“Semua bisa jadi uang.”
Pola pikir semacam ini bisa jadi tengah menjangkiti masyarakat kita. Setidaknya tengara demikian dapat dilihat ketika kultur sosial dan kesetiakawanan di antara anggota masyarakat telah tergantikan dengan nilai uang. Tak ada tolong-menolong jika tidak didahului perjanjian “siapa dibayar berapa”.
Agama yang sejatinya memiliki batasan tersendiri pun tak luput dari incaran para pemilik modal. Walhasil, agama pun menjadi komoditas baru yang menjanjikan mesin uang. Dakwah misalnya. Ia bukan lagi media untuk menyampaikan al-haq (kebenaran) dan mengingatkan umat akan bahaya kebatilan. Namun, telah bergeser menjadi industri hiburan. Jadilah banyak kita lihat belakangan ini “dakwah” yang dikemas dengan konser musik, “dakwah” dengan format lawak, hingga apa yang disebut sinetron “dakwah”.
Karena menjadi hiburan, materi jelas nomor dua. Standar yang digunakan adalah rating, marketable, atau parameter-parameter materialis lainnya. Tak heran jika acara-acara yang disebut dakwah itu justru dijejali dengan artis-artis yang tidak diketahui jelas bagaimana akhlak dan kesehariannya (apalagi soal keilmuan mereka). Yang penting bagaimana menarik sebanyak mungkin pemirsa sekaligus pemasang iklan.
Persoalannya sendiri bukan bagaimana “mereformasi” tayangan-tayangan tersebut. Akan tetapi, bagaimana kita menelaah kembali metode dakwah yang selama ini banyak dipraktikkan di tengah masyarakat kita. Bisa dibenarkan kah dakwah dengan format sinetron/ film, dakwah dalam bentuk cerita fiksi, dakwah dengan musik, dan sebagainya?
Pertanyaan ini patut dikemukakan mengingat kita selama ini terlalu mudah menempelkan label Islami pada contoh-contoh di atas. Sebab, film/drama atau sejenisnya adalah persoalan tersendiri. Demikian juga dengan musik dan cerita fiksi adalah substansi yang memang perlu dibahas tersendiri. Jika sikap latah ini tidak direm, tidak mustahil suatu saat akan muncul istilah pacaran Islami, minuman keras Islami, dan sejenisnya. Yang disebut pertama barangkali telah menjadi kosakata baru dalam khazanah bahasa kita.
Alasan klasik yang selalu dikemukakan para pemasar “dakwah plus” atau “dakwahtainment” itu biasanya adalah bagaimana agar umat ini lebih bisa menerima. Dalam bahasa yang lebih lugas, jika dakwah disampaikan secara lebih gaul atau lebih “menarik”, akan menjamin lebih banyak “yang ngaji”.
Taruhlah, semua itu didasari niat baik. Namun, tujuan yang baik tidak berarti menghalalkan segala cara. Apalagi jika kemudian melanggar rambu-rambu syariat. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam juga berdakwah, dan yang menolak dakwah beliau pada awalnya justru lebih banyak daripada yang menerima. Apakah kita dengan seenaknya akan menyebut bahwa dakwah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam telah gagal? Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dianggap kurang pintar mengemas dakwah, dan semacamnya? Na’udzubillah.
Jumlah juga bukan ukuran kesuksesan sebuah dakwah. Pengajian yang dijejali pengunjung tidak otomatis menjadikan dakwah dainya pasti benar. Sebab, tidak sedikit di antara “dai-dai” terkenal di tengah umat saat ini yang hanya pandai mengolah kata, menjual popularitas, hingga melucu. Soal perbendaharaan dalil atau latar belakang keilmuan, menjadi pertanyaan besar bagi kita semua.
Tema pertama yang kami angkat adalah soal penentuan awal Ramadhan dan 1 Syawal. Tema ini memang terkesan “klasik” karena menjadi perbincangan yang selalu berulang setiap tahun. Namun, dengan ini kami berharap, silang pendapat yang tidak disertai dalil yang kukuh, bisa “berakhir” sampai di sini.
Suplemen yang tak kalah “seru” adalah fatwa tentang aksi teror bom yang belakangan kian menjadi-jadi di tanah air. Semoga apa yang kami suguhkan kepada anda pembaca, bisa menjadi penyejuk dan mencerahkan hati kita untuk selalu berjalan di atas ash-shiratal mustaqim. Selamat membaca!