Al-Munkar dan An-Nakir dalam Akidah Salaf

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا قُبِرَ الْمَيِّتُ -أَوْ قَالَ: أَحَدُكُمْ-أَتَاهُ مَلَكَانِ أَسْوَدَانِ أَزْرَقَانِ، يُقَالُ لِأَحَدِهِمَا الْمُنْكَرُ وَالْآخَرُ النَّكِيْرُ، فَيَقُولَانِ: مَا كُنْتَ تَقُولُ فِيْ هَذَا الرَّجُلِ؟ فَيَقُولُ مَا كَانَ يَقُولُ: هُوَ عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. فَيَقُولَانِ: قَدْ كُنَّا نَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُولُ هَذَا. ثُمَّ يُفْسَحُ لَهُ فِي قَبْرِهِ سَبْعُونَ ذِرَاعًا فِي سَبْعِينَ، ثُمَّ يُنَوَّرُ لَهُ فِيْهِ ثُمَّ يُقَالُ لَهُ: نَمْ. فَيَقُولُ: ارْجِعْ إِلَى أَهْلِي فَأَخْبِرْهُمْ. فَيَقُولَانِ: نَمْ كَنَوْمَةِ الْعَرُوسِ الَّذِي لاَ يُوقِظُهُ إِلاَّ أَحَبَّ أَهْلِهِ إِلَيْهِ. حَتَّى يَبْعَثُهُ اللهُ مِنْ مَضْجَعِهِ ذَلِكَ.

وَإِنْ كَانَ مُنَافِقًا قَالَ: سَمِعْتُ النَّاسَ يَقُولُونَ فَقُلْتُ مِثْلَهُ، لاَ أَدْرِي. فَيَقُولاَنِ: قَدْ كُنَّا نَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُولُ ذَلِكَ. فَيُقَالُ لِلْأَرْضِ: الْتَئِمِي عَلَيْهِ. فَتَلْتَئِمُ عَلَيْهِ فَتَخْتَلِفُ فِيْهَا أَضْلَاعُهُ فَلَا يَزَالُ فِيْهَا مُعَذَّبًا حَتَّى يَبْعَثُهُ اللهُ مِنْ مَضْجَعِهِ ذَلِكَ

Jika mayit atau salah seorang dari kalian telah dikubur, datang dua malaikat yang hitam (tubuhnya), biru (kedua matanya). Salah satu dari keduanya bernama al-Munkar dan yang lain bernama an-Nakir.[1]

Kedua malaikat itu bertanya kepada mayit, “Apa yang dahulu kamu katakan tentang lelaki ini (yakni Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam)?”

Dia pun menyatakan apa yang dahulu dia katakan, “Lelaki itu adalah hamba Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”

Baca juga: Makna Kalimat Syahadat La Ilaha Illallah

Kedua malaikat menimpali, “Sungguh, kami telah mengetahui bahwa engkau mengatakan demikian.” Lalu, diluaskan kubur untuknya 70 dzira’ (hasta) kali 70 dzira’ dan diterangi. Kemudian, dikatakan kepadanya, “Tidurlah engkau.”

Mayit itu berkata, “Kembalikanlah aku pada keluargaku agar aku kabarkan kepada mereka.”

Keduanya berkata, “Tidurlah engkau sebagaimana tidurnya pengantin. Tidak ada yang membangunkan kecuali orang yang paling dicintainya.” Hingga nanti Allah subhanahu wa ta’ala bangkitkan dari pembaringannya.

Adapun jika mayit adalah seorang munafik, dia akan menjawab, “Dahulu aku mendengar manusia mengatakan sesuatu, aku pun mengatakannya… aku tidak tahu.”

Keduanya berkata, “Sungguh, kami telah mengetahui bahwa engkau akan berkata demikian.”

Dikatakan pada bumi, “Impitlah dia!”

Bumi pun mengimpit mayit itu hingga tulang-tulang rusuknya bertautan. Terus-menerus azab ditimpakan hingga Allah subhanahu wa ta’ala membangkitkannya dari kuburnya.

Takhrij Hadits

Hadits dengan lafaz di atas diriwayatkan oleh at-Tirmidzi rahimahullah dalam as-Sunan, “Kitab al-Jana’iz”, “Bab Ma Ja’a fi ‘Adzabil Qabri” (Kitab Jenazah, Bab Azab Kubur) (3/163, no. 1071), dari jalan Abdurrahman bin Ishaq, dari Said bin Abi Said al-Maqburi, dari Abu Hurairah radhiallahu anhu.

Melalui jalan ini pula, Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dalam al-Musnad (4/287, 295, 296), Ibnu Hibban rahimahullah dalam Shahih-nya (7/386, no. 3117), Ibnu Abi Ashim rahimahullah dalam as-Sunnah (no. 864), dan Abu Bakr al-Ajurri rahimahullah dalam asy-Syari’ah (hlm. 365).

Semuanya adalah perawi tsiqah, tergolong perawi Imam Muslim rahimahullah dalam kitab ash-Shahih, kecuali Abdurrahman bin Ishaq. Dia adalah Abdurrahman bin Ishaq bin Abdilah bin al-Harits bin Kinanah al-Amiri al-Madani. Ada pembicaraan pada rawi ini[2], tetapi tidak menurunkannya dari derajat hasan, insya Allah. Demikian kesimpulan al-Hafizh rahimahullah dalam at-Taqrib.[3]

Hadits ini hasan, demikian at-Tirmidzi dan al-Baghawi memberikan hukum atasnya.

At-Tirmidzi rahimahullah mengatakan, “Haditsun hasanun gharib (Ini hadits yang hasan gharib).” (as-Sunan 3/163)

Al-Baghawi rahimahullah mengatakan, “Haditsun hasanun (Ini hadits yang hasan).” (Syarhus Sunnah, 5/416)

Syaikh al-Albani rahimahullah menilainya hasan dalam Takhrij Misykatul Mashabih (1/131). Beliau berkata, “Sanad hadits ini hasan sesuai dengan syarat Muslim.”[4]

Riwayat tentang Nama Al-Munkar dan An-Nakir

Penamaan al-Munkar dan an-Nakir memiliki penguat dari beberapa syawahid (pendukung). Di antaranya:

  1. Hadits Muadz bin Jabal radhiallahu anhu, riwayat al-Bazzar dalam al-Musnad (7/97).
  2. Hadits al-Bara bin Azib radhiallahu anhu, riwayat al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (1/358) dan ath-Thabarani dalam Tahdzib al-Atsar (2/500).
  3. Riwayat mauquf dari Abu Darda radhiallahu anhu, Ibnu Abi Syaibah menyebutkannya dalam al-Mushannaf (3/53).

Penamaan malaikat al-Munkar dan an-Nakir termaktub dalam kitab-kitab akidah salaf. Ini memberikan isyarat sekaligus menguatkan bahwasanya salaf memandang keabsahan hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu. Selain itu, mereka juga memandang kuatnya penyandaran hadits tersebut kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Wallahu a’lam.

Kedudukan dan Makna Iman kepada Malaikat

Iman kepada malaikat adalah bagian dari rukun iman. Mereka yang tidak mengimaninya dihukumi kafir dan berada dalam kesesatan yang nyata. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَن يَكۡفُرۡ بِٱللَّهِ وَمَلَٰٓئِكَتِهِۦ وَكُتُبِهِۦ وَرُسُلِهِۦ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَٰلَۢا بَعِيدًا

“Barang siapa kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (an-Nisa: 136)

Malaikat adalah makhluk Allah dan utusan-utusan-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ فَاطِرِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ جَاعِلِ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ رُسُلًا أُوْلِيٓ أَجۡنِحَةٍ مَّثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۚ يَزِيدُ فِي ٱلۡخَلۡقِ مَا يَشَآءُۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٍ قَدِيرٌ

“Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga, dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (Fathir: 1)

Hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu di atas adalah bagian dari sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang malaikat-malaikat Allah. Hadits ini sekaligus merupakan berita tentang apa yang menimpa mayit di alam barzakh sebagai bagian dari iman kepada hari akhir.

Baca juga: Alam Barzakh, Antara Azab Kubur dan Nikmat Kubur

Apa sesungguhnya hakikat iman kepada malaikat Allah? Ketahuilah, iman kepada malaikat Allah subhanahu wa ta’ala bukan sekadar pernyataan percaya adanya malaikat. Keimanan tersebut meliputi beberapa perkara.

Imam al-Baihaqi rahimahullah berkata, “Iman kepada malaikat-malaikat Allah mencakup makna yang banyak.

  1. Meyakini keberadaan (wujud) mereka.
  2. Menempatkan malaikat sesuai dengan kedudukan-kedudukannya.

Di antaranya, meyakini bahwa

  • malaikat hanyalah hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang Dia ciptakan sebagaimana manusia dan jin.
  • mereka mendapatkan perintah Allah subhanahu wa ta’ala.
  • malaikat sama sekali tidak memiliki kemampuan kecuali apa yang Allah berikan kepada mereka.
  • kematian malaikat adalah sesuatu yang mungkin, hanya saja Allah memberi mereka usia yang panjang. Allah subhanahu wa ta’ala tidak mematikan kecuali jika datang ajalnya.
  • malaikat tidak boleh disifati dengan sifat-sifat yang mengantarkan pada penyekutuan dengan Allah subhanahu wa ta’ala.
  • malaikat tidak boleh diibadahi sebagai sembahan, sebagaimana orang-orang terdahulu (menjadikan malaikat sebagai sembahan selain Allah).
  • di antara malaikat ada rasul-rasul yang Allah utus kepada siapa yang Allah subhanahu wa ta’ala kehendaki, baik kepada manusia maupun malaikat.
  • di antara malaikat ada yang (bertugas) membawa Arsy, ada yang bershaf-shaf, ada penjaga surga, penjaga neraka, pencatat amalan-amalan, dan ada yang menggiring awan.

Sungguh, semua ini atau sebagian besarnya telah dikabarkan oleh Al-Qur’an.” (Syu’abul Iman)

Baca juga: Berita Gaib, Antara Kufur dan Iman

Iman kepada malaikat adalah mengimani segala sesuatu yang Allah subhanahu wa ta’ala kabarkan dalam Al-Qur’an dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam beritakan dalam As-Sunnah tentang malaikat mengenai empat perkara:

  1. nama-nama mereka
  2. sifat-sifat mereka
  3. tugas-tugas mereka; dan
  4. jumlah mereka;

baik secara global maupun terperinci.[5]

Apa yang Harus Diyakini tentang Munkar dan Nakir?

Saudaraku, semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati kita. Satu pokok yang wajib kita yakini, agama dibangun di atas Al-Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman salaful ummah, bukan hasil rekayasa pikiran, dorongan hawa nafsu, atau luapan perasaan. Termasuk iman kepada malaikat-malaikat Allah, tidak boleh kita bertutur dan berkeyakinan kecuali harus di atas dalil.

Di atas pokok inilah kita beragama. Termasuk dalam masalah al-Munkar dan an-Nakir, kita tidak boleh meyakini tentang keduanya kecuali sebagaimana yang ditunjukkan oleh dalil Al-Kitab dan As-Sunnah. Demikian pula sebaliknya, kita tidak boleh mengingkari apa yang telah dinyatakan dalam dalil meskipun terkadang akal sebagian orang merasa berat menerimanya.

Malaikat Munkar dan Nakir, bagaimana akidah salaf, Ahlus Sunnah wal Jamaah, tentang keduanya? Berikut beberapa rincian pembahasannya. Wabillahi at-taufiq.

Penamaan Munkar dan Nakir Berdasarkan Hadits yang Tsabit (Tetap) dari Rasulullah

Hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu adalah hadits hasan—sebagaimana penjelasan pada pembahasan takhrij hadits. Maka dari itu, penamaan kedua malaikat dengan Munkar dan Nakir adalah berdasarkan hadits yang tsabit dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Hadits ini sekaligus menggugurkan perkataan semua kelompok yang meragukan penamaan Munkar dan Nakir atau bahkan mengingkari keberadaan keduanya, semisal kelompok Jahmiyah, Mu’tazilah, dan seluruh pengekor hawa nafsu pada masa lalu, sekarang, ataupun masa yang akan datang.

Baca juga: Mu’tazilah, Kelompok Sesat Pemuja Akal

Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini ada bantahan bagi orang-orang pada masa ini yang mengingkari penamaan Munkar dan Nakir.” (Takhrij al-‘Aqidah ath-Thahawiyah hlm. 399, cet. al-Maktab al-Islami)

Orang-orang Jahmiyah, misalnya. Mereka menganggap bahwasanya iman itu sekadar makrifat (mengenal) Allah. Oleh karena itu, disebutkan dari Jahm bin Shafwan[6] bahwasanya iman manusia sama seperti iman Jibril dan malaikat-malaikat. Cukup dengan makrifat, seseorang telah mencapai kesempurnaan iman. Demikian persangkaan mereka.

Meskipun mereka meyakini wujud (keberadaan) malaikat, mereka mengingkari kebanyakan amalan malaikat. Jahm mengingkari malaikat pencatat amal, mengingkari malaikat maut pencabut arwah, mengingkari azab kubur dan nikmatnya sekaligus malaikat yang mendapatkan tugas ini, serta mengingkari pertanyaan di alam kubur dan dua malaikat yang mendapatkan tugas ini, yaitu malaikat Munkar dan Nakir….[7]

Adapun Ahlus Sunnah wal Jamaah, akidah mereka adalah akidah yang bersih dan menyucikan jiwa karena dibangun di atas wahyu Allah, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Penamaan Al-Munkar dan An-Nakir dalam Kitab-Kitab Akidah Salaf

Berpijak pada hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu, ulama memasukkan dua nama ini dalam kitab-kitab akidah salaf (Ahlus Sunnah wal Jamaah). Berikut beberapa nukilan dari kitab-kitab akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah tersebut.

  • Ucapan Abu Muhammad Abdurrahman bin Abi Hatim ar-Razi rahimahullah (240—327 H)

Aku bertanya pada bapakku (Abu Hatim ar-Razi [wafat 277 H], -pen.) dan Abu Zur’ah (wafat 264 H)—semoga Allah meridhai keduanya—tentang keyakinan Ahlus Sunnah dalam hal pokok-pokok agama dan keyakinan ulama di seluruh negeri, yang keduanya menjumpai mereka berada di atas keyakinan tersebut, dan keyakinan keduanya.

Keduanya (Abu Hatim dan Abu Zur’ah) berkata, “Kami telah menjumpai ulama-ulama di seluruh penjuru negeri, baik di Hijaz (Makkah, Madinah, Thaif, dan sekitarnya, -pen.), Irak, Mesir, Syam, maupun Yaman. (Kami dapati) bahwa di antara mazhab mereka adalah … meyakini bahwa azab kubur adalah haq (benar), Munkar dan Nakir adalah haq (benar)….” (Ashlus Sunnah wa I’tiqadud Din, riwayat Ibnu Abi Hatim dari bapaknya dan Abu Zur’ah, hlm. 15—18)

  • Ucapan Ibnu Abi Dawud rahimahullah (230—316 H) dalam Manzhumah Haiyah

وَلَا تُنْكِرَنْ جَهْلًا نَكِيْرًا وَمُنْكَرًا * وَلَا الْحَوْضَ وَالْمِيْزَانَ إِنَّكَ تُنْصَحُ

Janganlah engkau ingkari Nakir dan Munkar karena kejahilan

             Jangan pula kau ingkari telaga dan timbangan, sungguh engkau mendapat nasihat.

  • Ucapan Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah (239—321 H)[8]

“Dan (kita mengimani) … pertanyaan Munkar dan Nakir dalam kubur seorang tentang Rabbnya, agamanya, dan nabinya, berdasarkan hadits-hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat beliau radhiallahu anhum.” (al-‘Aqidah ath-Thahawiyah hlm. 397 dengan syarah Ibnu Abil Izzi al-Hanafi rahimahullah)

  • Ucapan Imam al-Barbahari rahimahullah (wafat 329 H)[9]

“Dan beriman dengan azab kubur serta Munkar dan Nakir.” (Syarhus Sunnah)

  • Ucapan Imam Abdul Ghani al-Maqdisi rahimahullah (wafat 600 H)

“Mengimani azab kubur adalah perkara yang benar, wajib, dan fardu …. Demikian pula beriman kepada pertanyaan Mungkar dan Nakir.” (‘Aqidah al-Hafizh Taqiyuddin ‘Abdul Ghani al-Maqdisi hlm. 88)

  • Imam Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Qudamah al-Maqdisi rahimahullah (541—620 H)

“Pertanyaan Mungkar dan Nakir adalah benar, kebangkitan setelah kematian adalah benar, yaitu ketika Israfil alaihis salam meniup sangkakala. (Hal ini sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala)

وَنُفِخَ فِي ٱلصُّورِ فَإِذَا هُم مِّنَ ٱلۡأَجۡدَاثِ إِلَىٰ رَبِّهِمۡ يَنسِلُونَ

“Dan ditiuplah sangkakala, maka tiba-tiba mereka keluar dengan segera dari kuburnya (menuju) kepada Rabb mereka.” (Yasin: 51) (Lum’atul I’tiqad hlm. 51)[10]

Nukilan dari ucapan ulama dalam kitab-kitab akidah salaf menunjukkan bahwa penamaan Munkar dan Nakir adalah bagian yang tidak terlepas dari iktikad (keyakinan) Ahlus Sunnah wal Jamaah, baik dari kalangan sahabat atau generasi sesudahnya.

Hal ini sebagaimana ucapan Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah dalam kitab ‘Aqidah-nya bahwasanya penetapan azab kubur termasuk penamaan malaikat Munkar dan Nakir adalah “… berdasarkan hadits-hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan dari para sahabat radhiallahu anhum.”[11]

Menjawab Keraguan tentang Penamaan Al-Munkar dan An-Nakir

Al-Munkar dan an-Nakir, penamaan ini diragukan oleh sebagian orang. Keraguan tersebut setidaknya bersandar pada dua alasan.

  1. Anggapan bahwa hadits yang menetapkan dua nama ini dha’if (lemah).
  2. Persangkaan adanya nakarah (keganjilan) makna dalam nama Munkar dan Nakir.

Mereka berkata, “Bagaimana mungkin dua malaikat ini bernama Munkar dan Nakir, yang bermakna ‘sesuatu yang diingkari atau asing’?” atau “Mungkinkah keduanya diingkari dan asing padahal Allah subhanahu wa ta’ala telah menyebutkan malaikat-malaikat-Nya dengan sifat-sifat terpuji?”

Sebagai jawaban atas keraguan pertama, kita katakan, “Hadits yang menetapkan penamaan Munkar dan Nakir termasuk hadits hasan. Bahkan, hadits itu dikuatkan oleh penyebutan ulama salaf dalam kitab-kitab akidah sebagaimana telah berlalu pembahasannya.”

Maka dari itu, kebenaran dua nama ini tidak perlu diragukan lagi.

Adapun alasan kedua, tentang keganjilan makna, sebenarnya tidak perlu dibicarakan jika dalil telah sahih. Sebab, kewajiban kita adalah menerima dan membenarkan kabar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Kabar dari beliau semuanya adalah wahyu. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰٓ ٣ إِنۡ هُوَ إِلَّا وَحۡيٌ يُوحَىٰ ٤

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (an-Najm: 3—4)

Baca juga: Makna Syahadat Muhammad Rasulullah

Akan tetapi, para ulama—semoga Allah membalasi mereka dengan kebaikan—tetap menjawab syubhat persangkaan ketidaklayakan makna Munkar dan Nakir.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan,

“… Mereka disebut Munkar (asing, pen.) karena mayit (merasa asing) tidak mengenali keduanya dan tidak mengetahuinya sebelum itu. Hal ini sebagaimana Nabi Ibrahim alaihis salam berkata pada tamunya (dan menyifati dengan kemungkaran/keasingan) padahal mereka adalah malaikat.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

هَلۡ أَتَىٰكَ حَدِيثُ ضَيۡفِ إِبۡرَٰهِيمَ ٱلۡمُكۡرَمِينَ ٢٤ إِذۡ دَخَلُواْ عَلَيۡهِ فَقَالُواْ سَلَٰمًاۖ قَالَ سَلَٰمٌ قَوۡمٌ مُّنكَرُونَ ٢٥

Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tamu Ibrahim (malaikat-malaikat) yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan, “Salaaman.” Ibrahim menjawab, “Salaamun, (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal.” (adz-Dzariyat: 24—25) (Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyah)

Perhatikan ayat ini. Nabi Ibrahim alaihis salam menyifati malaikat yang bertamu kepadanya dengan ucapan beliau (قَوۡمٌ مُّنكَرُونَ). Maknanya, “(Kalian adalah) kaum yang mungkar (tidak dikenal).” Sifat ini sama sekali tidak menunjukkan celaan kepada malaikat-malaikat Allah, tamu Ibrahim.

Baca juga: Hikmah Dakwah Nabi Ibrahim (Bagian ke-2)

Maka dari itu, teranglah bahwa penamaan Munkar atau Nakir bukanlah perendahan terhadap malaikat. Terlebih lagi, penamaan ini sahih dari sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Ibnul Arabi rahimahullah mengatakan,

“Dinamai Munkar dan Nakir yang bermakna umum, (karena cobaan keduanya) mengenai semua mayit yang ditanya, kafir atau mukmin (semua tidak luput dari pertanyaan dua malaikat ini, -pen.)[12]. Selain itu, (dinamai Munkar dan Nakir) karena semua orang yang melihat keduanya akan mengingkari keduanya, karena keduanya memiliki pemandangan yang menyeramkan, bentuk yang menakutkan, pembicaraan yang kasar, dan maqami’ (alat pukul) yang ada pada tangan keduanya yang sangat mengerikan serta menyeramkan.” (‘Aridhatul Ahwadzi, 4/292)

Sifat Malaikat Munkar dan Nakir

Al-Munkar dan An-Nakir seperti malaikat-malaikat yang lain dari sisi materi penciptaan. Keduanya diciptakan dari cahaya. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Imam Muslim rahimahullah dalam Shahih-nya dari Aisyah Ummul Mukminin radhiallahu anha, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

خُلِقَتِ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ

“Malaikat diciptakan dari cahaya. Jin diciptakan dari api. Adapun Adam diciptakan dari apa yang disebutkan sifatnya bagi kalian.” (HR. Muslim, “Kitab az-Zuhd war Raqaiq”, 4/2294)

Demikian pula, malaikat memiliki sifat ketaatan yang penuh terhadap perintah Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

لَّا يَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمۡ وَيَفۡعَلُونَ مَا يُؤۡمَرُونَ

“… Tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (at-Tahrim: 6)

Di antara sifat al-Munkar dan an-Nakir dalam hadits ini adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

خُلِقَتِ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍأَسْوَدَانِ، أَزْرَقَانِ

“Keduanya hitam dan biru.”

Al-Mubarakfuri rahimahullah mengatakan, “Maksudnya, biru kedua matanya.” (Tuhfatul Ahwadzi, 3/520, cet. Darul Hadits)

Wallahu a’lam bish-shawab.

Keduanya membawa alat pukul dari besi untuk memukul siapa saja yang tidak menjawab pertanyaan keduanya. Demikian sifatnya dalam hadits riwayat al-Bukhari rahimahullah dalam Shahih-nya,

ثُمَّ يُضْرَبُ بِمِطْرَقَةٍ مِنْ حَدِيدٍ ضَرْبَةً بَيْنَ أُذُنَيْهِ فَيَصِيحُ صَيْحَةً يَسْمَعُهَا مَنْ يَلِيهِ إِلاَّ الثَّقَلَيْنِ

“Kemudian, dia (mayit yang durhaka kepada Allah) dipukul dengan palu dari besi di wajahnya, hingga dia menjerit dengan jeritan yang didengar oleh siapa yang di sekitarnya kecuali jin dan manusia.” (HR. al-Bukhari no. 1338)

Demikian beberapa sifat malaikat al-Munkar dan an-Nakir berdasar Al-Kitab dan As-Sunnah. Wallahu a’lam bish-shawab.

Tugas Malaikat Al-Munkar & An-Nakir dan Adanya Fitnah Kubur

Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengabarkan tugas malaikat al-Munkar dan an-Nakir, yaitu menanyakan kepada mayit tentang Rabbnya, agamanya, dan nabinya.

Pertanyaan dua malaikat inilah yang dimaksud dengan fitnah kubur. Fitnah kubur adalah ujian yang menentukan nasib seseorang, akankah mendapatkan nikmat kubur atau azab kubur.

Ketika itu manusia terbagi menjadi dua golongan: golongan yang Allah selamatkan dari fitnah kubur dan golongan lain yang tidak Allah beri keselamatan. Hal ini sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu di atas.

  1. Golongan pertama adalah orang-orang beriman yang Allah beri tsabat (keteguhan) dalam menghadapi fitnah.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يُثَبِّتُ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ بِٱلۡقَوۡلِ ٱلثَّابِتِ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَفِي ٱلۡأٓخِرَةِۖ وَيُضِلُّ ٱللَّهُ ٱلظَّٰلِمِينَۚ وَيَفۡعَلُ ٱللَّهُ مَا يَشَآءُ

“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (Ibrahim: 27)

Mereka menjawab semua pertanyaan al-Munkar dan an-Nakir. Kuburnya pun diluaskan dan diberi cahaya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

ثُمَّ يُضْرَبُ بِمِطْرَقَةٍ مِنْ حَدِيدٍ ضَرْبَةً بَيْنَ أُذُنَيْهِ فَيَصِيحُثُمَّ يُفْسَحُ لَهُ فِي قَبْرِهِ سَبْعُونَ ذِرَاعًا فِي سَبْعِينَ، ثُمَّ يُنَوَّرُ لَهُ فِيهِ

“Kemudian, diluaskan kubur untuknya 70 dzira’ (hasta) kali 70 dzira’, dan diterangi ….”

Hadits menunjukkan bahwa kubur seorang mukmin diluaskan panjang dan lebarnya—secara hakiki—sepanjang 70 dzira’ (hasta). Demikian keterangan al-Mubarakfuri rahimahullah.

Bisa jadi pula, makna sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tersebut adalah bahwa kubur akan diluaskan dengan sangat luas. Ath-Thibi rahimahullah berkata sebagaimana dinukilkan oleh al-Mubarakfuri, “… Peluasan kubur disebutkan dengan bilangan 70 sebagai bentuk mubalaghah (sangat) atas luasnya kubur.” (lihat Tuhfatul Ahwadzi 3/521)

Wal ‘ilmu ‘indallah.

Baca juga: Amalan yang Menyelamatkan dari Azab Kubur

Berkenaan dengan nasib seorang mukmin, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda dalam hadits sahih dari sahabat al-Bara bin Azib radhiallahu anhuma,

Datanglah dua malaikat kepada mayit. Keduanya mendudukkan mayit kemudian bertanya kepadanya, “Siapa Rabbmu?”

Dia menjawab, “Rabbku adalah Allah.”

“Apa agamamu?”

Dia menjawab, “Agamaku Islam.”

“Siapa orang yang diutus kepada kalian?”

Dia menjawab, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.”

“Apa amalanmu?”

Dia menjawab: “Aku membaca Al-Qur’an dan aku mengamalkan serta membenarkannya.”

Terdengarlah seruan dari langit, “Hamba-Ku benar. Hamparkanlah untuknya dari surga, berilah pakaian dari surga, dan bukakanlah untuknya pintu menuju surga.”

Setelah itu datanglah seseorang yang sangat indah wajah dan bajunya, sangat harum aromanya. Orang itu berkata, “Bergembiralah dengan apa yang membahagiakanmu. Inilah hari yang dahulu engkau dijanjikan.”

Mayit itu berkata, “Siapakah kamu? Wajahmu tampak datang dengan kebaikan.”

Dia menjawab, “Aku adalah amalan salehmu.”

Mayit itu pun berkata, “Ya Rabb, tegakkanlah hari kiamat agar aku kembali kepada keluarga dan hartaku.”[13]

Demikianlah keadaan kaum mukminin di alam kubur. Kita meminta kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar mematikan kita dalam keadaan beriman dan mendapatkan nikmat kubur.

  1. Golongan kedua adalah orang-orang kafir dan munafik.

Mereka mendapatkan kehinaan dengan fitnah ini. Mulut mereka tidak mampu mengemukakan jawaban. Azab yang Allah sediakan pun menimpa mereka sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu di atas.

Penutup

Pembaca rahimakumullah, demikian beberapa pembahasan terkait dengan dua malaikat, Munkar dan Nakir, berikut sifat dan tugas mereka. Mengimani keduanya adalah bagian dari iman kepada malaikat, yang telah diimani oleh salaful ummah dari kalangan sahabat, tabiin, dan orang-orang yang berjalan di atas jalan mereka.

Ibnu Abil Izzi al-Hanafi rahimahullah (wafat 792 H) mengatakan,

“Telah mutawatir[14] berita-berita dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang adanya azab dan nikmat kubur bagi orang yang pantas mendapatkannya. Demikian pula pertanyaan dua malaikat. Maka dari itu, (kita) wajib beriktikad dan meyakini adanya hal tersebut.”[15]

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala melindungi kita dan kaum muslimin dari neraka Jahannam, fitnah kubur, serta segala kejelekan di dunia dan akhirat.

Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.


Catatan Kaki

[1] Menggunakan alif dan lam: al-Munkar dan an-Nakir. Sebagian riwayat menyebutkan namanya tanpa menggunakan alif dan lam: Munkar dan Nakir.

[2] Imam Ahmad berkata, “Shalihul hadits (Haditsnya baik).” (al-‘Ilal wa Ma’rifatur Rijal, 1/130)

Ibnu Hibban menyebutkan Abdurrahman bin Ishaq dalam ats-Tsiqat (7/86).

Al-Ijli berkata, “Yuktabu haditsuhu wa laisa bil qawi (Haditsnya ditulis, tetapi dia bukan orang yang kuat).” (Tarikh ats-Tsiqat)

Abu Hatim berkata, “Yuktabu haditsuhu wa laa yuhtajju bihi (Ditulis haditsnya, tetapi dia tidak dijadikan hujah).” (al-Jarh wat Ta’dil, 5/212. Lihat Tahdzib at-Tahdzib, 6/125—126)

[3] Beliau berkata, “Shaduq, rumiya bil qadar (Dia seorang yang shaduq/haditsnya hasan, tertuduh berpemahaman Qadariyah).”

[4] Lihat juga takhrij beliau terhadap Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah (hlm. 399) dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah (3/379—380, no. 1391)

[5] Definisi ini termasuk definisi yang mencakup seluruh permasalahan iman kepada malaikat-malaikat Allah, baik terkait dengan sumber keyakinan yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah, maupun terkait dengan hal-hal yang harus diyakini tentang malaikat.

[6] Adz-Dzahabi mengatakan, “Jahm bin Shafwan Abu Mahraz as-Samarqandi, orang yang sesat, mubtadi’, pemuka Jahmiyah. Dia binasa di zaman shigar tabi’in (tabiin kecil). Aku tidak tahu dia meriwayatkan sesuatu, tetapi dia telah menebarkan benih kesesatan yang sangat besar.” (Mizanul I’tidal, 1/426)

Di antara pemikiran Jahm adalah meniadakan sifat Allah subhanahu wa ta’ala. Keyakinan ini diambilnya dari Ja’d bin Dirham yang disembelih oleh Khalid bin Abdilah al-Qasri di Wasith. Jahm sendiri dibunuh di Khurasan oleh Salm bin Ahwaz pada 128 H.

[7] Mu’taqad Firaqul Muslimin wal Yahud wan Nashara wal Falasifah wal Watsaniyin fil Mala’ikah al-Muqarrabin karya Syaikh Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab al-Aqil (hlm. 242—243).

[8] Beliau adalah Imam Abu Ja’far Ahmad bin Salamah bin Abdul Malik bin Salamah bin Sulaiman al-Azdi ath-Thahawi.

[9] Beliau adalah Imam al-Hafizh Abu Muhammad al-Hasan bin Ali bin Khalaf al-Barbahari al-Hanbali.

[10] Dengan syarah Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.

Baca juga: Syaikh Ibnu Utsaimin Pelita di Tengah Umat

[11] Demikian pula ucapan Abu Hatim dan Abu Zur’ah, “Kami telah menjumpai ulama-ulama (Ahlus Sunnah, ahlul hadits) di seluruh negeri, baik di Hijaz, Irak, Mesir, Syam, maupun Yaman… (mereka semua mengimani Munkar dan Nakir).”

[12] Kecuali beberapa golongan yang tidak ditanya sebagaimana ditunjukkan oleh nas-nas.

[13] Bagian dari hadits al-Bara bin Azib radhiallahu anhuma, diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah dalam al-Musnad (4/287—288) dan al-Hakim rahimahullah dalam al-Mustadrak (1/93—94).

Al-Hakim mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat faedah yang sangat banyak bagi Ahlus Sunnah dan bantahan bagi ahli bid’ah….” (al-Mustadrak, 1/96)

Hadits al-Bara bin Azib dinilai sahih oleh banyak ulama, seperti al-Hakim dan Ibnul Qayyim. Adapun Ibnu Hazm dan Ibnu Hibban kurang tepat dalam memberikan hukum terhadap hadits ini sebagai hadits dha’if. Bantahan (tentang hal ini) dapat dilihat secara rinci dalam kitab ar-Ruh karya Ibnu Qayyim rahimahullah.

[14] Lihat Qathful Azharil Mutanatsirah fil Akhbaril Mutawatirah karya as-Suyuthi hadits no. 109.

[15] Syarah al-‘Aqidah ath-Thahawiyah hlm. 399 dengan takhrij Syaikh al-Albani.

 

(Ustadz Muhammad Rijal, Lc.)