(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyyah)
Apakah Ada Kewajiban Mandi dan Wudhu Setiap Kali Hendak Shalat?
Ahlul ilmi berbeda pendapat tentang hal ini.
Menurut imam yang empat dan selain mereka, mandi setiap hendak shalat hukumnya mustahab, tidak wajib.
Adapun berwudhu menurut jumhur ulama wajib dilakukan wanita mustahadhah setiap kali hendak mengerjakan shalat lima waktu. Demikian pendapat Abu Hanifah, asy-Syafi’i, dan Ahmad.
Adapun al-Imam Malik berpendapat bahwa wudhu setiap hendak shalat ini tidak wajib, karena menurut beliau darah istihadhah tidak membatalkan wudhu. Namun, kebanyakan ulama menyelisihi pendapat al-Imam Malik ini dengan berdalilkan hadits yang diriwayatkan at-Tirmidzi dan selainnya bahwasanya Nabi n memerintahkan wanita yang mustahadhah untuk berwudhu setiap kali shalat. (Majmu’atul Fatawa, 21/629)
Hadits yang dimaksud adalah sabda Nabi n kepada Fathimah bintu Abi Hubaisy x yang mengadukan istihadhahnya kepada Nabi n:
تَوَضَّئِيْ لِكُلِّ صَلاَةٍ
“Berwudhulah setiap kali shalat.” (HR. at-Tirmidzi no. 125, disahihkan dalam Irwa’ul Ghalil no. 110)
Dalam riwayat al-Bukhari t dalam kitab Shahih-nya (no. 228) juga ada tambahan:
ثُمَّ تَوَضَّئِيْ لِكُلِّ صَلاَةٍ
“Kemudian berwudhulah engkau untuk setiap shalat…”
Namun, kata al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hambali t, yang benar tambahan ini dari ucapan Urwah ibnuz Zubair yang meriwayatkan hadits ini dari ayahnya, dari Aisyah x. (Fathul Bari, karya Ibnu Rajab al-Hambali, 1/448)
Tambahan ini diisyaratkan kelemahannya oleh al-Imam Muslim, karena itu beliau tidak membawakannya dalam Shahih-nya. Beliau t mengatakan, “Dalam hadits Hammad ibn Zaid ada tambahan yang sengaja kami tinggalkan penyebutannya.” (Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi, 3/243, ketika membawakan hadits no. 752)
Tambahan lafadz yang dimaksud oleh al-Imam Muslim t, kata al-Qadhi ‘Iyadh t, adalah:
اغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ وَتَوَضَّئِي
“Cucilah darah darimu dan berwudhulah.”
Tambahan ini disebutkan oleh an-Nasa’i dan selainnya. Al-Imam Muslim tidak menyebutkannya karena tambahan ini termasuk lafadz yang Hammad bersendiri dalam menyebutkannya. An-Nasa’i mengatakan, “Kami tidak mengetahui seorang pun (dari perawi hadits ini, pen.) yang mengatakan وَتَوَضَّئِي dalam hadits ini selain Hammad.”
Abu Dawud dan selainnya telah menyebutkan tentang wudhu dari riwayat ‘Adi ibn Tsabit dan Hubaib ibn Abi Tsabit serta Ayyub ibn Abi Miskin. Abu Dawud mengatakan, “Semuanya dhaif/lemah.” (al-Ikmal, 2/176)
Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hambali t mengatakan bahwa hadits-hadits yang memerintahkan berwudhu setiap kali shalat mudhtharibah (goncang) dan mu’allalah (berpenyakit). (Fathul Bari, karya Ibnu Rajab al-Hambali, 1/450)
Dalam masalah wudhu wanita mustahadhah ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t memilih pendapat sebagaimana mazhab al-Imam Malik, yaitu wanita mustahadhah dan orang-orang yang terus-menerus mengalami hadats semisalnya, tidak wajib berwudhu setiap kali shalat, tetapi mustahab saja, karena tidak ada dalil yang menunjukkan wudhunya batal. Alasan lainnya, wudhu tidak berfaedah bagi orang yang terus-menerus berhadats tersebut, karena hadatsnya tidak hilang, namun terus ada pada dirinya. Pendapat ini yang belakangan dipegang oleh Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin t. (lihat catatan kaki asy-Syarhul Mumti’ 1/503, Dar Ibnil Jauzi, cet. I, Dzulqa’dah 1422 H)
Kembali kepada masalah mandi bagi wanita mustahadhah, yang rajih adalah sebagaimana pendapat jumhur, yaitu tidak wajib. Al-Imam an-Nawawi t berkata, “Hadits-hadits yang disebutkan dalam Sunan Abi Dawud, al-Baihaqi, dan selain keduanya yang menyebutkan bahwa Rasulullah n memerintahkan Ummu Habibah x untuk mandi setiap kali hendak shalat, tidak ada yang tsabit (sahih) sedikitpun. Al-Baihaqi dan orang-orang yang sebelumnya telah menerangkan kedhaifannya. Yang sahih dalam hal ini adalah hadits yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya yang menyebutkan bahwa Ummu Habibah x mengalami istihadhah, lalu Nabi n bersabda kepadanya:
إِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ، فَاغْسِلِي ثُمَّ صَلِّي. فَكَانَتْ تَغْتَسِلُ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ
“Darah istihadhah itu hanyalah darah urat, maka mandilah (seselesainya dari haidmu) kemudian kerjakanlah shalat.” Maka dari itu, Ummu Habibah mandi setiap kali hendak shalat.
Al-Imam asy-Syafi’i t menerangkan, “Rasulullah n hanya memerintahkannya (mandi setelah selesai dari haid). Dalam hadits ini tidak ada yang menunjukkan perintah beliau kepada Ummu Habibah untuk mandi setiap kali hendak shalat. Tidaklah diragukan bahwa mandi Ummu Habibah (setiap kali hendak shalat) itu sifatnya tathawwu’ (sunnah)1, tidak diperintahkan kepadanya, dan hal itu merupakan kelapangan baginya.” (al-Majmu’, 2/554)
Shalat Jamak Bagi Wanita Mustahadhah
Rasulullah n bersabda kepada Hamnah bintu Jahsyin x:
وَإِنْ قَوِيْتِ عَلَى أَنْ تُأَخِّرِي الظُّهْرَ وَتُعَجِّلِي الْعَصْرَ فَتَغْتَسِلِيْنَ وَتَجْمَعِيْنَ يَبْنَ الصَّلاَتَيْنِ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ، وَتُأَخِّرِيْنَ الْمَغْرِبَ وَتُعَجِّلِيْنَ الْعِشَاءَ، ثُمَّ تَغْتَسِلِيْنَ وَتَجْمَعِيْنَ بَيْنَ الصَّلاَتَيْنِ فَافْعَلِيْ، وَتَغْتَسِلِيْنَ مَعَ الْفَجْرِ فَافْعَلِي…
“Bila engkau kuat mengakhirkan shalat zhuhur dan menyegerakan shalat ashar, lalu engkau mandi dan menjamak dua shalat, zhuhur dan ashar; dan engkau mengakhirkan shalat maghrib dan menyegerakan shalat isya, kemudian engkau mandi dan menjamak dua shalat tersebut, maka lakukanlah; dan engkau mandi di waktu subuh (untuk mengerjakan shalat subuh), maka lakukanlah….” (HR. Ahmad, Abu Dawud no. 287, at-Tirmidzi no. 128, dihasankan al-Imam al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil no. 188)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya wanita mustahadhah menjamak shalat fardhu. Namun perlu dilihat dulu, apa yang dimaksud menjamak di sini?
Mungkin Anda pernah mendengar istilah jamak shuri? Inilah jamak yang dimaksudkan bagi wanita mustahadhah (Subulus Salam, 1/375).
Caranya, ia mengakhirkan shalat zhuhur sampai pada akhir waktu zhuhur. Saat masuk awal waktu shalat ashar, ia pun mengerjakannya di awal waktu, sehingga ia mengerjakan kedua shalat ini (zhuhur dan ashar) pada waktunya masing-masing dengan sebelumnya mandi sekali (untuk dua shalat). Demikian pula dengan shalat maghrib dan isya.
Adapun untuk shalat subuh, disenangi baginya untuk mandi, karena shalat subuh ini tidak bergabung dengan shalat lima waktu yang lain, yang sebelumnya ataupun setelahnya. Tidaklah diragukan bahwa dengan mandi, kebersihan yang diperoleh akan lebih sempurna. Namun, hal ini dilakukan bila tidak ada kesulitan yang besar seperti cuaca yang sangat dingin dan lainnya. (Taudhihul Ahkam, 1/446)
Hukum Jima’ dengan Istri yang Mengalami Istihadhah
Ahlul ilmi berbeda pendapat dalam masalah boleh tidaknya seorang suami melakukan hubungan dengan istrinya yang sedang istihadhah. Namun, berdasarkan keterangan yang dibawakan di atas bahwa wanita mustahadhah hukumnya sama dengan wanita yang suci, tidak ada larangan bagi suami untuk melakukannya. Hal ini merupakan pendapat jumhur ahlul ilmi. Di antara mereka adalah Abu Hanifah, Malik, mazhab Syafi’iyah, ahlu zhahir, dan Ahmad dalam satu riwayat dari beliau. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas c, Ibnul Musayyab, al-Hasan, Atha’, Sa’id bin Jubair, Qatadah, Hammad bin Abi Sulaiman, Bakr ibn Abdillah al-Muzani, al-Auza’i, ats-Tsauri, Ishaq, Abu Tsaur, dan Ibnul Mundzir rahimahumullah. (Nailul Authar, 1/397)
Al-Imam al-Albani t mengatakan, “Pendapat jumhur inilah yang benar, karena hukum asal dalam segala sesuatu adalah mubah. Selain itu, pelarangan jima’ saat istihadhah akan memberikan kemudaratan bagi suami apabila istihadhah tersebut berlangsung terus-menerus sebagaimana yang terjadi pada Ummu Habibah bintu Jahsyin x.”
Kemudian al-Imam al-Albani menyebutkan atsar yang diriwayatkan ad-Darimi (no. 207) dengan sanad yang sahih dari Salim al-Afthas. Ia berkata, “Sa’id ibnu Jubair pernah ditanya, ‘Apakah wanita mustahadhah boleh digauli?’ Sa’id menjawab, ‘Shalat lebih agung daripada jima’.” (Maksudnya, kalau shalat saja boleh, apalagi jima’, red.)
Ad-Darimi juga meriwayatkan yang semisal ini dari Bakr ibnu Abdillah al-Muzani dengan sanad yang sahih.” (Tsamarul Mustathab fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, 1/45).
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Catatan Kaki:
1 Mandi setiap kali hendak shalat dihukumi mustahab dalam rangka menjamak/menggabungkan hadits-hadits yang ada. (Nailul Authar, 1/342)