Apa Itu Hak Asasi Manusia (HAM)?

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin)

Di tengah hiruk pikuk “reformasi”, satu di antara banyak peristiwa, adalah menggelembungnya isu Hak Asasi Manusia (HAM) di negeri ini.

Awan hitam kelam menyelimuti persada. Suasana karut-marut mewarnai sudut-sudut kehidupan anak negeri. Rasa aman seakan menjadi komoditas yang sulit dijangkau. Seakan sirna kenyamanan dan rasa tenang hidup di bumi nyiur melambai. Demonstrasi, kerusuhan, penjarahan, pembantaian manusia, hiruk pikuk memenuhi etalase kehidupan. Para penegak hukum tak mampu lagi menampakkan gigi taringnya. Berbagai kerusuhan bagaikan gelombang yang susul menyusul, sementara aparat ragu untuk bertindak. Keraguan ini cukup lama bergayut di dada para prajurit, hingga melambankan gerak menyapu para pelaku keonaran. Satu di antara sebab yang melambankan gerak pihak berwajib, tumbuhnya rasa takut terjerat jaring-jaring HAM. Tak mengherankan bila saat itu para prajurit dibekali buku saku yang berisi apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan sesuai HAM.

Apa itu HAM? Menurut Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, HAM didefinisikan sebagai berikut: “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”

Kala itu, HAM bak monster yang menakutkan pihak aparat. Dalam skenario global, HAM menjadi alat yang langsung atau pun tidak, turut melemahkan kewibawaan pemerintah. Isu HAM terus dipompakan hingga target-target yang bersifat politis bisa digapai oleh elite politik tertentu. Selain tentunya, bagi pihak asing merupakan kesempatan emas untuk melakukan neo-kolonialisme (penjajahan model baru) melalui penetrasi budaya, yaitu menularkan budaya atau paham-paham sekular. Inti dari pemahaman ini berupaya menjauhkan umat Islam dari agamanya, dan lebih memfokuskan pada masalah dunia serta nilai-nilai yang tidak bersumber dari Islam.

Bila menilik sejarah, sesungguhnya keadaan umat Islam di Indonesia nyaris tidak lepas dari dominasi dan eksploitasi Barat. Proses sejarah menunjukkan bahwa setelah kolonialisme, yaitu penjajahan bersifat fisik berakhir, dunia Islam menghadapi masa neo-kolonialisme. Penjajahan pada fase neo-kolonialisme ini tidak lagi bersifat fisik, tetapi sudah dalam bentuk penjajahan nilai, ideologi, atau paham. Fase inilah terjadinya ghazwu al-fikr (perang pemikiran). Walaupun secara fisik negara-negara tempat kaum muslimin tinggal telah merdeka, namun tekanan budaya Barat senantiasa dijejalkan kepada kaum muslimin. Sehingga, akibat penetrasi budaya, ideologi, dan pemahaman tersebut, berubahlah cara pandang, cara berpikir, tingkah laku, bahkan i’tiqad (keyakinan) sebagian kaum muslimin. Nas`alullaha as-salamah wal ‘afiyah (Kepada Allah l-lah kita memohon keselamatan dan afiat).

Perubahan gaya hidup dengan meniru kaum kafir tersebut tentu saja melalui proses waktu. Secara bertahap namun terarah, proses tersebut terus bergulir hingga seseorang lantas mengikuti gaya hidup orang kafir. Rasulullah n telah memperingatkan perihal ini. Berdasar hadits dari Abu Hurairah z, Rasulullah n bersabda:

لَتَتَّبِعُنَّ سُنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ سَلَكُوا حُجْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ. قَالُوا: الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: فَمَنْ؟

“Sungguh kamu akan mengikuti cara-cara orang-orang sebelummu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Hingga seandainya mereka berjalan (masuk) lubang dhabb (sejenis biawak), niscaya kamu pun akan berjalan ke lubang tersebut.” Para sahabat bertanya: “(Apakah yang dimaksud) Yahudi dan Nashara?” Jawab Rasulullah n: “Siapa lagi?” (HR. Ahmad, dishahihkan Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani t dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir wa Ziyadah, no. 5063)

Seiring arus globalisasi, gerakan neo-kolonialisme pun semakin mendapat celah untuk terus menerjang batas-batas negara. Karena, globalisasi itu sendiri dimaknai sebagai proses integrasi (penyatuan) ideologi, paham, nilai budaya ‘penjajah’ terhadap yang ‘dijajah’. Sehingga ideologi, paham, nilai budaya ‘penjajah’ terserap dan menyatu dalam kehidupan masyarakat yang ‘dijajah’. Inilah hakikat globalisasi terkait dengan gerakan neo-kolonialisme. Pemberian beasiswa untuk mempelajari Islam ke McGill University, Montreal, Kanada atau ke Chicago University, Amerika Serikat adalah bagian kecil dari program neo-kolonialisme. Menghadirkan para selebriti Barat ke negeri-negeri kaum muslimin juga merupakan bagian neo-kolonialisme. Dengan neo-kolonialisme, Barat melakukan hegemoni, yakni melakukan dominasi pemikiran, cara pandang, ideologi, pemahaman, dan budaya, hingga terbentuk sikap mental: “Kalau tidak dari Barat, tidak modern,” atau “Kalau tidak dari Barat, tidak keren.”

Dalam ranah sosial politik, demokratisasi merupakan sistem nilai dan ideologi yang ditanamkan ke negeri-negeri kaum muslimin. Demokrasi sebagai produk kebudayaan dan filsafat Barat melalui proses penetrasi yang kuat telah cukup membawa hasil yang ‘memuaskan’. Cap ‘tidak demokratis’ adalah sesuatu yang tidak disukai oleh kalangan pemerintahan di sebagian negara-negara muslim. Ini memberi sinyal bahwa demokrasi sebagai sebuah sistem ideologi telah berhasil ditanam.

Bagaimana dengan ajaran Hak Asasi Manusia? Nyaris tak jauh beda. Saat memberi Kata Pengantar, M.M. Billah, seorang pegiat HAM, menyatakan bahwa fakta sejarah yang tidak bisa dipungkiri menunjukkan bahwa ajaran hak asasi manusia merupakan produk kebudayaan dan filsafat Barat dalam masa Pencerahan di abad ke-18, ketika para ahli filsafat masa itu berupaya mencari landasan kebenaran moral dan keagamaan di dalam sifat-sifat manusia, dan mengembangkan satu agama serta moralitas yang ‘alamiah’. Tetapi konsepsi tentang sifat manusia dan kebebasan manusia yang muncul pada kenyataannya amat menyatu dengan tradisi budaya yang memunculkannya, yakni kebudayaan dan filsafat Barat itu sendiri. (Agama dan Hak Asasi Manusia, John Kelsay dan Sumner B. Twiss)

Bukti bahwa ajaran hak asasi manusia ini tidak bisa lepas dari kebudayaan dan filsafat Barat bisa ditelusuri dari berbagai deklarasi yang melatarinya. Magna Charta (1215) dianggap sebagai dokumen sejarah yang menggagas hak asasi manusia. Magna Charta berisi prinsip-prinsip trial by jury (peradilan oleh juri), habeas corpus (surat perintah penahanan), dan pengawasan parlemen atas pajak. Walaupun hanya berisi prinsip-prinsip di atas, oleh beberapa kalangan, Magna Charta tetap dijadikan monumen bagi lahirnya gagasan-gagasan hak asasi manusia berikutnya. Di Inggris tumbuh gagasan melalui Petition of Rights (1628) dan Bill of Rights (1689). Di Amerika dengan Declaration of Independence (1776). Di Perancis, setelah Revolusi Perancis, lahir apa yang disebut dengan Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia dan Warganegara (Declaration des Droit de l’home et du Citoyen, 1789). Hingga akhirnya semua gagasan yang berkembang dirumuskan menjadi sebuah deklarasi. Lahirlah kemudian Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) tahun 1948. Deklarasi inilah yang kemudian disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai dasar pemberlakuan hak asasi manusia di seluruh dunia. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang berisi 30 pasal tersebut secara resmi diterima Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Melalui Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, Pemerintah Republik Indonesia meratifikasi (mengesahkan) sebagai Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia.

Sebagai produk kebudayaan dan filsafat Barat, ajaran hak asasi manusia tentu saja tidak bebas dari kritik. Pengejawantahan hak-hak asasi manusia dalam kehidupan beragama di Barat (khususnya Perancis) justru buruk sekali. Larangan terhadap muslimah untuk mengenakan busana yang sesuai syariat ternyata tetap berlaku. Ini menunjukkan bahwa pemerintahan setempat belum bersungguh-sungguh memberikan hak yang bersifat asasi kepada kaum muslimin. Begitu pula yang terjadi di Amerika Serikat. Pasca peristiwa 11 September 2001 dengan hancurnya gedung WTC, pemerintah Amerika berlebihan, bahkan tidak patut dalam menyikapi warga muslim, terutama yang berasal dari warga asing. Apakah karena kemuslimannya lantas seseorang diperlakukan tidak patut di negara yang konon katanya menjunjung tinggi hak asasi manusia?

Sikap semena-mena tersebut menunjukkan watak asli kaum kafir terhadap orang-orang yang beriman. Mereka tidak akan merasa tenang bahkan bersikap sewenang-wenang terhadap orang-orang beriman. Allah l mengisahkan ashhabul ukhdud dalam Al-Qur`an sebagai pelajaran, betapa lantaran keimanan orang-orang beriman itu harus menghadapi tindak penyiksaan. Allah l berfirman:

“Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji.” (Al-Buruj: 8)
Inilah pergulatan antara al-haq dan al-bathil. Antara iman dan kekufuran. Antara hizbullah dan hizbu asy-syaithan. Sebab, pada intinya mereka akan terus berupaya dengan beragam cara untuk menundukkan kaum muslimin. Mereka tidak akan senang sebelum kaum muslimin mengikuti apa yang mereka maukan.
“Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: ‘Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar).’ Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (Al-Baqarah: 120)
Maka, ketika Islam menutup ruang terjadinya ganti agama, karena agama yang diakui di sisi Allah l hanyalah Islam, justru Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia membuka ruang kebebasan beragama, termasuk dibolehkannya ganti agama (sebagaimana pada pasal 18). Dua kutub yang saling bertolak belakang ini tentu saja tidak bisa dikompromikan. Bagaimana mungkin seorang muslim memperkenankan (melegalkan) kepada kaum muslimin untuk ganti agama? Padahal Allah l berfirman:
“Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali ‘Imran: 85)
“Sesungguhnya agama (yang diakui) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali ‘Imran: 19)
Sikap terbaik bagi seorang muslim adalah mengamalkan agamanya secara baik dan benar, sebagaimana telah dituntunkan oleh Rasulullah n dan para sahabatnya g. Tidak silau dengan berbagai nilai, pemahaman, dan ideologi yang lahir dari hawa nafsu manusia. Karena, sudah nyata antara al-haq dan al-bathil, dan sesungguhnya petunjuk yang benar itu hanya satu, yaitu petunjuk Allah l. Allah l berfirman:
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)’.” (Al-Baqarah: 120)
Jadi, kembalilah kepada nilai-nilai Islam, wahai orang-orang yang memiliki akal.
Wallahu a’lam.