Al-Wala’ dan Al-Bara’ terhadap Orang Kafir

Sikap wala’ dan bara’ merupakan prinsip dalam akidah yang harus dimiliki oleh setiap muslim. Berikut adalah tulisan yang berisi tanya jawab dengan asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah kaitannya dengan perkara tersebut.

 

Apakah kita diperbolehkan memberikan sikap loyal (dukungan) kepada orang kafir?

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa ber-wala’ kepada orang kafir dengan memberikan rasa cinta, bantuan, atau pertolongan (kepada mereka) serta menjadikan mereka sebagai teman dekat, adalah haram dan dilarang nash al-Qur’anul Karim,

لَّا تَجِدُ قَوۡمٗا يُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ يُوَآدُّونَ مَنۡ حَآدَّ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَوۡ كَانُوٓاْ ءَابَآءَهُمۡ أَوۡ أَبۡنَآءَهُمۡ أَوۡ إِخۡوَٰنَهُمۡ أَوۡ عَشِيرَتَهُمۡۚ

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (al-Mujadalah: 22)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّخِذُواْ ٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُواْ دِينَكُمۡ هُزُوٗا وَلَعِبٗا مِّنَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ مِن قَبۡلِكُمۡ وَٱلۡكُفَّارَ أَوۡلِيَآءَۚ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik).” (al-Maidah: 57)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّخِذُواْ ٱلۡيَهُودَ وَٱلنَّصَٰرَىٰٓ أَوۡلِيَآءَۘ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٖۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمۡ فَإِنَّهُۥ مِنۡهُمۡۗ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (al-Maidah: 51)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّخِذُواْ بِطَانَةٗ مِّن دُونِكُمۡ لَا يَأۡلُونَكُمۡ خَبَالٗا وَدُّواْ مَا عَنِتُّمۡ قَدۡ بَدَتِ ٱلۡبَغۡضَآءُ مِنۡ أَفۡوَٰهِهِمۡ وَمَا تُخۡفِي صُدُورُهُمۡ أَكۡبَرُۚ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil orang-orang yang di luar kalanganmu menjadi teman kepercayaanmu. (Karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi.” (Ali ‘Imran: 118)

Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan, jika kaum mukminin tidak ber-wala’ (saling mencintai) satu sama lain, sementara orang kafir sebagian menjadi wali bagi yang lain dan tidak terbedakan antara kaum mukminin dengan mereka, maka akan terjadi fitnah dan kerusakan yang besar di muka bumi. Tidak semestinya seorang mukmin percaya dengan selain mukmin (kafirin) bagaimanapun ia menampilkan kecintaan dan menampakkan niat baik, karena Allah subhanahu wa ta’ala telah mengatakan tentang mereka,

وَدُّواْ لَوۡ تَكۡفُرُونَ كَمَا كَفَرُواْ فَتَكُونُونَ سَوَآءٗۖ فَلَا تَتَّخِذُواْ مِنۡهُمۡ أَوۡلِيَآءَ حَتَّىٰ يُهَاجِرُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِۚ

“Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong (mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah.” (an-Nisa: 89)

Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan kepada Nabi- Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَلَن تَرۡضَىٰ عَنكَ ٱلۡيَهُودُ وَلَا ٱلنَّصَٰرَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمۡۗ

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.” (al-Baqarah: 120)

Yang wajib dilakukan seorang mukmin adalah agar bersandar kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam melaksanakan syariat- Nya dan jangan peduli dengan cemoohan orang dan tidak takut kepada musuh-musuhnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّمَا ذَٰلِكُمُ ٱلشَّيۡطَٰنُ يُخَوِّفُ أَوۡلِيَآءَهُۥ فَلَا تَخَافُوهُمۡ وَخَافُونِ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ ١٧٥

“Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy). Karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Ali ‘Imran: 175)

فَتَرَى ٱلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٞ يُسَٰرِعُونَ فِيهِمۡ يَقُولُونَ نَخۡشَىٰٓ أَن تُصِيبَنَا دَآئِرَةٞۚ فَعَسَى ٱللَّهُ أَن يَأۡتِيَ بِٱلۡفَتۡحِ أَوۡ أَمۡرٖ مِّنۡ عِندِهِۦ فَيُصۡبِحُواْ عَلَىٰ مَآ أَسَرُّواْ فِيٓ أَنفُسِهِمۡ نَٰدِمِينَ ٥٢

“Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata, ‘Kami takut akan mendapat bencana.’ Mudahmudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya) atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Karena itu, mereka menyesali apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.” (al- maidah: 52)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡمُشۡرِكُونَ نَجَسٞ فَلَا يَقۡرَبُواْ ٱلۡمَسۡجِدَ ٱلۡحَرَامَ بَعۡدَ عَامِهِمۡ هَٰذَاۚ وَإِنۡ خِفۡتُمۡ عَيۡلَةٗ فَسَوۡفَ يُغۡنِيكُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦٓ إِن شَآءَۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ حَكِيمٞ ٢٨

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (at-Taubah: 28)

 

Lantas, bolehkah seorang muslim bermuamalah dengan orang kafir dengan menunjukkan sikap lemah lembut dengan harapan mereka mau masuk Islam?

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa tidak ada keraguan bahwa seorang muslim wajib untuk membenci musuh-musuh Allah subhanahu wa ta’ala dan berlepas diri dari mereka, karena inilah jalan para rasul dan para pengikut mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

قَدۡ كَانَتۡ لَكُمۡ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ فِيٓ إِبۡرَٰهِيمَ وَٱلَّذِينَ مَعَهُۥٓ إِذۡ قَالُواْ لِقَوۡمِهِمۡ إِنَّا بُرَءَٰٓؤُاْ مِنكُمۡ وَمِمَّا تَعۡبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ كَفَرۡنَا بِكُمۡ وَبَدَا بَيۡنَنَا وَبَيۡنَكُمُ ٱلۡعَدَٰوَةُ وَٱلۡبَغۡضَآءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤۡمِنُواْ بِٱللَّهِ وَحۡدَهُۥٓ

“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka, ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah. Kami ingkari (kekafiran)-mu, dan telah nyata permusuhan dan kebencian antara kami dan kamu untuk selama-lamanya hingga kamu beriman kepada Allah semata’.” (al-Mumtahanah: 4)

لَّا تَجِدُ قَوۡمٗا يُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ يُوَآدُّونَ مَنۡ حَآدَّ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَوۡ كَانُوٓاْ ءَابَآءَهُمۡ أَوۡ أَبۡنَآءَهُمۡ أَوۡ إِخۡوَٰنَهُمۡ أَوۡ عَشِيرَتَهُمۡۚ

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, ataupun keluarga mereka.” (al-Mujadalah: 22)

Atas dasar ini, tidak halal bagi seorang muslim di dalam hatinya tumbuh perasaan cinta tehadap musuh-musuh Allah subhanahu wa ta’ala yang sebenarnya mereka pada kenyataannya adalah musuhnya juga. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّخِذُواْ عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمۡ أَوۡلِيَآءَ تُلۡقُونَ إِلَيۡهِم بِٱلۡمَوَدَّةِ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang.” (al-Mumtahanah: 1)

Seorang muslim yang memperlakukan orang kafir dengan lembut, dengan harapan mereka masuk Islam, maka yang semacam ini tidak mengapa, karena ini masuk dalam bab mendekatkan seseorang kepada keislaman. Akan tetapi, jika putus (kecil) harapannya, maka hendaknya memperlakukan mereka menurut haknya. Ini telah terinci dalam buku-buku para ulama lebih khusus buku Ibnul Qayyim rahimahullah, Ahkamu Ahlidzimmah.

 

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah kemudian ditanya, apakah boleh mengatakan bahwa orang kafir itu jujur, amanah, dan baik bekerjanya?

Beliau menjawab bahwa akhlak yang disebutkan ini jika benar adanya, maka sesungguhnya sifat dusta, khianat, dan ngawur yang ada pada mereka lebih banyak dari apa yang didapati di negara-negara Islam. Ini satu hal yang telah diketahui (bersama).

Akan tetapi jika ini benar, maka sesungguhnya akhlak yang diserukan oleh Islam. Kaum muslimin lebih berhak untuk melakukannya, agar dengan itu mereka mendapatkan akhlak yang baik dan pahala. Adapun orang kafir, mereka tidak memaksudkan dengan itu kecuali karena materi. Kejujuran mereka dalam bergaul hanya untuk menarik simpati manusia.

Adapun seorang muslim, jika berakhlak dengan perkara-perkara ini, di samping mengharapkan perkara materi, ia juga mengharapkan perkara syar’i, yaitu mewujudkan iman dan pahala dari Allah subhanahu wa ta’ala. Inilah pembeda antara muslim dan kafir. Adapun anggapan adanya kejujuran di negara kafir, baik barat maupun timur; jika ini benar, maka itu hanya sedikit kebaikan di antara kejelekan yang banyak. Kalaulah tidak ada pada mereka kecuali mereka mengingkari hak Dzat yang paling besar haknya yaitu Allah subhanahu wa ta’ala,

إِنَّ ٱلشِّرۡكَ لَظُلۡمٌ عَظِيمٞ ١٣

“Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Luqman: 13)

Bagaimana pun beramal, sesungguhnya mereka tenggelam dalam kejelekan, kekafiran, dan kezaliman mereka. Tiada kebaikan pada mereka.

 

Bagaimana hukum mencintai orang kafir dan lebih mengutamakan mereka dari pada kaum muslimin?

Beliau menjawab bahwa tidak ada keraguan bahwa orang yang mencintai orang kafir melebihi kaum muslimin berarti dia telah melakukan keharaman yang besar. Karena sesungguhnya ia wajib mencintai kaum muslimin, dan cintanya untuk mereka sebagaimana kecintaan untuk dirinya. Adapun sikap mencintai musuh-musuh Allah subhanahu wa ta’ala melebihi kaum muslimin adalah bahaya besar dan haram baginya.

Bahkan tidak boleh mencintai mereka meski lebih sedikit dari kaum muslimin,

لَّا تَجِدُ قَوۡمٗا يُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ يُوَآدُّونَ مَنۡ حَآدَّ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَوۡ كَانُوٓاْ ءَابَآءَهُمۡ أَوۡ أَبۡنَآءَهُمۡ أَوۡ إِخۡوَٰنَهُمۡ أَوۡ عَشِيرَتَهُمۡۚ

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, ataupun keluarga mereka.” (al-Mujadalah: 22)

Adapun orang-orang kafir karena murtad maka wajib di-hajr dan dijauhi. Jangan diajak duduk-duduk dan makan-makan jika sudah dinasihati dan didakwahi untuk kembali kepada Islam, namun mereka (tetap) menolak. Karena orang yang murtad tidak boleh dibiarkan pada kemurtadannya, namun diajak untuk kembali kepada agama yang ia keluar darinya. Jika dia menolak, wajib dibunuh. Jika dibunuh karena murtad, maka ia tidak dimandikan, tidak dikafani, tidak dishalati, dan tidak dikubur bersama kaum muslimin. Akan tetapi, dibuang dengan pakaian dan darahnya yang najis di lubang yang jauh dari pekuburan kaum muslimin di tanah yang tidak bertuan.

Adapun orang kafir yang tidak murtad namun merupakan kerabat, mereka tetap punya hak kekerabatan sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَءَاتِ ذَا ٱلۡقُرۡبَىٰ حَقَّهُۥ وَٱلۡمِسۡكِينَ وَٱبۡنَ ٱلسَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرۡ تَبۡذِيرًا ٢٦

“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.” (al-Isra’: 26)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang dua orang tua yang kafir dan musyrik,

وَإِن جَٰهَدَاكَ عَلَىٰٓ أَن تُشۡرِكَ بِي مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٞ فَلَا تُطِعۡهُمَاۖ وَصَاحِبۡهُمَا فِي ٱلدُّنۡيَا مَعۡرُوفٗاۖ

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik….” (Luqman: 15)

 

Buah karya asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah