Sepeninggal Rasulullah

sepeninggal rasulullah

Sikap Ali terhadap Kekhalifahan Abu Bakr ash-Shiddiq

Sebagian orang bersandar pada beberapa riwayat mengenai keterlambatan Ali radhiallahu anhu membaiat Abu Bakr radhiallahu anhu, bahwa Ali radhiallahu anhu tidak senang akan kekhalifahan ash-Shiddiq radhiallahu anhu. Mereka menyatakan bahwa baiat yang dilakukan oleh Ali radhiallahu anhu hanya satu kali, yaitu sesudah Fathimah radhiallahu anha wafat.

Sebetulnya tidaklah demikian. Sebab, Ali radhiallahu anhu membaiat Abu Bakr radhiallahu anhu dua kali. Yang pertama ketika kaum muslimin membaiat Abu Bakr radhiallahu anhu di Saqifah (gubug) Bani Sa’idah; yang kedua adalah sesudah wafatnya Fathimah radhiallahu anha bintu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Inilah yang diisyaratkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitab al-Bidayah.

Setelah terjadinya baiat yang kedua, banyak orang mengira bahwa Ali radhiallahu anhu belum berbaiat selain hari itu. Padahal sudah dimaklumi oleh mereka yang memahami kaidah fikih, bahwa “yang menetapkan didahulukan daripada yang meniadakan”. Wallahu a’lam.

Baiat Ali yang Pertama

Diriwayatkan oleh al-Hakim dan al-Baihaqi, dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu anhu, yang mengisahkan sebagai berikut.

Setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam wafat, beberapa ahli pidato dari kalangan Anshar mulai angkat suara. Salah seorang dari mereka mengatakan,

“Hai kaum Muhajirin, sesungguhnya jika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menunjuk seseorang dari kalian untuk memegang suatu amanah, beliau akan menyertakan pula salah seorang dari kami sebagai pendamping. Oleh karena itu, kami memandang bahwa urusan (kekhalifahan) ini harus ditangani dua orang; satu dari kalian dan satunya dari kami.”

Akhirnya, secara bergantian berdirilah beberapa ahli pidato Anshar mendukung gagasan ini. Kemudian, bangkitlah Zaid bin Tsabit radhiallahu anhu dan berkata,

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berasal dari golongan Muhajirin sehingga imam (pemimpin) harus dari kaum Muhajirin. Adapun kita adalah Anshar (para penolong/pembela) khalifah itu, sebagaimana dahulu kita adalah Anshar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.”

Setelah itu bangkitlah Abu Bakr radhiallahu anhu sembari berkata,

“Semoga Allah memberi kalian balasan yang baik, wahai golongan Anshar, dan mengukuhkan pembicara kalian. Seandainya kalian tidak berbuat demikian, tentu kami tidak akan berunding dengan kalian.”

Tiba-tiba Zaid bin Tsabit radhiallahu anhu memegang tangan Abu Bakr radhiallahu anhu dan berkata, “Inilah khalifah kalian. Kalian, baiatlah dia!”

Mereka pun berbaiat.

Baca juga:

Khalifah Rasulullah Abu Bakr Ash-Shiddiq

Setelah Abu Bakr radhiallahu anhu duduk di atas mimbar, dia memperhatikan kaum muslimin. Beliau radhiallahu anhu tidak melihat Ali radhiallahu anhu. Abu Bakr radhiallahu anhu menanyakan keberadaan Ali radhiallahu anhu. Beberapa orang Anshar segera berdiri dan memanggil Ali radhiallahu anhu ke hadapan Abu Bakr radhiallahu anhu.

Abu Bakr radhiallahu anhu berkata, “Putra paman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan menantu beliau, apakah engkau hendak memecah belah persatuan kaum muslimin?”

Ali radhiallahu anhu berkata, “Tidak ada celaan, wahai Khalifah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.”

Ali radhiallahu anhu pun berbaiat. Kemudian Abu Bakr radhiallahu anhu menanyakan keberadaan Zubair bin Awam radhiallahu anhu, karena beliau radhiallahu anhu tidak melihatnya di antara jamaah kaum muslimin.

Setelah Zubair radhiallahu anhu datang, Abu Bakr radhiallahu anhu bertanya, “Putra bibi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, apakah engkau hendak memecah belah persatuan kaum muslimin?”

Zubair radhiallahu anhu juga menjawab seperti jawaban Ali radhiallahu anhu. Dia pun berbaiat.

Menurut al-Hakim, riwayat ini sahih sesuai dengan syarat Syaikhain (al-Bukhari dan Muslim) tetapi keduanya tidak mencantumkannya dalam kitab mereka.

Mengapa Ali Perlu Memperbarui Baiatnya Hingga Wafat Fathimah?

Sebab, Fathimah radhiallahu anha sangat bersedih atas kepergian ayahandanya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Kesedihan itu semakin bertambah berat ketika muncul ganjalan dalam hatinya yang melihat Abu Bakr radhiallahu anhu bersikukuh dengan hadits yang didengarnya dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, ayahandanya, bahwa para nabi dan rasul tidak mewariskan harta. Apa yang mereka tinggalkan adalah sedekah.

Fathimah radhiallahu anha belum puas dengan jawaban Abu Bakr radhiallahu anhu dan tetap mendesak. Abu Bakr radhiallahu anhu ash-Shiddiq radhiallahu anhu tetap bertahan. Dengan lemah lembut, beliau menerangkan bahwa harta yang ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak berlaku sebagai warisan untuk anak cucu beliau, tetapi sebagai sedekah untuk kaum muslimin.

Sejak saat itu, beliau (Fathimah radhiallahu anha) menutup diri dari orang banyak. Kesedihan yang bertumpuk membuat beliau radhiallahu anha akhirnya tidak bisa tertawa lagi sampai beliau radhiallahu anha wafat—enam bulan sesudah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam wafat.

Keadaan Fathimah radhiallahu anha inilah yang menyebabkan Ali radhiallahu anhu tertahan untuk menemui orang banyak, lebih-lebih Khalifah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Ali radhiallahu anhu selalu mendampingi dan menghibur Fathimah radhiallahu anha.

Baca juga:

Mewaspadai Kaum Munafik

Ketika melihat kejadian ini, orang-orang yang tidak mengerti, terutama kaum munafikin, mulai mengembuskan kabar bohong bahwa Ali radhiallahu anhu tidak pernah keluar karena tidak suka Abu Bakr radhiallahu anhu dibaiat sebagai khalifah. Setelah Ali radhiallahu anhu membaiat Abu Bakr radhiallahu anhu, hilanglah berita itu dan jelaslah sikap Ali radhiallahu anhu, secara khusus dan ahli bait, secara umum.

Sebagian ahli sejarah meriwayatkan bahwa ketika Fathimah radhiallahu anha sakit, Abu Bakr radhiallahu anhu sempat membesuknya dan meminta keridhaannya. Fathimah radhiallahu anha pun meridhainya.

Bagaimanapun, kita sebagai seorang muslim, meyakini bahwa tidak mungkin Fathimah radhiallahu anha menyimpan kebencian dan dendam terhadap ash-Shiddiq radhiallahu anhu, lelaki yang sangat dicintai oleh ayahandanya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Bahkan, seandainya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengangkat seorang manusia sebagai khalil (kedudukan cinta yang paling tinggi), niscaya beliau akan menjadikan Abu Bakr radhiallahu anhu sebagai khalil.

Suatu hari, Fathimah radhiallahu anha pernah diutus oleh istri-istri Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk meminta keadilan. Ketika itu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sedang berada dalam rumah Aisyah radhiallahu anha. Setelah menyampaikan keperluannya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertanya kepada sang putri yang paling dicintainya itu, “Wahai putriku, apakah engkau mencintai apa yang ayahmu cintai?”

“Tentu,” jawab Fathimah radhiallahu anha. Lalu beliau radhiallahu anha kembali menemui istri-istri ayahandanya yang lain.[1]

Fathimah radhiallahu anha tidak mungkin mendustai ayahandanya yang sangat dipuja dan dicintainya. Beliau radhiallahu anha pasti mencintai pula segala hal yang dicintai oleh ayahandanya. Fathimah radhiallahu anha tidak mungkin menyelisihi ayahandanya, apalagi mengingkari beliau dalam setiap ketetapan dan tindakan beliau. Lebih-lebih lagi, salah satu bukti cinta adalah mencintai apa yang dicintai oleh kekasih yang dicinta.

Oleh sebab itu, tidak mungkin Fathimah radhiallahu anha membenci Aisyah, apalagi ayahnya, ash-Shiddiq radhiallahu anhu, yang sangat diistimewakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Begitu pula Ali radhiallahu anhu bin Abi Thalib dan ahli bait lainnya, tidak mungkin mereka membenci beliau (ash-Shiddiq radhiallahu anhu).

Hanya orang-orang yang kurang akal, baik dari kalangan Syiah maupun orientalis, yang bersikukuh dengan kebohongan yang muncul seputar kisah ini. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala tidak memperbanyak mereka.

Melepas Pasukan Usamah

Sementara itu, pasukan Usamah masih belum berangkat karena wafat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Setelah jasad suci Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dikuburkan, Abu Bakr radhiallahu anhu dibaiat sebagai khalifah. Beliau radhiallahu anhu kembali menyiapkan pasukan Usamah dan memerintahkan mereka agar segera berangkat.

Para sahabat mengingatkan beliau radhiallahu anhu bahwa dalam suasana tegang, saat beberapa kabilah di sekitar Madinah mulai murtad dan ingin memberontak, seharusnya pasukan Usamah radhiallahu anhu tetap bertahan di Madinah.

Akan tetapi, sekali ash-Shiddiq radhiallahu anhu, selamanya tetaplah ash-Shiddiq radhiallahu anhu. Beliau radhiallahu anhu pernah menyatakan tidak akan meninggalkan sesuatu yang pernah dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Sebab, beliau radhiallahu anhu khawatir jika meninggalkannya, dia pasti binasa. Beliau radhiallahu anhu berkata,

“Demi Allah, seandainya anjing-anjing kota Madinah menggigiti baju istri-istri Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, aku akan tetap melepas pasukan Usamah yang sudah disiapkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.”

Akhirnya para sahabat menerimanya.

Setelah itu, sambil berjalan kaki, Khalifah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam (Abu Bakr radhiallahu anhu) ikut keluar mengantar pasukan menuju gerbang kota Madinah. Kemudian Abu Bakr radhiallahu anhu meminta kesediaan Usamah radhiallahu anhu sebagai panglima agar mengizinkan Umar bin al-Khaththab radhiallahu anhu untuk tetap tinggal di Madinah sebagai teman bermusyawarah. Usamah radhiallahu anhu mengabulkan permintaan Khalifah radhiallahu anhu.

Baca juga:

Al-Faruq Umar bin al-Khaththab (4): Menjadi Penasihat Abu Bakr

Berangkatlah pasukan Usamah radhiallahu anhu menuju daerah tempat ayahandanya, Zaid bin Haritsah radhiallahu anhu, terbunuh. Sesampainya di sana, tidak terjadi pertempuran berarti. Akhirnya pasukan itu kembali dengan aman.

Beberapa kabilah Arab yang ingin menyerang Madinah segera mengurungkan niatnya ketika mendengar keberangkatan pasukan Usamah. Kalau kaum muslimin mampu mengirim pasukan, berarti di dalam kota masih ada pasukan lain yang berjaga-jaga. Itulah dugaan mereka. Demikianlah pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala kepada kaum muslimin.

Setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam wafat, orang-orang munafik mulai berani menampakkan jati diri mereka. Beberapa kabilah Arab ada yang murtad. Selain itu, orang-orang Yahudi dan Nasrani juga diam-diam mengintai kelemahan kaum muslimin. Akhirnya, kaum muslimin bagai anak ayam kehilangan induk hingga Allah subhanahu wa ta’ala menyatukan mereka di bawah kepemimpinan Abu Bakr radhiallahu anhu.

Musailamah al-Kadzdzab (Si Pendusta)

Belum berbilang hari sejak Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam wafat, kaum muslimin mulai dihadapkan pada berbagai cobaan. Bahkan, sebelum Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam wafat, sudah mulai muncul sebuah fitnah.

Suatu ketika, datang dua utusan Musailamah menemui Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan menyerahkan surat dari Musailamah. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertanya kepada keduanya, “Apakah kamu berdua mengakui bahwa saya adalah Rasul Allah?”

“Kami mengakui bahwa Musailamah adalah utusan Allah,” jawab mereka.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata, “Demi Allah, seandainya bukan karena larangan membunuh utusan, niscaya aku akan memenggal leher kalian berdua.”

Isi surat Musailamah itu berbunyi:

Bismillahirrahmanirrahim,

dari Musailamah utusan Allah, kepada Muhammad (shallallahu alaihi wa sallam) utusan Allah. Sesungguhnya aku diberi kedudukan yang sama denganmu. Jadi, dunia ini separuhnya milik kami dan separuhnya lagi milik Quraisy. Akan tetapi, orang-orang Quraisy telah berbuat melampaui batas.”

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membalas surat itu,

Bismillahirrahmanirrahim.

Keselamatan bagi mereka yang mengikuti petunjuk. Amma ba’du, bumi ini milik Allah subhanahu wa ta’ala, Dia mewariskannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara para hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik itu bagi orang-orang yang bertakwa.”[2]

Ketika Musailamah datang bersama Bani Hanifah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah berkata kepadanya, “Engkaulah yang kulihat dalam mimpi. Tsabit yang akan menjawab keperluanmu.” Kemudian beliau meninggalkannya.

Ibnu Abbas radhiallahu anhuma menanyakan maksud ucapan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Engkaulah yang kulihat dalam mimpi?”

Abu Hurairah radhiallahu anhu menerangkan kepadanya bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bermimpi melihat di tangannya ada dua buah gelang emas, lalu beliau meniup kedua gelang itu hingga lenyap. Beliau shallallahu alaihi wa sallam menakwilkannya; yang satu adalah pendusta dari Yamamah, sedangkan yang satunya adalah pendusta dari Shan’a.[3]

Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa Musailamah sudah berani mengaku sebagai nabi, bahkan sejak Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam masih hidup.

Baca juga:

Menumpas Musailamah al-Kadzdzab (1)

Sebelum Amr bin al-Ash masuk Islam, dia pernah bertemu dengan Musailamah al-Kadzdzab. Musailamah bertanya kepadanya, “Apa yang sudah turun kepada orang ini (Muhammad shallallahu alaihi wa sallam)?”

“Turun kepadanya satu surah pendek yang sangat indah bahasanya,” jawab Amr.

Musailamah pun meminta Amr untuk membacakannya. Amr, yang ketika itu belum masuk Islam, membacakan surah al-Ashr sampai selesai.

وَٱلۡعَصۡرِ ١ إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ ٢ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ ٣

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” (al-Ashr: 1—3)

Setelah Amr membacakannya, Musailamah berpikir sejenak, dan berkata, “Telah diturunkan juga kepadaku yang serupa dengan itu.”

“Apakah itu?” kata Amr.

Musailamah membaca,

يَا وَبْرُ يَا وَبْرُ إِنَّمَا أَنْتَ أُذُنَانِ وَصَدْرٌ وَسَائِرُكَ حَفْرٌ نَقْرٌ

“Wahai marmut! Wahai marmut! Engkau hanyalah dua daun telinga dan dada. Adapun selebihnya adalah hina dan berpenyakit.”

Lalu dia melanjutkan, “Bagaimana menurutmu, hai Amr?”

Dengan tegas, Amr menyatakan di hadapan Musailamah, “Demi Allah, sungguh engkau sudah tahu bahwa aku tahu kalau engkau adalah seorang pendusta.”

Bahkan, salah seorang pengikut Musailamah sendiri, Thalhah an-Namari, berkata kepada Musailamah, “Saya bersaksi bahwa engkau dusta, sedangkan Muhammad (shallallahu alaihi wa sallam) adalah orang yang jujur. Akan tetapi, pendusta dari suku Rabi’ah (kabilah Musailamah) lebih aku sukai daripada orang jujur dari Mudhar (kabilah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam).”

Menumpas Orang-Orang Murtad

Sepeninggal Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, beberapa kabilah Arab mulai enggan menunaikan zakatnya. “Kalau Muhammad (shallallahu alaihi wa sallam) itu seorang nabi, tentu dia tidak akan mati,” kata mereka.

Orang-orang yang cerdik dan pandai di antara mereka berusaha menasihati dan mengingatkan, “Coba terangkan tentang nabi-nabi terdahulu. Apakah kamu mengakui nubuwah mereka?”

“Ya,” kata orang-orang murtad itu.

Orang-orang yang cerdik dan pandai itu bertanya lagi, “Apakah mereka mati?”

“Ya,” kata orang-orang murtad itu lagi.

“Lantas, apa yang kalian ingkari dari nubuwah Muhammad (shallallahu alaihi wa sallam)?”

Baca juga:

Mutiara Hikmah Khalifah Abu Bakr Ash-Shiddiq terhadap Orang-Orang yang Tidak Mau Berzakat

Ternyata, nasihat dan peringatan itu sia-sia, mereka tetap dalam kemurtadan. Akhirnya, Abu Bakr radhiallahu anhu menyiapkan pasukan untuk memerangi semua kabilah yang telah murtad. Satu kabilah diserang oleh sepasukan tentara kaum muslimin. Padahal, saat itu kaum muslimin sedang memusatkan kekuatan pada pengiriman pasukan Usamah yang sudah dilepas oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebelum wafat.

Pada awalnya para sahabat mempertanyakan alasan Abu Bakr radhiallahu anhu yang bersikukuh ingin memerangi mereka yang murtad atau yang enggan menunaikan zakat. Abu Bakr radhiallahu anhu menjelaskan bahwa zakat adalah hak harta yang harus ditunaikan. Seandainya mereka tidak mau memberikan seutas tali yang dahulu pernah mereka berikan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakr radhiallahu anhu tetap akan memerangi mereka. Akhirnya, para sahabat menerima alasan Abu Bakr radhiallahu anhu.


Catatan Kaki

[1] HR. al-Bukhari no. 2581 dan Muslim no. 2442

[2] Peristiwa ini terjadi pada akhir tahun kesepuluh Hijriah, menurut Ibnu Ishaq. Wallahu a’lam.

[3] HR. al-Bukhari no. 4373 dan Muslim no. 2274.

Ditulis oleh Ustadz Abu Muhammad Harits