Jalan kebenaran yang akan menyampaikan kepada Allah subhanahu wa ta’ala hakikatnya hanya satu. Allah berfirman,
وَأَنَّ هَٰذَا صِرَٰطِي مُسۡتَقِيمٗا فَٱتَّبِعُوهُۖ وَلَا تَتَّبِعُواْ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمۡ عَن سَبِيلِهِۦۚ ذَٰلِكُمۡ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ١٥٣
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (al-An’am: 153)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah menyebutkan kata ‘sabil’ (jalan-Nya) dengan bentuk tunggal, karena kebenaran hanyalah satu.
Oleh karena itu, Allah menyebut “jalan lain” dengan bentuk jamak (jalan-jalan), karena bercabang dan berpencar; seperti firman Allah,
ٱللَّهُ وَلِيُّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ يُخۡرِجُهُم مِّنَ ٱلظُّلُمَٰتِ إِلَى ٱلنُّورِۖ وَٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْ أَوۡلِيَآؤُهُمُ ٱلطَّٰغُوتُ يُخۡرِجُونَهُم مِّنَ ٱلنُّورِ إِلَى ٱلظُّلُمَٰتِۗ أُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ ٱلنَّارِۖ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ ٢٥٧
“Allah pelindung orang-orang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan-kegelapan. Mereka itu adalah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (al-Baqarah: 257)
Semakna dengan penjelasan Ibnu Katsir ini diucapkan oleh Ibnul Qayyim.[1]
Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat garis di hadapan kami sebuah garis lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Ini adalah jalan Allah.’ Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat garis-garis di kanan-kirinya kemudian berkata, ‘Ini adalah jalanjalan (lain) di mana di setiap jalan ada syaitan yang menyeru kepadanya.’
Kemudian beliau membaca ayat,
وَأَنَّ هَٰذَا صِرَٰطِي مُسۡتَقِيمٗا فَٱتَّبِعُوهُۖ وَلَا تَتَّبِعُواْ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمۡ عَن سَبِيلِهِۦۚ ذَٰلِكُمۡ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ١٥٣
‘.. dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) sehingga menceraiberaikan kalian dari jalan Allah.’ (al-An’am: 153)”[2]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hal ini karena jalan yang menyampaikan kepada Allah subhanahu wa ta’ala hanya satu, yaitu sebab Allah subhanahu wa ta’ala mengutus para rasul-Nya dan Allah turunkan kitab-kitab-Nya. Tidaklah seorang pun akan sampai kepada-Nya kecuali melalui jalan ini. Seandainya semua manusia datang dari segala jalan dan minta dibukakan semua pintunya, maka semua jalan itu tertutup dan semua pintu itu terkunci kecuali melalui jalan ini. Sesungguhnya jalan itu berhubungan dengan Allah dan akan menyampaikan kepada-Nya.”[3]
Asy-Syatibi rahimahullah berkata, “Ayat di atas adalah nash yang tegas pada permasalahan kita. Sesungguhnya jalan (kebenaran) itu hanya satu, tidak menghendaki adanya keberagaman, berbeda dengan jalan yang bermacam-macam.” [4]
Beliau rahimahullah juga berkata, “Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan bahwa jalan al-haq hanyalah satu yang bersifat umum di dalam syariat, baik secara global maupun terinci. Sementara itu, ayat-ayat yang mencela perbedaan serta memerintahkan untuk kembali kepada syariat demikian banyak. Semuanya, secara pasti menunjukkan bahwa tidak ada pertentangan di dalam syariat ini (bahkan) sumbernya hanya satu dan sepakat.”[5]
Jadi, adanya ayat-ayat yang mencela berpecah-belah itu memperkuat bahwa al-haq (kebenaran) hanyalah satu.
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
لَّا تَجِدُ قَوۡمٗا يُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ يُوَآدُّونَ مَنۡ حَآدَّ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَوۡ كَانُوٓاْ ءَابَآءَهُمۡ أَوۡ أَبۡنَآءَهُمۡ أَوۡ إِخۡوَٰنَهُمۡ أَوۡ عَشِيرَتَهُمۡۚ أُوْلَٰٓئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ ٱلۡإِيمَٰنَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٖ مِّنۡهُۖ وَيُدۡخِلُهُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَاۚ رَضِيَ ٱللَّهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُواْ عَنۡهُۚ أُوْلَٰٓئِكَ حِزۡبُ ٱللَّهِۚ أَلَآ إِنَّ حِزۡبَ ٱللَّهِ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ٢٢
“…Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, sesungguhnya golongan Allah itu golongan yang beruntung.” (al-Mujadilah: 22)
وَمَن يَتَوَلَّ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ فَإِنَّ حِزۡبَ ٱللَّهِ هُمُ ٱلۡغَٰلِبُونَ ٥٦
“Dan barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (al-Maidah: 56)
Pada dua ayat dan surat al-Baqarah ayat 257 di atas, Allah subhanahu wa ta’ala menetapkan keberuntungan dan keselamatan hanya untuk satu golongan.
Demikian pula firman-Nya,
ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ وَجَعَلَ ٱلظُّلُمَٰتِ وَٱلنُّورَۖ ثُمَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ بِرَبِّهِمۡ يَعۡدِلُونَ ١
“Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi, dan mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Rabb mereka.” (al-An’am: 1)
Penyebutan an-nur dengan lafadz mufrad (bentuk tunggal) menguatkan bahwa kebenaran hanyalah satu.
Jadi, penyebutan hizb (golongan), sabil (jalan), dan an-nur (cahaya) dengan bentuk mufrad (tunggal) menekankan bahwa jalan al-haq hanyalah satu sebagaimana perkataan Ibnu Katsir rahimahullah di atas.
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
فَذَٰلِكُمُ ٱللَّهُ رَبُّكُمُ ٱلۡحَقُّۖ فَمَاذَا بَعۡدَ ٱلۡحَقِّ إِلَّا ٱلضَّلَٰلُۖ فَأَنَّىٰ تُصۡرَفُونَ ٣٢
“Maka (Dzat yang demikian) itulah Allah, Rabb kamu yang sebenarnya; maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?” (Yunus: 32)
Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan bahwa ulama kami berkata, “Ayat ini memutuskan bahwa antara kebenaran dan kebatilan tidak ada kedudukan yang ketiga, yaitu masalah tauhid. Demikian pula dalam masalah yang serupa, yaitu masalah prinsip yang kebenaran itu hanya ada pada satu pihak.”[6]
Dalam sebuah hadits dari Tsauban, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الَحقِّ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ ا وَهُمْ
كَذَل
“Akan ada sekelompok dari umatku selalu menang di atas kebenaran, tidak bermudarat terhadap mereka orang yang meremehkan mereka hingga datangnya keputusan Allah. Sementara mereka tetap dalam keadaan demikian.”[7]
Dari Auf bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
افْتَرقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِي الَجنَّةِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ، وَافْتَرقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْت وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَإِحْدَى وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الَجنَّةِ، وَالَّذِي نَفْسُ مَحمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَاحِدَةٌ فِي الَجنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ. قِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، مَنْ هُمْ؟ قَالَ: الَجمَاعَةُ
“Yahudi berpecah menjadi 71 golongan. Satu berada di surga dan 70 di neraka. Nasrani telah berpecah menjadi 72 golongan, 71 berada di neraka dan satu di surga. Demi Yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, sungguh umatku akan berpecah menjadi 73 golongan, satu berada di surga dan 72 di neraka.”
Para sahabat bertanya, “Siapa mereka wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Al-Jamaah.”[8]
Dalam hadits lain, dari Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “(Mereka adalah) siapa saja yang seperti apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya.”[9]
Asy-Syathibi rahimahullah berkata, “Sabda beliau, ‘kecuali hanya satu,’ memberikan (pengertian) dengan tegas bahwa kebenaran hanya satu dan tidak berbilang. Seandainya kebenaran itu banyak/beragam kelompok, tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berkata, ‘Kecuali hanya satu’.”[10]
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلۡإِسۡلَٰمُۗ
“Sesungguhnya agama yang diridhai oleh Allah adalah Islam.” (Ali ‘Imran: 19)
وَمَن يَبۡتَغِ غَيۡرَ ٱلۡإِسۡلَٰمِ دِينٗا فَلَن يُقۡبَلَ مِنۡهُ وَهُوَ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ ٨٥
“Dan barang siapa mencari agama selain Islam, tidak akan diterima dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali ‘Imran: 85)
Dengan demikian, prinsip ini membabat habis teologi pluralis dan gagasan bahwa kebenaran itu nisbi, seperti yang dikatakan JIL dan para pengikutnya. Sebab, konsekuensi dari pendapat mereka itu adalah bahwa al-haq (kebenaran) tidak hanya satu dan bahwa perpecahan tidak salah atau tercela, justru benar atau terpuji. Jika demikian, gugurlah prinsip amar ma’ruf nahi munkar.
Sungguh, ini merupakan pendapat yang menyelisihi kesepakatan orang berakal, terlebih lagi orang yang berilmu. Selain itu, juga menyelisihi dalil al-Qur’an dan al-Hadits.
Ditulis oleh Al-Ustadz Qomar Suaidi
[1] At-Tanbihat as-Sunniyah hlm. 42
[2] Sahih, HR. Ahmad dan yang lainnya, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Zhilalul Jannah no.17 hlm. 13
[3] At-Tafsirul Qayyim hlm. 14-15, dinukil dari Sittu ad-Durrar hlm. 53
[4] Al-I’tisham, 2/756
[5] Dinukil dari al-Adhwa’u al-Atsariyyah hlm. 155
[6] Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 8/336
[7] Sahih, HR. Muslim no. 4927 dan al-Bukhari meriwayatkan yang semakna dengannya dari sahabat Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu dan al-Mughirah bin Syu’bah radhiallahu ‘anhu no. 7311-7312
[8] Sahih, HR. Ibnu Majah, Ibnu Abi Ashim, dan al-Lalikai. Asy-Syaikh Albani mengatakan bahwa sanadnya bagus.
[9] Dinyatakan hasan oleh al-Albani. Lihat ash-Shahihah no. 1347, al-Misykah no. 171, dan Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 2641. Lihat pula Iftiraqul Ummah, hlm. 17-18
[10] Al-I’tisham, 2/755
1 Comment
Comments are closed.