Bagaimana hukum shalat di masjid yang di sekitarnya (depan, belakang, kanan atau kiri) ada kuburan walaupun hanya satu kuburan. Jadi masjid tersebut tidak dibangun di atas kuburan (kuburan berada di luar dinding masjid dengan jarak ±2 atau 3 meter) atau kuburan tersebut tidak berada di luar masjid?
Arif Rahmanto
Pertanyaan senada datang dari Hadi, Bintaro)
Dijawab oleh al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad
Masalah ini perlu dibahas dari dua sisi:
- Shalat di area pekuburan.
- Shalat menghadap ke kuburan.
Masalah shalat di atas area pekuburan, hal ini diperselisihkan oleh para ulama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Iqtidha Shirathal Mustaqim (hlm. 467), “Para fuqaha telah berbeda pendapat mengenai shalat di area pekuburan, (hukumnya) haram atau makruh? Jika dikatakan haram maka apakah shalatnya tetap sah (meskipun pelakunya berdosa) atau tidak? Yang masyhur di kalangan kami[1] bahwa hukumnya haram dan shalatnya tidak sah (batal).”
Syaikhul Islam rahimahullah juga berkata di dalam kitab yang sama pada hlm. 460 berkenaan dengan masjid yang dibangun di atas kuburan[2], “Aku tidak mengetahui adanya khilaf (perselisihan pendapat) tentang dibencinya shalat di masjid tersebut dan menurut pendapat yang masyhur dalam mazhab kami shalat (tersebut) tidak sah (batal) karena adanya larangan dan laknat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap perkara itu.”
Jadi shalat di area pekuburan (tanpa masjid) begitu pula di masjid yang dibangun di atas kuburan hukumnya haram menurut pendapat yang masyhur di kalangan Hanabilah mengikuti pendapat al-Imam Ahmad rahimahullah sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hazm rahimahullah darinya dan dibenarkan (dirajihkan) oleh Ibnu Hazm rahimahullah. (Lihat Ahkamul Janaiz karya al-Albani rahimahullah hlm. 273—274).
Pendapat ini dirajihkan (dipilih) pula oleh Syaikhul Islam rahimahullah sebagaimana dalam al-Ikhtiyarat al-’Ilmiyyah hlm. 25, asy-Syaukani rahimahullah dalam Nailul Authar (2/134), serta asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam asy-Syarhul Mumti’ (2/232—236) dan Syarh Bulughul Maram (kaset).[3]
Begitu pula Ibnul Qayyim rahimahullah menegaskan batalnya shalat di masjid yang dibangun di atas kuburan dalam Zadul Ma’ad (3/572) dan Syaikh kami Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah dalam Ijabatus Sail hlm. 200.
Para ulama rahimahumullah mengatakan haram dan shalatnya batal berdasarkan tiga dalil:
- Hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah, dinyatakan sahih oleh Ibnu Khuzaimah, al-Hakim, adz-Dzahabi, Syaikhul Islam dalam Iqtidha ash-Shirathil Mustaqim hlm. 462—463, asy-Syaikh al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hlm. 270, asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i dalam ash-Shahihul Musnad (1/277—278), bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ
“Bumi itu semuanya merupakan masjid (tempat shalat) kecuali kuburan dan kamar mandi.”
- Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Allah melaknat Yahudi dan Nasrani dikarenakan mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid.” (HR. Al-Bukhari no. 435 dan Muslim no. 529)
Syaikhul Islam rahimahullah dalam Iqtidha ash-Shirathil Mustaqim hlm. 462 berkata, “Termasuk di antaranya shalat di pekuburan meskipun tidak ada bangunan masjid di sana. Sebab, hal itu termasuk dalam kategori menjadikan kuburan sebagai masjid sebagaimana kata ‘Aisyah radhiallahu ‘anha [4], “Kalau bukan karena hal itu maka sungguh kuburan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan ditampakkan[5]. Akan tetapi, beliau khawatir (takut) kuburannya akan dijadikan masjid.” Bukanlah maksud ‘Aisyah radhiallahu ‘anha pembangunan masjid semata, karena para sahabat radhiallahu ‘anhum tidak akan melakukan pembangunan masjid di sisi kuburan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, maksud Aisyah radhiallahu ‘anha adalah kekhawatiran bahwa orang-orang akan melakukan shalat di sisi kuburan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Setiap tempat yang dimaksudkan untuk shalat padanya berarti telah dijadikan masjid. Bahkan, setiap tempat shalat itu dinamakan masjid meskipun tidak ada bangunan masjidnya, sebagaimana kata Rasulullah[6], “Telah dijadikan bumi bagiku sebagai masjid (tempat shalat) dan alat untuk bersuci (dengan tayammum).”
- Alasan bahwa shalat di area pekuburan dimungkinkan sebagai wasilah yang menyeret kepada penyembahan kuburan atau tasyabbuh (menyerupai) para penyembah kubur.
Kemudian perlu diketahui bahwa tidak ada perbedaan antara area pekuburan yang penghuni (kuburan) nya baru satu, atau dua, dan seterusnya. Yang jelas kalau suatu area tanah tertentu telah disediakan untuk pekuburan maka jika telah ada satu mayat yang dikuburkan berarti telah menjadi pekuburan.
Ini menurut pendapat yang kuat (rajih) yang dipilih oleh asy-Syaukani dalam Nailul Authar (2/134), Syaikhul Islam dalam al-Iqtidha (hlm. 460), dan asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam asy-Syarhul Mumti’ (2/235)[7].
Hukum ini berlaku sama saja selama dia shalat di area pekuburan, baik kuburannya di hadapan orang yang shalat, di sampingnya atau di belakangnya, sebagaimana disebutkan dalam al-Ikhtiyarat hlm. 25 dan Syarh Bulughul Maram (kaset).
Begitu pula halnya dengan shalat di masjid yang dibangun di atas satu kuburan atau lebih, sama saja baik kuburannya di depan orang yang shalat atau tidak. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Syarh Bulughul Maram (kaset) berkata, “Demikian pula hukumnya kalau suatu masjid dibangun di atas suatu kuburan karena masjid itu masuk dalam kategori area pekuburan, mengingat bahwa ketika kuburannya dalam masjid maka berarti masjid itu telah menjadi tempat pekuburan.
Adapun jika suatu mayat dikuburkan dalam masjid (yang telah dibangun lebih dahulu), wajib hukumnya dibongkar kuburan tersebut kemudian dipindahkan ke pekuburan kaum muslimin dan tidak boleh dibiarkan tetap dalam masjid.
Namun, shalat di dalam masjid tersebut tetap sah selama kuburannya bukan di depan orang yang shalat, karena jika demikian (kuburannya di depan orang yang shalat –red.), shalatnya batal.”
Apa yang ditegaskan oleh asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin di atas bahwa shalat menghadap ke kuburan[8] tidak sah merupakan pendapat Ibnu Qudamah dalam al-Mughni (2/50), Syaikhul Islam dalam al-Ikhtiyarat hlm. 25, Ibnu Hazm.
Ini juga merupakan pendapat al-Imam Ahmad, yang diriwayatkan darinya oleh Ibnu Hazm sebagaimana dalam Ahkamul Janaiz hlm. 273—274.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam asy-Syarhul Mumti’ (2/247) setelah menegaskan haramnya shalat menghadap ke pekuburan dan pendapat yang mengatakan makruh adalah marjuh (lemah), beliau berkata, “Kalau dikatakan bahwa shalatnya tidak sah, sungguh sisi kebenarannya kuat. Sebab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda dalam hadits Abi Martsad al-Ghanawi radhiallahu ‘anhu,
لاَ تَجْلِسُوْا عَلىَ الْقُبُوْرِ وَلاَ تُصَلُّوا إِلَيْهَا
“Janganlah kalian duduk di atas kuburan dan jangan pula shalat menghadapnya.” (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan haramnya shalat menghadap ke area pekuburan atau ke kuburan-kuburan atau ke satu kuburan (sekalipun). Sebab, alasan dilarangnya shalat di area pekuburan terdapat pula pada shalat menghadap ke kuburan.
Maka dari itu, selama seseorang masuk dalam kategori shalat menghadap ke kuburan atau ke area pekuburan berarti dia telah masuk dalam larangan. Jika demikian, shalatnya tidak sah berdasarkan hadits (di atas), “Janganlah kalian shalat menghadap ke kuburan.”
Jadi, larangan menghadap ke kuburan khusus ketika shalat, maka barang siapa shalat menghadap ke kuburan berarti terkumpul pada amalannya antara ketaatan dan maksiat, dan tidak mungkin seseorang mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla dengan cara demikian.
Jika ditanyakan apa yang dianggap batas pemisah antara dia dengan kuburan?
Kami katakan: Dinding merupakan pemisah, kecuali jika itu dinding pekuburan maka ada sedikit keraguan dengannya. Namun, jika ada dinding lain yang memisahkan antara kamu dan pekuburan, tidak ada keraguan lagi bahwa itu tidak masuk dalam larangan.
Demikian pula jika antara kamu dan pekuburan ada jalan, atau antara kamu dan pekuburan ada jarak pemisah, yang sebagian ulama menyatakan seperti jaraknya pembatas shalat. Berdasarkan ini berarti jaraknya dekat.
Namun, ini tetap menyisakan keraguan, karena seseorang yang melihat engkau shalat sementara di depanmu ada pekuburan sejarak 3 hasta tanpa dinding pemisah, dia akan menyangka engkau shalat menghadap ke kuburan. Jika demikian berarti butuh jarak yang cukup, yang dengannya diketahui bahwa engkau shalat tidak menghadap ke kuburan.”
Jika demikian, apabila ada masjid yang dikelilingi oleh kuburan dari luar dinding masjid (termasuk di depannya) maka shalat di dalamnya sah, dan hal ini telah ditegaskan oleh Syaikh kami Muqbil bin Hadi al-Wadi’i dalam Ijabatus Sail hlm. 200.
Sementara itu sebagian ulama Hanabilah dan dinukilkan dari al-Imam Ahmad rahimahullah (berpendapat) bahwa tidak boleh shalat di masjid yang di depannya ada kuburan hingga ada dinding lain selain dinding masjid sebagai pemisah (lihat al-Ikhtiyarat hlm. 20).
Dengan demikian, sebaiknya menghindari shalat di masjid tersebut jika ada masjid lain, meskipun shalat di tempat tersebut tetap sah sebagaimana kata asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan asy-Syaikh Muqbil rahimahumullah.
Wallahu a’lam bish-shawab.
[1] Maksudnya kalangan fuqaha Hanabilah (pengikut mazhab al-Imam Ahmad).
[2] Dalam arti kuburannya di dalam masjid.
[3] Syarah hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu yang akan disebutkan nanti.
[4] Setelah Aisyah radhiallahu ‘anha meriwayatkan hadits di atas, “Allah subhanahu wa ta’ala melaknat …. dst.”
[5] Artinya beliau akan dikuburkan di luar rumah, di pekuburan Baqi’ misalnya, bersama para sahabat radhiallahu ‘anhum. Lihat al-Qaulul Mufid syarah Kitabut Tauhid (1/347) karya asy-Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah.
[6] HR. al-Bukhari no. 330 dan Muslim no. 520 dari Jabir radhiallahu ‘anhu.
[7] Karena ada sebagian ulama menganggap bahwa yang dilarang adalah bila sudah ada 3 kuburan atau lebih.
[8] Dalam arti dia di luar area pekuburan.
Comments are closed.