Apakah Disyaratkan Jumlah Jamaah Tertentu?

 

Sahnya shalat Jum’at itu dengan berjamaah. Dari Thariq bin Syihab radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ

Jum’atan adalah hak yang wajib ditunaikan secara berjamaah atas setiap muslim.” (HR. Abu Dawud)

Ash-Shan’ani rahimahullah berkata, “Shalat Jum’at tidak sah selain dengan berjamaah menurutijma’.”(Subulus Salam 2/53)

Namun, ulama berbeda pendapat dalam hal jumlah yang harus hadir untuk sahnya Jum’atan menjadi lima belas pendapat. Setiap pendapat mengemukakan argumentasinya. Akan tetapi, tidak ada sedikit pun hadits-hadits yang kuat yang mengharuskan jumlah tertentu, sebagaimana dinyatakan oleh as-Suyuthi asy-Syafi’i rahimahullah. (Nailul Authar, 3/277)

Yang benar, syarat apa pun dalam suatu ibadah tidak dianggap selain yang ada dalilnya. Dalam masalah ini, tidak ada dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah (yang kuat) tentang penentuan jumlah. Yang pasti, shalat Jum’at harus dilakukan secara berjamaah, sebagaimana hadits Thariq bin Syihab radhiyallahu ‘anhu yang telah lalu. (Subulus Salam, 2/56—57)

Maka dari itu, dua orang adalah jumlah minimal untuk dikatakan jamaah, sebagaimana disebutkan oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah dalam Shahih-nya, bab “Dua Orang dan yang Lebih dari Dua adalah Jamaah”, lalu beliau rahimahullah menyebutkan riwayat Malik bin al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ فَأَذِّنَا وَأَقِيْمَا ثُمَّ لِيَؤُمَّكُمَا أَكْبَرُكُمَا

“Apabila waktu shalat telah datang, kumandangkan azan dan iqamah oleh kalian berdua, kemudian hendaklah yang paling tua dari kalian berdua menjadi imam.” (hadits no. 658)

Asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Shalat berjamaah dalam seluruh shalat itu sah dengan dua orang, dan tidak ada perbedaan antara shalat Jum’at dan shalat jamaah. Tidak ada dalil dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa Jum’atan tidak sah selain dengan (jumlah jamaah) tertentu. Pendapat inilah yang paling kuat menurut saya.” (Nailul Authar, 3/276)

Adapun hadits-hadits yang datang tentang penyebutan jumlah jamaah shalat Jum’at, kesimpulannya ada dua:

1. Riwayatnya kuat, namun jumlah tersebut hanya bersifat kebetulan pada sebuah peristiwa dan tidak menunjukkan persyaratan Jum’atan.

Misalnya, atsar Ka’b bin Malik bahwa apabila mendengar azan Jum’at dikumandangkan, dia mendoakan rahmat bagi sahabat As’ad bin Zurarah karena dialah yang pertama kali memimpin shalat Jum’at di bani Bayadhah. Ketika ditanya jumlah jamaah ketika itu, Ka’b menjawab empat puluh orang. (Riwayat Abu Dawud no. 1069 dan dinyatakan hasan oleh Ibnu Hajar t dalam at- Talkhish 2/56)

2. Riwayatnya lemah dan tidak bisa dijadikan landasan hukum.

Contohnya adalah hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Sunnah (Nabi)

telah berlalu bahwa pada setiap tiga orang itu ada imamnya, atau pada setiap empat puluh orang atau lebih ada Jum’atan, (shalat Ied) al-Adha, dan al-Fitri, karena mereka adalah jamaah.” (HR. ad-Daruquthni 2/4)

Hadits ini dinyatakan dhaif (lemah) oleh ulama Syafi’iyah dan selainnya. Di antara mereka adalah al-Baihaqi rahimahullah dan an-Nawawi rahimahullah seperti dalam al-Majmu’ (4/368) dan Ibnu Hajar rahimahullah dalam Bulughul Maram. Alasannya, dalam sanad hadits ini ada rawi bernama Abdul Aziz bin Abdurrahman.

Ahmad rahimahullah berkata, “Saya mencoret hadits-haditsnya karena ia dusta atau palsu.”

An-Nasai rahimahullah berkata, “Dia bukan orang yang tepercaya.” (Subulus Salam2/56) Wallahua’lam bish-shawab.