Hanya Allah Yang Berhak Menghalalkan Dan Mengharamkan

Allah Subhanahu wata’ala memiliki hak-hak yang khusus. Di antara hak khusus bagi Allah Subhanahu wata’ala adalah hak tasyri’, yakni menetapkan syariat yang wajib dijalani oleh makhluk-Nya. Di antara perkara tasyri’ adalah penetapan halal dan haram.

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللَّهُ ۚ وَلَوْلَا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ ۗ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

 “Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang menetapkan syariat untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak adaketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.” (asy-Syura: 21)

Tiada yang berhak menghalalkan dan mengharamkan selain Allah Subhanahu wata’ala. Tidak ada seorang pun yang boleh menghalalkan kecuali yang telah dihalalkan oleh Allah l dan tidak mengharamkan kecuali yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wata’ala. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَٰذَا حَلَالٌ وَهَٰذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ

 “Janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, ‘ini halal dan  ini haram’, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (an-Nahl: 116)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Masuk dalam kandungan ayat ini semua yang membuat kebid’ahan yang tidak ada sandarannya dalam syariat dan semua yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal dengan ra’yu (akal) dan selera hawa nafsunya.” (Tafsir al-Qur’anil Azhim)

Asy-Syaikh asy-Syinqithi rahimahullah berkata, “Salafus shalih  sangat berhati-hati dari ucapan: ini halal dan yang ini haram, karena takutnya mereka akan kandungan ayat ini.” Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Al- Imam Abu Muhammad ad-Darimi dalam Musnad-nya berkata, ‘Telah mengabarkan kepada kami Harun dari Hafsh dari al-A’mas: Aku tidak pernah mendengar Ibrahim berkata: ini halal dan ini haram, tetapi mereka berkata: mereka membencinya, mereka menyatakan sunnahnya…’.” (Tafsir Adwaul Bayan) Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

قُلْ أَرَأَيْتُم مَّا أَنزَلَ اللَّهُ لَكُم مِّن رِّزْقٍ فَجَعَلْتُم مِّنْهُ حَرَامًا وَحَلَالًا قُلْ آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ ۖ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ

Katakanlah, “Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.” Katakanlah, “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” (Yunus: 59)

Allah Subhanahu wata’ala telah melarang menghalalkan dan mengharamkan sesuatu tanpa dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah serta mengabarkan bahwa menghalalkan dan mengharamkan sesuatu tanpa dalil adalah kedustaan atas nama Allah Subhanahu wata’ala. Sebagaimana Allah Subhanahu wata’ala mengabarkan pula bahwa barang siapa yang mewajibkan sesuatu tanpa dalil atau mengharamkan sesuatu tanpa dalil maka telah menjadikan dirinya sebagai sekutu bagi Allah Subhanahu wata’ala dalam perkara yang merupakan kekhususan Allah Subhanahu wata’ala, yaitu penetapan syariat. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللَّهُ ۚ وَلَوْلَا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ ۗ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

 “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.” (asy-Syura: 21)

Dan barang siapa yang taat kepada penetap syariat selain Allah Subhanahu wata’ala maka dia telah menjadikannya sebagai sekutu bagi Allah l, berarti dia telah terjatuh dalam kesyirikan. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ

“Jika kamu menaati mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (al-An’am: 121)

Yakni janganlah kamu menaati orang yang menghalalkan sesuatu yang Allah Subhanahu wata’ala haramkan berupa bangkai. Barang

siapa yang menaati mereka maka dia adalah musyrik.

Termasuk Syirik

Allah Subhanahu wata’ala menegaskan bahwa seorang yang menaati ahbar (orang berilmu dari kalangan Yahudi) dan ruhban (tukang ibadah dari kalangan Nasrani) dalam menghalalkan apa yang telah diharamkan oleh AllahSubhanahu wata’ala atau mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah Subhanahu wata’ala berarti telah menjadikan mereka sebagai Rabb selain AllahSubhanahu wata’ala. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ لَّا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

 “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putra Maryam, padahal mereka hanya disuruh  menyembah Ilah Yang Maha Esa, tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (at-Taubah:31)

Ketika ‘Adi bin Hatim mendengar ayat ini, beliau berkata, “Wahai Rasulullah, kami tidak beribadah kepada mereka.” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada beliau, “Bukankah mereka telah menghalalkan apa yang telah Allah Subhanahu wata’ala haramkan kemudian kalian mengikuti mereka? Mereka juga mengharamkan apa yang dihalalkan Allah Subhanahu wata’ala kemudian kalian pun ikut mengharamkannya?” Adi berkata, “Benar demikian.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Itulah bentuk peribadahan kalian kepada mereka.” (HR. at-Tirmidzi dan dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani)

Asy-Syaikh Abdurranman bin Hasan berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa taat kepada ahbar dan ruhban dalam berbuat maksiat kepada Allah Subhanahu wata’ala adalah bentuk peribadahan kepada mereka kepada selain Allah Subhanahu wata’ala dan ini merupakan syirik besar yang tidak akan Allah Subhanahu wata’ala ampuni berdasarkan akhir ayat:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ

 ‘Padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Esa, tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.’ (at-Taubah: 31)

Ayat yang semakna dengan ini, firman Allah Subhanahu wata’ala,

وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ ۗ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَىٰ أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ ۖ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ

 ‘Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawankawannya agar mereka membantah kamu dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.’ (al-An’am: 121).”

Kelompok yang Banyak Terjatuh dalam Perbuatan Ini

Perbuatan sepeti ini banyak dilakukan oleh orang-orang yang taklid kepada seorang tokoh tertentu, seperti halnya Sufi dan lainnya, tidak mau mengindahkan dalil jika menyelisihi tokoh yang ia taklidi. Inilah satu bentuk perbuatan syirik. Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Di antara bentuk menjadikan ahbar dan ruhban sebagai sesembahan adalah menaati ulama yang sesat dalam perkara-perkara bid’ah dalam agama yang mereka ada-adakan, khurafat, dan kesesatan lainnya, seperti perayaan maulid, tarekat-tarekat sufi, dan tawasul kepada orang-orang mati, serta berdoa kepada mereka.” (Dari Irsyad ila Tashihil Itiqad)

Penulis at-Tamhid Syarah Kitab at-Tauhid menerangkan, “Dan (amalan seperti ini) ada di umat Islam, yaitu di kalangan sufi (shufiyah) atau orangorang yang ghuluw dalam tasawuf, ghuluw dalam mengultuskan tokoh-tokoh mereka. Mereka menaati syaikh dan wali-wali mereka yang mereka anggap wali, menaati mereka dalam merubah agama Allah l.” (at-Tamhid, dengan sedikit perubahan)

 

Hukum Menaati Ulama dan Umara’ (Penguasa)

Ketaatan kepada ulama dan umara ada dua keadaan:

1. Menaati mereka dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah Subhanahu wata’ala. Ini hukumnya wajib.

2 . Menaati mereka dalam menghalalkan apa yang diharamkan dan mengharamkan apa yang halalkan dalam keadaan ia meyakininya, adalah kesyirikan. Adapun orang yang mengikuti mereka ada beberapa keadaan:

a. Dia mengetahui bahwa mereka menyelisihi perintah Allah Subhanahu wata’ala dan dia tetap menaatinya serta meyakini kebenarannya, maka ini adalah syirik besar yang mengeluarkan dari Islam.

b. Dia menaati mereka dalam keadaan meyakini bahwa itu adalah haram dan meyakini itu adalah salah, tetapi ia menaatinya karena hawa nafsu, maka ini adalah syirik kecil.

c. Ia tidak mengetahui bahwa mereka menyelisihi syariat Allah Subhanahu wata’ala, namun ia menyangka mereka di atas kebenaran maka ini adalah uzur kalau memang orang seperti dia tidak tahu hal itu. (Lihat I’anatul Mustafid Syarah Kitab at-Tauhid)

 

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata, “Ketahuilah bahwa mengikuti ulama dan umara dalam menghalalkan apa yang telah diharamkan oleh Allah Subhanahu wata’ala dan sebaliknya, ada tiga macam:

a. Mengikuti mereka dalam perkara tersebut dalam keadaan meridhai ucapan mereka, serta membenci hukum Allah Subhanahu wata’ala, maka orang ini kafir karena telah membenci apa yang Allah Subhanahu wata’ala turunkan.

b. Mengikuti mereka dalam keadaan dia ridha kepada hukum Allah Subhanahu wata’ala dan tahu bahwa hukum Allah Subhanahu wata’ala lebih baik, lebih tinggi, dan lebih bermaslahat bagi hamba dan negeri, namun karena hawa nafsu dia lebih memilihnya. Orang ini tidaklah kafir namun namun dia menjadi orang fasik pantas mendapat hukuman seperti hukuman orang bermaksiat lainnya.

c. Dia seorang yang jahil (bodoh) dan mengira itu adalah hukum Allah Subhanahu wata’ala. Golongan ini terbagi dua:

• Seorang yang memungkinkan untuk mengetahui al-haq sendirian, namun dia orang yang lalai maka dia seorang yang berdosa, karena Allah Subhanahu wata’ala telah memerintah bertanya kepada ulama ketika tidak ada.

• Dia bukan seorang alim dan tidak memungkinkan belajar, maka dia mengikuti mereka karena taklid. Dia menyangka itu adalah haq. Orang ini tidaklah berdosa karena telah melakukan apa yang diperintahkan dan dia mendapatkan uzur dalam perbuatannya. (Disadur dari al-Qaulul Mufid)

Seorang muslim hendaknya memberikan ketaatan yang mutlak hanya kepada Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Tidak dibolehkan menaati makhluk kecuali dalam perkara yang dibenarkan secara syar’i. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

ا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ

 “Wahai orang-orang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada rasul-Nya, serta kepada ulil amri di antara kalian.” (an-Nisa: 59)

Asy-Syaikh Abdurahman as-Sa’di menerangkan, “Allah Subhanahu wata’ala memerintahkan untuk taat kepada ulul amri, yaitu orangorang yang mengurusi manusia baik kalangan umara, pemerintah, atau mufti (ahli fatwa), karena tidak akan lurus urusan agama dan dunia manusia kecuali dengan taat dan tunduk kepada mereka, sebagai bentuk ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala dan mengharapkan apa yang di sisi Allah Subhanahu wata’ala, tetapi dengan syarat mereka tidak memerintah untuk berbuat maksiat kepada Allah Subhanahu wata’ala. Wallahu a’lam.

Ditulis oleh Al-Ustadz Abdurrahman Mubarak