Keluarga Dalam Pandangan Islam

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah)

Setan begitu berambisi dalam merusak sebuah keluarga. Berbagai upaya ditempuh untuk mencapai ambisinya itu. Ini disebabkan keluarga merupakan pondasi bagi terbentuknya masyarakat muslim yang berkualitas.

Setiap manusia tentu mendambakan keamanan dan mereka berlomba-lomba  untuk mewujudkannya dengan segala cara yang memungkinkannya. Rasa aman ini lebih mereka butuhkan daripada kebutuhan akan makanan. Karena itu Islam memperhatikan hal ini dengan cara membina manusia sebagai bagian dari masyarakat di atas akidah yang lurus disertai akhlak yang mulia.  Bersamaan dengan itu, pembinaan individu-individu tidak mungkin dapat terlaksana dengan baik tanpa ada wadah dan lingkungan yang baik.  Dari sudut inilah kita dapat melihat nilai sebuah keluarga.
Keluarga dalam pandangan Islam memiliki nilai yang tidak kecil. Bahkan Islam menaruh perhatian besar terhadap kehidupan keluarga dengan meletakkan kaidah-kaidah yang arif guna memelihara kehidupan keluarga dari ketidakharmonisan dan kehancuran. Kenapa demikian besar perhatian Islam? Karena  tidak dapat dipungkiri bahwa keluarga adalah batu bata pertama untuk membangun istana masyarakat muslim dan merupakan madrasah iman yang diharapkan dapat mencetak generasi-generasi muslim yang mampu meninggikan kalimat Allah I di muka bumi.
Bila pondasi ini kuat, lurus agama dan akhlak anggotanya, maka akan kuat pula masyarakatnya dan terwujud pula keamanan yang didambakan. Sebaliknya, bila ikatan keluarga tercerai-berai dan kerusakan meracuni anggota-anggotanya maka dampaknya terlihat pada masyarakat, bagaimana kegoncangan melanda dan rapuhnya kekuatan, sehingga tidak diperoleh rasa aman.
Dari keterangan di atas pahamlah kita kenapa musuh-musuh Allah I dari kalangan setan jin dan manusia begitu berambisi untuk menghancurkan kehidupan keluarga. Mereka bantu-membantu menyisipkan kebatilan ke dalam keluarga agar apa yang diharapkan Islam dari sebuah keluarga tidak terwujud. Dan sangat disesalkan ibarat gayung bersambut, kebatilan itu banyak diserap oleh keluarga muslim. Akibatnya tatanan rumah tangga hancur dan dampaknya masyarakat diantar ke bibir jurang kehancuran. Na’udzubillah min dzalik!!! Kita berlindung kepada Allah dari yang demikian.
Jauh sebelumnya Rasulullah r telah memperingatkan kita akan makar Iblis terhadap anak Adam. Bagaimana Iblis begitu bergembira bila anak buahnya dapat menghancurkan sebuah keluarga, memutuskan hubungan antara suami dengan istri sebagai dua tonggak dalam kehidupan keluarga.
Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air kemudian ia mengirim tentara-tentaranya. Maka yang paling dekat di antara mereka dengan Iblis adalah yang paling besar fitnah yang ditimbulkannya. Datang salah seorang dari mereka seraya berkata: Aku telah melakukan ini dan itu. Maka Iblis menjawab: “Engkau belum melakukan apa-apa.” Lalu datang yang lain seraya berkata: “Tidaklah aku meninggalkan dia (manusia yang digodanya) hingga aku berhasil memisahkan dia dengan istrinya.” Maka Iblis pun mendekatkan anak buahnya tersebut dengan dirinya dan memujinya dengan berkata: “Ya, engkaulah.” (Shahih, HR. Muslim dalam Shahih-nya, Kitab Shifatul Qiyamah wal Jannah wan Naar, Bab Tahrisyu Asy-Syaithan wa Ba’tsuhu Sarayahu Li Fitnatin Naas, 17/157- Syarah An-Nawawi)
Dalam Syarah Shahih Muslim (17/157), Al-Imam An-Nawawi t menjelaskan hadits di atas bahwa Iblis bermarkas di lautan dan dari situlah ia mengirim tentara-tentaranya ke penjuru bumi. Iblis memuji anak buahnya yang berhasil memisahkan antara suami dengan istrinya karena kagum dengan apa yang dilakukannya dan ia dapat mencapai puncak tujuan yang dikehendaki Iblis.
Begitu kuat ambisi Iblis dan para setan sebagai tentaranya untuk menghancurkan kehidupan keluarga, hingga mereka pun bersedia membantu setan dari kalangan manusia untuk mengerjakan sihir yang dapat memisahkan suami dengan istrinya. Allah I berfirman menyebutkan ihwal orang–orang Yahudi yang biasa melakukan pekerjaan kufur ini (sihir) guna memisahkan pasangan suami istri:
“Orang-orang Yahudi itu mengikuti apa yang dibacakan para setan pada masa kerajaan Nabi Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir). Padahal Sulaiman tidaklah kafir (mengerjakan sihir) namun setan-setan itulah yang kafir. Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di Babil yaitu Harut dan Marut, sedangkan keduanya tidak mengajarkan sesuatu kepada seorangpun sebelum keduanya mengatakan: “Kami hanyalah ujian (cobaan) bagimu. Maka janganlah engkau kufur dengan belajar sihir.” Maka mereka mempelajari sihir dari keduanya yang dengan sihir tersebut mereka bisa memisahkan antara suami dengan istrinya…”   (Al-Baqarah: 102)
Kita berlindung kepada Allah I dari kejahatan sihir dan pelakunya!
Pembaca yang semoga dirahmati Allah I… Ketahuilah, suatu keluarga baru memiliki nilai lebih bila bangunan keluarga itu ditegakkan di atas dasar takwa kepada Allah I.
Untuk kepentingan ini, perlu dipersiapkan anggota keluarga yang shalih, tentunya dimulai dari pasangan suami istri. Seorang pria ketika akan menikah hendaknya mempersiapkan diri dan melihat kemampuan dirinya. Dia harus membekali diri dengan ilmu agama agar dapat memfungsikan dirinya sebagai qawwam (pemimpin) yang baik dalam rumah tangga.
Karena Allah telah menetapkan:
“Kaum pria itu adalah pemimpin atas kaum wanita disebabkan Allah telah melebihkan sebagian mereka (melebihkan kaum pria) di atas sebagian yang lain (di atas kaum wanita) dan karena kaum pria telah membelanjakan harta-harta mereka untuk menghidupi wanita….” (An-Nisa: 34)
Hendaknya seorang pria menjatuhkan pilihan hidupnya kepada wanita yang shalihah karena demikianlah yang dituntunkan oleh Nabi kita yang mulia Muhammad r.
Beliau r bersabda tentang kelebihan wanita yang shalihah:

“Dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah “. (Shahih, HR. Muslim dalam Shahih-nya, Kitab Ar-Radha’, Bab Istihbab Nikahil Bikr. 10/56, Syarah An-Nawawi)

“Ada empat perkara yang termasuk dari kebahagiaan: istri yang shalihah, tempat tinggal yang luas, tetangga yang shalih dan tunggangan (kendaraan) yang nyaman. Dan ada empat perkara yang termasuk dari kesengsaraan: tetangga yang jelek, istri yang jelek (tidak shalihah), tunggangan yang jelek, dan tempat tinggal yang sempit.” (HR. Ibnu Hibban. Hadits ini dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil t dalam kitab beliau Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain, 1/277)
Beliau mengabarkan:
“Wanita itu dinikahi karena empat perkara yaitu karena hartanya, kedudukannya (keturunannya), kecantikannya dan agamanya. Maka pilihlah wanita yang memiliki agama, taribat yadaak1.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 5090, Kitab An-Nikah, bab Al-Akfaau fid Dien, dan Muslim dalam Shahih-nya, Kitab Ar-Radha, bab Istihbab Nikahi Dzatid Dien, 10/51, Syarah An-Nawawi)
Al-Imam An-Nawawi t menyatakan bahwa yang benar tentang makna hadits di atas adalah Nabi r mengabarkan tentang kebiasaan yang dilakukan manusia. Mereka, ketika hendak menikah, memilih wanita dengan melihat empat perkara tersebut dan mereka mengakhirkan pertimbangan agama si wanita. Maka hendaklah engkau wahai orang yang meminta bimbingan memilih wanita yang baik agamanya. (Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi, 10/51-52)
Al-Imam An-Nawawi melanjutkan: “Dalam hadits ini ada penekanan untuk bergaul/ berteman dengan orang yang memiliki agama dalam segala sesuatu karena berteman dengan mereka bisa mengambil faedah dari akhlak mereka, barakah mereka dan baiknya jalan hidup mereka, di samping itu kita aman dari kerusakan yang mereka timbulkan.” (10/52)
Masalah agama ini juga harus menjadi pertimbangan seorang wanita ketika ia memutuskan untuk menerima pinangan seorang pria. Karena, pria yang shalih ini bila mencintai istrinya maka ia akan memuliakannya. Namun bila tidak, maka ia tidak akan menghinakannya. Dan hal ini harus menjadi perhatian wali si wanita karena Rasulullah r bersabda:

“Apabila datang kepada kalian (para wali wanita) orang yang kalian ridha agama dan akhlaknya (untuk meminang wanita yang di bawah perwalian kalian) maka nikahkanlah laki-laki itu. Jika tidak kalian lakukan hal itu, niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi dan terjadi kerusakan yang merata.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dll dari Abu Hurairah z. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 270)
Di antara yang dijadikan Islam sebagai tujuan berumah tangga dan dibentuknya sebuah keluarga adalah untuk memperbanyak umat Muhammad r. Karena itu ketika datang seorang pria menghadap beliau dan mengatakan: “Aku mendapatkan seorang wanita yang memiliki kecantikan dan keturunan namun ia tidak dapat melahirkan (mandul), apakah boleh aku menikahinya?” Rasulullah r menjawab: “Jangan menikahinya.” Kemudian pria tadi datang menghadap Nabi untuk kedua kalinya dan mengutarakan keinginannya untuk menikahi wanita tersebut, namun beliau melarangnya. Kemudian ia datang lagi untuk ketiga kalinya, maka beliau r bersabda:

“Nikahilah oleh kalian wanita yang penyayang lagi subur (banyak anaknya). Karena aku akan berbangga-bangga dengan banyaknya kalian di hadapan umat-umat yang lain.” (HR. Abu Dawud dan An-Nasai. Dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain, 2/211)
Bila setiap muslim memperhatikan dan melaksanakan dengan baik apa yang ditetapkan dan digariskan oleh syariat agamanya, niscaya ia akan mendapati hidupnya lurus dan tenang, termasuk dalam kehidupan berkeluarga. Dan dia benar-benar dapat merasakan tanda kekuasaan Allah I sebagaimana dalam firman-Nya:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya Dia menciptakan untuk kalian pasangan-pasangan kalian dari diri-diri (jenis) kalian sendiri agar kalian merasa tenang dengan keberadaan mereka dan Dia menjadikan di antara kalian rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mau berfikir.” (Ar-Rum: 21)
Wallahu ta’ala a‘lam bish-shawab.

Catatan Kaki:

1 Al-Imam An-Nawawi t berkata tentang kalimat “taribat yadaak”: “Tentang makna kalimat ini ada perbedaan pendapat yang sangat banyak di kalangan salaf dan khalaf dari seluruh kelompok yang ada. Namun pendapat yang paling benar dan paling kuat yang dipegangi para muhaqqiq adalah kalimat ini asalnya bermakna “engkau menjadi miskin”, akan tetapi orang Arab terbiasa menggunakan kalimat ini tanpa memaksudkan hakikat maknanya yang asli. Mereka menyebut kalimat “taribat yadaak”, “qaatalahullah”, “laa ummun lahu”, “laa abun lak”, “tsakilat-hu ummuhu”, “wailun ummuhu”, dan lafadz-lafadz mereka yang semisalnya. Mereka mengucapkannya ketika mengingkari sesuatu, mencerca, atau mencelanya. Atau menganggap besar sesuatu, atau penekanan untuk melakukannya ataupun kagum terhadap sesuatu, wallahu a’lam.” (Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi, 3/221. Darur Rayyan lit Turats, cet. ke-1, 1407 H/1987)