Sedekah yang Paling Utama

Sering kita mendengar, seorang wanita yang mengadu nasib ke negeri orang pulang dalam keadaan tinggal jasad, pulang dalam keadaan tubuh penuh luka karena disiksa majikannya, dan berbagai kisah pilu lainnya yang entah kapan berakhir. Kepergian para wanita itu adalah untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Lantas di manakah suaminya? Haruskah seorang wanita menempuh risiko demikian besar untuk mencari nafkah? Tulisan berikut mencoba menguraikan bagaimana Islam mengatur permasalahan nafkah dalam keluarga.

Kata orang tua kita, hidup berkeluarga adalah kehidupan orang dewasa. Perkataan seperti ini memang sesuai dengan kenyataan yang ada karena orang yang menjalani hidup berkeluarga harus siap bersikap dewasa dalam menghadapi liku-liku hidup berumah tangga.

Salah satu sikap kedewasaan dari seseorang adalah bila ia tidak semata menuntut agar semua haknya dipenuhi tanpa menyeimbangkan dengan pemenuhan kewajiban dan tanggung jawabnya. Sudah seharusnya orang yang berumah tangga mengerti apa yang menjadi kewajibannya terhadap pasangannya dan memahami tanggung jawabnya, lalu berupaya semampunya memenuhi serta melaksanakan kewajiban tersebut.

Salah satu kewajiban sekaligus tanggung jawab seorang suami adalah memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya sesuai kemampuan. Kewajiban ini selain ditunjukkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, juga dengan ijma’ (kesepakatan ulama). (Nailul Authar, 6/374)

Sengaja kita angkat permasalahan ini karena ada di antara suami yang tidak tahu atau pura-pura tidak tahu dengan kewajiban yang satu ini, sehingga ia berlepas tangan dari memberi nafkah kepada keluarganya.

Satu contoh kasus, seorang ibu dari tiga anak mengeluhkan suaminya yang enggan bekerja untuk menafkahi keluarganya. Kalaupun ia bekerja maka hasilnya semata untuk diri sendiri, untuk makan enak, dan membeli kebutuhannya. Sementara itu, untuk makan sehari-hari anak dan istrinya ditanggung oleh sang istri yang terpaksa berjualan makanan ringan untuk menghidupi diri dan anak-anaknya. Sesekali si suami mau mengeluarkan uang dari sakunya apabila istrinya telah marah-marah dan menuntut tanggung jawabnya.

Lain lagi kisah seorang ibu setengah baya yang telah memiliki beberapa orang cucu. Setelah berhenti dari pekerjaannya, sang suami hanya tinggal di rumah, tidak mau mencari nafkah untuk keluarganya. Akhirnya, tanggung jawab memberi nafkah pun beralih kepada sang istri sementara suaminya bersikap masa bodoh.

Dua kasus yang kami sebutkan di atas benar-benar terjadi. Bisa jadi, banyak pula kejadian yang sejenis, di kalangan orang yang kelihatannya mengerti agama, lebih-lebih lagi di kalangan orang awam.

Uang

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman menyebutkan kewajiban suami ini,

وَعَلَى ٱلۡمَوۡلُودِ لَهُۥ رِزۡقُهُنَّ وَكِسۡوَتُهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.” (al-Baqarah: 233)

Ketika Mu’awiyah bin Haidah radhiallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, apa hak istri salah seorang dari kami terhadap suaminya?”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ، وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ

“Engkau beri makan istrimu bila engkau makan, dan engkau beri pakaian bila engkau berpakaian. Jangan engkau pukul wajahnya, jangan engkau jelekkan[1], dan jangan engkau boikot kecuali di dalam rumah.” (HR. Abu Dawud no.1830 dan Ibnu Majah no. 1840. Dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh Muqbil dalam ash-Shahihul Musnad, 2/202)

Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini terdapat dalil tentang wajibnya suami memberi makan kepada istrinya dengan apa yang ia makan dan memberi pakaian kepada istrinya dengan apa yang ia pakai, tidak boleh memukulnya dan tidak pula menjelekkannya.” (Nailul Authar, 6/376)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji Wada’ berkhutbah di hadapan manusia. Setelah memuji dan menyanjung Allah subhanahu wa ta’ala, beliau memberi peringatan dan nasihat. Kemudian beliau berkata,

أَلاَ وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ، لَيْسَ تَمْلِكُوْنَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ إِلاَّ أَنْ يَأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ، فَإِنْ فَعَلْنَ فَاهْجُرُوْهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ. فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلاً، أَلاَ إِنَ لَكُمْ عَلَى نِسَائكِمُ حَقًّا وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا، فَحَقُّكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُوْنَ وَلاَ يَأْذَنَّ فِي بُيُوْتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُوْنَ، أَلاَ وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوْا إِلَيْهِنَّ فيِ كِسْوَتهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ

“Ketahuilah, berwasiatlah tentang kebaikan terhadap para wanita (para istri)[2] karena mereka hanyalah tawanan di sisi (di tangan) kalian, kalian tidak menguasai dari mereka sedikit pun kecuali hanya itu, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Bila mereka melakukan hal itu, boikotlah mereka di tempat tidurnya dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. Namun bila mereka menaati kalian, tidak ada jalan bagi kalian untuk menyakiti mereka.

Ketahuilah, kalian memiliki hak terhadap istri-istri kalian dan mereka pun memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan seorang yang kalian benci untuk menginjak permadani kalian dan mereka tidak boleh mengizinkan orang yang kalian benci untuk masuk ke rumah kalian. Sedangkan hak mereka terhadap kalian adalah kalian berbuat baik terhadap mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka.” (HR. Tirmidzi no. 1173 dan Ibnu Majah no. 1841, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil no. 2030)

Hendaknya para suami mengetahui bahwa nafkah yang ia berikan kepada keluarganya tidaklah bernilai sia-sia di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala. Bahkan nafkah itu terhitung sebagai amalan sedekahnya sebagaimana hadits Abu Mas’ud al-Anshari radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda,

إِذَا أَنْفَقَ الْمُسْلِمُ نَفَقَةً عَلَى أَهْلِهِ وَهُوَ يَحْتَسِبُهَا [3]كَانَتْ لَهُ صَدَقَةٌ

“Apabila seorang muslim memberi nafkah kepada keluarganya dan dia mengharapkan pahala dengannya maka nafkah tadi teranggap sebagai sedekahnya.” (HR. al-Bukhari no. 55, 4006, 5351 dan Muslim no. 1002)

sesendok-sereal

Sampaipun satu suapan yang diberikan seorang suami kepada istrinya, teranggap sebagai amalan sedekah sang suami. Demikian disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat beliau, Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu,

وَمَهْمَا أَنْفَقْتَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ حَتَّى الْلُقْمَةَ فِي فِي امْرَأَتِك

“Apa pun yang engkau nafkahkan maka itu teranggap sebagai sedekah bagimu sampaipun suapan yang engkau berikan ke mulut istrimu.” (HR. al-Bukhari no. 5354 dan Muslim no. 1628)

Dalam riwayat Muslim disebutkan,

وَلَسْتَ تُنْفِقُ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللهِ إِلاَّ أُجِرْتَ بِهَا حَتَّى الْلُقْمَةَ تَجْعَلُهَا فِي فِي امْرَأَتِكَ

“Tidaklah engkau menafkahkan satu nafkah yang dengannya engkau mengharap wajah Allah subhanahu wa ta’ala kecuali engkau akan diberi pahala dengannya sampaipun satu suapan yang engkau berikan ke mulut istrimu.”

Al-Muhallab rahimahullah berkata, “Nafkah untuk keluarga hukumnya wajib dengan ijma’ (kesepakatan ulama). Adapun Penetap Syariat (yakni Allah subhanahu wa ta’ala, –red) menamakannya dengan sedekah hanyalah dikarenakan kekhawatiran adanya sangkaan bahwa mereka tidak akan diberi pahala atas kewajiban yang mereka tunaikan. Mereka telah mengetahui pahala sedekah, maka Penetap Syariat mengenalkan kepada mereka bahwa nafkah/infak yang mereka keluarkan (untuk keluarga) adalah sedekah mereka sehingga mereka tidak mengeluarkan sedekah itu kepada selain keluarga, kecuali setelah mereka mencukupi keluarga mereka. Penamaan infak ini dengan sedekah adalah demi mendorong mereka agar mendahulukan sedekah yang wajib (yaitu memberi nafkah kepada keluarga) daripada sedekah yang sunnah.” (Fathul Bari, 9/600)

Namun tentunya nafkah itu barulah bernilai sedekah bila dibarengi dengan niat karena Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Sa’ad di atas.

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata ketika menerangkan hadits Abu Mas’ud al-Anshari radhiallahu ‘anhu, “Hadits ini menerangkan bahwa yang dimaukan dengan sedekah dan nafkah secara mutlak dalam hadits-hadits yang ada adalah bila orang yang mengeluarkannya itu ihtisab, maknanya ia menginginkan wajah Allah subhanahu wa ta’ala dengan nafkah tersebut. Bila seseorang memberikan nafkah dalam keadaan lupa atau kacau pikirannya, tidaklah ia mendapatkan nilai sedekah seperti yang dinyatakan dalam hadits ini, namun yang masuk dalam hadits ini hanyalah bila seseorang itu muhtasib (mengharapkan pahala), ia ingat kewajibannya untuk memberikan infak kepada istri, anak-anaknya, budaknya dan orang-orang yang wajib ia nafkahi selain mereka….” (Syarah Shahih Muslim, 7/88—89)

Beliau juga berkata ketika mensyarah (menjelaskan) hadits Sa’ad, “Hadits ini menunjukkan disenanginya memberi infak dalam berbagai perkara kebaikan, dan menunjukkan bahwa amalan itu tergantung niatnya, sehingga seseorang itu hanyalah diberi pahala atas amalnya dengan niatnya. Hadits ini juga menunjukkan bahwa memberi infak kepada keluarga akan diberi pahala bila mengharapkan wajah Allah subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana pula dalam hadits ini ditunjukkan bahwa perkara mubah bila diniatkan untuk mengharap wajah Allah subhanahu wa ta’ala akan menjadi amalan ketaatan dan diberi pahala karenanya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi peringatan tentang hal ini dengan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sampaipun satu suapan yang engkau berikan ke mulut istrimu,” sementara istri termasuk bagian dunia yang paling khusus bagi seorang laki-laki, tempat pelampiasan syahwatnya, dan tempat kelezatannya yang mubah. Biasanya menyuapi istri hanya terjadi ketika sedang bercengkerama, berlemah lembut dan bercumbu dengan sesuatu yang mubah.

Bila dipikir, keadaan seperti ini tentunya sangat jauh dari ketaatan dan perkaraperkara akhirat. Namun bersamaan dengan itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bila si suami memaksudkan suapan tersebut dalam rangka mengharap wajah Allah subhanahu wa ta’ala maka ia akan memperoleh pahala dengan perbuatan tersebut.

Tentunya perbuatan yang selain ini lebih pantas untuk memperoleh pahala bila ditujukan karena wajah Allah subhanahu wa ta’ala. Terkandung dalam hal ini apabila manusia melakukan sesuatu yang asalnya mubah dengan mengharap wajah Allah subhanahu wa ta’ala maka ia akan diberi pahala, seperti bila seseorang makan dengan niat agar kuat dalam melakukan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, tidur untuk istirahat agar bisa bangun untuk melaksanakan ibadah dalam keadaan segar lagi bersemangat, bercumbu dengan istri dan budak wanita yang dimiliki dengan tujuan menjaga diri, pandangannya dan selainnya dari perkara yang haram, juga untuk tujuan memenuhi hak istri dan untuk memperoleh anak yang saleh.

Inilah makna dari sabda Nabi subhanahu wa ta’ala,

وَفِي بُضِعْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ

(‘Dan pada kemaluan salah seorang dari kalian ada sedekah.’) Wallahu a’lam.” (Syarah Shahih Muslim, 11/77—78)

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah berkata, “Dari hadits (Sa’ad) ini diambil faedah bahwasanya satu amalan tidak akan diperoleh pahala karenanya kecuali bila amalan itu bergandengan dengan niat.” (Fathul Bari, 9/600)

Kemudian beliau menukilkan ucapan al-Imam ath-Thabari rahimahullah secara ringkas, “Wajib memberi nafkah kepada keluarga. Orang yang melakukannya akan diberi pahala dengan tujuannya. Tidaklah saling bertentangan antara keberadaan nafkah ini sebagai sesuatu yang wajib dengan penamaannya sebagai sedekah, bahkan nafkah ini lebih utama daripada sedekah yang sunnah.”

Nafkah yang diberikan seorang suami kepada keluarganya merupakan nafkah yang paling utama (afdhal) dan paling besar pahalanya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Tsauban radhiallahu ‘anhu menuturkan bahwa Rasulullah subhanahu wa ta’ala bersabda,

أَفْضَلُ دِيْنَارٍ يُنْفِقُهُ الرَّجُلُ دِيْنَارٌ يُنْفِقُهُ عَلَى عِيَالِهِ، وَدِيْنَارٌ يُنْفِقُهُ الرَّجُلُ عَلَى دَابَّتِهِ فِي سَبِيْلِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَدِيْنَارٌ يُنْفِقُهُ عَلَى أَصْحَابِهِ فِي سَبِيْلِ اللهِ

“Dinar yang paling utama yang dibelanjakan oleh seseorang adalah dinar yang dinafkahkan untuk keluarganya, dan dinar yang dibelanjakan oleh seseorang untuk tunggangannya dalam jihad di jalan Allah ‘azza wa jalla dan dinar yang diinfakkan oleh seseorang untuk teman-temannya di jalan Allah subhanahu wa ta’ala.” (HR. Muslim no. 994)

Dinar

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي سَبِيْلِ اللهِ وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي رَقَبَةٍ وَدِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِيْنٍ وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ، أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِي أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ

“Satu dinar yang engkau belanjakan di jalan Allah subhanahu wa ta’ala, satu dinar yang engkau keluarkan untuk membebaskan budak, satu dinar yang engkau sedekahkan kepada seorang miskin dan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu, maka yang paling besar pahalanya dari semua nafkah tersebut adalah satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu.” (HR. Muslim no. 995)

Tentunya nafkah ini dikeluarkan oleh seorang suami sesuai dengan kadar kemampuannya, karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

          لِيُنفِقۡ ذُو سَعَةٖ مِّن سَعَتِهِۦۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيۡهِ رِزۡقُهُۥ فَلۡيُنفِقۡ مِمَّآ ءَاتَىٰهُ ٱللَّهُۚ لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا مَآ ءَاتَىٰهَاۚ سَيَجۡعَلُ ٱللَّهُ بَعۡدَ عُسۡرٖ يُسۡرٗا ٧

“Orang yang mampu hendaknya memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan yang ada.” (ath-Thalaq: 7)

Tidak ada penetapan besarnya nafkah yang wajib dikeluarkan oleh suami, namun yang jadi patokan adalah kecukupan nafkah tersebut bagi yang dinafkahi, demikian pendapat jumhur ulama dari perselisihan pendapat yang ada. (Subulus Salam, 3/341, Nailul Authar, 6/377)

Para suami hendaknya mengetahui, Allah subhanahu wa ta’ala berjanji untuk mengganti nafkah yang telah diberikan oleh seorang hamba, dan tentunya ganti dari Allah subhanahu wa ta’ala lebih baik dan lebih mulia.

وَمَآ أَنفَقۡتُم مِّن شَيۡءٖ فَهُوَ يُخۡلِفُهُۥۖ وَهُوَ خَيۡرُ ٱلرَّٰزِقِينَ ٣٩

“Dan apa saja yang kalian nafkahkan maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (Saba: 39)

Seorang suami yang tidak memberikan nafkah kepada keluarganya padahal punya kemampuan berarti telah melalaikan satu kewajiban yang Allah subhanahu wa ta’ala telah bebankan di pundaknya, dan cukuplah baginya untuk mendapatkan dosa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan hal ini dalam sabdanya,

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوْتَهُ

“Cukuplah bagi seseorang untuk mendapatkan dosa bila ia menahan makanan dari orang yang berhak mendapatkan makanan darinya.”[4] (HR. Muslim no. 996)

Al-Imam ash-Shan’ani rahimahullah berkata, “Hadits ini merupakan dalil tentang wajibnya seseorang memberi nafkah kepada orang yang di bawah tanggungannya. Karena tidaklah seseorang dihukumi berdosa kecuali karena ia telah meninggalkan kewajibannya. Disampaikan di sini bahwa dosanya tersebut cukup untuk membinasakan dirinya tanpa harus menyertakan dosa yang selainnya.” (Subulus Salam, 3/345)

Bila seorang suami tidak memberikan nafkah yang mencukupikepada istrinya atau malah tidak memberikan sama sekali, seorang istri diperkenankan mengambil harta suaminya walau tanpa sepengetahuannya. Hal ini pernah terjadi pada diri Hindun bintu ‘Utbah radhiallahu ‘anha, istri Abu Sufyan, ibu dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan radhiallahu ‘anhuma. Ia mengadukan keadaan dirinya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحٌ وَلَيْسَ يُعْطِيْنِي مَا يَكْفِيْنِي وَوَلَدِي إِ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ.[5] فَقَالَ: خُذِيْ مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعرُوْفِ

“Abu Sufyan itu seorang lelaki yang bakhil[6]. Ia tidak memberi nafkah yang cukup padaku dan anakku, kecuali bila aku mengambil dari hartanya dalam keadaan ia tidak tahu.”[7]

Rasulullah menjawab, “Ambillah untukmu dan anakmu dengan apa yang mencukupimu dengan cara yang ma’ruf.” (HR. al-Bukhari no. 5364 dan Muslim no. 1714)

Namun tentunya seorang istri hanya dibolehkan mengambil harta tersebut dengan cara yang ma’ruf, yaitu kadar harta yang diambil tersebut diketahui secara kebiasaan telah mencukupi. (Fathul Bari, 9/613)

Adapun bila suami telah memberikan nafkah dengan cukup sesuai kemampuannya, tidak boleh seorang istri mengambil harta suaminya tanpa seizinnya.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyyah


[1] Maksudnya, kata Abu Dawud, dengan mengatakan, “Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menjelekkanmu.” (Sunan Abi Dawud, Kitabun Nikah, bab “Fi Haqqil Mar-ah ‘ala Zaujiha”). Demikian pula mengucapkan ucapan yang jelek, mencerca, mencela, dan semisalnya. (‘Aunul Ma’bud)

[2] Al-Qadhi berkata, “Al-Istisha adalah menerima wasiat, maka makna ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini adalah: Aku wasiatkan kalian untuk berbuat kebaikan terhadap para istri, maka terimalah wasiatku ini.” (Tuhfatul Ahwadzi)

[3] Yang dimaksud dengan yahtasibuha adalah bertujuan untuk mencari pahala. (Fathul Bari, 9/600)

[4] Orang yang ia beri makan adalah mereka yang wajib untuk ia berikan infak/nafkah, yaitu istrinya, anak-anak, budak yang diimiliki. (Subulus Salam, 3/345)

[5] Dalam lafadz lain, Hindun berkata,

فَهَلْ عَلَيَّ جُنَاحٌ أَنْ آخُذَ مِنْ مَالِهِ سِرًّا؟

“Apakah aku berdosa bila aku mengambil dari hartanya dengan sembunyi-sembunyi?” ( HR. al-Bukhari no. 2211)

[6] Al-Qurthubi rahimahullah menyatakan, “Hindun tidaklah memaksudkan bahwa sifat Abu Sufyan itu bakhil dalam seluruh keadaannya. Namun ia hanyalah mensifatkan keadaan dirinya bersama Abu Sufyan, bahwa Abu Sufyan menyempitkan pemberian nafkah untuknya dan untuk anak-anaknya. Ini tidaklah berkonsekuensi bahwa Abu Sufyan itu memiliki sifat bakhil secara mutlak karena kebanyakan para tokoh/pemimpin melakukan hal tersebut terhadap istrinya dan ia mementingkan/lebih mendahulukan orang lain dalam rangka mengambil hati mereka.” (Fathul Bari, 9/613)

[7] Hadits ini merupakan satu dalil tentang bolehnya seseorang menyebut perkara orang lain yang tidak ia sukai bila dalam rangka meminta fatwa kepada seorang alim atau mengadukan perkaranya kepada orang yang berwenang dan semisalnya. Ini salah satu bentuk ghibah yang diperbolehkan. (Syarah Shahih Muslim, 12/7, Fathul Bari, 9/613, Subulus Salam, 3/341)

Comments are closed.