(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Isma’il Muhammad Rijal, Lc.)
Ishaq bin Ibrahim al-Hanzhali berkata, “Tidak ada satu pun hadits sahih dari Nabi n tentang keutamaan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.”
Takhrij Atsar1
Atsar Ishaq bin Ibrahim al-Hanzhali t diriwayatkan oleh Ibnu Asakir t dalam Tarikh Dimasyq (59/106) dan Ibnul Jauzi t dalam al-Maudhu’at (2/24) melalui jalan Zhahir bin Thahir, dari Ahmad bin al-Hasan al-Baihaqi, dari Abu Abdillah al-Hakim, dari Abul Abbas Muhammad bin Ya’qub bin Yusuf al-‘Asham, dari bapaknya, dari Ishaq bin Ibrahim al-Hanzhali, yang lebih dikenal dengan nama Ishaq bin Rahuyah t.
Atsar ini dha’if (lemah) baik dari tinjauan sanad maupun matannya.
Dalam sanad, ada seorang perawi bernama Zhahir bin Thahir Abul Qasim asy-Syahhami.
Tentangnya, adz-Dzahabi t berkata, “Sama’ (pengambilan riwayatnya) sahih, namun ia menyia-nyiakan shalatnya sehingga banyak huffazh (ahli hadits) meninggalkan riwayat darinya.” (Mizanul I’tidal, 3/95)
Adapun matannya, sangat tampak keganjilan. Bagaimana tidak, atsar Ishaq ini menyelisihi sekian banyak hadits marfu’ dari Rasulullah n dan bertentangan dengan atsar-atsar sahih tentang keutamaan sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan c.
Ibnu Asakir t mengisyaratkan penyelisihan tersebut. Beliau berkata setelah meriwayatkan atsar Ishaq, “Riwayat paling sahih tentang keutamaan Mu’awiyah z adalah hadits Abu Hamzah dari Ibnu Abbas c bahwa Mu’awiyah adalah sekretaris Nabi n, diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya.
Kemudian hadits Irbadh (bin Sariyah z), (Rasulullah n mendoakan Mu’awiyah),
اللَّهُمَّ عَلِّمْهُ الْكِتَابَ
“Ya Allah, ajarilah Mu’awiyah al-Kitab.”
Juga hadits Ibnu Abi ‘Amirah z (Rasulullah n mendoakan Mu’awiyah),
اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ هَادِيًا مَهْدِيًّا
“Ya Allah, jadikanlah Mu’awiyah seorang yang mendapat hidayah dan terbimbing.” (Tarikh Dimasyq [59/106])
Sebagian riwayat sahih tersebut cukup sebagai bantahan bagi mereka yang menyatakan tidak ada sama sekali riwayat mengenai keutamaan Mu’awiyah bin Abi Sufyan c.2
Mempermainkan Hadits-Hadits Nabi n adalah Jalan Ahli Bid’ah
Hadits dan atsar maudhu’ (palsu) atau dhaif (lemah), seringkali dijadikan alat memerangi Islam, bahkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits sahih tidak ketinggalan dipelintir makna dan pemahamannya kepada makna batil, menurut hawa nafsu mereka.
Atsar Ishaq bin Rahuyah dapat kita jadikan sebagai sebuah contoh. Kandungan riwayat Ishaq adalah vonis bahwa tidak ada satu pun hadits sahih menetapkan keutamaan Mu’awiyah z. Jadilah atsar ini sebagai dalih untuk mendhaifkan semua riwayat tentang keutamaan beliau z.
Syubhat ini sudah barang tentu memberikan pengaruh buruk, terutama bagi mereka yang tidak mengetahui hadits-hadits Nabi n. Lebih-lebih ucapan ini dinisbatkan kepada seorang pemuka ahli hadits, Ishaq bin Ibrahim bin Makhlad al-Hanzhali Abu Muhammad bin Rahuyah al-Marwazi t (wafat 238 H), sahabat karib al-Imam Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani t (wafat 241 H).
Akan tetapi, alhamdulillah, syubhat ini terbantah dengan terbuktinya kelemahan riwayat baik dari sisi matan maupun sanadnya.
Bahkan, seandainya pun atsar ini sahih, bisa ditakwilkan kepada makna bahwa Ishaq mungkin saja mengucapkannya ketika belum mengetahui riwayat-riwayat sahih tentang keutamaan Mu’awiyah z. Takwil ini kita tetapkan karena telah terbukti banyak riwayat sahih tentang keutamaan Mu’awiyah z. Selain itu, ahlul hadits juga bersepakat tentang kemuliaan beliau sebagai salah seorang sahabat Rasulullah n.
Pembaca rahimakumullah, untuk lebih jelas melihat sepak terjang musuh-musuh Allah l—seperti Syiah Rafidhah—dalam hal mempermainkan riwayat, kita akan telaah bersama beberapa hadits lemah yang mereka jadikan sandaran untuk mencela Mu’awiyah. Di samping itu, kita juga akan menelaah beberapa hadits atau atsar sahih yang mereka selewengkan maknanya demi menjatuhkan kehormatan Amirul Mukminin Mu’awiyah bin Abi Sufyan c.
Sebagian riwayat tersebut sengaja ditampilkan sebagai peringatan bagi seluruh kaum muslimin dari pemikiran pengikut hawa nafsu dan semoga menjadi bekal agar kita tidak lagi memedulikan bualan orang-orang yang berpenyakit. Hal ini karena di balik kefasihan yang mereka miliki, ada racun yang demikian berbahaya bagi hati seorang mukmin. Wallahul musta’an.
Di antara Hadits-Hadits Lemah berisi Celaan kepada Mu’awiyah z
Hadits Pertama: Rasulullah n memerintahkan sahabat membunuh Mu’awiyah bin Abi Sufyan c.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah n bersabda,
إِذَا رَأَيْتُمْ مُعَاوِيَةَ عَلَى مِنْبَرِي فَاقْتُلُوهُ
“Apabila kalian melihat Mu’awiyah di atas mimbarku, bunuhlah ia!”
Syiah Rafidhah dan musuh-musuh Allah l yang bersama mereka menonjolkan hadits ini untuk memuaskan kedengkian mereka kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan c. Hadits ini mereka jadikan sebagai salah satu dalil untuk mengafirkan Mu’awiyah z.
Sebagai jawabannya, kita katakan, “Wahai Rafidhah, kalian adalah kaum yang telah tersesat dari jalan kebenaran. Buku-buku kalian dipenuhi celaan kepada Islam, sahabat, bahkan istri-istri Rasul n dan ahlul bait. Oleh karena itu, kami tidak percaya dengan ucapan yang muncul dari mulut-mulut kotor kalian, termasuk hadits yang kalian bawakan ini.
Wahai Rafidhah, bagaimana mungkin kita menerima celaan kalian atas Mu’awiyah z padahal salaful ummah, para ulama ahlul hadits, dan kaum muslimin telah bersepakat tentang keutamaan Mu’awiyah z? Bahkan, tidak ada seorang pun ulama Ahlus Sunnah yang mencela beliau, apalagi berkeyakinan halalnya pembunuhan atas beliau.
Terkait dengan hadits yang kalian bawakan, ketahuilah bahwa hadits ini maudhu’ (palsu). Seluruh jalan periwayatannya batil.
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani t menyebutkan jalan-jalan hadits ini dalam Silsilah adh-Dha’ifah dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri, Abdullah bin Mas’ud, Sahl bin Hanif, dan secara mursal dari al-Hasan al-Bashri.3
Seluruh ulama hadits menganggapnya sebagai kedustaan. Di antara mereka adalah Ayyub as-Sikhtiyani sebagaimana disebutkan Ibnu ‘Adi dalam al-Kamil fi Dhu’afa ar-Rijal (5/101), al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam al-‘Ilal (hlm. 138), Abu Zur’ah ar-Razi sebagaimana dinukil dalam adh-Dhu’afa (2/427), al-Bukhari dalam Tarikh al-Ausath (1/256), Ibnu Hibban al-Busti dalam al-Majruhin (1/157, 250 dan 2/172), Ibnu ‘Adi dalam al-Kamil (2/146, 209, 5/101, 200, 314 dan 7/83), Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq (59/155—158), Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at (2/24), demikian pula adz-Dzahabi dalam al-Mizan, dan Ibnu Katsir rahimahumullah.
Al-Bukhari t berkata setelah menyebutkan illat (cacat) hadits ini dari jalan yang paling masyhur,
لَيْسَ لَهَا أُصُولٌ، وَلاَ يَثْبُتُ عَنِ النَّبِيِّ n خَبَرٌ عَلَى هَذَا النَّحْوِ فِي أَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ n، إِنَّمَا يَقُولُهُ أَهْلُ الضَّعْفِ.
“Hadits ini tidak ada asalnya. Tidak ada satu kabar pun yang semisal ini (berisi perintah membunuh atau celaan) dari Nabi n terhadap seorang sahabat pun. Hanyalah orang-orang lemah yang berbicara seperti itu.” (Tarikh al-Ausath 1/256)
Al-Jauzaqani berkata, “Hadits ini maudhu’ (palsu), batil, tidak ada asalnya dalam hadits-hadits (Rasulullah n). Hadits ini tidak lain adalah hasil perbuatan ahli bid’ah para pemalsu hadits. Semoga Allah l menghinakan mereka di dunia dan akhirat. Barang siapa meyakini (kandungan) hadits palsu ini dan yang semisalnya, atau terbetik dalam hatinya bahwa hadits-hadits ini keluar dari lisan Rasulullah n, sungguh ia adalah seorang zindiq….” (al-Abathil wal Manakir 1/200)
Tindak-tanduk pengikut hawa nafsu memang sangat membingungkan, sekaligus menunjukkan kerusakan akal dan hatinya. Mereka berhujah dengan hadits maudhu’ (palsu) di atas, sementara itu mereka menutup mata terhadap hadits-hadits sahih tentang keutamaan Mu’awiyah bin Abi Sufyan c.
Pujian dan doa Rasulullah n untuk sahabat Mu’awiyah disembunyikan. Kedudukan Mu’awiyah sebagai saudara ipar Rasulullah n juga mereka lupakan. Seolah-olah tidak ada berita itu. Justru berita-berita palsu ditampakkan dan disebarkan. Inikah sikap keadilan?
Hadits palsu ini, kalau dicermati lebih dalam, justru mengandung celaan kepada seluruh sahabat, bahkan ahlul bait, semisal al-Hasan bin ‘Ali c. Sebuah kejadian tarikh yang masyhur dilalaikan oleh para pencela Mu’awiyah z, yaitu ‘Amul Jama’ah (Tahun Persatuan) ketika al-Hasan bin Ali c menyerahkan kekhilafahan kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan c dan berbai’at kepada beliau pada tahun 41 H. Padahal, al-Hasan memiliki pasukan yang besar dan mampu mengobarkan pertempuran yang hebat.
Wahai Rafidhah, mengapa al-Hasan bin Ali c tidak membunuh Mu’awiyah bin Abi Sufyan c serta melaksanakan perintah dan wasiat kakeknya, Rasulullah n—kalau hadits ini memang benar?4
Terakhir, wahai Syiah Rafidhah, ketahuilah bahwa hadits maudhu’ ini diriwayatkan pula dengan lafadz,
إِذَا رَأَيْتُمْ مُعَاوِيَةَ عَلَى مِنْبَرِي فَاقْبَلُوهُ
“Jika kalian melihat Mu’awiyah di atas mimbarku, terimalah ia.”
Mengapa kalian tidak mengambil riwayat yang kedua ini, sebagaimana kalian memakai riwayat pertama yang sama-sama berita dusta?
As-Suyuthi dalam al-La’ali al-Mashnu’ah (1/389) berkata, “Sesungguhnya riwayat kedua ini lebih masuk akal daripada riwayat pertama.”
Hadits Kedua: Mu’awiyah z difitnah sebagai ahli maksiat, memakai baju sutra, dan menghamparkan kulit harimau sebagai tempat duduk.
Tuduhan keji ini dilandasi oleh sebuah riwayat panjang, yang dikeluarkan oleh al-Imam Abu Dawud dalam as-Sunan, Bab “Julud an-Numur wa as-Siba’ (Kulit-Kulit Harimau dan Hewan Buas)” (11/176 no. 3602). Dalam hadits itu dikatakan,
…. قَالَ: يَا مُعَاوِيَةُ، إِنْ أَنَا صَدَقْتُ فَصَدِّقْنِي، وَإِنْ أَنَا كَذَبْتُ فَكَذِّبْنِي. قَالَ: أَفْعَلُ. قَالَ: فَأَنْشُدُكَ بِاللهِ، هَلْ تَعْلَمُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ n نَهَى عَنْ لُبْسِ الذَّهَبِ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَأَنْشُدُكَ بِاللهِ، هَلْ تَعْلَمُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ n نَهَى عَنْ لُبْسِ الْحَرِيرِ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَأَنْشُدُكَ بِاللهِ، هَلْ تَعْلَمُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ n نَهَى عَنْ لُبْسِ جُلُودِ السِّبَاعِ وَالرُّكُوبِ عَلَيْهَا؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَوَاللهِ، لَقَدْ رَأَيْتُ هَذَا كُلَّهُ فِي بَيْتِكَ، يَا مُعَاوِيَةُ. فَقَالَ مُعَاوِيَةُ: قَدْ عَلِمْتُ أَنِّي لَنْ أَنْجُوَ مِنْكَ، يَا مِقْدَامُ
Miqdam z berkata,“Wahai Mu’awiyah, jika aku benar katakan benar, namun jika aku salah, katakanlah salah.” Mu’awiyah menjawab, “Baiklah.” Kata Miqdam, “Dengan nama Allah, tahukah engkau bahwa Rasulullah n telah melarang untuk memakai emas (yakni bagi kaum lelaki, -pen.)?” Mu’awiyah berkata, “Benar.” Kata Miqdam, “Dengan nama Allah, tahukah engkau bahwa Rasulullah n telah melarang untuk memakai sutra?” Mu’awiyah berkata, “Benar.” Kata Miqdam, “Dengan nama Allah, tahukah engkau bahwa Rasulullah n telah melarang memakai kulit hewan buas dan mendudukinya?” Mu’awiyah berkata, “Benar.” Lalu Miqdam berkata, “Demi Allah, sungguh aku menyaksikan semua itu ada di rumahmu, wahai Mu’awiyah.” Berkatalah Mu’awiyah, “Sungguh aku tahu, aku tidak akan selamat darimu, wahai Miqdam!”
Kisah ini dha’if (lemah), dalam sanadnya ada Baqiyyah bin al-Walid. Dia seorang mudallis dan melakukan tadlis taswiyah5, lebih-lebih ia meriwayatkan hadits ini dengan ‘an’anah dari gurunya.6
Seandainya pun hadits ini sahih, wajib bagi kita berhusnuzhan kepada seluruh sahabat Rasulullah n karena mereka adalah kaum yang telah diridhai oleh Allah l. Demikianlah adab yang dicontohkan oleh salaf. Tidak ada seorang pun ulama Ahlus Sunnah yang memahami bahwa hadits riwayat Abu Dawud di atas adalah celaan terhadap Mu’awiyah z.
Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahullah ketika mensyarah perkataan al-Miqdam bin al-Aswad z,
فَوَاللهِ، لَقَدْ رَأَيْتُ هَذَا كُلَّهُ فِي بَيْتِكَ، يَا مُعَاوِيَةُ
“Demi Allah, sungguh aku menyaksikan semua itu ada di rumahmu, wahai Mu’awiyah.”
Maksud Miqdam z, beliau melihat kemungkaran pada sebagian saudara atau keluarga Mu’awiyah. Telah diketahui bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan c tidak menyetujui hal itu dan tidak meridhainya. (Adapun masih adanya kemungkaran pada sebagian keluarga beliau), bisa jadi beliau tidak mengetahui kemungkaran tersebut atau beliau mengetahuinya dan telah melarangnya. Jika ada berita seperti ini tentang sahabat, kita wajib membawanya kepada makna yang baik sebagai bentuk husnuzhan kepada mereka. (Syarah Sunan Abu Dawud, asy-Syaikh Abdul Muhsin)
Hadits Ketiga: Mu’awiyah z dituduh mencela Ali bin Abi Thalib z dan memerintahkan rakyatnya mencela Ali z.
Tuduhan keji terhadap Mu’awiyah z ini mereka dasari dengan sebuah riwayat sahih yang mereka pelintir maknanya sesuai dengan hawa nafsu mereka. Dari ‘Amir bin Sa’d bin Abi Waqqash, ia berkata,
أَمَرَ مُعَاوِيَةُ سَعْدًا فَقَالَ: مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسُبَّ أَبَا تُرَابٍ؟ قَالَ: أَمَا مَا ذَكَرْتُ ثَلَاثًا قَالَهُنَّ رَسُولُ اللهِ، فَلَنْ أَسُبَّهُ، لَأَنْ تَكُونَ لِي وَاحِدَةٌ مِنْهُنَّ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ يَقُولُ لَهُ وَقَدْ خَلَّفَهُ فِي بَعْضَ مَغَازِيهِ فَقَالَ لَهُ عَلِيٌّ: يَا رَسُولَ اللهِ، تُخَلِّفُنِي مَعَ النِّسَاءِ وَالصِّبْيَانِ؟ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ: أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُونَ مِنِّي بِمَنْزِلَةِ هَرُونَ مِنْ مُوسَى إِلاَّ أَنَّهُ لاَ نُبُوَّةَ بَعْدِي. وَسَمِعْتُهُ يَقُولُ فِي يَوْمِ خَيْبَرٍ: لَأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ رَجُلًا يُحِبُّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيُحِبُّهُ اللهُ وَرَسُولُهُ.
Mu’awiyah memanggil Sa’d lalu bertanya, “Apa yang menghalangimu mencela Abu Turab?”7 Sa’d menjawab, “Apa yang aku sebutkan tentang tiga hal yang semuanya diucapkan oleh Rasulullah n kepada Ali z sehingga aku tidak mencelanya. Seandainya aku mendapatkan salah satu saja dari ketiganya, itu lebih baik bagiku daripada unta merah… Aku mendengar Rasulullah bersabda kepada Ali—ketika beliau tugaskan Ali tinggal di Madinah pada sebagian peperangan, dan saat itu Ali berkata, ‘Wahai Rasulullah n, apakah engkau tinggalkan aku beserta kaum wanita dan anak-anak kecil (dan aku tidak bisa ikut berperang)?’ Lalu beliau n bersabda, ‘Tidakkah engkau ridha, wahai Ali, kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa? Hanya saja (engkau bukan nabi), tidak ada kenabian sesudahku.’ Aku juga mendengar beliau n bersabda saat Perang Khaibar, ‘Sungguh esok aku akan berikan panji peperangan kepada seorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, ia pun dicintai oleh Allah l dan Rasul-Nya’.”
Hadits ini tidak diragukan kesahihannya, dikeluarkan oleh al-Imam Muslim t dalam ash-Shahih no. 2404.
Musuh-musuh Allah l dan Rasul-Nya melihat ada celah dalam hadits ini untuk dibawa kepada makna yang batil. Sisi tersebut adalah pertanyaan Mu’awiyah kepada Sa’d bin Abi Waqqash z:
مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسُبَّ أَبَا تُرَابٍ؟
“(Wahai Sa’d) apa yang menghalangimu mencela Abu Turab (julukan Ali bin Abi Thalib z)?”
Segera Syiah Rafidhah mengambil kesimpulan keji dari pertanyaan itu bahwa Mu’awiyah membenci Ali bin Abi Thalib serta mengajak manusia membenci dan mencela Ali bin Abi Thalib z.
Tidak ada seorang pun ulama Ahlus Sunnah yang memahami riwayat ini sebagai celaan atas Mu’awiyah z. Coba kalian sebutkan, wahai Rafidhah, siapakah ulama yang memaknai hadits ini dengan celaan kepada Mu’awiyah?
Sebaliknya, riwayat ini justru menyanjung Mu’awiyah dan Daulah Umawiyah, karena ada tuduhan dari kalangan Rafidhah bahwasanya Bani Umayyah telah berbuat makar dengan menyembunyikan dan melarang disampaikannya hadits-hadits Nabi tentang keutamaan Ali bin Abi Thalib z.
Hadits Muslim di atas justru sebaliknya. Dalam kisah di atas tampak bagaimana Mu’awiyah z menetapkan keutamaan Ali bin Abi Thalib yang disampaikan oleh Sa’d bin Abi Waqqash z. Hadits ini pun sampai kepada kita setelah melalui zaman yang cukup panjang, termasuk zaman Bani Umayyah.
Akan tetapi, Rafidhah dan pengikut mereka—sebagaimana biasanya—menyimpang dari jalan salaf (sahabat, tabi’in, dan atba’ut tabi’in) dan memilih jalan kesesatan. Mereka memalingkan maknanya kepada pemahaman yang sama sekali tidak pernah tebersit dalam benak ulama salaf.
Pembaca, mari kita simak keterangan salah seorang ulama Syafi’iyah, al-Imam an-Nawawi t. Beliau berkata, “Tidak ada (dalam perkataan Mu’awiyah) perintah kepada Sa’d untuk mencela Ali. Yang ada hanyalah pertanyaan kepada Sa’d tentang sebab yang menghalanginya dari mencela Ali. (Makna pertanyaan Mu’awiyah), “Wahai Sa’d, engkau menjauhkan diri dari mencela Ali, apakah (kau tinggalkan itu) karena wara’ (yakni karena Allah) atau karena takut (manusia)? Apabila engkau meninggalkannya karena wara’, engkau benar dan telah berbuat baik. Namun, apabila engkau meninggalkannya karena takut (manusia), urusannya lain.”
Sepertinya, Mu’awiyah menanyakan hal ini karena Sa’d (saat itu) berada di tengah-tengah kaum (Khawarij) yang mencela Ali bin Abi Thalib z, namun tidak mengikuti mereka. Maka dari itu, Mu’awiyah mengajukan pertanyaan ini. (Syarh Shahih Muslim, 15/175—176 atau 184—185)
Hadits Keempat: Mu’awiyah z dituduh memerintah pengikutnya memakan harta dengan cara yang batil dan memerintahkan mereka untuk bunuh diri.
Sekali lagi, ini adalah salah satu fitnah keji yang ditujukan kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan c, penulis wahyu Allah l dan orang kepercayaan Rasulullah n.
Dalam upaya menegakkan syubhat ini, mereka ketengahkan sebuar atsar sahih berikut. Seseorang berkata kepada Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash c,
إِنّ ابْنَ عَمِّكَ مُعَاوِيَةَ يَأْمُرُنَا أَنْ نَأْكُلَ أَمْوَالَنَا بَيْنَنَا بِالْبَاطِلِ وَنَقْتُلَ أَنْفُسَنَا. فَسَكَتَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عَمْرٍو سَاعَةً ثُمَّ قَالَ: أَطِعْهُ فِي طَاعَةِ اللهِ وَاعْصِهِ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ
“Sesungguhnya anak pamanmu, Mu’awiyah, menyuruh kami untuk memakan (merampas) harta sebagian kita dengan batil, dan memerintahkan kita untuk membunuh diri kita.” Abdullah bin ‘Amr terdiam sejenak (atas pertanyaan itu) lalu berkata, “Taatilah Mu’awiyah dalam hal ketaatan kepada Allah dan ingkarilah dalam hal kemaksiatan kepada Allah.”
Atsar ini sahih, al-Imam Muslim t meriwayatkannya dalam Shahih-nya “Kitabul Imarah”, bab “Wujubil Wafa’ bi Bai’ihi al-Khalifah al-Awwal fal Awwal” (no. 1844).
Sebagai jawaban atas syubhat ini, kita cukupkan keterangan al-Imam an-Nawawi t dalam Syarh Shahih Muslim (12/476). Beliau t berkata, “Sang penanya, ketika mendengar Abdullah bin Amr bin al-Ash c menyebutkan hadits tentang haramnya memberontak kepada khalifah yang pertama, sedangkan khalifah yang kedua dibunuh (karena menentang penguasa pertama), muncul dalam benak penanya bahwa sifat ini ada pada Mu’awiyah karena Ali telah dibai’at sebagai khalifah. Sang penanya menyangka bahwa biaya yang dikeluarkan oleh Mu’awiyah untuk para prajurit dan pengikutnya dalam peperangan berhadapan dengan Ali z (dahulu dalam Perang Shiffin, -pen.) termasuk memakan harta dengan batil dan termasuk bunuh diri, karena peperangan itu (Shiffin) adalah perang yang tidak haq….”
Telah berlalu dalam pembahasan Perang Shiffin bahwa perang tersebut adalah perang fitnah. Terjadi karena perbedaan ijtihad dua sahabat mulia dalam masalah penegakan qishash atas para pembunuh Utsman bin Affan z. Mereka berdua berhak mendapatkan pahala mujtahid, bukan celaan, sebagaimana dilontarkan oleh kaum Rafidhah yang telah buta mata hati mereka, wal ‘iyadzu billah.
Hadits Kelima: Mu’awiyah z didoakan kejelekan oleh Rasulullah n.
Dari Ibnu Abbas c, ia berkata,
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كُنْتُ أَلْعَبُ مَعَ الصِّبْيَانِ فَجَاءَ رَسُولُ اللهِ n فَتَوَارَيْتُ خَلْفَ بَابٍ، قَالَ: فَجَاءَ فَحَطَأَنِي حَطْأَةً وَقَالَ: اذْهَبْ وَادْعُ لِي مُعَاوِيَةَ. قَالَ: فَجِئْتُ فَقُلْتُ: هُوَ يَأْكُلُ. قَالَ: ثُمَّ قَالَ لِي: اذْهَبْ، فَادْعُ لِي مُعَاوِيَةَ. قَالَ: فَجِئْتُ فَقُلْتُ: هُوَ يَأْكُلُ. فَقَالَ: لَا أَشْبَعَ اللهُ بَطْنَهُ. قَالَ ابْنُ الْمُثَنَّى: قُلْتُ لِأُمَيَّةَ: مَا حَطَأَنِي؟ قَالَ: قَفَدَنِي قَفْدَةً
Saat aku bermain bersama anak-anak kecil, datanglah Rasulullah n. Aku pun bersembunyi di balik pintu. Beliau pun memegangku seraya berkata, “Pergilah engkau, panggil Mu’awiyah kepadaku.” (Aku pergi) lalu aku datang dan kukatakan, “Ia sedang makan.” Beliau lagi, “Pergilah engkau, panggil Mu’awiyah kepadaku.” (Aku pergi) lalu aku datang dan kukatakan, “Ia sedang makan.” Rasul pun bersabda,
لَا أَشْبَعَ اللهُ بَطْنَهُ
“Allah tidak akan mengenyangkan perutnya.”
Hadits ini sahih, diriwayatkan oleh Muslim (no. 4713).
Al-Imam Muslim t memahami sebagaimana yang dipahami oleh ulama salaf, ahlul hadits, bahwa Mu’awiyah bukan orang yang pantas mendapatkan doa kejelekan—lebih-lebih telah kita dengar hadits-hadits berisi pujian Rasulullah n kepada Mu’awiyah. Oleh karena itu, al-Imam Muslim menganggap hadits ini termasuk keutamaan Mu’awiyah z.
Sepintas, hadits ini memang doa kejelekan untuk Mu’awiyah bin Abu Sufyan z. Namun, salafus saleh justru memahaminya sebagai keutamaan sahabat yang mulia ini.
Oleh karena itu, Muslim mengeluarkan hadits ini untuk menetapkan keutamaan sahabat Mu’awiyah z. Beliau menyebutkan hadits ini dalam bab “Orang yang dilaknat atau dicerca atau didoakan kejelekan oleh Nabi n dan ia bukan orang yang pantas mendapatkannya, maka doa itu menjadi kesucian, pahala, dan rahmat Allah l.”
Hal ini berdasarkan sabda beliau dalam Shahih Muslim,
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ أَرْضَى كَمَا يَرْضَى الْبَشَرُ، وَأَغْضَبُ كَمَا يَغْضَبُ الْبَشَرُ، فَأَيُّمَا أَحَدٍ دَعَوْتُ عَلَيْهِ مِنْ أُمَّتِي بِدَعْوَةٍ لَيْسَ لَهَا بِأَهْلٍ أَنْ تَجْعَلَهَا لَهُ طَهُورًا وَزَكَاةً وَقُرْبَةً تُقَرِّبُهُ بِهَا مِنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
“Sungguh, aku hanya seorang manusia yang bisa ridha sebagaimana manusia ridha dan bisa marah sebagaimana manusia marah. Maka dari itu, siapa pun dari umatku yang aku doakan kejelekan yang ia tidak pantas mendapatkannya, jadikanlah doaku itu sebagai kebersihan, kesucian, dan kebaikan yang mendekatkannya kepada Allah l di hari kiamat.”
An-Nanawi t berkata dalam syarah hadits ini7, “Apa yang terucap dari Rasul n berupa celaan atau doa semisal ini tidaklah beliau maksudkan. Akan tetapi, hal tersebut adalah sesuatu yang biasa terucap dalam adat orang Arab, yaitu ucapan tanpa niat, seperti ucapan (تَرِبَتْ يَمِينُكَ) “Celaka tanganmu!” … dan hadits Mu’awiyah (لاَ أَشْبَعَ اللهُ بَطْنَهُ) “Allah tidak akan mengenyangkan perutnya”, dan semisalnya.
Orang Arab tidak memaksudkan sedikit pun hakikat (makna yang terkandung) dari kalimat tersebut. Rasulullah n (sebagai manusia biasa) pun khawatir seandainya (muncul dari beliau ucapan yang tidak beliau niatkan) kemudian doa tersebut dikabulkan. Oleh karena itu, beliau meminta Rabbnya dan mengharap kepada-Nya agar ucapan tersebut dijadikan sebagai rahmat, penghapus dosa, kebaikan, kesucian, dan pahala (bagi orang yang mendapatkan perkataan tanpa maksud tersebut).
Ucapan seperti itu hanya terjadi sesekali dan sangat jarang. Beliau n bukan seorang yang kasar, kotor ucapan, suka melaknat, atau membalas dendam untuk membela diri beliau.”8
Ibnu Katsir t berkata, “Sungguh, Mu’awiyah sangat mengambil manfaat dari doa ini di dunia dan di akhirat. Adapun di dunia, semenjak beliau menjadi gubernur di Syam, beliau makan sehari tujuh kali. Dihidangkan di hadapan beliau nampan besar berisi daging yang banyak dan bawang. Beliau makan dari nampan tersebut. Dalam sehari, beliau makan tujuh kali dengan daging, kue-kue, dan buah-buahan yang banyak (dan beliau tidak kekenyangan). Bahkan, beliau berkata, ‘Demi Allah aku tidak kenyang, namun aku berhenti karena letih.’ Ini hakikatnya adalah nikmat yang didambakan banyak raja.” (al-Bidayah wan Nihayah)
Adapun kebaikan di akhirat tampak dalam sabda Rasulullah n,
فَأَيُّمَا أَحَدٍ دَعَوْتُ عَلَيْهِ مِنْ أُمَّتِي بِدَعْوَةٍ لَيْسَ لَهَا بِأَهْلٍ أَنْ تَجْعَلَهَا لَهُ طَهُورًا وَزَكَاةً وَقُرْبَةً تُقَرِّبُهُ بِهَا مِنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
“Maka dari itu, siapa pun dari umatku yang aku doakan kejelekan yang ia tidak pantas mendapatkannya, jadikanlah doaku itu sebagai kebersihan, kesucian, dan kebaikan yang mendekatkannya kepada Allah l di hari kiamat.”9
Khatimah
Di antara kaum yang paling getol melakukan berbagai kebusukan adalah Syiah Rafidhah bersama dengan barisan musuh-musuh Islam. Tarikh membuktikan andil mereka yang sangat besar dalam membuat kerusakan di muka bumi dan bagaimana mereka terus berupaya mengusik kemurnian Islam dengan kesyirikan dan kebid’ahan.
Fakta ini tidak bisa ditutupi atau dimungkiri. Lisan-lisan mereka mengucapkannya. Buku dan tulisan menjadi saksi kedengkian mereka kepada para sahabat, istri-istri Rasulullah n, bahkan diri Rasulullah n. Permusuhan mereka terhadap Islam secara umum sangat tampak, lebih-lebih permusuhan terhadap Ahlus Sunnah. Hadits-hadits palsu dan lemah, demikian pula tafsiran-tafsiran ngawur terhadap hadits-hadits sahih yang telah kita kaji bersama adalah salah satu dari sekian banyak hadits yang dipakai oleh Rafidhah untuk mencela sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan c.
Permusuhan Rafidhah terus berlangsung sejak agama Rafidhah dibangun oleh Abdullah bin Saba’ al-Yahudi hingga saat ini, dan hingga masa yang dikehendaki oleh Allah l. Kalau bukan ruang yang membatasi, ingin sesungguhnya kita nukilkan ucapan-ucapan kotor salah seorang tokoh Syiah Rafidhah, yaitu Khomeini, yang banyak dipenuhi caci maki, celaan, dan cercaan kepada para sahabat, istri-istri Rasul, bahkan Nabi Muhammad n. Ucapan-ucapan kufurnya tertulis dalam buku-buku Syi’ah yang tidak mungkin mereka mungkiri.
Semoga Allah l menyelamatkan hati kita dari kedengkian kepada Islam dan kaum muslimin, terkhusus generasi terbaik, sahabat Rasulullah n. Semoga Allah l menyelamatkan kita dari fitnah yang datang seperti potongan malam yang gelap gulita. Amin.
Catatan Kaki:
1 Atsar adalah ucapan yang disandarkan kepada sahabat Nabi n atau generasi setelahnya. Adapun hadits adalah apa yang disandarkan kepada Rasulullah n baik berupa ucapan, perbuatan, taqrir (persetujuan), maupun sifat.
2 Beberapa riwayat marfu’ dan atsar tentang keutamaan Mu’awiyah z bisa dilihat kembali pada Kajian Utama edisi ini berjudul Keutamaan Mu’awiyah, Kesepakatan Ahlus Sunnah Sepanjang Zaman.
3 Lihat juz 10/605—611 hadits no. 4930.
4 Berhujah dengan hadits “Bunuhlah Mu’awiyah,” artinya mencela seluruh sahabat Nabi n yang melihat Mu’awiyah. Termasuk yang dicela adalah ahlul bait, di antaranya Ali bin Abi Thalib z dan al-Hasan bin Ali, karena tidak ada seorang pun dari mereka melaksanakan perintah Rasulullah n membunuh Mu’awiyah. Sebaliknya, mereka justru berbai’at dan mengiringi Mu’awiyah berjihad dalam futuhat (pembukaan wilayah baru Islam).
5Tadlis taswiyah adalah jenis tadlis yang paling berat. Orang yang melakukan tadlis taswiyah menggugurkan perawi yang dhaif di antara dua orang tsiqah yang salah seorang di antara keduanya mendengar dari yang lain.
6 Hadits ini dikeluarkan pula oleh al-Imam Ahmad dalam al-Musnad (4/132). Dalam riwayat Ahmad, Baqiyyah terang-terangan mendengar hadits dari gurunya, Bahir bin Sa’d, namun tidak cukup untuk menguatkan bagian yang terkait dengan kisah Mu’awiyah bin Abi Sufyan c.
7 Lihat juga al-Bidayah wan-Nihayah, Ibnu Katsir (11/402) dan adz-Dzahabi dalam as-Siyar (3/124 dan 14/130).
8 Makna yang benar tentang hadits ini disebutkan pula oleh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah (1/164—167, hadits no.82, 83, dan 84).
9 Lihat rubrik Manhaji edisi ini tentang penjelasan hadits di atas.