Ahlus Sunnah meyakini bahwa para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah generasi terbaik. Mereka adalah kaum yang telah menyertai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menegakkan kalimat Allah subhanahu wa ta’ala di muka bumi. Mereka telah mengorbankan darah, harta, dan jiwa untuk Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala pun telah meridhai mereka.
Oleh karena itu, Ahlus Sunnah menjaga lisan dan tidak mencela para sahabat, sebagaimana wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ تَسُبُّوا أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِي فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَوْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَ نَصِيفَهُ
“Janganlah kalian mencela seorang pun di antara sahabat-sahabatku. Sebab, seandainya kalian berinfak emas sebesar Gunung Uhud, tidaklah infak itu mencapai (pahala infak) salah seorang sahabatku sebanyak satu mud atau separuhnya.” (HR. al-Bukhari no. 3673 dan Muslim (4/1967) no. 2541)
Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebutkan bahwa membenci kaum Anshar adalah tanda kemunafikan. Sebaliknya, mencintai sahabat Anshar adalah tanda keimanan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
آيَةُ الْإِيمَانِ حُبُّ الْأَنْصَارِ وَآيَةُ النِّفَاقِ بُغْضُ الْأَنْصَارِ
“Tanda keimanan adalah mencintai sahabat Anshar, dan tanda kemunafikan adalah membenci sahabat Anshar.” (HR. Muslim)
Syiah Rafidhah Mengkafirkan Sahabat Nabi
Syiah Rafidhah memenuhi mulut mereka dengan caci maki kepada generasi terbaik umat Islam. Bahkan, mereka mengkafirkan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sungguh, dalam hal ini Yahudi dan Nasrani lebih baik dari Syiah Rafidhah. Sebab, ketika Yahudi dan Nasrani ditanya tentang manusia yang terbaik di sisi mereka, pastilah mereka mengatakan para sahabat Musa dan para sahabat Isa. Ketika Syiah Rafidhah ditanya siapa manusia yang terburuk, mereka akan menjawab, para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Akidah ini tertuang dalam kitab-kitab rujukan utama Syiah Rafidhah. Semua buku mereka dihiasi dengan celaan dan cercaan serta pengkafiran terhadap para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berikut ini beberapa nukilan dari buku-buku mereka.
- Al-Kisysyi, “imam al-jarh wat ta’dil Syiah Rafidhah”, meriwayatkan dari Abu Ja’far Muhammad al-Baqir bahwa ia berkata, “Manusia (para sahabat) sepeninggal Nabi dalam keadaan murtad kecuali tiga orang.”
Aku (perawi) berkata, “Siapakah tiga orang itu?”
Ia (Abu Ja’far) berkata, “Al-Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifari, dan Salman al-Farisi….” kemudian ia menyebutkan surat Ali Imran ayat ke-144.
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٞ قَدۡ خَلَتۡ مِن قَبۡلِهِ ٱلرُّسُلُۚ أَفَإِيْن مَّاتَ أَوۡ قُتِلَ ٱنقَلَبۡتُمۡ عَلَىٰٓ أَعۡقَٰبِكُمۡۚ وَمَن يَنقَلِبۡ عَلَىٰ عَقِبَيۡهِ فَلَن يَضُرَّ ٱللَّهَ شَيۡٔٗاۗ وَسَيَجۡزِي ٱللَّهُ ٱلشَّٰكِرِينَ ١٤٤
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa berbalik ke belakang, ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (Rijalul Kisysyi hlm. 12—13, dinukil dari asy-Syi’ah al- Imamiyah al-Itsna ‘Asyariyah fi Mizanil Islam, hlm. 89)
- Ahli hadits mereka, Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini berkata, “Manusia (para sahabat) sepeninggal Nabi dalam keadaan murtad kecuali tiga orang: al-Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifari, dan Salman al-Farisi.” (al-Kafi, 8/248, dinukil dari asy-Syi’ah wa Ahlil Bait, hlm. 45, karya Ihsan Ilahi Zhahir)
Keyakinan ini dinyatakan pula oleh Muhammad Baqir al-Husaini al-Majlisi di dalam kitabnya, Hayatul Qulub (3/640). (Lihat asy-Syi’ah wa Ahlil Bait, hlm. 46)
- Muhammad Baqir al-Majlisi berkata, “Akidah kami tentang sahabat ialah kami berlepas diri dari empat berhala: Abu Bakr, Umar, Utsman, dan Mu’awiyah. Kami juga berlepas diri dari empat wanita: Aisyah, Hafshah, Hindun, dan Ummul Hakam. Kami juga berlepas diri pula dari semua pendukung dan pengikut mereka. Mereka semua sejelek-jelek makhluk Allah subhanahu wa ta’ala di muka bumi.
Sungguh, tidaklah sempurna iman seseorang kepada Allah subhanahu wa ta’ala, Rasul-Nya, dan imam-imam kecuali dengan berlepas diri dari musuh-musuh mereka (yakni seluruh sahabat dan orang-orang yang mencintai sahabat).” (Haqqul Yaqin hlm. 519, Muhammad Baqir al-Majlisi)
Tiga riwayat dari sumber-sumber pokok Syiah Rafidhah di atas menunjukkan keyakinan mereka yang tidak mungkin mereka elak bahwa semua sahabat Rasul sepeninggal beliau murtad, kecuali beberapa orang yang mereka sebut namanya.
Pada riwayat di atas tampak pula keyakinan Syiah Rafidhah terhadap sahabat Abu Bakr dan ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, dua manusia terbaik setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mencela dan melaknat keduanya. Bahkan mereka menyebutnya sebagai berhala, thaghut.
Mengafirkan, melaknat, dan berlepas diri dari keduanya, adalah bagian dari prinsip agama mereka. Oleh karena itu, didapati dalam kitab bimbingan doa mereka (Miftahul Jinan, hlm. 114) wirid laknat untuk keduanya,
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ، وَالْعَنْ صَنَمَيْ قُرَيْشٍ وَجِبْتَيْهِمَا وَطَاغُوْتَيْهِمَا وَابْنَتَيْهِمَا
“Ya Allah, semoga shalawat selalu tercurahkan kepada Muhammad dan keluarganya. Laknatlah kedua berhala Quraisy (Abu Bakr dan Umar), setan dan thaghut keduanya, serta kedua putri mereka….”[1] (al-Khuthuth al-’Aridhah, hlm. 18, Muhibbuddin al-Khathib)
Mereka juga mengkafirkan Utsman bin Affan dan melontarkan sekian banyak tuduhan keji kepada beliau. Di antara tuduhan mereka, Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu telah membunuh istri beliau sendiri, Ruqayyah putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Keyakinan ini disebutkan dalam sebuah kitab Ahlus Sunnah yang merangkum ucapan-ucapan sesat Syiah, yaitu Aujazul Khithab fi Bayani Mauqif asy-Syi’ah minal Ash-hab (hlm. 94, Abu Muhammad al-Husaini).
Mereka meyakini pula bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat dan mengetahui pembunuhan yang dilakukan oleh Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu terhadap putrinya, Ruqayyah radhiallahu ‘anha. Sungguh, keyakinan dan tuduhan Rafidhah tentang Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu adalah celaan dan pelecehan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kita katakan kepada mereka, “Wahai Syiah Rafidhah, wahai musuh Allah, setelah Ruqayyah dibunuh oleh Utsman bin Affan dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahuinya, mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahkan Utsman dengan putri beliau yang lain, Ummu Kultsum? Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak punya kasih sayang? Bahkan, ketika Ummu Kultsum meninggal, diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya aku masih memiliki putri yang lain, sungguh akan kunikahkan dia dengan Utsman.”
Lebih keji lagi, sebenarnya mereka telah menuduh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhianat. Mengapa beliau tidak menegakkan qishash terhadap Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu atas perbuatannya membunuh Ruqayyah?!
Wahai Rafidhah, benarlah ucapan para ulama, bukan para sahabat yang kafir, melainkan kalianlah orang-orang yang menyandang kekafiran. Di samping itu, Syiah Rafidhah meyakini bahwa istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha dan para istri beliau lainnya, adalah pelacur—na’udzu billah min dzalik—. Keyakinan mereka ini terdapat dalam kitab mereka Ikhtiyar Ma’rifatir Rijal (hlm. 57—60) karya ath-Thusi, dengan menukilkan (secara dusta) ucapan Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma terhadap ‘Aisyah, “Kamu tidak lain hanyalah seorang pelacur dari sembilan pelacur yang ditinggalkan oleh Rasulullah….” (Dinukil dari Daf’ul Kadzibil Mubin al-Muftara min ar-Rafidhati ‘ala Ummahatil Mukminin, hlm. 11, Dr. Abdul Qadir Muhammad ‘Atha)
Demi Allah, jawablah pertanyaan ini, “Jika istri, ibu, atau anak wanita Anda dituduh berzina, ridhakah Anda? Lantas bagaimana jika yang dituduh adalah Ummahatul Mukminin, para ibunda kaum mukminin, para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Apakah pantas seorang muslim diam dan duduk manis?”
Jawablah, wahai Rafidhah, “Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa mendidik istriistrinya? “Apakah Allah subhanahu wa ta’ala tidak bisa memilihkan istri terbaik untuk Khalil-Nya, Muhammad bin Abdillah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam Tafsir-nya, “Tidaklah Allah menjadikan Aisyah sebagai istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali karena beliau sosok wanita yang baik, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik di antara manusia terbaik. Seandainya Aisyah adalah seorang yang buruk, niscaya tidak pantas menjadi pendamping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Demikian nukilan-nukilan celaan mereka terhadap para sahabat radhiallahu ‘anhum. Yang sangat aneh dan sangat menjijikkan, Syiah Rafidhah justru berkeyakinan bahwa Abu Lu’lu’ah al-Majusi, pembunuh Amirul Mukminin ‘Umar bin al-Khaththab, adalah pahlawan yang bergelar “Baba Syuja’uddin” (sang pemberani dan pembela agama).
Berikutnya, hari kematian ‘Umar mereka jadikan sebagai hari Iedul Akbar, hari kebanggaan, hari kemuliaan, kesucian, hari berkah, dan hari bersukaria. (al-Khuthuth al-’Aridhah hlm. 18)
Demikian keji dan kotor mulut mereka. Oleh karena itu, al-Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata, “Mereka adalah sekelompok orang yang berambisi untuk menghabisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun tidak mampu. Akhirnya mereka mencela para sahabatnya, agar dikatakan bahwa beliau (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) adalah seorang yang jahat. Sebab, kalau memang beliau orang saleh, niscaya para sahabatnya adalah orang-orang saleh juga.” (ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul, hlm. 580)
Khatimah
Demikian beberapa kesesatan Syiah Rafidhah. Semua yang telah kita sebutkan adalah pokok-pokok agama yang mereka selisihi. Masih banyak kesesatan mereka yang lain, di antaranya:
- keyakinan tentang imamah,
- kebencian yang sangat besar terhadap para ulama ahlu hadits, seperti al-Imam Bukhari dan al-Imam Muslim,
- pengkafiran seluruh kaum muslimin (Ahlus Sunnah),
- pengagungan terhadap Tanah Karbala (yang mereka yakini sebagai tempat terbunuhnya sahabat Husain bin Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhuma) melebihi Tanah Suci Makkah dan Madinah,
- pengagungan terhadap makam yang mereka yakini sebagai makam ‘Ali radhiallahu ‘anhu,
- pengagungan makam para pemimpin mereka melebihi Ka’bah Baitullah al-Haram,
- penyakralan hari yang mereka anggap sebagai hari terbunuhnya Husein bin ‘Ali bin Abi Thalib (hari Asyura, 10 Muharram),
- perayaan hari tersebut besar-besaran.
- syirik dalam peribadatan,
- keyakinan bolehnya nikah kontrak (nikah mut’ah), yaitu akad nikah antara seorang laki-laki dan perempuan untuk jangka waktu tertentu (sehari, dua hari, atau lebih) tanpa wali, bahkan sangat mengagungkannya,
- penamaan diri mereka sebagai Jamaah Ahlul Bait yang mengaku mencintai ahlul bait (keluarga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) padahal mereka sangat mencela ahlul bait.
Saudaraku muslim, inilah potret Syiah Rafidhah, sekaligus potret Iran sebagai perwujudan Negara Syiah Rafidhah.
Kekufuran yang nyata dari kaum Syiah Rafidhah dan kesepakatan ulama Ahlus Sunnah tentang kesesatan mereka menunjukkan bahwa kampanye taqrib (penyatuan dan persaudaraan) antara Sunni dan Syiah Rafidhah di Indonesia adalah sebuah makar besar untuk menghancuran negeri ini dan kaum muslimin di dalamnya.
Hasbunallahu wa ni’mal wakil.
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc
[1] Yang dimaksud dengan kedua putri mereka adalah Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiallahu ‘anha dan Hafshah radhiallahu ‘anha