(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Ishaq al-Atsariyah)
Allah l memerintah kita untuk menjaga kehormatan, keturunan, dan nasab. Karena misi itu, Islam yang Dia l turunkan dan ridhai sebagai agama para hamba memberikan aturan yang paling adil terhadap wanita dan hubungannya dengan lelaki. Apabila wanita tidak dijaga dan hubungan dengan lawan jenis tidak diatur, niscaya akan rusak masyarakat manusia. Karena rusaknya kehormatan, tercampurnya keturunan, dan tidak jelasnya nasab, sudah tentu terjadi kejahatan, kerusakan akhlak, dan kebobrokan moral.
Sebagai misal, kita bayangkan apa kiranya yang akan terjadi apabila wanita tidak diperintah untuk berhijab dan justru dibiarkan menampakkan auratnya di hadapan lelaki yang tidak halal melihatnya. Tentu akan marak pelecehan terhadap wanita, tindakan pemerkosaan, perzinaan, na’udzubillah. Ini sebagaimana yang kita ketahui di sekitar kita dan seperti yang telah terjadi di negara-negara yang mencampakkan hijab dan paling nyata lagi di negara-negara kafir.
Apabila aturan Islam tidak dijadikan pedoman untuk membatasi pergaulan pria dan wanita yang bukan mahram, niscaya khalwat (bersepi-sepi dengan lawan jenis), ikhtilath (campur baur tanpa hijab/penghalang antara pria dan wanita bukan mahram) bersentuhan dengan lawan jenis—minimalnya lewat jabat tangan—, hubungan di luar nikah dengan istilah pacaran atau pertunangan, dan semisalnya, tidak dianggap terlarang.
Hal-hal di atas akan menjadi sesuatu yang dianggap wajar oleh masyarakat yang tidak tahu, atau tidak mau tahu, atau berpaling dari aturan Islam. Tidak usah jauh-jauh melihat masyarakat negeri orang. Tengoklah masyarakat negeri kita sendiri yang merupakan negara berpenduduk muslim terbanyak dan Islam menjadi agama mayoritas anak negeri. Lihatlah pergaulan laki-laki dan perempuannya. Saksikan gaya hidup anak mudanya. Amat jauh dari rambu-rambu syariat. Akibatnya tentu tidak terbayang ngerinya. Terjadi perzinaan dan perselingkuhan yang menyebabkan kehancuran rumah tangga, hancurnya generasi baru, lahirnya anak-anak yang tidak diketahui siapa ayahnya sehingga tidak tahu nasabnya, rusaknya moral masyarakat, dan seterusnya. Wallahul musta’an, Allah l sajalah yang dimintai pertolongan-Nya.
Dalam Tanzil-Nya, Allah l telah memperingatkan,
“Janganlah kalian mendekati zina, karena zina itu adalah perbuatan keji (dosa yang besar) dan sejelek-jelek jalan.” (al-Isra: 32)
Menurut al-Hafizh Ibnu Katsir t, dalam ayat di atas, Allah l melarang para hamba-Nya berbuat zina, mendekati zina, dan bersentuhan langsung dengan sebab-sebab dan perkara-perkara yang mengajak kepada zina. (Tafsir Ibni Katsir, 5/56)
Dengan demikian, segala perbuatan yang dapat menjatuhkan pelakunya ke dalam zina dilarang oleh Allah l, baik khalwat, ikhtilath, berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram, wanita bertabarruj (menampakkan keindahan dan perhiasannya di hadapan lelaki yang bukan mahram), maupun mengumbar pandangan untuk melihat lawan jenis yang sebenarnya tidak halal untuk dilihat, dan sebagainya.
Kembali kepada aturan Islam yang murni, adalah jalan keluar terbaik dan satu-satunya untuk memperbaiki kehidupan kita. Namun, karena setan tidak pernah berdiam diri dan tidak mau putus asa untuk mewujudkan tekadnya mengantarkan sebanyak-banyaknya anak manusia ke dalam neraka untuk menemaninya di sana, selalu saja ada anak buah suruhannya yang memusuhi aturan Islam. Mereka secara lantang memprotesnya, merendahkannya tanpa takut, dan mengajak manusia untuk mencampakkannya, baik mereka dari kalangan orang-orang kafir yang memang nyata sebagai musuh Allah l yang menunjukkan kebencian dan dendam kesumatnya, maupun orang yang mengaku beragama Islam tetapi sering risih dengan aturan yang dibawa Rasul umat Islam, Muhammad n.
Diembuskanlah omongan-omongan yang lahiriahnya semanis madu padahal batinnya adalah racun yang mematikan. Ucapan yang dianggap embusan angin surga padahal hakikatnya kobaran api yang membakar habis. Diselipkanlah syubhat-syubhat di tengah-tengah umat Islam guna membenarkan tindakan penyelisihan terhadap aturan syariat atau minimalnya agar kaum muslimin bersikap longgar dalam memegang aturan agamanya.
Terkait dengan wanita, diembuskanlah syubhat agar wanita tidak terlalu ketat dengan hijabnya, agar bebas berinteraksi dengan lelaki, kerja bersisian dengan mereka, serta tidak malu-malu berkumpul dan berbincang serta tertawa ria dengan lelaki yang bukan mahramnya. Bahkan, penebar syubhat ini membawakan dalil dari al-Qur’an ataupun as-Sunnah yang menurut mereka mendukung kemauan mereka dan meninggalkan dalil-dalil lain yang nyata-nyata menolak kemauan mereka tersebut.
Di antara syubhat mereka yang bisa kita bawakan di sini adalah sebagai berikut.
1. Tidak apa-apa seorang istri menemani suaminya untuk menemui tamu laki-laki.
Ia keluar menghidangkan teh dan lainnya untuk tamu-tamu tersebut, kemudian ikut duduk berbincang bersama mereka.
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan al-Imam al-Bukhari t dalam Shahihnya (no. 5182) dari Sahl ibn Sa’d z, ia berkata,
لَـمَّا عَرَّسَ أَبُوْ أُسَيْدٍ السَّاعِدِيُّ دَعَا النَّبِيَّ n وَأَصْحَابَهُ، فَمَا صَنَعَ لَهُمْ طَعَامًا وَلاَ قَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ إِلاَّ امْرَأَتُهُ أُمُّ أُسَيْدٍ، بَلَّتْ تَمْرَاتٍ فِي تَوْرٍ مِنْ حِجَارَةٍ مِنَ اللَّيْلِ. فَلَمَّا فَرَغَ النَّبِيُّ n مِنَ الطَّعاَمِ أَمَاثَتْهُ لَهُ فَسَقَتْهُ تَتْحِفُهُ بِذلِكَ.
Ketika Abu Usaid z menyelenggarakan walimah pernikahannya, ia mengundang Nabi n dan para sahabat beliau. Tidak ada yang membuat makanan untuk tamu-tamu yang hadir dan menghidangkannya kepada mereka selain istrinya, Ummu Usaid1. Ia merendam beberapa butir kurma di dalam sebuah bejana yang terbuat dari batu pada malam hari (untuk dibuat minuman). Ketika Nabi n dan para sahabatnya selesai menyantap hidangan, Ummu Usaid mencampurkan minuman dari air kurma tersebut lalu secara khusus diberikan kepada Nabi n.
Dalam hadits berikutnya (no. 5183) disebutkan bahwa Abu Usaid z mengundang Nabi n untuk menghadiri pernikahannya. Ketika itu, yang melayani tamu-tamu undangan adalah pengantin wanita, istri Abu Usaid.
Al-Imam al-Bukhari t membawakan hadits di atas dalam bab yang beliau beri judul Qiyamul Mar’ah ‘alar Rajul fil ‘Arus wa Khidmatuhum bin Nafs. Artinya, bab tentang wanita mengurusi sendiri tamu-tamu lelaki dalam acara pernikahan dan melayani mereka (menghidangkan makan dan minumnya)2.
Ketika al-Imam Malik t ditanya tentang masalah ini, beliau membolehkannya, sebagaimana dalam al-Muwaththa’.
Hadits dalam Shahih Muslim ada yang menunjukkan kebolehan khalwat dengan wanita, menurut anggapan mereka. Berduaan dengan seorang lelaki saja boleh, apalagi kumpul rame-rame, dibarengi oleh suami pula.
Anas bin Malik z menceritakan, pernah ada seorang wanita berkata kepada Rasulullah n,
يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ لِي إِلَيْكَ حَاجَةً. فَقَالَ: يَا أُمَّ فُلاَنٍ، انْظُرِيْ أَيَّ السِّكَكِ شِئْتِ، حَتَّى أَقْضِيَ لَكِ حَاجَتَكِ. فَخَلَا مَعَهَا فِي بَعْضِ الطُّرُقِ حَتَّى فَرَغَتْ مِنْ حَاجَتِهَا.
“Wahai Rasulullah, saya ada keperluan denganmu.” Rasulullah n pun bersabda, “Wahai Ummu Fulan, lihatlah di jalan mana yang Anda inginkan (untuk menyampaikan keperluan Anda) hingga saya bisa menunaikan keperluan tersebut.” Rasulullah n pun menyepi dengan wanita tersebut di suatu jalan hingga ia selesai dari keperluannya. (HR. Muslim no. 5998)
2. Seorang istri tidak terlarang sama sekali menyambut tamu laki-laki suaminya walaupun suaminya tidak ada.
Mereka berargumen hadits riwayat al-Imam Muslim t dalam Shahihnya (no. 5641), bahwasanya Rasulullah n bersabda,
لاَ يَدْخُلَنَّ رَجُلٌ بَعْدَ يَوْمِي هَذَا عَلَى مُغِيْبَةٍ إِلاَّ وَمَعَهُ رَجُلٌ أَوِ اثْنَانِ
“Sekali-kali tidak boleh setelah hariku ini seorang lelaki masuk menemui wanita yang sedang ditinggal pergi oleh suaminya3, kecuali jika bersamanya ada satu atau dua orang lelaki lagi4.”
3. Tidak ada larangan bagi wanita untuk bekerja di kantor yang di situ ada seorang pegawai lelaki atau lebih. Demikian pula hadir dalam majelis ilmu dan zikir yang ikhtilath bersama para lelaki, selama si wanita berhijab. Argumen yang dipakai ada beberapa perkara, di antaranya: para sahabiyat dahulu ikut serta berjihad dengan kaum muslimin dan Aisyah x memberikan pengajaran kepada para sahabat yang masih tersisa dan memberi fatwa kepada mereka.
Demikian di antara syubhat yang diembuskan di tengah-tengah kaum muslimin yang berusaha kaffah dalam hal beragama. Lalu, bagaimana menjawab syubhat-syubhat di atas?
Berikut ini kita nukilkan fatwa dari al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyyah wal Ifta’ yang membantahnya.
1. Apabila membahas hukum sebuah masalah Islami, seorang muslim wajib melihat dalil-dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah yang berkaitan dengan masalah tersebut. Demikian pula dalil-dalil syar’i yang mengikutinya.
Ini adalah jalan yang paling lurus dan terbimbing untuk menepati al-haq. Saat membahasnya, seseorang tidak cukup hanya memandang satu sisi dari dalil yang ada tanpa melihat sisi yang lain. Apabila seperti ini, pandangannya kurang. Ia serupa dengan orang yang menyimpang dan pengikut hawa nafsu yang suka mengikuti nash-nash yang mutasyabih (yang menurut mereka bisa ditarik-tarik menuruti selera hawa nafsu mereka) demi mencari fitnah dan ingin menakwilnya (menafsirkannya dengan menyimpang/batil) sesuai dengan kemauan hawa nafsu mereka5.
Dalam masalah semisal ini, kita wajib melihat dalil-dalil al-Kitab dan as-Sunnah tentang:
• Wajibnya seorang wanita menutup auratnya6
• Haramnya pandangan mata yang khianat7
• Tujuan syariat memerintahkan menjaga kehormatan dan nasab/ keturunan, haramnya melanggar dan melampaui batasannya, haramnya segala sarana yang mengantarkan kepada hal-hal tersebut berupa:
– khalwat seorang wanita dengan lelaki yang bukan suaminya dan bukan mahramnya8.
– wanita membuka aurat dan wajahnya di hadapan lelaki bukan mahram.
– campur baur lelaki dan perempuan (ikhtilath) yang bisa mengundang tuduhan macam-macam.
– lelaki tidur satu selimut dengan lelaki lain, demikian pula wanita dengan wanita9.
Begitu pula hal-hal semisalnya yang terkadang berakhir dan berujung dengan dilakukannya kejahatan/dosa yang keji.
Apabila kita memandang seluruh hal yang disebutkan di atas, sudah menjadi kemestian bahwa apa yang disebutkan dalam hadits Sahl z tentang istri Abu Usaid z yang menyiapkan makanan minuman untuk tamu-tamu suaminya dan ia menghidangkan sendiri ke hadapan mereka, dibawa kepada pemahaman bahwa Ummu Usaid x saat itu dalam keadaan menutup auratnya, keadaannya aman dari gangguan/godaan, serta tidak terjadi khalwat dan ikhtilath. Ummu Usaid x sekadar membuat dan menyiapkan minuman untuk tamu-tamu suaminya tanpa ikut duduk-duduk bersama mereka, karena tidak ada dalam hadits yang menunjukkan Ummu Usaid duduk bersama tamu-tamu suaminya sebagaimana yang disebutkan dalam syubhat di atas.
2. Berdasarkan pernyataan dalam jawaban pertama, dikatakan juga dalam hadits,
لاَ يَدْخُلَنَّ رَجُلٌ بَعْدَ يَوْمِي هَذَا عَلَى مُغِيْبَةٍ إِلاَّ وَ مَعَهُ رَجُلٌ أَوِ اثْنَانِ
“Sekali-kali tidak boleh setelah hariku ini seorang lelaki masuk menemui wanita yang sedang ditinggal pergi suaminya, melainkan bersamanya ada seorang atau dua orang lelaki lain.”
bahwa hadits ini dibawa kepada pemahaman apabila memang terpaksa atau ada kebutuhan untuk masuk menemui wanita yang suami atau mahramnya sedang tidak berada di tempat; serta aman dari fitnah dan jauhnya mereka dari ingin berbuat yang keji. Dengan demikian, pembolehan tersebut tidak berlaku mutlak.
Apa yang disebutkan ini bukanlah penakwilan dalil dengan ra’yu/akal. Penjelasan ini justru dibangun di atas tujuan syar’i yang dipahami dari sekumpulan dalil yang menyebutkan tentang penjagaan kemaluan dan nasab, haramnya melanggar kehormatan, dan dilarangnya segala sarana yang menyampaikan ke arah sana.
Di antaranya adalah hadits yang disebutkan di sini, Nabi n mempersyaratkan bolehnya laki-laki masuk menemui wanita yang suaminya sedang tidak ada apabila ada orang lain bersamanya sehingga hilanglah khalwat yang dilarang, dalam rangka menjauhkan diri dari tuduhan berbuat yang tidak senonoh dan merealisasikan keadaan aman dari fitnah.
3. Secara syar’i tidak ada larangan bagi wanita untuk memberikan pengajaran, nasihat, dan fatwa (apabila memang dia ahlinya), tetapi dengan tetap memerhatikan hijab yang syar’i, aman dari gangguan, dan tidak ikhtilath, sebagaimana ketentuan ini ada pada Aisyah x, ummahatul mukminin yang lain, dan para sahabiyah selain mereka—semoga Allah l meridhai mereka semuanya.
Hal ini berdasarkan firman Allah l tentang ummahatul mukminin,
“Dan ingatlah10 apa yang dibacakan di rumah-rumah kalian dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabi).” (al-Ahzab: 31)
Seorang wanita boleh keluar bersama mujahidin (orang-orang yang berjihad) untuk membantu mereka menyiapkan air minum, memberikan pertolongan kepada orang-orang yang terluka, merawat orang yang tertimpa musibah, dan semisalnya. Akan tetapi, mereka keluar disertai suami atau mahram mereka, demi mewujudkan kemaslahatan dan menjaga kehormatan mereka. Demikianlah yang terjadi di zaman Nabi n.
Berbeda halnya yang diperbuat negeri-negeri kafir. Para wanita mereka keluar menyertai pasukan yang diterjunkan ke medan tempur, tanpa ada suami dan tanpa mahram yang menemani mereka, dengan tujuan menjadi wanita-wanita penghibur pasukan atau menyebarkan perbuatan keji di tengah orang-orang yang diperangi. Mereka juga menjadikan para wanita sebagai tentara untuk keperluan itu atau untuk terjun langsung di medan tempur, padahal tidak ada kewajiban angkat senjata bagi wanita. Wa billahi at-taufiq11.
Terkait dengan hadits Sahl ibnu Sa’d z di atas yang dijadikan dalil untuk mendukung syubhat yang kekuatannya hanya seperti sarang laba-laba, al-Hafizh Ibnu Hajar t menyebutkan beberapa faedahnya. Berikut ini petikannya.
• Seorang istri dibolehkan melayani makan dan minum suaminya beserta orang-orang yang diundang suaminya, apabila aman dari gangguan/godaan dan memerhatikan pakaian penutup yang wajib dikenakan oleh seorang wanita ketika berhadapan dengan laki-laki yang bukan suami/mahramnya.
• Dalam acara pernikahan seperti itu, suami diperbolehkan menyuruh istrinya melayani/menyiapkan makan dan minum untuk tamu-tamu.
• Boleh meminum minuman yang tidak memabukkan dalam walimah12 (resepsi pernikahan) dan boleh mengutamakan pemuka suatu kaum dengan sajian khusus yang tidak diberikan kepada selainnya dalam acara tersebut. (Fathul Bari, 9/312)
Keterangan al-Hafizh di atas cukup jelas bagi kita bahwa apa yang dilakukan Ummu Usaid x dengan keluar melayani tamu-tamu laki-laki dikarenakan aman dari fitnah dan ia sendiri memakai hijab. Sehingga tidak bisa menjadi dalil untuk membenarkan perbuatan seorang wanita yang keluar ikut menemui tamu lelaki dan duduk-duduk berbincang dengannya, walau ada suaminya bersamanya.
Adapun hadits Anas bin Malik z tentang seorang wanita berbincang berduaan dengan Rasulullah n diterangkan oleh al-Imam an-Nawawi t sebagai berikut.
Rasulullah n berdiri bersama wanita itu di sebuah jalan yang biasa dilewati orang-orang guna memenuhi keperluan si wanita (karena beliau sebagai pemimpin umat). Rasulullah n memberi fatwa kepadanya dalam keadaan berdua saja. Namun, apa yang terjadi tersebut bukanlah khalwat dengan wanita ajnabiyah karena Rasulullah n berduaan dengan si wanita di jalan umum, tempat lalu lalang manusia. Mereka bisa melihat beliau dan melihat si wanita. Hanya saja mereka tidak bisa mendengar ucapan si wanita karena masalahnya tidak diperdengarkan oleh Rasulullah n kepada orang lain (urusan rahasia yang hanya diketahui oleh Rasulullah n). (al-Minhaj, 15/86)
Adapun hadits,
لاَ يَدْخُلَنَّ رَجُلٌ بَعْدَ يَوْمِي هَذَا عَلَى مُغِيْبَةٍ إِلاَّ وَ مَعَهُ رَجُلٌ أَوِ اثْنَانِ
“Sekali-kali tidak boleh setelah hariku ini seorang lelaki masuk menemui wanita yang sedang ditinggal pergi suaminya, kecuali bersamanya ada seorang atau dua orang lelaki lain.”
Yang tampak dari hadits ini, kata al-Imam an-Nawawi t, menunjukkan bolehnya dua atau tiga orang lelaki berkhalwat dengan seorang wanita. Namun, yang masyhur menurut ulama mazhab kami (yakni mazhab Syafi’iyah), khalwat yang seperti itu tetap haram. Adapun hadits di atas ditafsirkan bahwa hal itu dibolehkan hanya pada orang-orang yang amat jauh kemungkinannya terjatuh dalam perbuatan fahisyah/keji karena kesalehan mereka, muru’ah (penjagaan kewibawaan) mereka, atau hal lainnya. Al-Qadhi t mengisyaratkan semisal penafsiran ini. (al-Minhaj, 14/379)
Sebelum menutup pembicaraan ini, kita bawakan satu hadits yang mungkin dianggap mendukung syubhat mereka di atas tentang kebolehan istri menerima tamu suaminya saat suami tidak di rumah.
Abu Hurairah z, ia berkata bahwa suatu hari atau suatu malam, Rasulullah n keluar dari rumahnya. Ternyata di jalan beliau berjumpa dengan Abu Bakr ash-Shiddiq z dan Umar ibnul Khaththab z.
“Apa yang membuat kalian berdua keluar dari rumah kalian di waktu seperti ini?” tanya Rasulullah n kepada keduanya.
“Rasa lapar, wahai Rasulullah,” jawab keduanya.
Rasulullah n bersabda, “Aku, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, juga dikeluarkan oleh rasa yang mengeluarkan kalian. Ayo kalian ikut aku!”
Mereka pun berjalan bersama beliau hingga mendatangi rumah seorang lelaki dari kalangan Anshar. Namun, ternyata ia sedang tidak berada di rumahnya. Tatkala istri orang Anshar itu melihat Rasulullah n, ia menegur dengan berkata, “Marhaban, ahlan.”
Rasulullah n bertanya kepada istri orang Anshar tersebut, “Di mana Fulan (menyebut nama si lelaki Anshar)?”
Istrinya menjawab, “Dia pergi mencari air tawar untuk kami.”
Tiba-tiba lelaki Anshar itu datang. Dia melihat keberadaan Rasulullah dan dua sahabatnya. “Alhamdulillah, tidak ada seorang pun pada hari beroleh tamu yang lebih mulia daripadaku,” ucapnya girang.
Dia lalu pergi mengambil jamuan, kemudian datang kembali dengan membawa setandan kurma. Pada tandan tersebut ada kurma yang masih muda, kurma yang basah (ruthab), dan kurma yang sudah kering (tamr).
“Silakan makan,” tuturnya. Setelahnya, ia mengambil pisau besar untuk menyembelih hewan. Melihat hal itu, Rasulullah n sempat berpesan, “Jangan engkau sembelih hewan yang masih menyusui anaknya.”
Lelaki Anshar itu lalu menyembelih seekor kambing untuk tamu-tamunya yang mulia. Mereka lalu makan dari hidangan yang diberikan. Selain itu, mereka juga makan dari setandan kurma dan meminum minuman. Ketika merasa kenyang dan puas merasakan minum, Rasulullah n mengingatkan kepada Abu Bakr dan Umar, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalian sungguh-sungguh akan ditanya tentang kenikmatan ini pada hari kiamat. Rasa lapar mengeluarkan kalian dari rumah kalian. Kemudian kalian tidak kembali sampai kalian beroleh nikmat ini.” (HR. Muslim)
Ada beberapa faedah yang bisa dipetik dari hadits ini, kata al-Imam an-Nawawi t. Di antaranya, boleh mendengar ucapan wanita ajnabiyah dan menjawab/membalas ucapannya karena suatu kebutuhan. Boleh pula bagi seorang istri mengizinkan seseorang masuk ke rumah suaminya dengan ketentuan si istri yakin suaminya tidak membencinya. Hanya saja, si tamu tidak boleh berkhalwat dengan si istri dengan khawat yang diharamkan.
Keterangan al-Imam an-Nawawi t di atas cukuplah memberikan ketenangan kepada kita bahwa apa yang dimaukan oleh hadits tersebut tidaklah seperti yang mereka maukan. Hadits tersebut sama sekali tidak menyebutkan terjadinya khalwat yang diharamkan. Selain itu, pembolehan yang ada dalam hadits tersebut tidaklah berlaku mutlak, tetapi ada syarat dan ketentuannya seperti keterangan di atas.
Demikianlah sedikit penjelasan yang dapat diberikan kepada pihak yang mencoba menggugat aturan syariat dengan melemparkan syubhat di tengah-tengah umat yang berusaha berpegang dengan agama, terkait dengan masalah hubungan lelaki dan wanita yang bukan mahram.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Catatan Kaki:
1 Kata al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani t, namanya Salamah bintu Wuhaib (Fathul Bari, 9/312).
2 Ini adalah fikih/pemahaman al-Imam al-Bukhari terhadap hadits tersebut. Artinya, beliau memandang bolehnya wanita melayani tamu-tamu suaminya. Masalah ini akan diterangkan kemudian, insya Allah.
3 Sama saja apakah suaminya sedang bepergian keluar kota atau hanya sekadar keluar rumah untuk sebuah keperluan. (al-Minhaj, 14/379)
4 Hadits ini berkaitan dengan kisah Asma’ bintu Umais x. Disebutkan oleh Abdullah ibnu ‘Amr ibnul Ash c bahwa ada beberapa orang lelaki dari Bani Hasyim masuk ke rumahnya Asma bintu Umais yang saat itu statusnya adalah istri Abu Bakr ash-Shiddiq z. Lalu masuk pula Abu Bakr ash-Shiddiq z. Abu Bakr
melihat mereka, ia pun tidak suka dengan masuknya mereka ke rumahnya dalam keadaan tadi ia tidak berada di rumah. Ia ceritakan hal tersebut kepada Rasulullah n dan mengatakan, “Aku sebenarnya tidak melihatnya selain kebaikan.”
Rasulullah n bersabda, “Sungguh Allah telah menyucikannya dari hal itu.”
Setelah itu, Rasulullah n naik ke atas mimbar dan mengatakan hadits di atas.
5 Allah l berfirman,
“Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah.” (Ali Imran: 7)
6 Allah l berfirman,
Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Hal itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal (sebagai perempuan baik-baik) hingga mereka tidak diganggu. (al-Ahzab: 59)
Jilbab adalah pakaian yang menutup dari atas kepala terus sampai ke kaki. Kalau hanya menutupi kepala sampai dada, namanya khimar atau kerudung dalam bahasa kita.
Allah l juga berfirman,
“Hendaklah mereka menutupkan khimar/kain kerudung ke dada mereka dan janganlah menampakkan perhiasan mereka selain kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka,atau wanita-wanita mereka, atau budak-budak laki-laki yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (syahwat terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.” (an-Nur: 31)
7 Allah l berfirman,
Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka, hal itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (an-Nur: 30)
Dia Yang Mahasuci juga memperingatkan,
“Dia mengetahui mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh dada-dada.” (Ghafir: 19)
Mata yang khianat maksudnya mata yang mencuri pandang kepada sesuatu yang haram dilihat dalam keadaan si pelaku tidak ingin ada seorang pun mengetahui apa yang dilakukannya.
Ayat ini adalah ancaman dari Allah l bagi yang melakukannya.
8 Nabi n pernah memperingatkan tentang khalwat seorang wanita dengan kerabat laki-laki dari pihak suaminya (ipar dan semisalnya),
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلَى النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: اَلْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Hati-hati kalian dari masuk ke tempat para wanita.” Ada seseorang dari kalangan Anshar berkata, “Wahai Rasulullah, apa pendapatmu dengan hamwu/ipar?” “Al-Hamwu adalah maut,” jawab Nabi. (HR. al-Bukhari)
Ada pula hadits Rasulullah n yang berbunyi,
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ
“Janganlah sekali-kali seorang lelaki berkhalwat dengan seorang wanita kecuali bersama mahram si wanita.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
9 Abu Sa’id al-Khudri z mengabarkan bahwa Rasulullah n bersabda,
لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ، وَلاَ يُفْضِي الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ، وَلاَ تُفْضِي الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ.
“Seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki yang lain. Demikian pula, seorang wanita tidak boleh melihat aurat wanita yang lain. Seorang lelaki tidak boleh berkumpul/bersentuhan langsung dengan lelaki lain dalam satu pakaian/kain. Demikian pula seorang wanita tidak boleh berkumpul/bersentuhan langsung dalam satu pakaian/kain dengan wanita lain.” (HR. Muslim no. 766)
Larangan satu pakaian/kain atau selimut ini apabila di antara keduanya tidak ada penghalang, misalnya keduanya berbaring dalam keadaan tidak berbusana di bawah satu selimut/kain. Demikian keterangan al-Imam an-Nawawi t dalam penjelasannya terhadap hadits di atas.
Beliau juga mengatakan haramnya menyentuh aurat orang lain di tempat mana saja dari tubuhnya. Ini adalah masalah yang disepakati.
Namun, pada praktiknya banyak orang bermudah-mudah dalam masalah ini. Di antara yang dianggap biasa adalah orang-orang berkumpul di tempat pemandian umum, seperti kolam renang yang ada sekarang, dengan saling melihat aurat dan bersentuhan satu dengan lainnya.
Pengharaman saling melihat aurat dan berkumpul tanpa penghalang di bawah satu kain/selimut ini berlaku bagi selain suami istri. Adapun suami istri dihalalkan saling melihat aurat pasangannya walaupun ada perselisihan pendapat dalam hal melihat kemaluan. (al-Minhaj, 3/253—254)
10 Mengingat untuk diri sendiri dan mengingatnya dengan menyampaikan/mengajarkannya kepada yang lain.
11 Fatwa no. 5082, kitab Fatawa al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyyah wal Ifta’, 17/81—85.
Ketua: Asy- Syaikh Ibnu Baz. Wakil: Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi. Anggota: Asy-Syaikh Abdullah ibnu Qu’ud.
12 Kurma yang lama direndam bisa menjadi khamr, minuman yang memabukkan. Adapun Ummu Usaid merendam kurma tersebut dalam waktu yang singkat, sejak tengah malam dan diminum saat tengah hari sehingga belum berubah menjadi khamr. Apabila belum menjadi khamr berarti tidak memabukkan. (Fathul Bari, 9/313)