Imam Shalat ditempat yang Lebih Tinggi

Bagaimana kedudukan hadits tentang larangan imam lebih tinggi dari makmum di terjemahan Nailul Authar? Ana benar-benar ingin tahu. Syukran.

Sugeng—Surabaya (0317708xxxx)

Jawab:
Posisi imam yang berada di tempat yang lebih tinggi dari makmum telah dilarang oleh Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam hal ini terdapat beberapa hadits Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya:

Dari Hammam bahwasanya sahabat Hudzaifah radhiallahu ‘anhuma mengimami orang-orang di kota Mada’in di atas tempat yang lebih tinggi. Sahabat Abu Mas’ud radhiallahu ‘anhu lalu memegang bajunya dan menariknya. Ketika selesai dari shalatnya Abu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Tidakkah kamu tahu bahwa mereka melarang dari perbuatan itu?” Hudzaifah menjawab, “Ya, aku baru ingat ketika engkau menarikku.” (Sahih, HR. Abu Dawud 1/163 no. 597 dan disahihkan oleh al-Albani)

Dari Adi bin Tsabit al-Anshari, seseorang telah memberitahukan kepadaku bahwa ia bersama ‘Ammar bin Yasir radhiallahu ‘anhu di kota Mada’in. Kemudian dikumandangkan iqamat. Lalu ‘Ammar maju dan berdiri di atas tempat yang lebih tinggi melakukan shalat, sementara orang-orang di bawah. Hudzaifah radhiallahu ‘anhu pun maju lalu menarik dua tangannya hingga ‘Ammar mengikutinya sampai Hudzaifah menurunkannya. Ketika ‘Ammar selesai dari shalatnya Hudzaifah berkata, “Tidakkah kamu mendengar Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Bilamana seseorang mengimami sebuah kaum, janganlah ia berdiri di tempat yang lebih tinggi dari tempat mereka atau semakna dengan itu.’ Ammar pun berkata, ‘Karena itulah saya menuruti engkau ketika kamu memegang tanganku’.” (Hasan, HR. Abu Dawud, 1/163 no. 598, dihasankan oleh al-Albani dengan dukungan riwayat sebelumnya secara global)

Dari Abu Mas’ud al-Anshari radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah melarang imam untuk berdiri di atas sesuatu sementara orang-orang di belakangnya lebih rendah darinya.” (Hasan, HR. ad-Daruquthni, dihasankan oleh al-Albani dalam Tamamul Minnah no. 281)

Berdasarkan riwayat-riwayat tersebut, seorang imam tidak diperbolehkan berada pada tempat yang lebih tinggi dari tempat makmum. Inilah yang kemudian dipegangi oleh beberapa ulama, di antaranya sahabat Ibnu Mas’ud, an-Nakha’i, ats-Tsauri, Malik, Abu Hanifah, al-Auza’i, dan Ahmad dalam salah satu riwayat dari beliau sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Rajab1 dalam kitab Fathul Bari.

Ini juga merupakan pendapat al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah dalam kitab al-Umm (hlm. 310, cet. Qutaibah). Beliau rahimahullah berkata, “Kalau imam pernah mengajari orang shalat (yakni dengan berdiri di tempat yang tinggi) satu kali, saya menyukai baginya (setelah itu) untuk shalat sejajar dengan makmum. Hal ini karena tidak pernah diriwayatkan dari Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau shalat di atas mimbarnya2, melainkan hanya satu kali. Tempat beliau selain waktu itu adalah di atas tanah bersama para makmum. Oleh karena itu, yang dipilih adalah imam sejajar dengan makmum. Seandainya lebih tinggi atau lebih rendah, shalatnya dan shalat mereka tidak rusak (tetap sah).”

Adapun kadar ketinggian yang dimaksud adalah, “Setiap tempat yang sah untuk dikatakan—menurut bahasa dan kebiasaan—bahwa yang demikian lebih tinggi dari tempat makmum maka itu terlarang.” Demikian penjelasan asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam kitab ats-Tsamarul Mustathab.

Sebagian ulama berpendapat bahwa ukuran yang terlarang adalah jika melebihi tinggi postur tubuh menusia. Jika kurang dari itu diperbolehkan. Kembali asy-Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan bahwa perincian yang semacam itu tidak ada dalilnya dalam hadits. Itu hanya sekadar pendapat akal. Oleh karena itu, asy-Syaukani rahimahullah mengatakan setelah menyebutkan pendapat-pendapat ulama dalam hal perbedaan kadar tinggi tersebut bahwa kesimpulan dari dalil-dalil tersebut adalah dilarangnya imam lebih tinggi dari makmum tanpa adanya perbedaan antara di masjid dan di tempat lain, tanpa perbedaan antara setinggi postur tubuh manusia, kurang atau lebih dari itu.

Sebagian ulama belakangan berfatwa bahwa jika lebih tinggi sedikit diperbolehkan, sebagaimana pendapat mazhab Hanbali dan Maliki. (Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Liqa Bab Maftuh dan Fiqh Islami wa Adillatuhu)

Namun, fatwa dan pendapat ini juga lemah jika kita menengok keterangan di atas.
Bilamana bersama imam pada tempat yang tinggi tersebut ada sebagian shaf makmum, hal ini diperbolehkan karena imam saat itu tidak menyendiri di tempat tersebut. Ini semakna dengan yang disebutkan dalam kitab al-Inshaf karya al-Mirdawi rahimahullah dan kemudian difatwakan oleh asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dan Ibnu Utsaimin rahimahullah. (al-Imamah fish Shalah, al-Qahthani, Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Ibnu Baz, dan Majmu’ Fatawa wa Rasail, Ibnu Utsaimin)

Hukum di atas berlaku bilamana tidak ada maslahat dan kepentingan saat imam berposisi lebih tinggi dari makmum. Adapun jika ada maslahat untuk mengajari orang shalat dengan praktik langsung, hal ini diperbolehkan. Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah shalat di atas mimbar sebagaimana dalam hadits berikut.

Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus (seseorang) kepada Fulanah—seorang wanita yang telah disebut namanya oleh Sahl (bin Sa’d) radhiallahu ‘anhu—, “Perintahlah budakmu yang tukang kayu untuk membuatkan bangunan kayu untuk aku duduk di atasnya ketika aku berceramah di hadapan manusia.” Kemudian wanita itu memerintahkannya sehingga ia membuatnya dari tharfa’ (sejenis pohon cemara) di daerah al-Ghabah lalu dia bawa. Wanita itu mengutus seseorang untuk membawanya kepada Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu memerintahkan agar mimbar tersebut diletakkan di sini. Setelah itu, aku melihat beliau shalat di atas mimbar tersebut. Beliau bertakbir di atasnya, kemudian ruku’ di atasnya, kemudian turun mundur lalu sujud di dasar mimbar. Setelah itu beliau kembali lagi. Setelah selesai, beliau menghadap kepada manusia lalu berkata, “Wahai manusia, aku melakukan hal ini hanya agar kalian mengikuti aku dan kalian mempelajari shalatku.” (Shahih, Muttafaqun ‘alaihi dari sahabat Sahl bin Sa’d radhiallahu ‘anhu)

Ibnu Hibban rahimahullah berkata, “Jika seseorang menjadi imam lalu dia shalat sebagai imam orang-orang yang baru masuk Islam sehingga ia berdiri di tempat yang lebih tinggi dari makmum untuk mengajari mereka hukum-hukum shalat yang langsung dilihat mata, hal itu diperbolehkan sesuai dengan hadits sahabat Sahl bin Sa’d radhiallahu ‘anhu. Tetapi, kalau alasan ini tidak ada, janganlah ia shalat di tempat yang lebih tinggi dari tempat makmum, sesuai dengan hadits dari sahabat Abu Mas’ud radhiallahu ‘anhu. Dengan demikian, kedua hadits itu tidak bertentangan dan saling membantah. (Shahih Ibnu Hibban)

Pendapat lain dalam masalah ini adalah membolehkan imam lebih tinggi dari makmum secara mutlak. Ini adalah salah satu riwayat dari al-Imam Ahmad, Ibnu Hazm, dan ad-Darimi (Shahih al-Bukhari, Fathul Bari karya Ibnu Rajab, dan ats-Tsamarul Mustathab).

Ibnu Rajab rahimahullah berkomentar, “Pendapat ini sangat aneh dari al-Imam Ahmad. Tidak dikenal pendapat ini dari beliau selain melalui jalur ini, dan Ibnu Hazm rahimahullah bersandar padanya. Mereka menukilkan dari Ahmad bolehnya seorang imam di tempat yang lebih tinggi dari makmum. Hal ini bertentangan dengan mazhab beliau yang sudah tersebar (dalam hal ini), yang telah dinukil oleh para pengikut mazhab beliau di kitab-kitab mereka, serta disebutkan oleh al-Khiraqi dan yang setelahnya. Demikian juga, Hanbal dan Ya’qub bin Bakhtan menukilkan dari Ahmad bahwa beliau berkata, ‘Janganlah tempat imam lebih tinggi dari tempat orang yang di belakangnya. Akan tetapi, tidak mengapa yang di belakangnya lebih tinggi’.” (Fathul Bari)

Dalam kitab bermazhab Hanbali pula, al-Inshaf, disebutkan bahwa yang benar dalam mazhab Hanbali adalah tidak boleh.

Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan tentang pendalilan mereka dengan hadits Sahl bin Sa’d radhiallahu ‘anhu tentang shalat Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas mimbar untuk mendasari pendapat mereka, “Hal ini adalah pendalilan yang aneh dari para imam tersebut. Keherananku hampir-hampir tidak habis. Bagaimana bisa mereka berdalil untuk membolehkan hal itu secara mutlak, padahal perbuatan beliau itu (jelas-jelas) terkait dengan pengajaran, sebagaimana ucapan Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri.” (ats-Tsamarul Mustathab)

Ibnu Daqiqil Ied rahimahullah pun sebelumnya telah membantah pendapat tersebut, sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitab Fathul Bari.

Tempat Makmum Boleh Lebih Tinggi dari Imam

Secara ringkas tempat makmum boleh lebih tinggi dari imam. Hal itu pernah dilakukan oleh Abu Hurairah dan Anas bin Malik radhiallahu ‘anhuma.

“Abu Hurairah shalat di lantai atas masjid dengan shalatnya imam (mengikuti imam).” (Riwayat al-Bukhari secara mu’allaq dan dikuatkan oleh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari)

Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau melakukan shalat Jum’at di rumah Abu Nafi’ radhiallahu ‘anhu di sebelah kanan masjid, di sebuah ruangan setinggi postur tubuh manusia. Ruangan yang pintunya mengarah ke masjid, di kota Bashrah. Anas radhiallahu ‘anhu mengikuti shalat Jum’at di tempat tersebut dan menjadi makmum. (Riwayat Sa’id bin Manshur sebagaimana dalam kitab al-Muntaqa, dan al-Imam Ahmad berdalil dengannya sebagaimana kata Ibnu Rajab dalam Fathul Bari)

Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Shalat pada tempat yang dibangun di atas tanah semacam sebuah ruangan di masjid atau di atas loteng masjid, semuanya boleh dan tidak ada kemakruhan dalam hal ini tanpa ada perbedaan, kecuali pada beberapa permasalahan yang diperselisihkan.” (Fathul Bari)

Asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Adapun tinggi (tempat) makmum jika berlebihan yang lebih dari 300 hasta sehingga makmum tidak mungkin mengetahui gerakan imam, hal itu dilarang menurut kesepakatan ulama, tanpa ada perbedaan antara masjid dan yang lain. Adapun kurang dari ukuran tersebut, pada asalnya boleh, sampai adanya dalil yang melarang. Hal yang mendukung hukum asal ini adalah perbuatan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu tersebut dan tidak ada yang mengingkarinya.”

Namun, apakah kebolehan ini secara mutlak atau saat keadaan menuntut demikian dengan tetap memerhatikan aturan-aturan shaf/barisan shalat?

Di sini terjadi perbedaan pendapat. Yang kuat/rajih dari dua pendapat yang ada adalah yang kedua.

Al-Imam Ahmad rahimahullah ditanya, “Seseorang shalat di atas loteng bermakmum dengan imam?”

Beliau menjawab, “Jika antara dia dengan imamnya ada jalan atau sungai, tidak boleh.”
Beliau ditanya lagi, “Anas (bin Malik) shalat Jum’at di loteng.”

Beliau menjawab, “Pada hari Jum’at tidak ada jalan orang-orang.”
Beliau memaksudkan bahwa pada hari Jumat jalan-jalan penuh dengan orang-orang sehingga shaf-shaf bersambung. Demikian penjelasan Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitab Fathul Bari.

Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Atsar-atsar yang lain dari Umar, asy-Sya’bi, dan Ibrahim an-Nakha’i dalam kitab Ibnu Abi Syaibah (2/223) dan Abdurrazzaq (3/81—82), menyebutkan hal itu tidak boleh jika antara dia dengan imam ada jalan dan yang semacamnya.

Bisa jadi, apa yang terdapat dalam riwayat-riwayat yang pertama (semacam perbuatan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu) dipahami bahwa itu saat ada uzur/alasan, seperti penuhnya masjid, sebagaimana ucapan Hisyam bin Urwah, “Suatu saat aku bersama ayahku datang (ke masjid). Ternyata kami dapati masjid telah penuh. Kami pun tetap shalat bersama imam di sebuah rumah di sisi masjid, dan antara keduanya ada jalan (Riwayat Abdurrazzaq, 3/82 dengan sanad yang sahih dari beliau).” (Tamamul Minnah)

Beliau juga mengatakan bahwa jika makmum shalat di tempat yang tinggi, ada kemungkinan karena keadaan darurat seperti tempat yang sempit dan selainnya, atau tidak ada darurat. Jika kemungkinan yang pertama, tidak ada pembicaraan karena hal darurat menyebabkan bolehnya sesuatu yang terlarang. Tetapi kalau tidak, mengakibatkan terputusnya shaf/barisan dan menyendiri dari barisan yang ada, sebagaimana yang dilakukan banyak muadzin atau yang lain, juga orang yang shalat di halaman padahal di depan mereka masih kosong dan cukup untuk banyak shaf, hal yang semacam ini tidak boleh. (ats-Tsamarul Mustathab)

Pendapat lain dalam hal ini adalah boleh secara mutlak tanpa perincian di atas. Ini adalah riwayat lain dari pendapat al-Imam Ahmad rahimahullah (Fathul Bari karya Ibnu Rajab), tetapi pendapat ini lemah. Wallahu a’lam.

Dijawab oleh al-Ustadz Qomar Suaidi