Jangan Sia-siakan Mereka!

Kenakalan remaja dan perilaku menyimpang yang terjadi pada sebagian mereka umumnya merupakan akumulasi dari sekian banyak masalah. Semua itu terjadi melalui proses waktu. Tekanan hidup yang terus menumpuk, terpendam, dan pada saat tertentu meledak. Remaja memberontak, melakukan perlawanan.

Bentuk pemberontakan dan perlawanan tentu berbeda antara satu remaja dan remaja lainnya. Bisa dengan cara bullying kepada teman sebaya atau yang lebih muda. Bisa pula dengan menarik diri; mogok belajar, enggan mondok, malas, acuh tak acuh dengan lingkungan rumah, keluarga, atau sosial. Bisa pula dengan mencari perlindungan atau “menata hati” dengan teman sebaya, lari dan bergabung dengan temantemannya.

Beberapa sikap dan tindakan orang tua atau pengasuh yang tidak tepat kerap menjadi pemicu berkelanjutan yang akan mengarah pada pembentukan perilaku tidak sehat pada remaja. Apa bentuk sikap tak tepat tersebut?

Di antaranya ialah sikap abai orang tua, tindak kekerasan emosional, dan kekerasan fisik yang terpupuk semenjak kanak-kanak. Apabila keadaan ini terbawa hingga anak memasuki usia remaja, bisa menjadi dasar berkembangnya perilaku tak sehat pada remaja.

 

Pengabaian

Banyak orang tua yang sibuk lantas mengabaikan anak. Sesibuk apa pun, tidak selayaknya orang tua menelantarkan anak. Termasuk kesibukan mencari nafkah bukan alasan untuk mengabaikan kehadiran anak. Bagaimana pun, anak adalah sosok hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang memiliki perasaan, yang memerlukan sapa sayang, yang ingin diperhatikan, dan diajak bercakap. Anak bukan seonggok benda mati yang bisa disikapi secara abai.

Kisah anak remaja yang lebih suka banyak bermain, menginap, mangkal di luar rumah, satu di antara sebabnya ialah karena diabaikan orang tua. Mereka tidak mendapat perhatian yang memadai. Mereka tak pernah ditanya mau pergi ke mana, dari mana, siapa temannya, dan kata-kata semakna yang menunjukkan perhatian orang tua. Tak ada nasihat, teguran, atau bimbingan.

Mereka sudah terpisah dengan orang tua secara emosional walau secara fisik orang tua ada di dekat mereka. Tiada jalinan komunikasi nan hangat yang bisa dirasakannya. Sebab, saat orang tua di rumah ternyata tidak bercengkrama dengan dirinya. Tablet, laptop, dan HP telah menyita waktu yang semestinya diberikan padanya. Hak anak pun terampas. Keberadaan mereka di rumah ternyata tidak membuahkan kebersamaan lahir batin. Kehadiran perangkat teknologi di rumah justru menjadikan mereka memasuki alam buaian masing-masing. Mereka secara fisik dalam satu tempat, namun secara pikiran dan hati, mereka terbang menembus batas angannya masing-masing.

Sebuah anggapan salah, kala orang tua telah memenuhi segenap kebutuhan materi pada anak lantas merasa telah memberikan segalanya. Sebab, betapapun materi telah terpenuhi, namun hati sang anak belum tentu telah terpenuhi. Banyak keluarga yang telah terpenuhi secara materi, namun keadaan hati mereka gersang. Kegalauan demi kegalauan harus mereka telan bulat.

Materi saja tak mencukupi. Sirami mereka dengan al-Qur’an, hadits, dan nasihat para ulama salaf. Hidupkan hati mereka sebagaimana kaum salaf dahulu telah menghidupkan keadaan hati mereka.

Faktor pengabaian bisa menjadi sebab terkuburnya kerekatan emosional anak dengan orang tuanya. Dalam masa yang panjang, kondisi emosional anak menjadi tumpul. Tak memiliki kepedulian terhadap anggota keluarga, terkhusus orang tua.

Dalam konteks yang lebih spesifik, seorang anak akan mengalami kesulitan dalam merealisasikan bimbingan-bimbingan Islam terkait berbuat baik kepada kedua orang tua. Sebab, berbuat baik kepada kedua orang tua adalah bentuk amal yang memerlukan pola pembiasaan. Bisa jadi, secara kognitif seorang anak telah memahami bagaimana harus berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Namun, secara amaliah bisa mengalami hambatan karena tidak adanya kerekatan emosional.

Jika demikian, pengabaian bisa menumpulkan sikap sosial remaja. Tentu, dampak buruk itu tidak secara instan. Akan tetapi, melalui proses yang panjang yang bermula dari pola asuh yang mengabaikan keberadaan anak. Pola asuh yang menyia-nyiakan karunia Allah subhanahu wa ta’ala.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu peduli dengan anak-anak. Tak bersikap abai. Beliau begitu bersedih kala putranya wafat. Beliau pernah membisikkan seuntai kalimat kepada putrinya, Fathimah radhiallahu ‘anha. Sebuah sikap kedekatan antara beliau dengan putrinya. Beliau pun meringkas shalat—yang awalnya shalat itu hendak ditunaikan lama—saat terdengar tangis seorang anak karena beliau tak mau menyusahkan ibu anak tersebut. Beliau berziarah mengunjungi permukiman kaum Anshar lalu menyapa, memberi salam, mengusap kepala anak-anak Anshar dan mendoakannya.

Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu,

كاَنَ رَسُولُ اللهِ يَزُورُ الْأَنْصَارَ وَيُسَلِّمُ  عَلَى الصِّبْيَانِ وَيَمْسَحُ رُؤُوسَهُمْ. وَفِي رِوَايَةٍ: وَيَدْعُولَهُمْ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkunjung ke kalangan kaum Anshar. Beliau memberi salam kepada anak-anak, mengusap kepala-kepala mereka.” (Shahih al-Jami’ ash-Shaghir, no. 4947)

Dalam riwayat lain, “mendoakan mereka.” (HR. an-Nasa’i dari Tsabit radhiallahu ‘anhu)

Dalam Shahih al-Bukhari (no. 5993) disebutkan hadits dari Ummu Khalid bin Khalid bin Sa’id radhiallahu ‘anha yang bercerita sebagai berikut.

Saya bertamu ke tempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama ayahku. Saya mengenakan pakaian berwarna kuning. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Sanah. Sanah.’ Abdullah menyebutkan, “Dalam bahasa Habasyah berarti bagus, bagus.” Saya pun mempermainkan cincin (kenabian) beliau. Ayahku lantas melarangku.

Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Biarkan.” Kemudian lanjut beliau, “Pakailah sampai rusak (pakaianmu). Pakailah sampai rusak. Pakailah sampai rusak.”

Abdullah, perawi, mengungkapkan, “Pakaian itu terus dia pakai hingga berubah warna.”

Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah menyebutkan terkait hadits tersebut, “Bercanda dengan anak kecil melalui kata-kata dan perbuatan, tujuannya untuk membangun kedekatan. Termasuk dalam hal ini ialah mencium.” (Fathu al-Bari, 10/493—494)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencandai Zainab binti Abi Salamah dengan memanggilnya, “Hai Zuwainib. Hai Zuwainib.” Berkali-kali. (Hadits dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu. Lihat Shahih al-Jami’ ash-Shagir, no. 5025)

Inti dari kisah di atas, membangun kelekatan antara orang tua dan anak telah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menelantarkan, mengabaikan, dan tiada memberi perhatian kepada anak merupakan tindak tak terpuji. Tindakan seperti ini bakal memancing malapetaka dalam kehidupan keluarga.

 

Tindak Kekerasan

Apabila pengabaian bisa melahirkan keburukan. Begitu pun dengan tindak kekerasan emosional dan kekerasan fisik bisa menimbulkan kemudaratan. Tekanan yang datang bertubi saat masa kanak-kanak, bisa memunculkan perilaku menyimpang saat remaja.

Ketika masa kanak-kanak mendapat tekanan, bisa jadi seorang anak merespon hanya dengan tangisan. Namun, keadaan akan berbeda saat anak itu telah tumbuh remaja. Dirinya akan merespon dengan segala kemampuan yang ada.

Apabila dirinya tak mampu, remaja akan lari dari dunianya untuk menemukan dunia lainnya. Terjatuhlah sang remaja pada lembah miras, terbang melayang bersama narkoba, menyusuri dunia hitam, dan menikam zaman dengan tindak kriminal.

Kekerasan melahirkan agresivitas. Kekerasan melahirkan sesuatu yang buruk bagi sang remaja, keluarga, dan lingkungannya. Manakala kelembutan itu sirna, yang ada cuma keburukan. Keadaan ini mencemaskan setiap insan yang masih memiliki akal budi.

 

Mencegah Itu Lebih Baik

Mencegah kerusakan tentu lebih baik daripada harus memperbaiki keadaan yang sudah karut-marut.

Bermula dari rumah, tanamkan kebaikan. Bermula dari rumah, tebarkan kelembutan dan kasih sayang. Rumah adalah madrasah, sebuah tempat membiasakan perilaku terpuji. Orang tua adalah pendidiknya. Anak-anak adalah amanat yang harus mendapat pendidikan. Setiap saat di madrasah itu terjadi proses pembelajaran. Anak didik tak semata diajari, namun juga dibiasakan untuk mengamalkan adab yang baik.

Madrasah yang baik senantiasa memberi nasihat, menegur, dan membimbing anak didiknya yang keluar dari jalur kebenaran. Madrasah yang baik tak bermudah-mudah menjatuhkan sanksi, kecuali setelah adanya proses penelusuran yang bisa dipertanggungjawabkan sehingga membawa bukti kuat untuk turunnya sebuah sanksi.

Karena itu, sebagai seorang pendidik, orang tua tak boleh mudah tersulut emosi untuk langsung memukul atau melakukan tindak kekerasan. Pendekatan dengan penuh kasih sayang lebih dikedepankan. Tentu saja, seraya mempelajari “mengapa sang anak berbuat tidak patut?”

Setelah itu, orang tua berupaya untuk terus menasihati sang buah hati beriring dengan memohon kepada Yang Mahakuasa untuk memberi taufik padanya. Sebuah upaya yang memerlukan keikhlasan, kesungguhan hati, kesabaran, dan ketawakalan.

Di antara upaya menekan beragam penyimpangan perilaku remaja, yaitu:

 

  1. Menciptakan suasana rumah yang harmonis

Keluarga yang kondusif, berjalan di atas rambu-rambu syariat, akan menjadi tempat yang baik untuk menyemai pribadi saleh. Dari keadaan keluarga yang disinari oleh kemilau cahaya al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman salaf, diharapkan beragam penyimpangan itu tak mencuat.

Dengan demikian, rumah menjadi benteng nan kokoh yang menangkal setiap bentuk penyimpangan. Dari dalam rumah itu pula asupan nutrisi bagi jiwa penghuninya terus disajikan. Setiap penghuni memiliki daya imun terhadap berbagai syubhat dan syahwat yang merambat cepat.

Jadi, untuk menumbuhkan kepribadian yang baik pada remaja, hendaknya kondisi di dalam rumah diperbagus. Demikian pula apabila penyimpangan itu telah menimpa sang remaja, keadaan rumah tak bisa diremehkan perannya. Kebersamaan, dukungan untuk memulihkan mental, doa, serta bantuan lainnya merupakan sumbangsih tiada ternilai. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ

“Dan janganlah kalian tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (al-Maidah: 2)

 

  1. Mencari bi’ah (lingkungan) yang baik

Sebagaimana disebutkan oleh asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, di antara sebab terjadinya penyimpangan perilaku anak muda adalah bi’ah (lingkungan).

Oleh karena itu, memilih tempat untuk anak usia masih belia harus penuh kecermatan. Tempatkan anak di lingkungan yang baik. Kisah pembunuh seratus jiwa yang hendak bertobat bisa menjadi pelajaran berharga, betapa lingkungan berperan besar dalam membentuk perilaku seseorang. Dalam hadits dari Abu Sa’id Sa’d bin Malik bin Sinan al-Khudri radhiallahu ‘anhu disebutkan,

انْطَلِقْ إِلَى أَرْضِ كَذَا وَكَذَا، فَإِنَّ بِهَا أُنَاسٌ يَعْبُدُونَ اللهَ تَعَالَى فَاعْبُدِ اللهَ مَعَهُمْ وَ تَرْجِعْ إِلَى أَرْضِكَ فَإِنَّهَا أَرْضٌ سُوءٌ

Beralihlah ke daerah begini dan begini. Sesungguhnya, masyarakat di daerah tersebut beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Hendaklah engkau beribadah bersama mereka. Kemudian, janganlah dirimu kembali ke daerahmu karena daerahmu itu buruk.” (HR. al-Bukhari no. 3470 dan Muslim no. 46)

Lihatlah, keadaan tempat yang kondusif memberi sokongan guna membentuk kepribadian yang baik.

Di antara bentuk memilih bi’ah yang baik adalah memilih tempat belajar bagi sang anak yang menginjak belia. Banyak orang beranggapan bahwa memasukkan anak ke tempat pendidikan berlabel Islam akan menjamin kebaikan bagi anaknya.

Padahal, apabila ditelisik lebih cermat, justru lembaga pendidikan yang berlabel Islam tersebut tak jauh berbeda dengan lembaga pendidikan umum lainnya. Kalau pun materi agama lebih banyak jam mata pelajarannya, belum tentu materi pelajarannya selaras dengan pemahaman Islam yang benar sebagaimana diajarkan oleh para ulama salaf. Apalagi apabila dilihat para pengajarnya tidak mencerminkan sosok pengajar yang memberi teladan dalam penerapan Islam.

Jika keadaannya seperti itu, tentu sangat berbahaya bagi pembentukan kepribadian sang remaja. Lembaga pendidikan semacam itu hanya akan menanamkan syubhat yang membahayakan bagi agama yang dipeluk sang remaja.

 

  1. Bekali dengan ilmu bermanfaat

Tugas orang tua atau pendidik di antaranya membekali remaja dengan ilmu yang bermanfaat. Pemahaman mereka tentang Islam harus tertanam kokoh.

Ilmu yang bermanfaat, yang telah diwariskan oleh para ulama salaf, akan menjadi petunjuk dalam menapaki kehidupannya, terkhusus pada saat usia mereka masih belia. Diharapkan dengan ilmu tersebut para remaja memiliki prinsip hidup yang terbimbing. Tak tergoyahkan oleh beragam godaan yang akan melumatkan masa depannya. Tak mudah terombang-ambingkan oleh beragam fitnah kehidupan serta berbagai kesesatan.

Dengan ilmu, prinsip hidup remaja menjadi jelas terarah. Dirinya menjadi remaja yang tumbuh dalam ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Remaja yang menjadikan dunia ini hanya sebagai titian menuju kehidupan akhirat. Kehidupan yang senyatanya.

Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu disebutkan tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah subhanahu wa ta’ala pada satu naungan di Hari Kiamat, yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. Salah satu di antara ketujuh golongan tersebut,

وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللهِ

Pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.” (HR. al-Bukhari no. 1423 dan Muslim no. 91)

 

  1. Pilih pendidik yang baik

Termasuk yang disebutkan oleh asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, terkait penyebab perilaku menyimpang pada anak muda, yaitu keterbatasan sumber daya manusia yang mampu mendidik dan memberi penjelasan tentang hakikat dan keindahan Islam.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah, dalam risalahnya, al-Qaulu al-Mufid ‘ala Kitabi at-Tauhid menyebutkan bahwa seseorang yang menyampaikan Islam, selain berilmu syar’i, hendaknya memiliki pula pengetahuan tentang keadaan orang yang didakwahi. Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak mengutus sahabat untuk berdakwah ke Yaman, beliau berpesan bahwa kaum yang akan didatangi adalah dari kalangan ahli kitab. Ini menunjukkan bahwa seorang pendidik harus mengetahui keadaan orang yang akan diajari. Demikian pula sosok pendidik yang baik, hendaknya mengenal secara dekat setiap anak didiknya.

Kedekatan pendidik—dalam batas tertentu—terhadap anak didiknya akan sangat membantu dalam mengarahkan dan membimbing ke jalan yang benar. Terutama saat anak didik menghadapi masalah. Kedekatan yang terjalin bisa membuka jalur komunikasi sehingga permasalahan bisa ditangani, bi idznillah.

Menempatkan remaja bersama pendidik yang baik akan menepis perilaku penyimpangan remaja, bi idznillah. Ini menjadi salah satu solusi guna meredam laju penyimpangan perilaku remaja yang dari waktu ke waktu sangat memprihatinkan.

Kisah seorang alim yang mengarahkan pembunuh seratus jiwa untuk bertobat merupakan kisah yang memberi inspirasi. Dengan bekal ilmu yang ada padanya, seorang alim mampu menuntun seseorang yang tengah menghadapi gejolak hidup.

فَدَلَّ عَلَى رَجُلٍ عَالِمٍ فَقَالَ: إِنَّهُ قَتَلَ مِئَةَ نَفْسٍ فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ؟ فَقَالَ: نَعَمْ، وَمَنْ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ؟

Seorang penduduk mengarahkan (sang pembunuh) kepada seorang alim. Lantas ditanyakan pada seorang alim, “Sungguh, ia telah melenyapkan nyawa seratus orang, apakah bagi dirinya masih ada kesempatan bertobat?”

Seorang alim pun menjawab, “Ya, masih. Siapakah yang bisa menghalangi antara dirinya dengan tobat?”

Betapa penting kehadiran seorang pendidik yang alim, yang perbuatannya senantiasa selaras dengan ilmu yang dimilikinya. Seorang alim, memutuskan sesuatu tidak gegabah. Namun, ditimbang dari berbagai sudut atas dasar bashirah (keilmuan) yang ada padanya. Betapa urgen keberadaan seorang alim.

 

  1. Bersama teman yang baik

Memilihkan teman adalah solusi untuk memupuk nilai kebaikan. Teman yang baik akan menularkan kebaikan dan begitu pula sebaliknya. Seseorang yang ingin perilakunya baik, hendaklah bergaul dengan orang yang baik.

Tradisikan mengunjungi orang-orang saleh. Ambil faedah ilmu darinya. Ambil pula pelajaran adab dari perilaku kesehariannya. Apabila ingin baik, bersamalah teman yang baik. Agama seseorang bisa dilihat dari teman dekatnya.

Karena itu, lihatlah siapakah yang ia jadikan teman dekatnya. Orang yang baik tentu bercengkrama bersama orang baik pula. Sebab, sungguh kecenderungan hati tak mungkin diingkari. Seorang penyair berkata,

وَفِي السَّمَاءِ طُيُورٌ اسْمُهَا الْبُقْعُ           

إِنَّ الطُّيُورَ عَلَى أَشْكَالِهَا تَقَعُ                     

“Di langit ada burung-burung namanya al-buq’u

Sungguh, burung-burung itu akan hinggap bersama yang sejenis.” (Ni’matu al-Ukhuwah, Faishal bin Abduh Qaid al-Hasyidi, hlm. 30)

 

  1. Hindari berbagai media yang merusak

Telah banyak korban akibat bergumul dengan media. Akibat tak mampu mengendalikan diri, banyak anak remaja terjatuh pada kemaksiatan. Waktu mereka dihabiskan untuk hal yang tiada guna.

Akibat dari media, perilaku mereka pun berubah. Tak menunjukkan pada kebaikan. Bagi jiwa muda yang belum mampu mengendalikan diri secara matang, pengaruh media (cetak ataupun elektronik) sangat kuat. Banyak perilaku negatif anak remaja dipicu oleh media.

 

Bagaimana pun, anak adalah sosok hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang memiliki perasaan, yang memerlukan sapa sayang, yang ingin diperhatikan, dan diajak bercakap.

 

  1. Beri kesempatan mengaktualisasikan diri

Sudah menjadi tabiat remaja, senang pada aktivitas yang beraroma menantang. Beladiri, berpetualang menyisir alam, keterampilan berkendara, adalah beberapa contoh kegiatan remaja. Masih banyak lagi kegiatan positif yang bisa dijadikan wahana untuk mengaktualisasikan diri, menyalurkan jiwa energik, dan semangat muda. Kegiatan-kegiatan semacam itu apabila terbimbing akan memberikan manfaat yang besar bagi remaja. Di antara manfaat yang bisa dipetik: memperkuat fisik, membangun mental pemberani, melatih kemampuan bersabar dan bertahan menghadapi kesulitan, melatih kerjasama kelompok, memupuk percaya diri dan lainnya.

Dalam sebuah hadits sahih terungkap, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati beberapa anak muda yang tengah memanah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ارْمُوا يَا بَنِي إِسْمَاعِيلَ، فَإِنَّ أَبَاكُمْ كَانَ رَامِيًا

Panahlah, wahai anak cucu Ismail. Sesungguhnya, orang-orang tua kalian dulu adalah pemanah.” (Shahih al-Jami’ ash-Shaghir no. 3520)

Demikian pula, hendaknya para remaja putri diberi kesempatan untuk mengaktualisasikan diri melalui kegiatan-kegiatan keputrian. Kegiatan yang kelak bisa membawa manfaat manakala mereka berkeluarga seperti: menjahit, memasak, menulis, dan lainnya. Seiring tentunya dibekali pula bimbingan keagamaan yang kelak bisa menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan. Semua itu berlangsung sebagai bagian membimbing remaja ke arah yang benar.

Allahu a’lam.

 

Ditulis oleh Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin