(ditulis leh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah)
Sebagai manusia, wanita memang bisa kesal dan marah, baik itu disebabkan suami ataupun hal-hal lainnya. Namun sebagai istri, wanita juga dituntut untuk menjaga sikap di hadapan suaminya. Ia harus mengontrol emosinya agar tidak tumpah. Namun alih-alih meredam emosinya, tak sedikit istri yang justru menjadikan suami sebagai pelampiasan kemarahan, bahkan sampai pada taraf mencacinya.
Seorang suami adalah sayyid atau tuan bagi istrinya, sebagaimana tersebut dalam firman Allah k:
“Dan keduanya (Yusuf dan istri Al Aziz) mendapati sayyid (tuan/suami) si wanita di depan pintu…” (Yusuf: 25)
Karena suami sebagai tuan maka kedudukannya demikian agung bagi istrinya sebagaimana agungnya sang tuan bagi budak sahayanya. Tidak heran bila Rasul n yang mulia n sampai bertitah:
لاَ يَصْلُحُ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ، وَلَوْ صَلَحَ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ عَظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهَا، وَالَّذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ كَانَ مِنْ قَدَمِهِ إِلَى مَفْرَقِ رَأْسِهِ قَرْحَةٌ تَجْرِي بِالْقَيْحِ وَالصَّدِيْدِ، ثُمَّ اسْتَقْبَلَتْهُ فَلَحِسَتْهُ مَا أَدَّّتْ حَقَّهُ
“Tidaklah pantas bagi seorang manusia untuk sujud kepada manusia yang lain. Seandainya pantas/boleh bagi seseorang untuk sujud kepada seorang yang lain niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya dikarenakan besarnya hak suaminya terhadapnya. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya pada telapak kaki sampai belahan rambut suaminya ada luka/borok yang mengucurkan nanah bercampur darah, kemudian si istri menghadap suaminya lalu menjilati luka/borok tersebut niscaya ia belum purna menunaikan hak suaminya.” (HR. Ahmad 3/159 dari Anas bin Malik z, dishahihkan Al-Haitsami 4/9, Al-Mundziri 3/55, dan Abu Nu’aim dalam Ad-Dala’il, 137. Lihat catatan kaki Musnad Al-Imam Ahmad 10/513, Darul Hadits, Al-Qahirah)
Suami harus ditaati dalam kebaikan dan dicari keridhaannya. Sehingga tidak sepantasnya seorang istri membuat marah suaminya dengan tidak menuruti apa yang diinginkan suaminya selama hal itu bukan perbuatan dosa/maksiat1, atau ia melanggar ketetapan suaminya.
Seorang istri yang shalihah tentu tahu hak suaminya terhadapnya dan apa yang harus dilakukannya sebagai seorang istri. Yang susah adalah bila seorang lelaki memperistri wanita yang jahil. Istri seperti ini tidak merasa berat mendurhakai suaminya, tidak menuruti apa yang dimaukan suaminya dari dirinya. Dia bahkan menentang perintahnya sampaipun suaminya menyuruhnya melakukan ketaatan, seperti mendirikan shalat, menutup aurat, atau mengajaknya berhijrah di jalan Allah k dengan meninggalkan kejahiliahan serta menyambut hidayah Allah l. Tak segan ia mengancam suaminya, mengucapkan sumpah serapah dan mencacinya. Wanita seperti ini tidak tahu akibat yang diperolehnya dengan kedurhakaannya dan kemurkaan suami terhadapnya. Sampaipun ia mengerjakan ibadah shalat misalnya2, niscaya tidak akan diterima ibadah tersebut di sisi Allah k.
Abu Umamah z menyampaikan hadits Rasulullah n:
ثَلاَثَةٌ لاَ تُجَاوِزُ صَلاَتُهُمْ آذَانَهُمْ: الْعَبْدُ الْآبِقُ حَتىَّ يَرْجِعَ وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ، وَإِمَامُ قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ كَارِهُوْنَ
“Ada tiga golongan yang shalat mereka tidak melewati telinga-telinga mereka3, yaitu budak yang melarikan diri dari tuannya sampai ia kembali kepada tuannya, istri yang bermalam dalam keadaan suaminya marah terhadapnya, dan seseorang yang mengimami suatu kaum dalam keadaan mereka tidak suka kepadanya.” (HR. At-Tirmidzi no. 360, dihasankan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, Al-Misykat no. 1122, Shahihul Jami’ no. 3057)
Ibnu Umar c berkata dari Nabi n:
اثْنَانِ لاَ تُجَاوِزُ صَلاَتُهُمَا رُؤُوْسَهُمَا: عَبْدٌ آبِقٌ مِنْ مَوَالِيْهِ حَتىَّ يَرْجِعَ، وَامْرَأَة ٌعَصَتْ زَوْجَهَا حَتَّى تَرْجِعَ
“Ada dua golongan yang shalat mereka tidak melewati kepala-kepala mereka, yaitu budak yang melarikan diri dari tuannya sampai ia kembali kepada tuannya dan istri yang durhaka kepada suaminya hingga ia kembali taat.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 4/191, Ath-Thabarani dalam Al-Ausath no. 3628 dan Ash-Shaghir no. 478, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahihul Jami’ no. 136 dan Ash-Shahihah no. 288 )
Doa kejelekan berupa laknat para malaikat yang doa mereka mustajab pun dapat dituai seorang istri yang membuat marah suaminya, sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah z dari Rasulullah n:
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيْئَ، فَبَاتَ غَضْبَان عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Apabila seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya, namun si istri menolak untuk datang. Lantas si suami bermalam dalam keadaan marah kepada istrinya tersebut, niscaya para malaikat melaknat si istri sampai ia berada di pagi hari.” (HR. Al-Bukhari no. 5193)
Karenanya, janganlah para istri suka membuat marah suaminya. Tetapi carilah keridhaannya dalam kebaikan. Karena seperti kata Rasulullah n:
فَانْظُرِيْ أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنارُكِ
“Lihatlah di mana keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena dia adalah surga dan nerakamu.”4
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq, sebagaimana sabda Rasulullah n:
إِنَّهُ لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Khaliq.” (HR. Ahmad 1/131. Kata Asy-Syaikh Ahmad Syakir t dalam ta’liqnya terhadap Musnad Al-Imam Ahmad, “Isnadnya sahih.”)
2 Dalam posisi shalat merupakan amalan yang paling utama dan paling dahulu dihisab di hari kiamat nanti. Bila baik shalatnya maka baik seluruh amalannya dan sebaliknya jika jelek shalatnya maka jeleklah seluruh amalannya.
3 Al-Mubarakfuri t berkata menjelaskan makna kalimat ini, “Maksudnya shalat mereka tidak diterima dengan penerimaan yang sempurna, atau tidak diangkat kepada Allah l sebagaimana diangkatnya amal shalih.”
Dikhususkan penyebutan telinga (dalam lafadz: tidak melewati telinga-telinga mereka) karena di dalam shalat ada tilawah dan doa, yang semestinya didengar. Namun tilawah dan doa ini tidak sampai kepada Allah l dari sisi penerimaan dan pengabulan.
As-Suyuthi t berkata dalam Qut Al-Mughtadzi, “Maksudnya shalat mereka tidak diangkat ke langit, sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas c yang diriwayatkan Ibnu Majah t:
لاَ نَرْفَعُ صَلاَتَهُمْ فَوْقَ رُؤُوْسِهِمْ شِبْراً
“Kami tidak mengangkat shalat-shalat mereka di atas kepala mereka walau satu jengkal.”
Ini merupakan ungkapan tentang tidak diterimanya shalat mereka, sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas c yang diriwayatkan Ath-Thabarani t:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ لَهُمْ صَلاَةً
“Allah tidak menerima shalat mereka.” (Lihat Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ash-Shalah, bab Ma Ja’a fi Man Amma Qauman waa Hum Lahu Karihun)
4 HR. Ibnu Abi Syaibah (7/47/1), Ibnu Sa’d (8/459), An-Nasa’i dalam Isyratun Nisa, Ahmad (4/341), Ath-Thabarani dalam Al-Ausath (170/1) dari Zawa’idnya, Al-Hakim (2/189), Al-Baihaqi (7/291), Al-Wahidi dalam Al-Wasith (1/161/2), Ibnu ‘Asakir (16/31/1), sanadnya shahih sebagaimana kata Al-Hakim dan disepakati Adz-Dzahabi. Al-Mundziri berkata (3/74), “Diriwayatkan hadits ini oleh Ahmad dan An-Nasa’i dengan dua sanadnya yang jayyid.”