Setan tak hanya menyerang orang-orang yang bergelimang maksiat, tetapi juga menjerat hamba-hamba-Nya yang gemar beribadah. Ia menggunakan dua cara untuk menyesatkan umat Islam. Cara pertama ia gunakan untuk mengelabui seorang muslim yang bergelimang maksiat, yaitu dengan menjadikan maksiat yang ia lakukan seakan-akan sesuatu yang indah sehingga ia akan selalu jauh dari ketaatan.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ
“Surga itu dikelilingi oleh perkara-perkara yang tidak disenangi, sedangkan neraka itu diliputi dengan berbagai keinginan syahwat.” (HR. al-Bukhari no. 6487 dan Muslim no. 2822)
Baca juga: Surga, Kenikmatan Abadi yang Telah Ada
Adapun cara kedua digunakan oleh setan untuk menyesatkan seorang muslim yang gemar beribadah, yaitu dengan mengajaknya berlaku ghuluw (melampaui batas) dalam beribadah, yang membuat agamanya justru akan rusak. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala melarang para hamba-Nya untuk bersikap ghuluw. (Muqaddimah Syaikh al-Abbad, kitab Bi Ayyi ‘Aqlin wa Dinin)
Imam Makhlad bin al-Husain rahimahullah pernah berkata, “Tidaklah Allah subhanahu wa ta’ala memerintah hamba-hamba-Nya untuk berbuat kebaikan, kecuali Iblis akan menghadangnya dengan dua cara. Iblis tidak peduli dengan cara apa dia akan menguasainya; membuatnya bersikap ghuluw dalam amalan, ataukah membuatnya meremehkan amalan tersebut.” (Siyar A’lam an-Nubala’, 9/236)
Definisi al-Ghuluw
Al-Ghuluw secara bahasa bermakna ‘melebihi batasan’. Berasal dari kata
غَلَا فِي الْأَمْرِ – يَغْلُو – غُلُوًّا
Hal ini sebagaimana yang dijabarkan oleh al-Jauhari dalam ash-Shihhah, Ibnu Faris dalam al-Mu’jam, Ibnu Manzhur dalam al-Lisan, dan az-Zabidi dalam Tajul Arus.
Dalam penggunaannya, seluruh lafaz ghuluw selalu bermakna ‘melebihi ukuran dan batasan’. Sebagai contoh adalah hadits Abu Dzar radhiallahu anhu, dalam riwayat al-Bukhari (no. 2518). Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ditanya tentang budak yang paling layak untuk dibebaskan. Beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab,
أَغْلاَهَا ثَمَنًا، وَأَنْفعُهَا عِنْدَ أَهْلِهَا
“Budak yang paling tinggi harganya dan paling bermanfaat untuk majikannya.”
Kalimat غلَاءُ الثَّمَنِ artinya adalah ‘harganya melambung dan melebihi kebiasaan secara umum’.
Demikian pula, sebagai contoh lain, hadits an-Nu’man bin Basyir radhiallahu anhu. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَهْوَنَ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ عَلَى أَخْمَصِ قَدَمَيْهِ جَمْرَتَانِ يَغْلِي مِنْهُمَا دِمَاغُهُ، كَمَا يَغْلِي الْمِرْجَلُ
“Sesungguhnya penghuni neraka yang paling ringan azabnya adalah seseorang yang dipasangkan dua bara api pada telapak kakinya, kemudian otaknya mendidih sebagaimana periuk itu mendidih.” (HR. al-Bukhari no. 6561 dan Muslim no. 213)
Kalimat غلَاءُ الْمِرْجَلِ artinya ‘periuk yang bertambah panasnya dan melebihi biasanya’.
Baca juga: Dahsyatnya Neraka
Menurut Syaikhul Islam rahimahullah, definisi ghuluw ialah, “Melebihi batas, yaitu dengan menambahkan pujian atau celaan melebihi yang seharusnya, atau yang semisal dengan itu.” (Iqtidha’ ash-Shirath, 1/328)
Adapun dalam istilah syariat, ghuluw bermakna ‘melebihi batasan yang telah ditetapkan oleh syariat’. (al-Ghuluw, hlm. 13)
Haramnya Ghuluw
Agama Islam adalah ajaran yang diturunkan dari sisi Sang Pencipta, yang telah menciptakan langit dan bumi beserta segala isinya. Dengan demikian, Allah azza wa jalla adalah Dzat Yang Maha Mengetahui batasan kemampuan dan kekuatan manusia.
Oleh karena itu, syariat yang Allah tetapkan pasti sudah sesuai dengan kemampuan mereka. Agama Islam datang membawa kemudahan bagi para pemeluknya, ajaran yang tidak menghendaki adanya kesusahan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (al-Baqarah: 286)
Maka dari itu, sikap ghuluw dan berlebih-lebihan adalah sebuah kesesatan nyata yang jauh dari tujuan mulia. Berikut ini adalah beberapa dalil mengenai haramnya dan tercelanya sikap ghuluw. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَٰٓأَهۡلَ ٱلۡكِتَٰبِ لَا تَغۡلُواْ فِي دِينِكُمۡ وَلَا تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ إِلَّا ٱلۡحَقَّۚ
“Wahai Ahli Kitab! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.” (an-Nisa: 171)
قُلۡ يَٰٓأَهۡلَ ٱلۡكِتَٰبِ لَا تَغۡلُواْ فِي دِينِكُمۡ غَيۡرَ ٱلۡحَقِّ وَلَا تَتَّبِعُوٓاْ أَهۡوَآءَ قَوۡمٍ قَدۡ ضَلُّواْ مِن قَبۡلُ وَأَضَلُّواْ كَثِيرًا وَضَلُّواْ عَن سَوَآءِ ٱلسَّبِيلِ
Katakanlah (Muhammad), “Wahai Ahli Kitab! Janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara yang tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah tersesat dahulu dan (telah) menyesatkan banyak (manusia), dan mereka sendiri tersesat dari jalan yang lurus.” (al-Maidah: 77)
Baca juga: Makar dan Tipu Daya Ahlul Kitab
Dalam dua ayat ini, Allah subhanahu wa ta’ala melarang ahli kitab dari sikap ghuluw dalam beragama. Satu hal yang perlu diketahui bahwa setiap pembicaraan—dalam bentuk perintah atau larangan—yang ditujukan kepada ahli kitab di dalam al-Qur’an, hal itu juga berlaku untuk umat Islam. Sebab, merekalah yang diajak berbicara di dalam al-Qur’an. Apabila Allah subhanahu wa ta’ala melarang ahli kitab dari sikap ghuluw, umat Islam pun sejatinya lebih pantas untuk dilarang. (al-Ghuluw, hlm. 15)
Al-Qur’an juga dengan tegas melarang kita dari sikap melampaui batas. Itu adalah hakikat ghuluw yang sebenarnya menurut tinjauan syariat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُحَرِّمُواْ طَيِّبَٰتِ مَآ أَحَلَّ ٱللَّهُ لَكُمۡ وَلَا تَعۡتَدُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُعۡتَدِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengharamkan apa yang baik yang telah dihalalkan Allah kepadamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (al-Maidah: 87)
Allah subhanahu wa ta’ala juga telah berfirman kepada Nabi-Nya dan para pengikut beliau,
فَٱسۡتَقِمۡ كَمَآ أُمِرۡتَ وَمَن تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطۡغَوۡاْۚ إِنَّهُۥ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِيرٌ
“Maka tetaplah engkau (Muhammad) (di jalan yang benar), sebagaimana telah diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang bertobat bersamamu, dan janganlah kamu melampaui batas.” (Hud: 112)
Baca juga: Kezaliman adalah Kegelapan pada Hari Kiamat
Adapun hadits-hadits yang menjelaskan haramnya ghuluw sangatlah banyak. Di antaranya adalah hadits dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ -قَالَهَا ثَلاَثًا
“Binasalah orang-orang yang bersikap tanaththu’.” Beliau mengulanginya tiga kali. (HR. Muslim no. 2670)
Imam an-Nawawi rahimahullah, di dalam Syarah Muslim menjelaskan, “Yang dimaksud dengan orang-orang yang bersikap tanaththu’ adalah yang berlebih-lebihan, bersikap ghuluw, dan melampaui batasan yang telah ditentukan, baik dalam ucapan maupun perbuatan.”
Seseorang yang bersikap tanaththu’ akan hancur dan merugi. Sebab, sikap tersebut akan mendorongnya untuk terjatuh dalam kesombongan dan ujub (bangga diri). Ia memandang dirinya telah banyak melakukan amal saleh. Setan sungguh telah menipunya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang tipuan setan ini,
أَفَمَن زُيِّنَ لَهُۥ سُوٓءُ عَمَلِهِۦ فَرَءَاهُ حَسَنًاۖ فَإِنَّ ٱللَّهَ يُضِلُّ مَن يَشَآءُ وَيَهۡدِي مَن يَشَآءُۖ
“Maka apakah pantas orang yang dijadikan indah perbuatan buruknya, lalu menganggap baik perbuatan buruknya itu? Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberikan petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.” (Fathir: 8)
كَذَٰلِكَ زُيِّنَ لِلۡمُسۡرِفِينَ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ
“Demikianlah dijadikan terasa indah bagi orang-orang yang melampaui batas, apa yang mereka kerjakan.” (Yunus: 12)
Seorang muslim seharusnya takut apabila ia termasuk golongan yang tidak mendapatkan syafaat dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada Hari Kiamat karena perbuatan ghuluw yang dilakukannya.
Baca juga: Syafaat Rasulullah yang Agung
Dalam hadits Abi Umamah radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
صِنْفَانِ مِنْ أُمَّتِي لَنْ تَنَالَهُمَا شَفَاعَتِي: إِمَامٌ ظَلُومٌ غَشُوم ٌ، وَكُلُ غَالٍ مَارِقٍ
“Ada dua golongan dari umatku yang tidak akan mendapatkan syafaat dariku, yaitu (1) seorang pemimpin yang selalu berbuat zalim dan (2) setiap orang yang bersikap ghuluw, keluar dari jalan kebenaran.” (HR. ath-Thabarani, dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah di dalam ash-Shahihah)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah mengingatkan kita akan bahaya sikap ghuluw, memberat-beratkan diri dalam beribadah. Sebab, agama Islam sejatinya adalah ajaran yang mudah diamalkan. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ
“Sesungguhnya agama Islam ini adalah agama yang mudah. Tidak ada seorang pun yang memberat-beratkan dirinya dalam beragama, kecuali dia sendiri pasti tidak akan mampu menjalankannya.” (HR. al-Bukhari no. 39 dari Abu Hurairah radhiallahu anhu)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan, makna hadits ini ialah larangan agar seseorang tidak memberatkan dirinya pada amalan ibadah yang ia lakukan dan tidak meninggalkan apa yang mudah baginya. Sebab, (jika ia melakukannya,) ia tidak akan mampu meneruskan amalan tersebut. Akibatnya, ia justru akan berhenti dari ibadah yang dilakukannya, lalu pada akhirnya dia akan menyerah. (Fathul Bari, ketika mensyarah hadits di atas)
Baca juga: Agama Ini Telah Sempurna
Imam Ibnu al-Munayyir rahimahullah berkata,
“Di dalam hadits ini juga terdapat salah satu tanda-tanda kenabian (Muhammad). Sungguh, kami sendiri telah menyaksikan apa yang telah disaksikan oleh orang-orang sebelum kami; bahwa setiap orang yang berlebih-lebihan dalam beragama, ia pasti akan berhenti.
Namun, hal ini bukan bermakna larangan untuk meraih kesempurnaan beribadah. Sebab, hal ini sendiri sebenarnya terpuji. Hanya saja, yang dilarang adalah sikap berlebih-lebihan yang akan membuat pelakunya jenuh.
Demikian juga apabila sikap tersebut malah membuatnya meninggalkan perkara yang lebih utama atau membuatnya menunda suatu kewajiban dari waktu yang seharusnya. Misalnya, seseorang semalam suntuk mengerjakan shalat malam hingga merasakan kantuk yang sangat berat di penghujung malam. Akhirnya, dia tidak dapat melaksanakan shalat Shubuh secara berjamaah.” (Fathul Bari)
Sebagai bentuk cinta dan kasih sayang terhadap umatnya, dalam setiap kesempatan, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam senantiasa membimbing umat beliau untuk menjauhi sikap ghuluw. Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengingatkan,
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّيْنِ
“Berhati-hatilah kalian dari sikap ghuluw dalam beragama! Sebab, umat-umat sebelum kalian sungguh telah binasa disebabkan ghuluw yang mereka perbuat dalam beragama.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Hakim, dan adh-Dhiya’. Hadits ini di-takhrij dalam ash-Shahihah, no. 1238)
Baca juga: Ghuluw Jembatan Menuju Kesesatan
Larangan ghuluw ini sebenarnya dipicu oleh sebuah kejadian di pagi hari Aqabah. Ibnu Abbas radhiallahu anhuma mengisahkan bahwa beliau diminta oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang sedang berada di atas kendaraannya, untuk memungut kerikil-kerikil. Setelah Ibnu Abbas radhiallahu anhuma menyerahkan kerikil-kerikil yang akan digunakan untuk melempar jumrah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun meletakkannya di tangan. Beliau lalu bersabda,
أَمْثَالَ هَؤُلَاءِ، فَارْمُوا. ثُمَّ قَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ، فَإِنَّهُ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ
“Hendaknya (kalian melempar) dengan kerikil-kerikil sebesar ini.” Kemudian beliau bersabda, “Wahai sekalian manusia, berhati-hatilah kalian dari sikap ghuluw dalam beragama! Sebab, umat-umat sebelum kalian sungguh telah binasa disebabkan ghuluw yang mereka perbuat dalam beragama.”
Walaupun larangan ini dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam karena adanya sebuah peristiwa secara khusus, hukum ini tetap berlaku secara umum. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, ketika membicarakan hadits di atas, berkata, “(Larangan ini) bersifat umum, mencakup seluruh jenis ghuluw, baik dalam keyakinan maupun amalan.”
Saudaraku…. Sikap ghuluw adalah sikap tercela yang diwariskan oleh ahli kitab. Oleh sebab itu, kita dilarang meniru mereka. Dari Sahl bin Hunaif radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُشَدِّدُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ قَبْلَكُمْ بِتَشْدِيدِهِمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَسَتَجِدُونَ بَقَايَاهُمْ فِي الصَّوَامِعِ وَالدِّيَارَاتِ
“Janganlah kalian memberat-beratkan diri kalian. Sebab, orang-orang sebelum kalian sungguh telah binasa karena mereka memberat-beratkan diri. Kelak kalian akan menemukan sisa-sisa perbuatan mereka di dalam pertapaan dan biara.” (HR. al-Bukhari di dalam at-Tarikh. Lihat as-Silsilah ash-Shahihah, no. 3124)
Baca juga: Ketika Orang Islam Telah Meniru Orang Kafir
Pada perkara yang dianggap biasa sekali pun, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan agar kita menjauhi sikap berlebihan. Memuji seseorang adalah salah satu hal yang biasa dilakukan. Namun, apabila pujian tersebut disampaikan secara berlebihan, ia justru akan menimbulkan dampak yang berbahaya. Orang yang dipuji secara berlebih tentu akan merasa bangga diri dan sombong.
Imam an-Nawawi rahimahullah menulis sebuah bab di dalam syarah kitab Shahih Muslim, Bab Larangan memberikan pujian apabila pujian itu berlebihan dan dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah (ujian) bagi orang yang dipuji. Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah mendengar seseorang yang memuji orang lain dan berlebihan memujinya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun bersabda,
لَقَدْ أَهْلَكْتُمْ -أَوْ قَطَعْتُمْ- ظَهْرَ الرَّجُلِ
“Sungguh, kalian telah membinasakan orang tersebut.”
Bahkan, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membimbing kita untuk menaburkan pasir ke wajah orang yang senang memuji secara berlebihan. Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh al-Miqdad bin al-Aswad radhiallahu anhu.
Secara khusus lagi, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang kita untuk memuji beliau secara berlebih-lebihan. Hal ini disebabkan kekhawatiran beliau bahwa umat Islam nanti akan jatuh pada kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani. Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan sebuah hadits dari Umar bin al-Khaththab radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ فَقُولُوا: عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ
“Janganlah kalian berlebih-lebihan memuji diriku, sebagaimana orang-orang Nasrani berlebih-lebihan memuji Ibnu Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah, ‘Hamba Allah dan Rasul-Nya.’”
Baca juga: Makna Syahadat Muhammad Rasulullah
Dari sini kita bisa melihat betapa besarnya perhatian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada umat Islam. Beliau benar-benar menyayangi dan mencintai pengikutnya. Semuanya telah diterangkan sepanjang hidup beliau. Di antara sekian banyak buktinya adalah pengingkaran Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam terhadap seorang sahabat yang bernazar untuk melakukan sesuatu yang berat.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, saat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam menyampaikan khotbah, beliau melihat seseorang sedang berdiri di bawah terik matahari. Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menanyakan perihal orang tersebut. Para sahabat menjawab, “Dia adalah Abu Israil. Dia bernazar untuk berdiri di bawah terik matahari dan tidak akan duduk, juga tidak ingin berteduh atau berbicara saat dia berpuasa.”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مُرْهُ فَلْيَتَكَلَّمْ وَلْيَسْتَظِلَّ وَلْيَقْعُدْ وَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ
“Perintahkan dia untuk berbicara, berteduh, dan duduk. Lalu perintahkanlah dia untuk menyempurnakan puasanya.” (HR. al-Bukhari)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,
“Nazar yang diucapkan sahabat ini mengandung perkara yang dicintai Allah azza wa jalla dan perkara yang tidak dicintai-Nya. Perkara yang dicintai Allah subhanahu wa ta’ala adalah puasa karena ia merupakan ibadah. Sementara itu, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda, ‘Barang siapa bernazar untuk mengerjakan ketaatan kepada Allah, hendaknya ia menunaikannya.’
Baca juga: Hukum Nadzar
Adapun perbuatan sahabat tersebut yang berdiri di bawah terik matahari tanpa berteduh dan enggan berbicara, ini adalah perbuatan yang tidak dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Oleh sebab itu, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan sahabat tersebut untuk meninggalkan nazarnya.” (Syarah Riyadhus Shalihin)
Kesimpulannya, kebaikan yang hendak kita raih haruslah ditempuh dengan bimbingan al-Qur’an, as-Sunnah, dan pemahaman para salaf. Tidak setiap amalan yang kita anggap baik itu benar-benar sebuah kebaikan, kecuali dengan dilandaskan oleh dalil.
Wallahu a’lam.