Banyak orang tua yang merasa telah cukup memberikan perhatian kepada anak dengan menuruti segala keinginan mereka. Namun soal pendidikan agama terutama akhlakul karimah, para orang tua cenderung menomorduakannya. Walhasil, anak bukan menjadi anugerah, namun justru menjadi fitnah.
Sang buah hati tumbuh dalam pelukan ayah bundanya, dalam kehangatan pangkuan yang penuh kasih sayang. Begitu pun ayah bunda, segala yang terbaik ingin diberikan sebagai tanda cinta bagi sang permata. Pun tak dibiarkan walau sekejap, rasa sakit singgah pada dirinya. Si buah hati bagai tak ternilai harganya.
Anak sebagai anugerah yang menyejukkan pandangan adalah nikmat dari sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Sehingga hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang beriman senantiasa memanjatkan permohonan agar kelak dari sulbi mereka, lahir anak-anak yang taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan menyembah kepada Allah subhanahu wa ta’ala semata. Tak ada sesuatu yang lebih menyejukkan pandangannya daripada melihat anak-anaknya taat kepada Rabbnya.
وَٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبۡ لَنَا مِنۡ أَزۡوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعۡيُنٖ وَٱجۡعَلۡنَا لِلۡمُتَّقِينَ إِمَامًا ٧٤
“Dan orang-orang yang mengatakan, ‘Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan sebagai penyejuk pandangan kami, dan jadikanlah kami sebagai imam bagi orang-orang yang bertakwa’.” (al-Furqan: 74)
Namun permohonan ini bukanlah sekadar permohonan belaka, tanpa menempuh satu upaya pun. Setiap ayah ibu yang mengangankan anak-anak yang baik sebagai penyejuk hati tentu akan berusaha sekuat kemampuannya untuk mewujudkannya. (Ahammiyatu Tarbiyatil Abna[1])
Bahkan demikianlah yang Allah subhanahu wa ta’ala perintahkan, ketika Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (at-Tahrim: 6)
Dalam ayat ini, Allah subhanahu wa ta’ala tidak hanya memerintahkan untuk menjaga diri dari api neraka, namun juga memerintahkan untuk menjaga keluarga. (Ahammiyatu Tarbiyatil Abna’)
Hal ini dilakukan dengan memberikan wasiat kepada mereka untuk bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan membekali mereka dengan pendidikan adab, memerintahkan mereka untuk taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, melarang mereka dari segala perbuatan durhaka kepada Allah subhanahu wa ta’ala, serta mengajarkan kebaikan kepada mereka. (Fathul Bari, 8/527)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengingatkan bahwa setiap orang memikul tanggung jawabnya dan akan ditanya kelak pada hari kiamat tentang pelaksanaan tanggung jawabnya itu. Demikian yang dikisahkan oleh Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أَلاَ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالْأَمِيْرُ الَّذِي عَلىَ النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلىَ أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْهُمْ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُوْلَةٌ عَنْهُمْ، وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْهُ، أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعِ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Ketahuilah, setiap kalian adalah penanggung jawab dan akan ditanyai tentang tanggung jawabnya. Maka seorang pemimpin yang memimpin manusia adalah penanggung jawab dan kelak akan ditanya tentang mereka. Seorang laki-laki adalah penanggung jawab atas keluarganya dan kelak dia akan ditanya tentang mereka. Seorang istri adalah penanggung jawab rumah tangga dan anak-anak suaminya dan kelak akan ditanya. Seorang hamba sahaya adalah penanggung jawab harta tuannya dan kelak dia akan ditanya tentangnya. Ketahuilah, setiap kalian adalah penanggung jawab dan kelak akan ditanyai tentang tanggung jawabnya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5188 dan Muslim no. 1829)
Akan tetapi sangat disayangkan, betapa banyak orang tua yang tidak menunaikan kewajiban yang diamanahkan kepadanya dengan semestinya. Tidak ada penjagaan, perhatian, ataupun pendidikan yang baik kepada anak-anaknya, hingga pada akhirnya anak-anak itu pun tidak memberikan bakti kepada ayah bundanya, dan justru menjadi ujian, kesempitan, kesengsaraan, dan kerusakan bagi keluarga dan masyarakatnya. Terluputlah segala manfaat yang mestinya dapat dipetik dari anak-anak, dan tinggallah kerugian dan sesal dalam diri ayah dan ibunya.
قُلۡ إِنَّ ٱلۡخَٰسِرِينَ ٱلَّذِينَ خَسِرُوٓاْ أَنفُسَهُمۡ وَأَهۡلِيهِمۡ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِۗ أَلَا ذَٰلِكَ هُوَ ٱلۡخُسۡرَانُ ٱلۡمُبِينُ ١٥
“Katakanlah, sesungguhnya orang-orang yang rugi adalah orang-orang yang merugikan dirinya dan keluarganya pada hari kiamat. Ketahuilah, sesungguhnya itulah kerugian yang nyata.” (az-Zumar: 15)
Anak-anak ibarat ranting muda yang begitu mudah digoyangkan oleh embusan pemikiran yang menyesatkan, tuntunan yang menyimpang, dan akhlak yang rusak. Bila demikian keadaannya, dari diri mereka akan tumbuh generasi yang rusak, tidak menjaga hak-hak Allah subhanahu wa ta’ala dan kehormatan manusia, generasi yang kacau, tidak memandang kebaikan sebagai hal yang baik dan tidak mengingkari kemungkaran.
Kalau bukan di tangan ayah dan bunda, pada siapakah pendidikan mereka akan diserahkan?
Terkadang ayah dan ibu beralasan, mereka tidak kuasa lagi mendidik anak-anaknya karena sikap si anak yang terlampau ‘kurang ajar’ kepada ayah dan ibunya. Kalaulah alasan ini dilihat dengan pikiran yang jernih, maka sesungguhnya penyebab hilangnya kewibawaan orang tua di hadapan anak-anaknya tidak lain karena sejak awal, orang tua tidak menunaikan dengan baik kewajiban mereka terhadap sang anak. Anak-anak dibiarkan bersikap semaunya. Tak pernah ada sapaan untuk menanyakan keadaan mereka. Tak pernah didapati kehangatan saat berkumpul bersama. Tak pernah pula dijumpai kebersamaan saat menikmati hidangan makan. Terciptalah jarak yang jauh antara anak dengan ayah bundanya. Bagaimana mungkin pada akhirnya orang tua mengharap sang anak akan menurut dan mendengar nasihatnya?
Andai saja ayah bunda sejak semula bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan mendidik anak-anak sesuai dengan perintah Allah subhanahu wa ta’ala, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan menjadikan kebaikan dalam hal ini di dunia dan di akhirat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَقُولُواْ قَوۡلٗا سَدِيدٗا ٧٠ يُصۡلِحۡ لَكُمۡ أَعۡمَٰلَكُمۡ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۗ وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ فَازَ فَوۡزًا عَظِيمًا ٧١
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki amalan kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, sungguh dia memperoleh keberuntungan yang besar.” (al-Ahzab: 70—71) [Ahammiyatu Tarbiyatil Abna]
Bila demikian pentingnya pendidikan anak-anak dan demikian besar tanggung jawab itu, tentu ayah dan bunda mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menjadi pendidik yang pertama bagi buah hati tumpuan harapan mereka. Sudah semestinya ayah dan ibu mencurahkan kesungguhan untuk mendidik anak-anak dengan pendidikan yang baik, membekali mereka dengan ilmu yang bermanfaat, mengajarkan akhlak yang mulia dan menghindarkan sejauh mungkin kebiasaan-kebiasaan buruk dari mereka.
Yang juga tak kalah penting, ayah dan ibu semestinya menjadi teladan yang baik bagi anak-anak, baik dalam ucapan maupun perilaku. Alangkah baiknya jika anak melihat ayah bundanya senantiasa melaksanakan segala yang mereka perintahkan. Demikian yang selayaknya dilakukan, karena Allah subhanahu wa ta’ala memberikan peringatan:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفۡعَلُونَ ٢ كَبُرَ مَقۡتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُواْ مَا لَا تَفۡعَلُونَ ٣
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian lakukan? Teramat besar kebencian di sisi Allah apabila kalian mengatakan apa yang tidak kalian lakukan.” (ash-Shaff: 2—3)
Pun ayah dan bunda semestinya memerhatikan kejujuran ucapannya, serta tidak mendidik anak-anak dengan kedustaan. Telah datang peringatan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang “kejujuran dan kedustaan” yang disampaikan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu:
إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِِ صِدِّيْقًا، وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُوْرِ وَإِنَّ الفُجُوْرَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ، وَلاَ يَزَالُ الْعَبْدُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا
“Kejujuran itu membawa pada kebaikan dan kebaikan membawa ke jannah (surga). Seseorang senantiasa jujur dan berusaha untuk jujur hingga dia dicatat di sisi Allah subhanahu wa ta’ala sebagai orang yang jujur. Sedangkan kedustaan menyeret pada perbuatan dosa, dan perbuatan dosa membawa ke neraka. Seorang hamba senantiasa berbuat dusta dan berusaha untuk berdusta, hingga dia dicatat di sisi Allah subhanahu wa ta’ala sebagai seorang pendusta.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 6094 dan Muslim no. 2607)
Demikian pula yang diterapkan pada anak-anak. Mereka dididik untuk mencintai kejujuran dan membiasakan mereka untuk jujur, walaupun dalam canda dan gurauan.
Yang biasa terlalaikan dari ayah dan ibu adalah masalah pemenuhan janji. Terkadang mereka menjanjikan sesuatu kepada anak-anak, namun akhirnya tak terpenuhi. Semestinya ayah dan ibu memerhatikan hal ini agar anak-anak belajar dari pribadi orang tuanya tentang kejujuran dan pemenuhan janji. Bagaimana kiranya anak-anak diajarkan tentang jeleknya kedustaan dan ingkar janji, sementara mereka mendapatinya dalam diri ayah bundanya? (Nida’ ilal Murabbiyyin wal Murabbiyyat, hlm. 10—16)
Tak boleh dilupakan, mendidik anak membutuhkan kesabaran dan kiat khusus. Karena di antara anak-anak ada yang ingin diperlakukan dengan lemah lembut, tidak menyukai kekerasan dan hardikan. Ada pula anak-anak yang membutuhkan seseorang yang bisa bertindak keras terhadapnya. Namun tentu saja kekerasan itu tidak melebihi kewajaran. Apabila tindakan itu terlampau keras, maka sang anak justru akan bersikap keras kepala dan tidak memedulikan nasihat ayah dan ibunya. (Nashihati lin Nisa, hlm. 64)
Buah hati penyejuk mata, dia adalah sosok yang senantiasa membutuhkan uluran tangan kedua ayah bundanya. Senantiasa tertanam harapan akan selalu bersama mereka, di dunia dan di akhirat.
وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَٱتَّبَعَتۡهُمۡ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَٰنٍ أَلۡحَقۡنَا بِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ وَمَآ أَلَتۡنَٰهُم مِّنۡ عَمَلِهِم مِّن شَيۡءٖۚ كُلُّ ٱمۡرِيِٕۢ بِمَا كَسَبَ رَهِينٞ ٢١
“Dan orang-orang yang beriman dan anak keturunan mereka mengikuti keimanan mereka, akan Kami pertemukan anak keturunan itu dengan mereka, dan Kami tidak mengurangi sedikit pun amalan mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang diusahakannya.” (ath-Thur: 21)
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Abdirrahman bintu ‘Imran
[1] Diambil dari kumpulan khutbah asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah di Kota ‘Unaizah yang dimuat di www.binothaimeen.com