Benarkah apabila wanita haid suci setelah Ashar, maka diharuskan shalat Dzuhur dan Ashar? Dan bila suci setelah shalat ‘Isya, maka harus shalat Maghrib dan ‘Isya? Apakah ada hadits sahih yang menunjukkan hal tersebut?
Ukhti Zahrah
Dijawab oleh al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Sarbini
Alhamdulillah wash-shalatu was-salamu ‘ala rasulillah wa ‘ala alihi waman walah.
Sesungguhnya apa yang ditanyakan di sini adalah permasalahan khilafiyyah yang diperselisihkan oleh para ulama:
- Mazhab al-Imam Ahmad, asy-Syafi’i, tujuh fuqaha Madinah (al-fuqaha as-sab’ah), dan lainnya adalah sebagaimana yang dituturkan dalam pertanyaan. Dengan dalil, bahwa waktu shalat Ashar merupakan waktu untuk shalat Dzuhur, begitu pula waktu shalat ‘Isya merupakan waktu untuk shalat maghrib bagi orang yang menjama’ shalat karena udzur safar. Maka wanita haid yang suci di waktu Ashar kehilangan waktu Dzuhur karena udzur, yaitu haid. Sehingga, wajib baginya untuk shalat Dzuhur dan Ashar. Demikian pula bagi yang suci di waktu ‘Isya. Hadits khusus yang menunjukkan hal itu sendiri tidak ada. Yang ada adalah atsar yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi, bahwa Ibnu ‘Abbas dan Abdurrahman bin ‘Auf radhiallahu ‘anhuma berfatwa demikian.
- Mazhab al-Hasan al-Bashri, ats-Tsauri, Abu Hanifah, al-Imam Malik, Dawud adz-Dzahiri, dan yang lainnya, bahwa dia hanya diwajibkan shalat Ashar saja apabila suci pada waktu Ashar atau shalat ‘Isya saja apabila suci pada waktu ‘Isya. Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, muttafaqun ‘alaihi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ
“Barang siapa yang mendapati satu rakaat dari waktu shalat berarti dia telah mendapati shalat tersebut.”
Hadits ini menunjukkan bahwa apabila wanita yang suci dari haidnya mendapati waktu suatu shalat yang memungkinkan dia untuk melaksanakan satu rakaat dari shalat tersebut, maka wajib baginya untuk melaksanakan shalat tersebut. Adapun shalat yang sebelumnya maka tidak diwajibkan atasnya, karena dia tidak mendapati waktunya sedikit pun dan shalat tersebut telah berlalu waktunya. Dia lalui waktu tersebut dalam keadaan tidak terbebani untuk melaksanakan shalat tersebut karena haid yang dialaminya. Maka bagaimana mungkin kita mewajibkan atasnya untuk melaksanakan suatu shalat yang dia lalui waktunya dalam keadaan tidak terbebani dengannya?
Oleh karena itu, kami memandang bahwa yang rajih adalah pendapat kedua, dan pendapat ini adalah tarjih (yang dikuatkan oleh) asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. (al-Majmu’, 3/70, al-Mughni, 1/95, asy-Syarhul Mumti’, 2/129—131)
Kemudian berdasarkan hadits di atas, maka yang rajih (kuat) bahwa wanita yang baru suci dari haid, yang wajib melaksanakan shalat adalah yang dia dapati waktunya. Dipersyaratkan minimal dia mendapati sisa waktu untuk menunaikan satu rakaat. Ini adalah salah satu pendapat al-Imam asy-Syafi’i dan al-Imam Ahmad, yang di-tarjih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah. Adapun jika dia suci dari haid dan tidak tersisa dari waktunya untuk bisa menunaikan satu rakaat maka tidak wajib atasnya untuk melaksanakan shalat tersebut. (al-Mughni, 1/273, asy-Syarhul Mumti’, 2/ 117)
Satu rakaat yang dimaksud berupa takbiratul ihram, membaca al-Fatihah, ruku’, i’tidal (bangkit dari ruku’), sujud dua kali yang diselai duduk di antara dua sujud, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar, dan asy-Syaukani. (Fathul Bari, 2/56, Nailul Authar, 2/22)
Namun apakah dipersyaratkan bersama satu rakaat tersebut waktu yang digunakan untuk bersuci atau tidak?
Ada dua pendapat di kalangan ulama, namun al-Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan bahwa dzahir hadits (yang tampak dari hadits) adalah tidak dipersyaratkan. Wallahu a’lam. (al-Majmu’, 3/69)
2 Comments
Comments are closed.