(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Abdirrahman bintu Imran)
Pada dirinya Allah l kumpulkan banyak kemuliaan. Ayahnya, Zaid bin ‘Amr, adalah seorang yang berlepas diri dari agama nenek moyangnya sebelum diutusnya Rasulullah n. Hatinya condong kepada agama hanifiyah, agama Ibrahim q yang mengusung dakwah tauhid. Ibunya adalah seorang sahabiyah yang mulia, Ummu Kurz bintu al-Hadhrami bin ‘Ammar bin Malik bin Rabi’ah bin Lukaiz bin Malik bin ‘Auf x. Dia bersaudara dengan salah seorang sahabat peraih janji surga, Sa’id bin Zaid z. Orang-orang yang bersanding dengannya adalah orang-orang yang mulia.
Dia sendiri adalah seorang wanita yang tunduk di hadapan seruan Rasulullah n. Dia berbai’at kepada beliau n. Tatkala turun perintah hijrah, dia pun tunduk kepada perintah Allah l. Dia salah satu dari sekian muhajirah. Kemuliaan yang didapatkan oleh ‘Atikah bintu Zaid bin ‘Amr bin Nufail bin ‘Abdil ‘Uzza bin Riyah bin ‘Abdillah bin Qurth bin Rizah bin ‘Adi bin Ka’b al-‘Adawiyah x.
Wanita Quraisy ini dikaruniai pula kecantikan dan lisan yang fasih. Dia menjadi seorang kekasih yang amat dicintai suaminya, Abdullah bin Abi Bakr ash-Shiddiq x. Rasa cinta ini sempat membuat Abdullah bin Abi Bakr tertinggal dari peperangan di jalan Allah l. Ash-Shiddiq murka mendengar keadaan putranya ini. Beliau pun menyuruh Abdullah menceraikan istrinya.
Berat dirasa perpisahan dengan orang yang dicintai. Namun, Abdullah menjalankan perintah sang ayah. Sampai kemudian Abu Bakr z mengizinkan Abdullah untuk kembali kepada istrinya. ‘Atikah bintu Zaid x kembali berdampingan dengan Abdullah bin Abi Bakr z.
Kebersamaan di dunia memang tak pernah abadi. Abdullah bin Abi Bakr z turut dalam pengepungan kota Tha’if. Dalam pertempuran itu, Abdullah mendapatkan luka karena tikaman anak panah dan akhirnya meninggal di Madinah.
Dulu sebelum meninggal, Abdullah bin Abi Bakr z pernah menyerahkan sebagian hartanya kepada ‘Atikah, sembari berpesan agar ‘Atikah tidak menikah lagi sepeninggal Abdullah. ‘Atikah memegang janjinya. Dia pun hidup seorang diri tanpa menikah. Banyak yang datang untuk meminangnya, namun ‘Atikah menolaknya.
Waktu berlalu. Abu Bakr ash-Shiddiq z yang kala itu menjabat sebagai khalifah wafat. Umar ibnul Khaththab z dipilih sebagai penggantinya. Di tengah masa kekuasaannya, Amirul Mukminin mengirim utusan kepada ‘Atikah untuk menyampaikan pesan beliau berkenaan dengan harta pemberian Abdullah bin Abi Bakr, “Sesungguhnya engkau telah mengharamkan atas dirimu apa yang Allah l halalkan. Kembalikanlah harta itu kepada keluarganya dan menikahlah.”
‘Atikah menerimanya. Dikembalikannya harta pemberian Abdullah kepada keluarganya. Kemudian, datanglah Umar ibnul Khaththab z meminang dan menikahinya.
Dalam pernikahannya dengan Umar ibnul Khaththab z, ‘Atikah memberikan syarat kepadanya agar tidak memukulnya, tidak melarangnya dari al-haq, dan tidak melarangnya untuk shalat di masjid Rasulullah n. Umar menyanggupinya.
Demikianlah, sampai akhirnya Allah l berkehendak mereka berdua berpisah. Umar ibnul Khaththab terbunuh saat mengimami shalat shubuh.
Sepeninggal Umar, setelah ‘Atikah menghabiskan masa iddahnya, hawari (pembela) Rasulullah n, az-Zubair ibnul ‘Awwam z datang meminangnya. Kepada az-Zubair, ‘Atikah kembali memberikan syarat yang sama seperti Umar. Az-Zubair z menyanggupinya pula.
Di tengah perjalanan rumah tangganya, az-Zubair z pun merasa berat melihat istrinya yang jelita sering keluar untuk shalat di masjid Rasulullah n. Namun ia pun tak kuasa melarangnya. Setiap kali ‘Atikah bersiap-siap untuk ke masjid, az-Zubair mengatakan, “Demi Allah, engkau selalu keluar seperti ini, sementara sebenarnya aku tidak menyukainya!”
“Larang saja aku, niscaya aku tidak akan pergi!” jawab ‘Atikah.
“Bagaimana mungkin aku akan melarangmu, padahal engkau dulu telah mensyaratkan agar aku tak melakukannya!” balas az-Zubair.
Az-Zubair pun mencari akal. Saat ‘Atikah keluar untuk shalat isya, az-Zubair duduk di jalan. Tatkala ‘Atikah lewat, dengan cepat dipukulnya pinggul ‘Atikah dan segera menghilang dalam gulitanya malam. Bukan main terkejutnya ‘Atikah. Dia pun bergegas pulang ke rumah.
Esok harinya, ketika tiba waktu shalat ‘Atikah tidak bersiap sebagaimana biasa.
“Mengapa engkau tidak bersiap-siap sebagaimana biasa?” tegur az-Zubair.
“Inna lillah! Manusia sudah rusak sekarang!” jawab ‘Atikah, “Demi Allah, aku tidak mau lagi keluar dari rumahku!”
Perjalanan hidup terus berlalu. Ketika berkecamuk Perang Jamal, az-Zubair terbunuh. ‘Atikah kembali seorang diri.
Setelah melalui kehidupan panjang yang penuh berkah, ‘Atikah bintu Zaid x wafat. Rohnya naik menuju Rabbnya l, meninggalkan jejak sejarah kehidupan yang penuh keharuman.
‘Atikah bintu Zaid al-‘Adawiyah, semoga Allah l meridhainya….
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Sumber bacaan:
• al-Ishabah, al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani (8/227—229)
• al-Isti’ab, al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (2/542—544)
• ath-Thabaqatul Kubra, al-Imam Ibnu Sa’d (10/252—253)