Pertanyaan:
Ingin tanya nih, ustadz. Kalau dalam agama, mana duluan yang harus dilakukan, bayar utang atau menikah?
Jawab:
Sejatinya, ketika seseorang berutang ada perjanjian tertulis yang menetapkan tempo waktu pengembalian utang.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيۡنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَٱكۡتُبُوهُۚ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (al-Baqarah: 282)
Jadi, seseorang bisa mengukur kemampuannya ketika ingin menggunakan harta yang dia punya untuk keperluan hidup atau yang lainnya, seperti keinginan untuk menikah. Artinya, ketika waktu pengembalian atau pembayaran utang sudah atau hampir tiba, tentu kewajibannya adalah membayar utangnya. Tidak sepatutnya dia menunda atau mengulur dari waktunya.
Baca juga: Adab Utang Piutang
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ
“Penundaan yang dilakukan oleh orang yang mampu adalah kezaliman.” (HR. al-Bukhari, Muslim, dll.)
Artinya, merupakan sebuah kezaliman apabila seseorang sudah memiliki kemampuan tetapi menunda pembayaran utang yang sudah jatuh tempo waktunya. Kecuali jika dia meminta izin lantas diizinkan oleh pihak yang diutangi, sedangkan hasrat untuk menikah sangat kuat dan khawatir menjadi fitnah (berdampak negatif) apabila ditunda, tidak mengapa menikah dahulu.
Jika tempo waktu pembayaran masih lama dan menurut perhitungan dia memiliki kemampuan untuk membayar utangnya setelah pernikahan, dalam kondisi seperti ini tidak mengapa dia menikah dahulu. Namun, alangkah baiknya dia memberi tahu pihak yang diutangi tentang hal tersebut demi menenangkan hatinya.
Baca juga: Hukum Menunda-nunda Membayar Utang
Namun, apabila menurut perhitungannya dia tetap tidak mampu untuk membayar utang setelah pernikahan walaupun waktunya masih relatif lama, sebaiknya ditunda menikah. Dia lebih mengutamakan kewajiban membayar utang sembari banyak berpuasa sebagaimana nasihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، عَلَيْكُمْ بِالبَاءَةِ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمُ البَاءَةَ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ.
“Wahai segenap pemuda, barang siapa di antara kalian sudah mampu, hendaknya menikah. Sebab, menikah akan lebih lebih menjaga pandangannya dan kemaluannya. Namun, apabila dia belum mampu, hendaknya berpuasa karena puasa menjadi peredam syahwatnya.” (HR. at-Tirmidzi no. 1081 dari sahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu, dan dinyatakan sahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah)
Wallahu a’lam bish-shawab.