mencakup permohonan dalam hal kemaslahatan agama (yang merupakan perkara paling penting) dan kemaslahatan dunia, tercapainya perkara yang disenangi serta terhindarnya dari perkara yang buruk serta tidak disukai, mensyukuri nikmat-nikmat Allah l, mengingat kebesaran dan kemuliaan-Nya. Doa ini mencakup pula safar yang berada di atas ketaatan Allah  l dan dalam perkara yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya. Di akhir doa ini terdapat bentuk pengakuan terhadap nikmat Allah l, sebagaimana yang terdapat di awal doa. Maka sebagaimana wajib bagi seorang hamba untuk memuji Allah l atas dimudahkannya melakukan ibadah dan dalam memulai hajatnya, wajib pula bagi hamba tadi untuk memuji Allah  l atas disempurnakan dan dicukupkannya hajatnya, serta setelah selesai darinya. Karena sesungguhnya keutamaan, kebaikan, dan sebab itu semua adalah milik-Nya semata, dan Allah l adalah pemilik keutamaan yang mulia. Beliau pun memulai dan mengakhiri safarnya dengan doa, yang dimulai dengan membesarkan Allah l dan memuji-Nya.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t menjelaskan: “Sebagaimana yang diketahui dalam doa-doa Nabi n bahwa kalimat tahmid (Alhamdulillah) seiring dengan kalimat tasbih (Subhanallah), sedangkan kalimat tahlil seiring dengan kalimat takbir. Namun pada sebagian keadaan, beliau n mengumpulkan takbir dengan tahlil, dan takbir dengan tahmid, sebagaimana yang beliau lakukan dalam doa beliau ketika menaiki kendaraan, seperti dalam hadits Ibnu Umar  c riwayat Al-Imam Muslim dan hadits ‘Ali bin Abi Thalib z riwayat Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Perpaduan ini mengingatkan kepada kenikmatan Allah l, yang mengharuskan kita untuk mensyukuri-Nya disertai memuji-Nya. Karena menunggangi kendaraan termasuk keutamaan dari sekian keutamaan dan merupakan bagian nikmat, maka Nabi n menggabungkan dalam doa tersebut antara dua perkara, sebagaimana firman Allah l: “Supaya kamu duduk di atas punggungnya kemudian kamu ingat nikmat Rabbmu apabila telah duduk di atasnya dan supaya kamu mengucapkan: ‘Maha Suci Allah yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya’.” (Az-Zukhruf: 14)
Pada ayat ini Allah l memerintahkan untuk mengingat nikmat Allah l dan mengingat-Nya, yaitu dengan cara memuji-Nya (mengucapkan Alhamdulillah). Allah l perintahkan untuk bertasbih, dan tasbih adalah kalimat yang seiring dengan pujian. Ketika didatangkan tunggangan (kendaraan) kepada Nabi n, saat akan menaiki beliau membaca Bismillah. Ketika sudah duduk berada di atas punggungnya, beliau membaca Alhamdulillah. Kemudian beliau n membaca:
Kemudian beliau membaca الْحَمْدُ لِلهِ tiga kali dan اللهُ أَكْبَرُ tiga kali, lalu membaca:
لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْلِي
“Tiada ilah yang berhak disembah selain-Mu, Maha Suci Engkau, aku telah berbuat zalim terhadap diriku, maka ampunilah aku.”
Setelah beliau n menyebutkan kemuliaan-kemuliaan Allah l berupa takbir dan tahlil, beliau menutup dengan istighfar, karena seiring dengan tauhid. Sehingga doa yang dibaca di atas kendaraan mencakup empat kalimat (tahmid, tasbih, tahlil, dan takbir) dan disertai dengan istighfar.” (Diringkas dari Majmu’ Al-Fatawa, 24/240-241)
Wallahu a’lam bish-shawab.

1 Kisah ini diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari t dalam hadits no. 6272 dari Anas bin Malik z, beliau berkata: “Jika Rasulullah n pergi ke Quba, beliau singgah di tempat Ummu Haram bintu Milhan x. Dia pun menjamu beliau, dan Ummu Haram ketika itu adalah istri Ubadah bin Ash-Shamit z. Pada suatu hari beliau n masuk ke rumahnya dan ia pun menjamunya. Kemudian Rasulullah n tidur, lalu terbangun sambil tertawa. Ummu Haram bertanya: “Apa yang membuatmu tertawa, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Ada sekelompok orang dari umatku, mereka ditampakkan kepadaku sedang berperang di jalan Allah l. Mereka menaiki kapal laut layaknya raja-raja di atas singgasana.” Ummu Haram berkata: “Berdoalah kepada Allah agar menjadikanku termasuk bagian dari mereka….” Kemudian beliau tidur kembali. Di akhir hadits beliau n bersabda: “Engkau termasuk golongan yang pertama (dari mereka).” Maka Ummu Haram ikut mengarungi lautan pada masa (pemerintahan) Mu’awiyah, namun beliau terjatuh dari kendaraannya ketika berlabuh dan meninggal dunia.