السلام عليكم ورحمة الله و بركاته
Pascareformasi, aliran-aliran sesat kian menggeliat. Arus keterbukaan yang kebablasan membuat mereka kian berani menampakkan keyakinannya. Lebih-lebih, dengan kedok kebebasan beragama dan berkeyakinan, lembaga-lembaga pengecer “HAM” siap pasang badan membela mereka. Setidaknya adalah apa yang telah kita lihat, kelompok-kelompok ini telah membentuk organisasi resmi untuk mewadahi pengikutnya. Tidak ketinggalan, adalah agama Syiah.
Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) adalah organisasi penganut Syiah yang diklaim telah tersebar di 33 provinsi di Indonesia dengan keanggotaan lebih dari tiga juta orang. Jika klaim ini benar, maka tentunya ini menjadi catatan bagi umat Islam, bahwa Syiah telah demikian berkembang di negara kita.
Ada banyak kondisi mengapa Syiah bisa sedemikian pesat. Selain banyaknya anggapan bahwa Syiah dianggap mazhab kelima, ada ajaran Syiah yang selaras dengan syahwat. Yaitu nikah (baca: zina) mut’ah. Tak heran, jika “dakwah” Syiah getol menyasar ke mahasiswi atau orang-orang yang memiliki anak perempuan. Karena jika objek dakwahnya sudah menjadi Syiah, otomatis pintu untuk melakukan zina mut’ah terbuka lebar. Melalui ajaran ini, yang memberi kemudahan untuk menyalurkan syahwat, membuat para pendakwah Syiah kian mudah menjerat masyarakat.
Pernyataan tokoh-tokoh “Islam” yang mengamini Syiah, menutup mata atas kesesatan Syiah, menyamakannya dengan Islam, atau menyerukan persatuan Islam dan Syiah, juga memberi angin segar bagi tumbuh dan berkembangnya Syiah. Lebih ironi lagi, Jalaludin Rakhmat yang merupakan pentolan Syiah, karena dibesarkan media, telah dianggap sebagai cendekiawan “muslim” di negeri ini.
Melalui tulisan, dakwah Syiah juga sudah lama membanjiri media, lebih-lebih pasca-Revolusi Iran. Tak hanya majalah atau buletin, Mizan, corong Syiah yang kini telah menjadi penerbit terkemuka di negeri ini telah memenuhi toko-toko buku dengan buku-buku berbau Syiah.
Tak cukup di dunia nyata, di dunia maya, Syiah terus menabuh genderang perang. Website atau blog para penganut Syiah Indonesia menjamur dan demikian mudah diakses oleh siapa pun. Ini tentu sangat miris. Apalagi kaderisasi Syiah terus berjalan. Ratusan mahasiswa Indonesia yang belajar di Iran dengan beasiswa pemerintah setempat, tentu menjadi bahaya laten di kemudian hari. Lebih-lebih kader-kader lama sudah tersebar ke mana-mana karena di bidang pendidikan, Syiah sudah lama menancapkan kukunya di tanah air, yakni Pesantren YAPI (Yayasan Pesantren Islam) yang sudah berdiri di Bangil, Jawa Timur, sejak tahun 1970-an.
Perkembangan demi perkembangan Syiah Indonesia ini memang patut diwaspadai. Tidak menutup kemungkinan, na’udzubillah, kalau Syiah telah menjadi besar di negeri kita ini, muslim (Ahlus Sunnah) akan menjadi sasaran kekejaman Syiah, seperti muslim Yaman yang diserang pasukan al-Hutsi dan muslim Irak yang dibantai pasukan al-Mahdi.
Maka dari itu, tidak ada kata lain, terhadap Syiah kita harus terus memasang status waspada.