Arwa bintu ‘Abdi Muthalib

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Abdirrahman bintu Imran)

Dari namanya jelas terbaca, dia adalah bibi Rasulullah n. Putranya telah mengetuk hatinya untuk menerima Islam. Allah l pun membukakan pintu hatinya untuk tunduk dalam keimanan.
Arwa bintu ‘Abdil Muththalib bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf bin Qushai al-Hasyimiyah. Ibunya bernama Fathimah bintu ‘Amr bin ‘Aid bin ‘Imran bin Makhzum.
Di masa jahiliah, dia disunting oleh ‘Umair bintu Wahb bin ‘Abd bin Qushai. Dari pernikahan mereka, lahir seorang anak laki-laki, Thulaib bin ‘Umair. Setelah berpisah dengan ‘Umair, Arwa menikah dengan Arthah bin Syarahbil bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf bin ‘Abdid Dar bin Qushai. Pasangan ini dikaruniai seorang putri bernama Fathimah.
Dakwah Rasulullah n mulai merebak di negeri Makkah. Satu per satu para sahabat menyatakan keislamannya di rumah al-Arqam bin Abil Arqam al-Makhzumi. Di sanalah Rasulullah n mengajarkan Islam kepada mereka di awal dakwah beliau.
Begitu pula Thulaib yang kala itu telah beranjak dewasa. Dia masuk Islam bersama sahabat yang lain. Setelah masuk Islam, Thulaib segera keluar dari rumah al-Arqam untuk menemui ibunya.
“Aku telah masuk Islam dan mengikuti Muhammad,” Thulaib mengaku di hadapan ibunya.
“Memang sesungguhnya orang yang paling berhak kaubantu dan kaubela adalah anak pamanmu itu!” tutur Arwa.
“Demi Allah!” lanjut Arwa, “Seandainya kami punya kemampuan sebagaimana yang dimiliki lelaki, sungguh kami akan mengikuti dan membelanya pula.”
“Lalu apa yang membuatmu tak mau masuk Islam dan mengikutinya, wahai Ibu? Padahal saudaramu, Hamzah, pun sudah masuk Islam,” desak Thulaib.
“Aku akan menunggu apa yang dilakukan saudari-saudariku. Aku akan mengambil jalan yang sama dengan mereka,” ujar Arwa.
Thulaib terus mendesak ibunya, “Aku meminta kepadamu dengan nama Allah. Datangilah Muhammad, ucapkan salam kepadanya dan benarkanlah dia! Lalu bersaksilah bahwa tak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah!”
Akhirnya terucaplah persaksian Arwa bahwa tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah selain Allah l dan Muhammad n adalah utusan Allah l.
Setelah keislamannya itu, Arwa senantiasa membela Rasulullah n dengan lisannya. Tak hanya itu, dia juga mendorong putranya untuk membela dan membantu Rasulullah n.
Suatu hari, Abu Jahl bersama beberapa orang kafir Quraisy menghadang Rasulullah n. Mereka mulai mengganggu beliau. Melihat itu, Thulaib tidak tinggal diam. Bergegas dia berdiri di hadapan Abu Jahl. Pukulannya melayang mengenai Abu Jahl dan melukai kepalanya. Orang-orang pun segera menangkap dan membelenggu Thulaib. Abu Jahl berdiri di hadapan Thulaib dan melepaskannya.
Peristiwa ini didengar oleh Arwa. Orang-orang mengatakan kepadanya, “Tidakkah kau lihat anakmu menjadikan dirinya tameng bagi Muhammad?” Arwa memuji putranya, “Sebaik-baik hari Thulaib adalah hari ketika dia membela anak pamannya. Sesungguhnya dia datang membawa kebenaran dari sisi Allah l.”
Orang-orang terperanjat mendengar jawaban Arwa. “Kamu sudah mengikuti Muhammad?”
“Ya,” jawab Arwa.
Ada di antara mereka yang mengabarkan hal itu pada Abu Jahl. “Arwa telah mencelamu!” kata mereka.
Betapa berang Abu Jahl. Segera ditemuinya Arwa dan dicaci-maki. “Aku benar-benar heran kepadamu! Bisa-bisanya engkau ikuti Muhammad dan engkau tinggalkan agama ‘Abdul Muththalib!”
“Itu sudah terjadi,” jawab Arwa dengan tenang.
“Datanglah ke hadapan anak saudaramu itu,” lanjut Arwa, “Kalau telah jelas urusannya, kau bisa memilih masuk Islam bersamanya atau tetap dalam agamamu. Kalaupun tidak, kau bisa memaafkan anak saudaramu itu.”
Namun, kesombongan telah menutupi hati Abu Jahl. Dia menolak mentah-mentah.
“Bagaimana mungkin?! Kami mempunyai kekuatan di hadapan seluruh kalangan bangsa Arab, sedangkan dia datang membawa agama baru!” tukasnya.
Inilah syair Arwa, seorang ibu yang menyenandungkan pujian kepada Thulaib, putranya, akan kecintaannya kepada Rasul yang mulia:
Sesungguhnya Thulaib telah menolong anak pamannya
Membantunya dengan darah dan hartanya
Arwa bintu ‘Abdil Muththalib, semoga Allah l meridhainya….

Sumber bacaan:
al-Ishabah, al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani (8/8—9)
al-Isti’ab, al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (2/481—482)
ath-Thabaqatul Kubra, al-Imam al-Mizzi (10/42—43)