Bergaul Baiklah Dengannya…

Menjadi suami yang baik merupakan keinginan seorang lelaki saleh saat membangun mahligai rumah tangganya. Demikian pula, memiliki suami yang baik adalah harapan dan dambaan setiap wanita. Salah satu kesuksesan suami yang baik adalah dia bisa “mu’asyarah bil ma’ruf”, bergaul secara baik dengan istrinya.

Hal ini telah dibimbingkan oleh Nabi kita yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tunjukkan hal yang sepatutnya dilakukan oleh suami agar bisa bergaul baik dengan istrinya, baik lewat sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun praktik amaliah dengan para istrinya.

Hadits-hadits berikut ini memuat bimbingan tersebut.

  1. Al-Imam al-Bukhari dan Muslim—semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati keduanya—dalam Shahih-nya membawakan hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلْعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ مَا فِي الضِّلْعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهَا، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوْا باِلنِّسَاءِ خَيْرًا

“Mintalah oleh kalian wasiat kebaikan dalam masalah para wanita, karena sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk. Bagian yang paling bengkok pada tulang rusuk itu adalah yang paling atas.

Apabila engkau paksakan untuk meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Namun, apabila engkau biarkan, dia akan terus-menerus bengkok. Mintalah wasiat kebaikan dalam masalah para wanita.”

Dalam riwayat Muslim,

إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ، لَنْ تَسْتَقِيْمَ لَكَ عَلَى طَرِيقَةٍ، فَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَبِهَا عِوَجٌ، وَإِن ذَهَبْتَ تُقِيْمُهَا كَسَرْتَهَا، وَكَسْرُهَا طَلاقُهَا

“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk (yang bengkok).[1] Dia tidak akan lurus untukmu di atas satu jalan. Jika engkau bersenang-senang dengannya, engkau bisa melakukannya; namun padanya ada kebengkokan. Apabila engkau paksakan untuk meluruskannya, engkau akan mematahkannya; dan patahnya adalah menceraikannya.”[2]

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah berkata, “Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam فَاسْتَوْصُوْا maksudnya adalah aku wasiatkan kalian untuk berbuat baik kepada para wanita (istri). Terimalah wasiatku ini berkenaan dengan diri mereka, dan amalkanlah.”

Beliau melanjutkan, “Dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam خَيْرًا باِلنِّسَاءِ seakan-akan ada isyarat agar suami meluruskan istrinya dengan lembut, tidak berlebih-lebihan hingga mematahkannya. Tidak pula membiarkannya terus-menerus di atas kebengkokan.” (Fathul Bari, 9/306)

Dalam hadits ini ada beberapa faedah. Di antaranya adalah

  1. Dianjurkan bersikap baik dan lemah lembut terhadap istri untuk menyenangkan hatinya.
  2. Hadits di atas menunjukkan bagaimana seharusnya seorang lelaki mendidik wanita, yaitu dengan memaafkan dan bersabar atas kebengkokan mereka.

Siapa yang tidak berupaya meluruskan mereka (dengan cara yang halus), dia tidak akan dapat mengambil manfaat darinya. Padahal, tidak ada seorang lelaki pun yang tidak membutuhkan wanita, guna beroleh ketenangan bersamanya dan membantu kehidupannya.

Jadi, seakan-akan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Merasakan kenikmatan dengan istri tidak akan sempurna kecuali dengan bersabar terhadapnya.”

radhiallahu ‘anhuma. Seorang suami tidak patut menceraikan istrinya tanpa sebab yang jelas. (Fathul Bari, 9/306 dan al-Minhaj, 10/299)

Perhatikanlah hadits di atas, bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan wasiat berbuat baik kepada para istri bersama dengan penjelasan beliau tentang hakikat mereka.

Tujuannya agar para suami—ketika bermuamalah dengan istri—bisa memahami bahwa tabiat wanita itu bengkok, sehingga mereka harus bersabar menghadapi istri. Jangan mengangankan istri terus berada di atas kelurusan, karena wanita mesti menuju kepada tabiat asal dari penciptaannya, yaitu bengkok.

 

  1. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulang wasiat untuk berbuat baik kepada wanita saat menyampaikan khutbah agung beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haji Wada’.

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelipkan pesan kepada para suami terkait dengan hubungan mereka bersama para istri. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّهُنَّ عِنْدَكُمْ عَوَانٌ لَيْسَ تَمْلِكُوْنَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ، إِلاَّ أَنْ يَّأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ. فَإِنْ فَعَلْنَ فَاهْجُرُوْهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ، فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا. إِنَّ لَكُمْ مِنْ نِسَائِكُمْ حَقًّا وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا. فَأَمَّا حَقُّكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ فَلاَ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُوْنَ وَلاَ يَأْذَنَّ فِي بُيُوْتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُوْنَ. أَلآ وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوا إِلَيْهِنَّ فِي كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ

Mintalah wasiat kebaikan dalam masalah para wanita (para istri)[3] karena mereka hanyalah tawanan di sisi kalian. Kalian tidak menguasai mereka sedikit pun kecuali hanya itu, terkecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata[4].

Jika mereka melakukan hal itu, boikotlah mereka di tempat tidurnya dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak memberi cacat. Apabila mereka menaati kalian, tidak ada jalan bagi kalian untuk menyakiti mereka.

Ketahuilah, kalian memiliki hak terhadap istri-istri kalian dan mereka pun memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan seorang yang kalian benci untuk menginjak permadani kalian, dan mereka tidak boleh mengizinkan orang yang kalian benci untuk masuk ke rumah kalian. Hak mereka terhadap kalian adalah kalian berbuat baik terhadap mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka.” (HR. at-Tirmidzi no. 1163 dan Ibnu Majah no. 1851, dinyatakan hasan dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi dan Shahih Sunan Ibni Majah)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulang pesan beliau kepada para lelaki terkait urusan wanita karena beliau paham betul keadaan para wanita yang beliau terangkan dalam hadits di atas. Keadaan ini tidak sanggup ditanggung dan tidak dapat disabari oleh sebagian lelaki yang tidak memiliki kontrol diri saat marah. Kebengkokan sang istri akhirnya mengantarnya untuk menjatuhkan vonis cerai. Akibatnya, hancurlah keutuhan keluarga dan tercerai-berai anggotanya.

 

  1. Karena itulah, dalam hadits yang lain, Rasul yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam membimbing para suami kepada sesuatu yang memberikan kebaikan bagi keadaan mereka bersama para istri.

Berikut ini sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

لاَ يَفْرُكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِي مِنْهَا آخَرَ

“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah. Jika ia tidak suka satu tabiat/perangainya, (bisa jadi) ia senang dengan tabiat/perangainya yang lain.” (HR. Muslim)

An-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan larangan (untuk membenci). Sepantasnya seorang suami tidak membenci istrinya. Jika dia mendapatkan istrinya memiliki satu perangai yang tidak dia sukai, bisa jadi istrinya mempunyai perangai lain yang disenanginya. Misalnya, istrinya tidak baik perilakunya. Akan tetapi, dia seorang yang berparas cantik, menjaga kehormatan diri, bersikap lemah lembut dan halus padanya, atau yang semisalnya.” (al-Minhaj, 10/300)

Dengan demikian, seorang suami tidak semestinya membenci istrinya dengan penuh kebencian hingga mendorongnya untuk menceraikannya. Yang sepantasnya justru dia memaafkan kejelekan istrinya dengan melihat kebaikannya. Dia menutup mata dari apa yang tidak disukainya dengan melihat apa yang disenanginya dari istrinya.

Ibnul Arabi rahimahullah bercerita, “Abul Qasim bin Hubaib telah mengabarkan kepadaku di al-Mahdiyah, dari Abul Qasim as-Sayuri, dari Abu Bakr bin Abdir Rahman, ia berkata, ‘Asy-Syaikh Abu Muhammad bin Zaid punya pengetahuan yang mendalam dalam hal ilmu dan memiliki kedudukan yang tinggi dalam agama. Beliau beristrikan seorang wanita yang buruk pergaulannya dengan suami. Istrinya ini tidak sepenuhnya memenuhi haknya, justru meremehkan dan menyakiti beliau dengan ucapannya. Ada yang berbicara pada beliau tentang keberadaan istrinya, namun beliau memilih tetap bersabar hidup bersama istrinya.”

Beliau pernah berkata, “Aku telah dianugerahi kesempurnaan nikmat oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam kesehatan tubuhku, pengetahuanku, dan budak yang kumiliki. Bisa jadi, istriku dikirim sebagai hukuman atas dosaku. Maka dari itu, aku khawatir apabila aku menceraikannya, akan turun padaku hukuman yang lebih keras daripada apa yang selama ini aku dapatkan darinya.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 5/65)

 

  1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَكْمَلُ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنَسَائِهِمْ

“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya di antara mereka. Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR. Ahmad 2/527 dan at-Tirmidzi no. 1172; dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam ash-Shahihul Musnad, 2/336—337)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri adalah suami yang paling baik kepada istri-istrinya, sebagaimana berita beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya (istrinya). Adapun aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluargaku (istriku).” (HR. at-Tirmidzi no. 3895, dinyatakan sahih dalam ash-Shahihah no. 285)

 

  1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ شَيْءٍ لَيْسَ مِنْ ذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فَهُوَ لَهْوٌ أَوْ سَهْوٌ إِلاَّ أَرْبَعَ خِصَالٍ: مَشْيُ الرَّجُلِ بَيْنَ الْغَرْضَيْنِ، وَتَأْدِيْبُهُ فَرَسَهُ، وَمُلاَعَبَتُهُ أَهْلَهُ، وَتَعْلِيْمُ السِّبَاحَة

“Segala sesuatu yang bukan dzikrullah (berzikir kepada Allah ‘azza wa jalla) adalah sia-sia atau kelalaian, kecuali empat hal; yaitu (1) berjalan di antara dua sasaran (panahnya), (2) melatih kudanya, (3) bermesraan dengan istrinya, dan (4) belajar renang.” (HR. an-Nasa’i dalam ‘Isyratun Nisa’ dan ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir; dinyatakan sahih dalam ash-Shahihah no. 315)

Perhatikanlah hadits di atas pada lafadz أَهْلَهُ مُلاَعَبَتُهُ. Seorang suami yang sedang bergurau, bercumbu rayu, berkasih mesra dengan istrinya; jelas tidak sedang berzikir kepada Allah ‘azza wa jalla. Namun, perbuatan tersebut tidak tergolong kelalaian, apalagi dosa. Sebaliknya, dia justru mendapat pahala karenanya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ. قَالُوْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَيَأْتِيْ أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ؟ قَالَ: أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَها فِي حَرَامٍ، أَكَانَ عَلَيْهِ فِيْهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ

“Salah seorang dari kalian ‘mendatangi’ istrinya adalah sedekah.”

Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kami menyalurkan syahwatnya dan dia mendapat pahala karena perbuatan tersebut?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Apa pendapat kalian jika dia menempatkan kemaluannya pada yang haram, apakah dia mendapatkan dosa? Demikian pula apabila dia meletakkan kemaluannya pada tempat yang halal, dia akan mendapatkan pahala.” (HR. Muslim)

Seorang suami yang bercumbu dengan istrinya hingga membawanya “berhubungan” dengan sang istri, telah dianggap bersedekah. Mengapa demikian? Sebab, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memberitakan hal tersebut. Alasan lainnya, coba perhatikan dua hal berikut ini.

Manusia diperintah untuk tidak menahan dirinya dari sesuatu yang diinginkan jiwanya, asalkan bukan maksiat kepada Allah ‘azza wa jalla. Hal ini berdasar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ لِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا

        “Sungguh, jiwamu memiliki hak terhadapmu.” (HR. al-Bukhari)

Jika seorang suami “mendatangi” istrinya, sungguh dia telah berbuat baik kepada istrinya; karena istri juga memiliki syahwat sebagaimana suami. Dia punya keinginan sebagaimana keinginan lelaki. Dengan berbuat baik kepada istri, itu adalah sedekah[5]. (Syarhu al-Arba’in an-Nawawiyah, asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, hadits yang ke-25, hlm. 283)

Masih banyak hadits lain yang memberi anjuran dan dorongan untuk menumbuhkan pergaulan yang baik terhadap istri dan keluarga.

Pengajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap istri-istri beliau

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bergaul sangat baik dengan para istri beliau, lembut, penuh kasih sayang kepada mereka. Hal ini sudah kita maklumi. Namun, semua itu tidak menghalangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengajari para istri beliau.

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihati, memarahi, bahkan pernah mendiamkan istri-istri beliau. Sebab, beliau memiliki sifat hikmah, yakni dapat dengan tepat menempatkan sesuatu pada kedudukannya yang pantas.

Wanita yang tabiatnya bengkok dan peka memang membutuhkan arahan, pendidikan, dan pengajaran. Karena itulah, Allah subhanahu wa ta’ala menyerahkan tanggung jawab tersebut kepada para lelaki. Firman-Nya,

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ

“Kaum lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (lelaki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (an-Nisa: 34)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, teladan kita, menjalankan fungsi qawamah dalam pergaulannya dengan para istri beliau. Ketika dibutuhkan sikap tegas kepada para istri, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya sebagai bentuk pendidikan terhadap mereka.

Satu contoh, ketika istri-istri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menuntut nafkah yang melampaui kemampuan beliau, beliau marah hingga bersumpah tidak akan menemui mereka selama sebulan. Sampai Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ قُل لِّأَزۡوَٰجِكَ إِن كُنتُنَّ تُرِدۡنَ ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنۡيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيۡنَ أُمَتِّعۡكُنَّ وَأُسَرِّحۡكُنَّ سَرَاحٗا جَمِيلٗا ٢٨ وَإِن كُنتُنَّ تُرِدۡنَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَ فَإِنَّ ٱللَّهَ أَعَدَّ لِلۡمُحۡسِنَٰتِ مِنكُنَّ أَجۡرًا عَظِيمٗا ٢٩

Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, “Jika kalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, marilah aku berikan mut’ah[6] untuk kalian dan aku ceraikan kalian dengan cara baik-baik. Dan jika kalian menghendaki keridhaan Allah dan Rasul-Nya serta kesenangan di negeri akhirat, sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antara kalian pahala yang besar.” (al-Ahzab: 28—29)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menawarkan pilihan kepada mereka, tetap hidup berdampingan dengan beliau namun harus bersabar dengan kekurangan harta duniawi, atau berpisah dengan beliau. Ternyata semua istri beliau memilih Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.

Demikianlah hasil pendidikan madrasah nubuwwah.

Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah

[1] Dalam hadits ini ada dalil atas ucapan fuqaha atau sebagian mereka bahwasanya Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam ‘alaihissalam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ وَخَلَقَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا

Dia menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan Dia menciptakan dari jiwa yang satu itu pasangannya.” (al-Minhaj, 10/299)

[2] Apabila engkau menginginkan istrimu meninggalkan kebengkokannya, ujungnya adalah berpisah (cerai) dengannya. (Fathul Bari, 6/447)

[3] Al-Qadhi Iyadh rahimahullah berkata, “Al-Istisha’ adalah menerima wasiat. Jadi, makna ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini adalah aku wasiatkan kalian untuk berbuat kebaikan terhadap para istri, maka terimalah wasiatku ini.” (Tuhfatul Ahwadzi)

[4] Seperti nusyuz, buruknya pergaulan dengan suami, dan tidak menjaga kehormatan diri. (Tuhfatul Ahwadzi)

[5] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

كُلُّ مَعْرُوْفٍ صَدَقَةٌ

“Semua yang dikenali sebagai kebaikan adalah sedekah.”

[6] Mut’ah adalah pemberian sesuatu atau materi untuk menyenangkan istri yang dicerai.