Hukum Mencaci Allah subhanahu wa ta’ala

Ada seorang muslim yang sering mengalami kegagalan dan ditimpa berbagai persoalan hidup. Ia kemudian merasa kecewa dan marah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan mulai mencaci maki Allah subhanahu wa ta’ala, serta berburuk sangka kepada-Nya. Setelah amarahnya mereda, timbul rasa penyesalan atas tindakan tercela yang telah ia lakukan itu.

 

Pertanyaan:

  1. Apakah tindakan orang tersebut termasuk kufur akbar?
  2. Apakah ia perlu memperbaharui keIslamannya dengan cara mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan ulama dan saksi-saksi?
  3. Bagaimanakah cara bertaubat bagi orang tersebut?
  4. Bagaimanakah caranya agar orang tersebut tidak lagi mengalami kegagalan dan tidak ditimpa kesulitan hidup?
  5. Bagaimanakah seharusnya orang tersebut menyikapi segala kegagalan dan kesulitan hidup yang dihadapinya?
  6. Bagaimanakah cara mengatasi rasa kecewa dan amarah yang timbul, jika ditimpa kegagalan dan kesulitan hidup?

Mawardi, Banjarmasin, Kalimantan Selatan

 

Dijawab oleh al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad al-Makassari:

 

        Alhamdulillah wabihi nasta’in.

        Mencaci Allah subhanahu wa ta’ala adalah perbuatan haram yang merupakan kekufuran (kufur akbar). Ini adalah ijma’ di kalangan ulama. Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah memiliki pembahasan tentang ini, menukilkan penjelasan para ulama seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan yang lainnya. Lihat Fatawa Ibnu Baz (1/91—94).

        Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata dalam asy-Syarhul Mumti’ (6/270, terbitan Darul Atsar), “Aku berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Mencaci Allah subhanahu wa ta’ala atau menyifati-Nya dengan aib/celaan, dan celaan yang paling keji adalah melaknat Allah subhanahu wa ta’ala atau memprotes/mengkritik hukum-hukum Allah subhanahu wa ta’ala berupa kejadian-kejadian yang Allah subhanahu wa ta’ala takdirkan atau aturan-aturan syariat yang Allah subhanahu wa ta’ala tetapkan, meski kritikan itu dalam bentuk isyarat dan sindiran; sesungguhnya pelakunya kafir.

        Sebab, ini adalah penghinaan terhadap kedudukan Allah subhanahu wa ta’ala sebagai satu-satunya Rabb, Penguasa yang mencipta, memberi rezeki dan mengatur alam ini. Ini adalah perkara besar.

        Barang siapa mencaci Allah subhanahu wa ta’ala, sama saja baik dengan ucapan atau dengan isyarat, dengan serius atau hanya bercanda–bahkan dengan bercanda lebih keji, karena menjadikan Allah subhanahu wa ta’ala sebagai bahan candaan dan ejekan–lalu mencari alasan agar tidak disalahkan, dia kafir berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

          وَلَئِن سَأَلۡتَهُمۡ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلۡعَبُۚ قُلۡ أَبِٱللَّهِ وَءَايَٰتِهِۦ وَرَسُولِهِۦ كُنتُمۡ تَسۡتَهۡزِءُونَ ٦٥ لَا تَعۡتَذِرُواْ قَدۡ كَفَرۡتُم بَعۡدَ إِيمَٰنِكُمۡۚ إِن نَّعۡفُ عَن طَآئِفَةٖ مِّنكُمۡ نُعَذِّبۡ طَآئِفَةَۢ بِأَنَّهُمۡ كَانُواْ مُجۡرِمِينَ ٦٦

        ”Jika engkau (wahai Nabi) menanyakan kepada mereka (tentang perbuatan mereka mengolok-olok sahabat radhiallahu ‘anhum), mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau.’ Katakan (kepada mereka):

        ‘Apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya, kalian berolok-olok? Janganlah kalian minta uzur, sungguh kalian telah kafir setelah kalian beriman’.” (at-Taubah: 65—66)

        Demikian pula, mencaci Allah subhanahu wa ta’ala berarti merendahkan Allah subhanahu wa ta’ala. Jadi, setiap yang merendahkan Allah subhanahu wa ta’ala dengan ucapan, perbuatan, atau kalbunya, dia kafir. Sebab, iman adalah beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan sifat-sifat-Nya yang sempurna dan rububiyah-Nya (bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berkuasa, mencipta, memberi rezeki, dan mengatur alam) yang sempurna.”

        Penyesalannya setelah amarahnya mereda menunjukkan bahwa dia telah mengetahui haramnya perbuatan tersebut. Itu cukup untuk menghukumi bahwa dia kafir (murtad), meskipun dia tidak tahu kalau hal itu adalah kekafiran[1].

        Oleh karena itu, dia wajib bertobat dengan sebenar-benarnya dan bersyahadat kembali. Apabila tidak ada orang lain yang mengetahuinya, ia cukup bertobat dan bersyahadat sendiri. Hendaklah dia merahasiakan kesalahan itu yang merupakan aib dirinya.[2]

        Adapun apabila sudah diketahui oleh kaum muslimin, dia harus mempersaksikan tobatnya dan syahadatnya kembali di hadapan hakim dan kaum muslimin. Setelah itu, ia diberi muamalah sebagai seorang muslim. Sebab, menurut pendapat yang rajih (paling kuat), tobatnya diterima.

        Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata setelah menyebutkan pendapat yang mengatakan bahwa tobatnya tidak diterima,

        “Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa tobatnya diterima jika dia benar-benar jujur bertobat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan mengakui kesalahan yang dilakukannya, serta menyifati Allah subhanahu wa ta’ala dengan sifat-sifat pengagungan yang pantas bagi (keagungan dan kesempurnaan) Allah subhanahu wa ta’ala.

        Hal itu berdasar keumuman dalil-dalil tentang diterimanya tobat secara umum (tanpa kecuali), seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala,

          قُلۡ يَٰعِبَادِيَ ٱلَّذِينَ أَسۡرَفُواْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ لَا تَقۡنَطُواْ مِن رَّحۡمَةِ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًاۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلۡغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ ٥٣

        Katakan (wahai Nabi), “Wahai hamba-hamba Allah yang telah berlebih-lebihan melakukan dosa (yang berakibat) terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesunggguhnya Allah Maha Mengampuni seluruh dosa (bagi siapa saja yang bertobat).” (az-Zumar: 53)

        Di antara orang-orang kafir ada yang mencaci maki Allah subhanahu wa ta’ala dan tobatnya diterima. Inilah pendapat yang benar (dalam masalah ini).” (al-Qaulul Mufid, 2/268)

        Kegagalan dan persoalan hidup yang dialami orang tersebut adalah bagian dari seluruh urusan yang telah Allah subhanahu wa ta’ala tuliskan takdirnya dalam al-Lauhul Mahfudz, sejak 50.000 tahun sebelum diciptakan langit dan bumi. Hal ini disebutkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr yang diriwayatkan oleh al-Imam Muslim.

        Kita wajib mengimani hal tersebut. Selain itu, kita harus menyadari bahwa kita tidak akan meraih apa yang kita dambakan, begitu pula kita tidak akan mampu mengelak dari apa yang kita khawatirkan, kecuali sebatas apa yang telah Allah subhanahu wa ta’ala takdirkan. Meskipun seluruh manusia dan jin bersatu-padu membantu kita, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh al-Imam at-Tirmidzi.[3]

        Ketahuilah, setiap hukum yang Allah subhanahu wa ta’ala tetapkan, baik hukum syariat maupun kejadian-kejadian yang Allah subhanahu wa ta’ala takdirkan, mesti memiliki suatu hikmah. HIkmah ini menunjukkan kebijaksanaan Allah subhanahu wa ta’ala yang telah menetapkan sesuatu sebagaimana mestinya.

        Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

          لَا يُسۡ‍َٔلُ عَمَّا يَفۡعَلُ وَهُمۡ يُسۡ‍َٔلُونَ ٢٣

        “Tidak dipertanyakan apa yang Allah perbuat (karena kesempurnaan hikmah-Nya), sedangkan hamba-hamba Allah akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan mereka.” (al-Anbiya: 23)

        Di antara hikmah Allah subhanahu wa ta’ala menimpakan musibah dan cobaan hidup kepada seseorang adalah agar dia mengoreksi diri dan mengoreksi maksiat-maksiat yang telah dilakukannya, berupa kelalaian dalam menunaikan kewajiban-kewajiban syariat yang dibebankan kepadanya atau kelancangan melanggar larangan-larangan Allah subhanahu wa ta’ala.

        Hal ini sebagai hukuman dan pelajaran baginya agar dia bertobat, kembali ke jalan Allah subhanahu wa ta’ala dan memperbaiki kembali agamanya yang selama ini telah dia sepelekan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

          ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِي ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِي عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ ٤١

        “Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan akibat ulah perbuatan manusia sendiri (kemaksiatan yang mereka lakukan) yang mana Allah melakukan dalam rangka mengazab mereka agar mereka (sadar) kembali ke jalan Allah.” (ar-Rum: 41)

        Itupun sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah banyak mengampuni sebagaimana firman-Nya,

          وَمَآ أَصَٰبَكُم مِّن مُّصِيبَةٖ فَبِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِيكُمۡ وَيَعۡفُواْ عَن كَثِيرٖ ٣٠

        “Tidaklah menimpa kalian suatu musibahpun kecuali akibat perbuatan kalian sendiri dan sesungguhnya Allah banyak mengampuni kesalahan kalian.” (asy-Syura: 30)

        Jadi, seharusnya kita mengoreksi diri, apakah kita telah mensyukuri nikmat-nikmat Allah subhanahu wa ta’ala yang tidak terhitung banyaknya, yang telah kita rasakan dan sedang kita rasakan?

        Ingatlah firman Allah subhanahu wa ta’ala,

          وَمَا بِكُم مِّن نِّعۡمَةٖ فَمِنَ ٱللَّهِۖ

        “Tidak ada satu nikmat pun yang kalian rasakan melainkan dari Allah.” (an-Nahl: 53)

        Jangan kita justru mengoreksi Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala tidak menzalimi siapa pun, sebagaimana ditegaskan dalam banyak ayat dan hadits. Bukankah alam ini dan seluruh isinya adalah ciptaan-Nya, milik-Nya, dan kekuasaan-Nya? Adalah hak Allah subhanahu wa ta’ala untuk memberi dan menahan apa yang Dia inginkan.

        Seharusnya kita malu dan takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala karena kita masih kurang memuji dan mengagungkan-Nya, dibandingkan dengan nikmat yang telah dianugerahkan-Nya.

        Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari kita agar menyadari besarnya nikmat dan tidak meremehkannya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

        انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ

        “Hendaklah engkau memandang kepada orang yang diberi nikmat yang lebih sedikit darimu, dan janganlah memandang kepada orang yang diberi nikmat lebih darimu. Hal itu akan lebih menjadikan kamu tidak meremehkan nikmat Allah atasmu.”

        Wallahu a’lam.

 


                [1] Sebagaimana ditegaskan oleh asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah ketika ditanya, “Jika seseorang mengetahui bahwa hal itu haram, tetapi tidak tahu bahwa itu kekafiran, apakah dia dihukumi kafir?”

          Beliau menjawab, “Ya.” (Kaset Pelajaran al-Qawa’idul Mutsla pada pembahasan hukum Ahli Takwil)

                [2] Dalam hal ini ada beberapa ayat dan hadits tentang menutupi aib (kesalahan) selama tidak ada maslahat untuk membukanya.

          Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Sepantasnya setiap orang merahasiakan aibnya (kesalahannya) serta memuji Allah subhanahu wa ta’ala atas keselamatan yang Dia subhanahu wa ta’ala anugerahkan padanya. Hendaknya ia bertobat kepada-Nya subhanahu wa ta’ala antara dia dan Rabbnya. Jika dia telah bertobat, Allah subhanahu wa ta’ala mengampuninya dan menutupi kesalahannya di dunia dan akhirat.” (Syarah Riyadhus Shalihin Bab Menutupi Aib Sesama Muslim)

                [3] Dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah karena syawahidnya pada bab ta’liq Syarah al-‘Aqidah ath-Thahawiyah hlm. 266. Demikian pula asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah dalam ash-Shahihul Musnad (1/474).